Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
"Akan aku beri kau uang, asal kau mau menikah dengan suamiku." Jelasnya membuat kedua netra Naya melotot kaget. "Apa? mana ada seorang istri meminta wanita lain untuk dijadikan istri Hana jangan ngada-ngada deh." Hani terdiam dan Naya tak percaya dengan apa yang di ucapakan sahabatnya itu. "Naya please." "Kamu gila Han. Sudahlah aku kerja lagi saja." Naya menyunggingkan senyum, tangannya menarik tas dari atas meja lalu meninggalkan wanita yang aneh menurut Naya. "Naya Maharani, kumohon. Apa menurutmu, persahabatan kita ini persahabatan biasa? Tidak kan, bahkan aku sangat menyayangimu." Naya tersenyum miring dan berbalik kembali duduk. Mungkin saja langit akan tertawa mendengar ucapan Hani saat itu. "Salah sudah pasti ini salah. Karena tak seharusnya kamu menyimpan nama lain untuk suamimu, dan itu adalah namamu sendiri bukan nama orang lain, Han." "Nay, kumohon. Setidaknya biarkan aku bahagia." Naya mendapati Hani begitu tertekan, Naya melihat dan merasakan kepahitan dala
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B