Dia mengenakan snelly putih dengan dalaman kemeja hitam, rambut rapi, hidung mancung, postur tubuhnya tinggi tegap. Sungguh berbeda dengan dia yang Naya kenal delapan tahun lalu. Jika seseorang baru bertemu dengannya sekarang, pasti tidak akan percaya kalau Naya katakan bahwa dia adalah lelaki yang sama yang kerap mengatakan cintanya berulang kali bertahun-tahun yang lalu pada Naya. Dokter tampan bernama Hasan itu adalah Dokter yang tak lain adalah sahabatnya dulu. "Naya kamu hamil? Sudah menikah kah?''"Duduklah. Aku ingin bicara denganmu."Dia menurut. Segera ia ambil tempat di depan Naya di kursi kantin. Teh hangat yang masih mengepulkan asap menguarkan aroma khas melati dari atas meja yang baru disajikan oleh seorang pramusaji. "Bisa kau jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba ada di rumah sakit ini Dokter?"Hasan membuang napas kasar kemudian, mengangkat wajahnya menatap Naya. "Naya. Kamu jadi perawatan disini, astaga bahkan sudah satu bulan di sini aku tak tahu.""Jangan mengalihk
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Naya saat itu, tenggorokan rasanya tercekat. Bahkan kini Naya merasa begitu kesulitan untuk sekadar menelan ludahku sendiri, seakan ada duri yang tertancap di tenggorokan hingga menimbulkan sakit luar biasa. Tapi sekali lagi bukankah mereka suami istri, terlihat dari pandangan mata keduanya tadi sudah bisa aku lihat bahwa ada rasa yang menggebu yang tak bisa terelakkan lagi. Tubuh Naya gemetar seketika, ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya karena Naya pun sadar sejak awal dirinya sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Hani dan Raja. Mata Naya mulai mengembun. Namun Naya berusaha menahan agar buliran bening itu tidak tumpah ke wajahnya"Apa kami mengganggu kalian? Apa tidak bisa mengunci pintu, hah." Sindir Mamanya kesal pada Raja. Raja beranjak dari ranjang dan mendorong tubuh istrinya itu. "Mama."Raja berjalan ke arah Mamanya. "Itu, Ma. Ini tak seperti yang Mama kira." Elak Raja. Naya ha
"Oh, kirain ke pasar soalnya Bibi bilangnya Mbak Nur ke pasar.""Tidak, Non. Memangnya mencari saya buat apa Non.""Emm, cuma mau minta juz alpukat saja sih, lagi pengen saja, Mbak." Bohong Naya agar tidak ketahuan. "Oh, mau dibikinin sekarang saja juznya, Non?"Naya mengangguk, "mau banget. Sekalian bikinin buat mereka Mbak.""Siap, Non."Naya hanya tak habis pikir kok bisa Bibi Daryi begitu, mau bagaimana pun juga Naya sadar jika ia hanya istri bayaran. Dia juga sadar akan hal itu tak perlu menunjukkan kemesraan mereka. "Non sudah siap. Mau aku yang antar.""Biar aku saja deh Mbak.""Yakin, Non.""Yakin sudah sini. Hanya lima gelas saja kan.""Hati-hati, Non.""Iya, Mbak."Lima gelas juz alpukat telah siap Naya kembali berjalan mendekati Mamanya, Papa, Tante Ana dan Gilang. Naya tahu juz alpukat adalah kesukaan Gilang dari dulu. "Juz alpukat datang, ayo diminum Tante.""Makasih, Naya.""Sama-sama, Tante.""Wah, masih ingat saja kesukaanku." Gilang meraih satu gelas juz alpukat.
Kembali lagi, Raja menyirami benih agar kandungan Naya tetap kuat hingga melahirkan nanti. Mungkin karena hormon kehamilannya, kali ini membuat Raja kewalahan. Permainan yang tak pernah ia sangka-sangka, Naya bahkan tak ingin merusak suasana keindahan yang ia ciptakan untuk Raja, akan Naya bawa Raja di sisa waktu menuju ke syurga dunia, dan memenangkannya di atas ranjang. Raja merobohkan diri di samping Naya setelah dahaganya terpenuhi. "Trima kasih, Sayang." Ia mencium kening Naya. Setelahnya Naya miring memunggunginya lalu memejam. Mungkin saja itu hanya sekadar pemuasan kebutuhannya belaka. "Nay ...." Tubuh Naya menegang saat tiba-tiba suara Raja terdengar di belakangnya. Pelan-pelan Naya membalikkan badan. Raja tampak tersenyum, raut wajahnya terlihat bimbang saat menatap Naya"Ya kenapa, Tuan?""Apa dia bergerak lagi?" tanyanya seraya mengusap perut yang masih tak tertutupi sehelai benang pun, tubuh kami hanya berbalut selimut. "Iya.""Biarkan seperti ini, aku ingin melihat
Napas Raja teratur ia kaget melihat Naya masih tertidur pulas. Percintaan kedua mereka memang begitu dahsyat, Raja tersadar saat ia jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tiba-tiba Raja jadi rajin ibadah saat bertemu lagi dengan Naya. Raja bangkit mandi besar selesai ia menunaikan Salat Dzuhur, Raja tersenyum menatap istrinya yang masih tertidur."Nay, hei sudah Dzuhur bangunlah." Bisik Raja di telinga Naya. Raja mengecup lembut keningnya. Berlanjut pada kedua kelopak mata yang masih tertutup rapat. Hidung bangirnya pun tak luput dari sapuan bibir Raja. Saat hendak mencium bibir merah mudanya, istrinya itu terbangun. "Emmm." Naya membuka mata malas. "Nay ayo bangun Solat dulu.""Aku malas, Mas," ucapnya manja membuat Raja tertawa karena sikap manja Naya kini terlihat."Tapi ini waktunya Solat Nona Naya.""Sakit semua badanku, Mas apalagi waktunya Salat Dzuhur juga masih lama kok ....""Maaf untuk itu, ayo air hangatnya sudah aku siapkan."Naya berdecak lirik. Raja tak tahu sa
Naya mengelengkan kepala. Tidak ada yang salah sejujurnya. Naya hanya merasa kurang nyaman setiap kali membicarakan tentang cinta."Banyak yang tak aku ketahui di rumah besar itu, Ren."Daren mengangkat alis. "Maksudnya?""Kasih aku waktu, Daren."Tawa Daren lolos begitu saja. Lantas, ikut menangis. "Jangan keras kepala, Mbak. Dan jangan menyesal jika nanti, Mbak terluka dan hancur."Naya diam. "Maaf karena aku Mbak menderita.""Kamu tahu Aku begitu takut sekali saat kamu koma dua minggu. Jadi please aku hanya ingin melihatmu bersama Mbak terus."Daren menunduk. "Maaf."Tenggorokan Naya terasa pahit, mereka saling bungkam, membiarkan pikiran melayang jauh. Dan Naya kembali meminum teh hangat. "Tapi benar, Mbak baik-baik saja.""Ya InsyaAllah baik.""Ya sudah yuk aku antar pulang." Naya tersenyum. "Yuk.""Mbak maaf.""Sudahlah, jangan begitu ya.""Aku sayang, Mbak Naya.""Ya apapun akan Mbak Lakukan asalkan kamu sehat dan terus bersama Mbak.""Terima kasih."Sejujurnya Daren sangat
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
"Naya.""Ya, Ma.""Ini untukmu, Naya hadiah dari Mama untukmu yang sudah berjuang melahirkan Cucu laki-laki Mama lagi." Naya terkejut. "Cincin.""Iya. Simpanlah jangan melihat harganya. Jika soal harga pasti Raja bisa membelikanmu yang jauh lebih bagus dari ini. Ini hanya hadiah untuk kenang-kenangan dari, Mama."Naya terdiam."Ini untukmu, pakailah." "Ya Allah, ini bagus banget, Mama."Sebuah cincin cantik itu sekarang menyelip di antara jemari manis Naya. Sang Mama meraih jemari menantunya. "Bahagia terus ya, Nak. Selamat sudah melahirkan dengan lancar.""Ya, Ma. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang Mama dan Papa selama ini. Selalu mendukungku apapun itu.""Ya kau tahu, Mama hanya ingin kamu, cucu-cucu Mama dan Raja bahagia, Nak."Naya mengangguk, membiarkan titik-titik bening turun satu-satu dari sudut mata. Bersamaan dengan rasa haru yang kini menyerang Naya tiba-tiba. Perlakuan mertuanya sangat bisa Naya andalkan. "Makasih, Ma.""Sama-sama."Juga Daren juga sudah menikah
Tangan Naya bergetar hebat saat benda pipih di genggaman menunjukkan dua garis yang terlihat begitu jelas. Degup di dada terasa kian mengencang, diiringi perasaan yang Naya sendiri tak tahu entah apa namanya. Pandangan kian buram, tertutup selaput bening yang hanya dengan satu kali kedipan saja akan berubah menjadi bulir air mata. Ya Allah, Naya harus apa? Sesaat terlintas bayangan wajah teduh Raja suaminya. Sosok pria dewasa yang dengan segala sikap lembut yang ia miliki, selalu membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Lalu, bagaimana jika Raja tahu akan hal itu? Naya hamil. Ada bayi mereka di dalam perut. Naya bisa membayangkan seperti apa reaksinya nanti. Apa suaminya akan kecewa? Atau menerimanya dengan suka cita? Karena usia mereka tak lagi muda. Perlahan, satu tangan Naya turun menyentuhnya. Ia di sana, bersemayam di dalam perut, Naya mengelusnya lembut. "Anakku. Meski masih berupa segumpal darah, tapi ia ada. Ya, ia benar-benar ada. Desiran halus perlahan memenuhi rongga da
Beberapa tahun berlalu Raja berdiri di tepi balkon hotel. Menatap lurus ke arah langit sambil mencengkeram tepian. Alam di keheningan malam. Segala kenangan seolah kembali terputar ulang. Bagaimana wajah istrinya yang terus terbayang meneriakkan kerinduan berulang-ulang, tepat di depan wajah Raja."Aku sudah gila! Ya, aku gila! Karena sangat merindukannya." Bisik Raja pelan. Bukankah cinta memang segila itu saat berada dalam kadar yang sudah tak semestinya. Wanita yang selalu memberikan kenyamanan dan akan menghabiskan seumur hidup dengannya. Setelah mencintai begitu lama, sepenuh jiwa, akhirnya Raja masih menempati cinta di hati yang sedari dulu bersemayam dalam hati. Raja mengusap wajah dengan helaan napas semakin berat."Pak Raja!"Raja menoleh ke arah suara. "Ya, Pak.""Pekerjaan kita telah selesai."Raja tersenyum. "Jadi deal, Pak."Pak Robert mengangguk. "Ya."Raja merasa senang. "Aku sudah tak sabar ingin bertemu, kedua anak kembarku, Pak." Jelasnya. Pak Robert manggut-manggu
Guncangan pada bahu Naya sedikit menyadarkannya, Naya tertidur di dalam mobil. "Sudah sampai, Sayang."Kepala Naya terasa masih berat. Lalu ia tersenyum kearah suaminya. "Iya, Mas. Maaf, aku ketiduran.""Tak apa. Hati-hati jalannya licin di hujan di luar, Sayang."Naya mengangguk. "Iya, Mas.""Kamu tetap disini biar aku yang ambil payungnya."Naya tersenyum menatapnya, sesaat Raja mengecup bibirnya. "Mas ...."Raja hanya ngengir kuda seraya keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk istrinya. Hujan menyambut mereka berdua takala Raja sudah berada diparkiran depan rumah. Hujan seperti yang sudah lama ia nantikan menambatkan hati pada Naya Bulir-bulir air yang jatuh seolah beradu dengan kencangnya detak jantung Naya. "Awas hati-hati."Mereka mengenggam payung yang sama berwarna pelangi, sembari berjalan menuju tempat di mana Naya tinggal. Zain dan Amara melambaikan tangan begitu melihat kedatangan kedua orang tuanya, senyum tersungging dari wajah mereka. Mereka berdua berhamb
Lautan terlihat sangat indah dari kejauhan. Raja yang baru saja pulang meeting dan kini berada di balkon kamar menatap keindahan panorama masih dengan rasa yang sama. Takjub dan merasa luar biasa. Terdengar suara ombak dan juga embusan angin yang segar. Senja sebentar lagi tiba, mengantar mentari ke peraduan. Naya berjalan mendekat dan memeluknya dari belakang. "Jadi, pulang sore ini, Mas.""Besok pagi saja ya.""Tapi, takutnya anak-anak mencari kita, Mas."Raja tersenyum, berbalik dan menikmati setiap senyumannya. "Kangen, mau ditelponin?""Hmm boleh.""Wait."Raja menekan ponselku, tak lama wajah anak-anakku terlihat. Putra-putrinya sedang ditemani sang Mama, terlihat sepertinya mereka sedang berada di sebuah rumah makan. "Assalamu'alaikum, Papa.""Wa'alaikumsalam, lagi apa kalian?""Kami lagi makan mana, Mama?" tanya Zain. Amara sedang makan disuapi oleh Omanya. Amara lebih manja ketimbang kakaknya Zain. "Ini, Mama."Zain terlihat senang. "Mama.""Kalian dimana ini?" tanya Nay
Sentuhan lembut itu membuat tubuh Naya menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan mata saat perlahan tangan Raja mulai menusup masuk. "Mas ini diluar lo." Tolak Naya. Raja tertawa. "Oh iya aku lupa. Kita ke dalam ya."Raja menggendong tubuh Naya menuju kamar Villa lalu membaringkannya. Raja melepas kancing piama Naya, rindu yang selama ini Raja tahan tersalurkan, hingga mereka berdua tenggelam dalam balutan cinta tanpa benang sehelaipun kini mereka bercinta. Raja menari di atas raga Naya dengan lembut. "Terima kasih, Sayang sudah menerimaku lagi." Ucap Raja setelah selesai menyalurkan hasratnya. "Emmm."Raja mendekapnya dengan erat. "Tidurlah aku akan menjagamu." "Ya.""Sini aku peluk."Naya terdiam tak menjawab, Raja tahu pasti ia sudah terlelap karena kelelahan. Raja hanya bisa berharap kali ini mereka benar-benar mereka bisa bersatu selamanya. Sebenarnya, itulah kehidupan yang diinginkan, sederhana saja asal bisa hidup bersama Naya selamanya. ***Hawa dingin menyeruak masuk mel
"Raja. Mama ikut bahagia atas pernikahanmu. Alhamdulillah kamu telah menemukan Naya dan putrimu lagi.""Ya, terima kasih untuk restu dan mengizinkan aku menikahi Naya lagi, Ma."Wanita itu mengangguk seraya menyeka ujung mata. "Mama bangga padamu. Penantian dan pencarianmu selama ini membuahkan hasil. Kamu bisa berkumpul lagi dengan anak juga istrimu." Raja melengkungkan senyum. "Iya. Aku bahagia, Ma." "Samawa ya. Jaga anak-anak juga istrimu.""Pasti, Ma."Mereka berpelukan, haru, bahagia menyelimuti mereka. Acara selesai kini makan bersama Ustadz juga para santri dan tetangga dan keluarga selesai mereka izin meninggalkan masjid. ***Daren datang menemui Raja yang sedang berbincang dengan anak-anaknya di ruang tamu. "Selamat atas pernikahannya. Tolong jaga, Mbak Naya ya, Mas."Raja mengangguk. "Iya. Terima kasih sudah menerimaku. Karena kamu yang mempertemukan aku lagi dengan Naya juga Amara."Daren tersenyum. "Ya semuanya sudah takdir, Mas."Raja menepuk pundaknya. "Hati-hati di
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja. "Ya, ada apa, Ma." "Harusnya pernikahan kalian di percepat?" "Kenapa, Ma?" tanya balik Raja." "Ya lebih cepat lebih baik, kan." Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?" "Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama." Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?" "Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin secara agama lagi. Meskipun kalian masih sah sebagai suami istri tapi menurut agama kan kalian lama sudah lama berpisah." Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Iya, Mama benar. Akan aku urus." "Secepatnya. Biar, Mama yang ajak Naya usrus soal baju. Untuk catering serahkan pada teman Mama." "Iya, Ma." Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikah
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak