Aria menatap bayangan dirinya di cermin kecil kamar asrama. Seragamnya—gaun formal hitam dengan kerah putih—terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Meski sederhana, ia memastikan penampilannya tetap rapi. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sempurna. Hanya sapuan tipis bedak dan lipstik merah muda yang menghiasi wajahnya.
Dia menghela napas panjang. Hari ini adalah hari lain dalam perjuangannya, melunasi hutang keluarga yang terus menghantuinya. Ia melirik jam di dinding, memastikan waktu masih berpihak padanya. “Aria, kamu terlambat lagi!” suara Rosa, teman sekamarnya, mengagetkannya. Aria tersentak, segera mengambil tas kecilnya. "Ah, iya! Aku harus segera pergi. Kalau Miss Clara tahu aku terlambat lagi, habislah aku!" Rosa hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Semangat, Aria. Jangan sampai lupa sarapan ya, kamu terlalu sering melupakan dirimu sendiri." Aria mengangguk cepat, lalu berlari keluar dari kamar kecilnya. Asrama karyawan hotel mewah itu memang sederhana, jauh berbeda dengan kemewahan hotel tempat ia bekerja. Sesampainya di lobi hotel, Aria langsung disambut oleh suasana sibuk. Para tamu berlalu lalang dengan pakaian mahal, beberapa membawa koper Louis Vuitton, sementara pegawai lain sibuk mengatur berbagai keperluan. “Aria!” suara dingin Miss Clara, manajer hotel, membuatnya berhenti di tengah langkah. “Maaf, Miss Clara. Saya terlambat—” “Tidak ada alasan,” potong Clara tegas. “Kamu beruntung tamu di lantai VIP belum datang. Tapi aku tidak ingin melihatmu lalai lagi. Mengerti?” Aria menunduk. "Ya, Miss Clara. Saya mengerti." "Bagus. Sekarang siapkan ruangan untuk tamu di Suite 301. Pastikan semuanya sempurna. Mereka adalah pelanggan tetap dan sangat penting bagi hotel ini." Aria segera bergerak, menaiki lift menuju lantai VIP. Di dalam lift, ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas. Lantai VIP adalah area paling mewah di hotel ini, hanya tamu dengan status istimewa yang diperbolehkan berada di sana. Saat memasuki Suite 301, Aria terpesona dengan kemewahan ruangan itu. Lampu kristal besar menggantung di tengah ruangan, karpet Persia menghiasi lantai, dan sofa kulit mahal menambah kesan megah. Namun, ia tak punya waktu untuk mengagumi pemandangan itu. Dengan sigap, ia memeriksa setiap sudut ruangan. Tidak boleh ada debu, tidak boleh ada kesalahan. Saat ia merapikan meja, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aria segera berdiri tegak, terkejut melihat seorang pria tinggi dengan jas hitam memasuki ruangan. “Oh, maaf, Tuan. Saya sedang memastikan semuanya siap,” kata Aria cepat sambil menunduk. Pria itu tersenyum tipis, tetapi matanya yang tajam memperhatikan setiap gerakannya. “Tidak apa-apa. Anda pegawai baru di sini?” “Tidak, Tuan. Saya sudah bekerja di sini selama dua tahun,” jawab Aria pelan, mencoba tetap sopan. Pria itu mendekat, senyumnya berubah menjadi sedikit ramah. “Dua tahun? Tapi saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya. Apa Anda selalu bekerja di lantai VIP?” Aria merasa gugup, tetapi ia mencoba menjawab dengan tenang. “Tidak, Tuan. Saya biasanya bertugas di area lain. Hanya sesekali saya diminta untuk membantu di lantai VIP.” Pria itu mengangguk, matanya masih mengamati ruangan. “Baiklah. Pastikan semuanya rapi, ya. Dan satu lagi, panggil saya Adrian.” Aria terdiam sejenak, sedikit terkejut. “Baik, Tuan Adrian. Jika tidak ada yang lain, saya akan melanjutkan pekerjaan saya.” Adrian tersenyum kecil. “Tentu. Silakan lanjutkan.” Aria melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan aneh. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan tatapan tajamnya. Sore harinya, saat Aria sedang istirahat di kafe kecil dekat hotel, Rosa datang dengan senyum lebar. “Aria, aku dengar kamu bertemu tamu penting hari ini! Gimana? Ganteng, kan?” goda Rosa sambil duduk di depannya. Aria menghela napas sambil menyeruput teh hangatnya. “Entahlah, Rosa. Aku bahkan tidak sempat memperhatikan. Lagipula, dia hanya tamu.” “Hanya tamu?” Rosa tertawa kecil. “Kamu tahu siapa dia, kan? Adrian Wijaya. Pewaris keluarga Wijaya. Salah satu keluarga terkaya di negeri ini!” Aria terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rosa. "Adrian Wijaya? Pewaris keluarga Wijaya?" Rosa mengangguk. "Ya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di hotel kita, tapi aku dengar dia sering bepergian secara diam-diam. Mungkin dia sedang menyelesaikan urusan bisnis." Aria menggeleng pelan. "Ah, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melakukan pekerjaanku dengan baik. Lagipula, aku punya masalah sendiri untuk diselesaikan." Rosa menatapnya dengan penuh simpati. "Kamu benar-benar luar biasa, Aria. Aku tahu betapa kerasnya kamu bekerja untuk keluargamu. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik." Aria tersenyum tipis. "Terima kasih, Rosa. Tapi aku tidak punya pilihan. Hutang keluargaku adalah tanggung jawabku." Rosa menggenggam tangan Aria. "Kamu tidak sendirian, Aria. Aku selalu ada untukmu." Aria merasa sedikit lega mendengar kata-kata Rosa. Namun, pikirannya kembali melayang ke tamu misterius itu. Tatapan Adrian seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi. Malam harinya, saat Aria sedang merapikan seragamnya untuk hari berikutnya, ia menemukan secarik kertas kecil terselip di bawah pintu kamarnya. "Temui saya di lounge pukul 9 malam. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan. - Adrian" Aria menatap kertas itu dengan alis berkerut. Apa yang diinginkan Adrian darinya? Kenapa pria sekaya dan sepenting itu ingin bertemu dengannya? Dengan rasa penasaran yang bercampur cemas, Aria memutuskan untuk menemui Adrian. Aria berdiri di depan cermin kecil di kamar asramanya. Seragam kerjanya sudah dilepas, diganti dengan dress sederhana berwarna biru tua yang selalu ia simpan untuk acara khusus. Dress itu bukan barang mahal, tetapi cukup untuk membuatnya terlihat rapi. Rambutnya yang biasanya diikat kini ia biarkan tergerai, memberikan kesan berbeda dari biasanya. Ia menggenggam kertas kecil dari Adrian dengan tangan gemetar. "Apa yang sebenarnya dia inginkan? Kenapa aku? Aku hanya pegawai biasa," pikirnya sambil menatap bayangannya sendiri. Rosa, yang memperhatikan dari ranjangnya, tersenyum penuh arti. "Aria, kamu terlihat cantik malam ini. Siapa yang akan kamu temui?" Aria tersentak, buru-buru menyembunyikan kertas itu di balik dress-nya. "Ah, tidak ada siapa-siapa. Aku hanya... hanya ingin menghirup udara segar di lounge hotel." Rosa menaikkan alisnya, tetapi tidak berkomentar lebih jauh. "Baiklah, tapi hati-hati ya. Lounge itu bukan tempat yang biasa kamu kunjungi." Aria mengangguk cepat, mengambil tas kecilnya, lalu bergegas keluar. Lounge hotel itu adalah tempat paling mewah yang pernah Aria masuki. Lampu gantung kristal bersinar lembut, meja-meja berlapis kaca berkilauan, dan alunan musik jazz live memenuhi ruangan. Aria merasa canggung, seolah ia berada di dunia yang bukan miliknya. Saat matanya menyapu ruangan, ia melihat Adrian duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja putih sederhana yang justru membuatnya terlihat semakin menonjol. Ia melambaikan tangan ke arah Aria, menyuruhnya mendekat. Dengan langkah ragu, Aria mendekat. "Tuan Adrian," ucapnya pelan. Adrian tersenyum tipis dan menunjuk kursi di depannya. "Panggil saya Adrian saja. Duduklah." Aria menunduk sebelum duduk. "Saya tidak tahu kenapa Anda ingin bertemu saya, tapi saya harap ini bukan tentang kesalahan dalam pekerjaan saya." Adrian tertawa kecil. "Santai saja, Aria. Saya tidak memanggilmu untuk menegur. Saya hanya penasaran." Aria mengernyit. "Penasaran? Tentang apa?" Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tajam mengamati Aria. "Tentang kamu. Pegawai sederhana yang bekerja keras di hotel ini. Saya melihat sesuatu yang berbeda darimu." Aria merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya, seperti yang lain. Tidak ada yang istimewa." Adrian tersenyum kecil. "Kalau begitu, kenapa kamu terlihat gugup?" Aria terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak ingin membahas kehidupannya yang penuh tekanan dan hutang keluarganya. Melihat Aria terdiam, Adrian melanjutkan. "Kamu tahu, kadang orang yang paling sederhana justru memiliki cerita paling menarik. Ceritakan padaku, kenapa kamu bekerja di sini?" Aria menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Namun, sesuatu dalam nada suara Adrian membuatnya merasa aman untuk berbicara. "Saya bekerja di sini untuk membantu keluarga saya. Hutang mereka terlalu besar, dan saya adalah anak sulung. Saya tidak punya pilihan lain." Adrian mengangguk pelan, seolah memahami. "Itu tidak mudah. Tapi kamu melakukannya dengan baik. Tidak banyak orang yang mau berkorban seperti itu." Aria tersenyum samar. "Terkadang saya merasa lelah, tapi saya tidak punya waktu untuk menyerah. Hidup saya sudah dipenuhi dengan tanggung jawab." Adrian memperhatikan senyum tipisnya, lalu mengambil gelas anggur yang ada di depannya. "Kamu tahu, Aria, saya juga hidup dengan beban yang tidak pernah saya pilih. Bedanya, beban saya adalah nama keluarga. Saya tidak pernah benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup saya." Aria mengangkat alis. "Bukankah Anda memiliki segalanya? Kekayaan, kemewahan, dan kekuasaan?" Adrian tertawa kecil. "Ya, dari luar mungkin terlihat begitu. Tapi di dalam, saya hanyalah alat untuk melanjutkan dinasti keluarga. Semua keputusan saya dikendalikan oleh mereka." Untuk sesaat, mereka saling diam, tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Adrian memecah keheningan. "Aria, saya ingin menawarkan sesuatu padamu." Aria menatapnya dengan penuh waspada. "Menawarkan apa?" Adrian menyandarkan tubuhnya ke meja, menatap langsung ke mata Aria. "Kesempatan untuk keluar dari kehidupan yang penuh tekanan ini. Saya tidak akan memaksamu sekarang, tetapi pikirkanlah. Dunia ini lebih luas dari apa yang kamu lihat. Kamu hanya butuh keberanian untuk melangkah." Aria terkejut dengan tawaran itu. "Tapi... kenapa saya? Kita bahkan baru saja bertemu." Adrian tersenyum penuh arti. "Mungkin karena saya melihat cermin diri saya dalam dirimu. Kamu hanya belum menyadari potensi yang kamu miliki." Sebelum Aria sempat menjawab, seorang pelayan datang membawa sebotol anggur baru. Adrian mengambil kesempatan itu untuk berdiri. "Sudah malam. Saya rasa kamu juga harus beristirahat," ucapnya sambil menatap Aria dengan lembut. Aria mengangguk pelan, masih memikirkan kata-kata Adrian. Dalam perjalanan kembali ke asramanya, kata-kata Adrian terus terngiang di kepala Aria. Tawaran itu terdengar menggoda, tetapi juga penuh risiko. "Apakah benar ada jalan keluar untukku?" bisiknya pada diri sendiri sambil menatap langit malam. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu pertemuan ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan mengubah hidupnya.Aria kembali ke ruangannya setelah pertemuan di lounge dengan Adrian. Pikirannya kacau, mencoba memahami arti tawaran Adrian. Namun, pagi datang dengan cepat, membawa rutinitas yang tak terhindarkan. Seperti biasa, Aria sudah berada di pantry dapur hotel saat fajar menyingsing. Ia membantu memastikan segala sesuatu siap untuk tamu VIP yang akan sarapan. Namun, suasana hati Aria terusik saat ia mendengar gumaman rekan-rekan kerjanya. Rina: "Lihat tuh, si Aria. Selalu sibuk seolah-olah dia yang punya hotel ini." Maya: "Dia mungkin berpikir kerja kerasnya akan membuatnya naik jabatan. Padahal, orang seperti dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan kita." Rina: "Benar! Dengan penampilan sederhana seperti itu, siapa yang akan memperhatikannya?" Aria mendengar setiap kata, tetapi ia berpura-pura tidak peduli. Baginya, bekerja dengan sungguh-sungguh adalah prioritas, bukan menanggapi sindiran rekan kerja yang iri.
Pagi itu, hotel mewah yang biasanya sibuk dengan kegiatan para tamu VIP, mendadak menjadi kacau. Aria, yang tengah membersihkan lobi, merasa ada sesuatu yang berbeda. Beberapa staf terlihat berlarian, dan suasana di sekitar meja resepsionis tampak tegang.Rina yang melihat Aria berjalan, menghampirinya dengan wajah cemas.Rina: "Aria, kamu harus ke ruang VIP sekarang. Ada masalah besar."Aria merasa kaget dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia mengikuti instruksi Rina tanpa bertanya lebih lanjut. Setibanya di ruang VIP, Aria melihat sekelompok manajer dan kepala keamanan berkumpul di sekitar meja besar. Seorang wanita cantik, yang sebelumnya ia lihat duduk bersama Adrian, tampak sangat marah. Itu adalah Sofia, yang kali ini tidak mengenakan senyum anggun seperti sebelumnya.Sofia: "Kalung saya hilang! Ini barang berharga yang tidak bisa saya abaikan!"Aria menelan ludah. Di meja VIP, sebuah kotak perhiasan yang kosong t
Malam itu, suasana di hotel tampak lebih tenang dari biasanya. Aria duduk di ruang kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang tergeletak di meja. Pikiran Aria masih tertuju pada peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir. Semua yang telah terjadi—tuduhan mencuri kalung, Sofia, Rina, dan semua kejadian yang melibatkan Adrian—membuatnya merasa ada sesuatu yang sangat besar sedang dimainkan di balik layar. Namun, ada satu hal yang paling membuatnya bingung: siapa sebenarnya dirinya?Ia selalu merasa terasing, seperti seorang gadis biasa yang terjebak dalam dunia yang jauh lebih besar dari dirinya. Aria sering kali merasa bahwa dirinya tidak benar-benar berada di tempat yang tepat, seolah-olah dirinya dilahirkan untuk hidup dalam dunia yang lebih besar dari pekerjaan sehari-harinya di hotel mewah ini. Meskipun ia berusaha keras untuk menjaga pekerjaan dan keluarganya, hatinya selalu merasa ada sesuatu yang kurang.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka, dan Adrian masuk de
Setelah pertemuan dengan ayahnya, Aria merasa seperti dirinya sedang berada di persimpangan jalan yang penuh tanda tanya. Keputusan-keputusan besar kini harus diambil—ke mana ia akan melangkah, dan apakah ia siap menghadapi kenyataan tentang keluarga yang selama ini ia kira tidak ada? Apa yang sebenarnya terjadi di balik dunia glamor dan kekuasaan yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya?Hari itu, ia kembali menemui Adrian. Aria membutuhkan seseorang untuk berbicara, dan Adrian selalu ada, menawarkan ketenangan yang sangat ia butuhkan. Mereka duduk di taman kota, jauh dari keramaian hotel dan kehidupan sehari-hari yang biasa ia jalani. Namun, kali ini, dunia yang ia kenal mulai berputar dalam arah yang sangat berbeda.Adrian: "Aria, aku bisa lihat itu memberatkanmu. Jadi, apa yang kamu putuskan? Apakah kamu akan mengikuti jejak keluargamu, atau tetap bertahan dengan hidup yang sudah kamu jalani?"Aria menghela napas panjang, memandangi langit biru yang terliha
Aria merasa seolah-olah dia berjalan di atas tali yang sangat tipis. Setiap langkahnya membawa ketegangan, tidak hanya di dalam dirinya tetapi juga di sekitarnya. Setelah mendengar kenyataan pahit tentang dirinya, dia memutuskan untuk kembali ke rumah keluarganya, meskipun dia tahu bahwa kehadirannya di sana akan menimbulkan reaksi yang keras dari beberapa anggota keluarga. Namun, ia tidak bisa mundur. Dia harus mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa keluarganya begitu takut akan kebenaran.Sesampainya di kediaman keluarga besar itu, Aria disambut dengan pandangan mata yang penuh keraguan dan kebencian dari sebagian besar anggota keluarga. Mereka merasa terancam oleh kehadirannya. Aria bisa merasakan ketegangan yang membara di udara.Aria: (berbisik pada dirinya sendiri) Ini lebih sulit daripada yang kubayangkan. Mereka melihatku sebagai ancaman. Aku harus bertahan, apa pun yang terjadi.Di ruang tamu yang megah, keluarga besar itu
Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Adrian, Aria merasa langkahnya semakin berat. Ia kini berada di tengah-tengah keluarga besar yang penuh dengan intrik dan rahasia, sebuah dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya sebelumnya. Keluarga ini, dengan segala kemewahan dan status sosialnya, adalah sebuah dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Semua ini terasa begitu asing bagi Aria—dunia yang dipenuhi dengan kebohongan, kepalsuan, dan permainan kekuasaan yang rumit.Namun, kenyataan hidup yang harus ia hadapi tak bisa ditolak begitu saja. Aria tidak punya pilihan lain selain beradaptasi, meskipun setiap hari ia merasa semakin tertekan. Keputusan yang diambil oleh keluarganya untuk membawa Aria kembali ke dalam hidup mereka seakan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan besar.Kehidupan sehari-hari di rumah keluarga besar itu sangat berbeda. Segala sesuatunya dilakukan dengan sangat teratur, dengan standar tinggi yang tidak pernah ia ba
Aria tidak pernah menyangka hidupnya akan berputar begitu cepat. Dari seorang gadis sederhana yang hanya menginginkan hidup tenang, kini ia terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Setiap langkahnya di rumah megah keluarga ini penuh dengan tekanan, seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Ketegangan yang semakin hari semakin meningkat, membuatnya merasa seperti boneka dalam permainan besar yang tidak ia mengerti.Namun, Aria juga tahu satu hal—dia tidak bisa menyerah. Meski ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, meski banyak orang yang mencoba menahannya, ia bertekad untuk menemukan kebenaran. Di balik semua kebohongan ini, ada satu rahasia besar yang tersembunyi, dan Aria merasa ia harus menggali lebih dalam, meski itu berarti harus mengungkapkan kebenaran yang bisa menghancurkan semuanya.Malam itu, setelah makan malam yang penuh dengan obrolan yang terlihat biasa, Aria kembali ke kamarnya. Langkahnya berat, dan kepalanya dipenuhi oleh ba
Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya.Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai.Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian
Matahari merangkak naik di cakrawala, menyinari medan perang yang kini dipenuhi dengan sisa-sisa pertempuran yang sengit. Asap masih mengepul dari reruntuhan, dan aroma besi bercampur darah memenuhi udara. Aria berdiri di atas bukit, mengawasi pasukannya yang tersisa. Kemenangan telah mereka raih, tetapi tidak tanpa pengorbanan. Ia melangkah perlahan melewati medan pertempuran yang penuh dengan para prajurit yang terluka dan gugur. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban di hatinya. Ia telah memimpin pasukannya menuju kemenangan, namun harga yang harus dibayar sangat tinggi. Jenderal Adira mendekat, wajahnya penuh debu dan luka, tetapi matanya masih menyala dengan semangat. "Kita menang, Aria. Musuh telah mundur sepenuhnya. Kerajaan kita selamat." Aria mengangguk, tetapi hatinya tidak sepenuhnya lega. Ia tahu bahwa perang ini bukanlah akhir, melainkan awal dari per
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di tengah ruangan yang remang-remang, menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Setiap garis dan tanda merah menandakan pertempuran yang telah ia lewati dan strategi yang harus ia jalankan selanjutnya. Kemenangan atas Ezekiel adalah langkah besar, tapi ia tahu perang belum berakhir.Di luar, hujan turun deras, seolah mencerminkan gejolak dalam hatinya. Telepon di mejanya bergetar, menampilkan nama yang tak asing Lina."Aria, kita punya masalah baru. Ada seseorang yang menggerakkan sisa pasukan Ezekiel di balik layar. Aku baru saja mendapat laporan bahwa kelompok bayangan ini lebih berbahaya dari yang kita duga."Aria mengepalkan tangan. "Siapa mereka?""Kami belum tahu. Tapi mereka disebut 'Ordo Kegelapan'. Mereka bukan hanya sekadar organisasi kriminal biasa. Mereka punya akses ke sistem pemerintahan, hukum, dan bahkan dunia bisnis. Jika kita tidak hati-hati, kemenangan kita bisa berubah menjadi awal dari perang yang lebih besar
💥 DUNIA PASCA-PERANG 💥Setelah kehancuran Aquila, dunia perlahan kembali stabil. Tapi harga yang harus dibayar sangat besar. Kota-kota hancur, pemerintahan kacau, dan banyak orang kehilangan harapan.Aria, Cassian, Nathan, dan Liora kini menjadi simbol kebangkitan, tetapi mereka tahu… musuh baru bisa muncul kapan saja.Suatu malam, Aria duduk di balkon markas mereka yang baru. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa. Cassian berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi.☕ “Sulit tidur?” tanyanya, menyerahkan secangkir pada Aria.Aria tersenyum tipis. “Kau juga.”Cassian duduk di sampingnya, menatap langit berbintang. “Kita berhasil… tapi rasanya masih belum selesai.”Aria mengangguk. “Aku juga merasa begitu. Seperti… ada sesuatu yang belum beres.”💡 ROMANTIS, TAPI PENUH TEKANAN 💡Cassian menoleh, mata birunya tajam namun lembut.“Kalau semuanya sudah benar-benar se
Meskipun Stasiun Omega telah hancur dan Ezekiel dikira tewas dalam ledakan itu, dunia masih jauh dari damai. Aria tahu, perang tidak pernah benar-benar berakhir selalu ada seseorang di balik layar, menunggu saat yang tepat untuk mengambil kendali.Suatu malam, saat Aria sedang berada di tempat persembunyian rahasia mereka, sebuah pesan misterius muncul di perangkat komunikasinya."Kau pikir ini sudah selesai? Aku selalu selangkah di depanmu, Aria. Kita akan bertemu lagi. E."Napas Aria tercekat. Tangannya mengepal.Ezekiel masih hidup.Ancaman BaruCassian segera menghubungkan semua sistem keamanan mereka untuk melacak sumber pesan itu. “Ini dikirim dari lokasi terenkripsi. Dia sengaja meninggalkan jejak.”Nathan bersandar di dinding, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalau dia masih hidup, berarti dia punya rencana cadangan.”Aria menatap layar dengan rahang mengeras. “Dia ingin kita tahu. Ini bukan hanya tentang balas
Malam menyelimuti kota tua Venosa saat Aria, Liora, dan Nathan menyusuri jalanan sempit yang diterangi lampu jalan yang temaram. Koordinat yang mereka terima membawa mereka ke sebuah gedung tua di pinggiran kota, tampak usang namun masih berdiri kokoh di antara bangunan yang runtuh dimakan waktu.Liora menatap layar peta digitalnya. "Ini tempatnya," gumamnya.Nathan mengawasi sekitar dengan gelisah. “Aku tidak suka ini. Terlalu sepi.”Aria mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka tetap waspada. Perlahan, mereka memasuki bangunan itu, menelusuri lorong panjang yang berdebu. Udara di dalam terasa lembap, bercampur dengan aroma logam tua dan kertas yang membusuk.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Mereka segera berlindung di balik pilar beton, senjata mereka siap di tangan. Bayangan seseorang muncul dari kegelapan, siluetnya ramping namun bergerak dengan percaya diri.“Tenang. Aku bukan musuh.”Suara it
Misi LautanPagi berikutnya, tim berkumpul di sebuah dermaga kecil. Sebuah kapal selam kecil yang telah mereka modifikasi menunggu mereka di sana. Liora, dengan keahlian navigasinya, sedang memeriksa peralatan terakhir sebelum mereka berangkat.“Kapal ini tidak dirancang untuk misi tempur,” kata Liora sambil mengerutkan alis. “Jika kita ketahuan, kita akan menjadi ikan kecil di tengah hiu.”Aria meletakkan tangannya di bahu Liora. “Kita sudah menghadapi hal-hal yang lebih buruk, Liora. Kita akan melewati ini bersama.”Tim menaiki kapal, dan mereka mulai perjalanan ke lokasi yang tertera di koordinat. Suasana di dalam kapal terasa tegang, tetapi mereka tahu bahwa waktu tidak berpihak kepada mereka.Rahasia di Tengah SamudraSetelah berjam-jam menyelam, mereka akhirnya menemukan lokasi yang dimaksud. Sebuah stasiun bawah laut besar berdiri megah di dasar samudra, dikelilingi oleh penjaga otomatis dan drone bawah air.“Ini
Pesan dari Masa LaluMalam itu, Aria menerima pesan terenkripsi yang hanya bisa dibuka dengan perangkat miliknya. Saat dia membukanya, layar menunjukkan wajah seseorang yang pernah dia kenal. Ezekiel, mantan mentornya.“Aria,” katanya dengan nada dingin. “Kamu pasti sudah mendengar tentang Aquila Umbra. Kamu tahu apa yang mereka inginkan. Keadilanmu hanya ilusi. Dunia tidak butuh keadilan, tapi kekuatan untuk bertahan hidup.”Aria mengepalkan tangan. “Jadi, ini semua ulahmu?”“Bukan sepenuhnya. Aku hanya menunjukkan bahwa sistem yang kamu percayai itu rapuh. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, temui aku di Venosa. Tempat di mana semuanya dimulai.”Pesan itu berakhir. Aria terdiam, pikirannya berputar. Venosa adalah tempat dia memulai pelatihannya bersama Ezekiel, tempat dia pertama kali belajar apa arti keadilan. Tapi sekarang, tempat itu mungkin menjadi medan perang baru.Keputusan BeratKeesokan paginya, Aria berdiri di ruang rap