Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.
Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya. Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai. Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian, ada sesuatu yang tidak beres. Kamu... Kamu mulai menjauh dariku. Aku merasa seperti aku sedang berada di ujung jurang, dan kamu hanya menonton tanpa melakukan apa-apa. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Adrian yang semula tampak tenang, kini sedikit terkejut mendengar pertanyaan Aria. Ia tahu ini saat yang tidak bisa lagi dihindari. Pandangannya berubah, tidak lagi sehangat dan tulus seperti biasanya. Ada sesuatu yang tersembunyi di matanya—sesuatu yang Aria belum mampu ungkapkan. Adrian: (dengan nada rendah) "Aria, aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Tapi ada banyak hal yang lebih rumit daripada yang kamu bayangkan. Kamu harus memahami bahwa ini bukan hanya soal kita. Ada banyak orang yang terlibat, banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan." Aria mendekatkan dirinya, tatapannya penuh dengan kecurigaan. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi percaya pada perkataan manis Adrian. Aria: (dengan nada sedikit menekan) "Apa maksudmu? Apa yang kamu sembunyikan, Adrian? Aku sudah cukup sabar. Aku sudah cukup mempercayaimu, tetapi sekarang aku merasa seperti aku sedang terjebak dalam permainan yang tidak aku mengerti." Adrian terdiam. Ia mengalihkan pandangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat. Namun, Aria sudah tahu. Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Sesuatu yang melibatkan dirinya, dan bukan hanya sekadar pertarungan warisan. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Adrian menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada lagi jalan untuk mundur. Adrian: (dengan suara pelan) "Aku... aku terlibat dalam rencana ini, Aria. Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan." Aria terkejut. Semua yang ada dalam pikirannya seolah runtuh dalam sekejap. Aria: (dengan nada tertahan) "Rencana? Apa maksudmu, Adrian? Kamu bekerja sama dengan mereka?" Adrian mengangguk perlahan, matanya tidak berani menatap langsung pada Aria. Adrian: "Aku bukan hanya seorang pembantu. Aku juga bagian dari keluarga ini, Aria. Aku bekerja untuk mereka, dan aku punya misi yang harus aku selesaikan. Aku... aku harus melindungi warisan ini. Itu sudah tugas aku." Aria merasa seolah dunia berputar begitu cepat. Hatinya hancur, terbelah oleh kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan. Adrian, yang selama ini ia anggap teman dan pelindung, ternyata adalah bagian dari permainan yang sama sekali berbeda. Selama ini, ia hanya terjebak dalam ilusi bahwa Adrian benar-benar ada untuk membantunya. Aria: (suara bergetar) "Kamu... kamu tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya. Kamu tahu apa yang mereka lakukan padaku, dan kamu tetap diam. Kamu tahu semua ini, Adrian, dan tetap berpura-pura? Sejak kapan kamu mulai bekerja dengan mereka?" Adrian: (dengan suara rendah dan penuh penyesalan) "Aku tidak ingin ini terjadi, Aria. Aku tidak ingin melukai kamu. Tetapi, saat itu aku tidak punya pilihan. Mereka memaksa aku untuk memilih. Aku harus menjaga posisiku dalam keluarga ini. Keluarga ini... Mereka akan menghancurkan semuanya jika aku tidak mengikuti aturan mereka." Aria terdiam, berusaha mencerna semuanya. Ada banyak emosi yang bercampur—kecewa, marah, dan rasa pengkhianatan yang mendalam. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: kenyataan bahwa Adrian adalah bagian dari keluarga itu, atau kenyataan bahwa ia telah digunakan sebagai alat dalam permainan mereka. Aria: (dengan air mata yang mulai menetes) "Jadi, selama ini aku hanya dimanfaatkan? Semua bantuan yang kamu berikan... Semua kata-kata manis yang kamu ucapkan... Itu hanya bagian dari rencana?" Adrian menundukkan kepala, tidak mampu menjawab. Aria merasa hatinya semakin hancur. Semua yang ia percayai selama ini ternyata adalah kebohongan besar. Dalam dunia ini, tidak ada yang bisa ia percayai. Bahkan orang yang paling ia cintai dan percayai pun bisa berkhianat. Adrian: (dengan suara berat) "Aria, aku tahu aku telah mengecewakanmu. Aku akan membantumu keluar dari semua ini, jika itu yang kamu inginkan. Aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan ini. Tapi kamu harus tahu satu hal—aku tidak bisa melawan keluargaku. Tidak dalam hal ini. Aku hanya bisa membantu dari dalam." Aria berdiri dengan cepat, mengambil langkah mundur. Ia merasa sesak di dadanya. "Keluargamu..." gumamnya, hampir tak terdengar. Aria: (dengan suara tegas) "Aku tidak membutuhkan bantuan dari orang seperti kamu. Aku akan menyelesaikan ini sendiri." Dengan satu langkah terakhir, Aria pergi meninggalkan Adrian, yang berdiri di sana dengan rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Ia tahu, kini Aria sudah mengetahui semuanya. Tidak ada lagi yang bisa ditutupi. Aria tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dunia yang ia kenal sekarang begitu berbeda—penuh dengan rahasia, kebohongan, dan intrik yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah. Kini, lebih dari sebelumnya, Aria harus mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik keluarga ini, dan ia akan melakukannya tanpa bantuan siapa pun—termasuk Adrian. Setelah semua pengkhianatan dan kebohongan yang terungkap, Aria mencoba menjauhkan dirinya dari Adrian. Namun, sesuatu di dalam dirinya terus memanggil, membuatnya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan pria itu. Ada momen-momen kecil, tatapan tajam Adrian yang tampak tulus, atau caranya berbicara dengan nada yang mengandung penyesalan mendalam. Aria membenci dirinya sendiri karena merasa sedikit simpati—atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Suatu malam, ketika bulan menggantung penuh di langit, Aria duduk di taman kecil di halaman belakang mansion keluarga itu. Ia mencoba menenangkan pikirannya yang kalut dengan membaca ulang jurnal ibunya. Setiap kata dalam jurnal itu seperti memanggilnya untuk menemukan kebenaran lebih jauh, tetapi pikirannya terus kembali ke satu orang: Adrian. Langkah kaki yang perlahan terdengar dari arah belakang membuat Aria mendongak. Adrian berdiri di sana, membawa secangkir teh hangat. Adrian: (dengan suara lembut) "Kamu belum tidur. Aku pikir mungkin kamu butuh ini." Aria menatapnya dengan tatapan curiga, tetapi tidak bisa mengabaikan secangkir teh yang tampak menenangkan di tangannya. Ia mengulurkan tangan dan menerimanya tanpa berkata apa-apa. Adrian duduk di bangku sebelahnya, menjaga jarak tetapi cukup dekat untuk merasakan kehadirannya. Adrian: (pelan) "Aku tahu sulit bagimu untuk percaya padaku sekarang. Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar ingin membantu." Aria mendesah, menatap cairan dalam cangkir itu seolah mencari jawaban di sana. Aria: (sinis) "Membantu? Sejauh ini, setiap bantuan yang kamu tawarkan hanya membawaku pada lebih banyak masalah. Kenapa aku harus percaya kali ini?" Adrian terdiam sejenak. Tatapannya tertuju pada bulan, seolah-olah sedang mencari keberanian untuk berbicara. Adrian: "Karena aku tidak ingin kehilanganmu, Aria. Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar, tapi aku... aku peduli padamu. Lebih dari yang bisa aku akui." Aria merasakan dadanya berdesir. Kata-kata itu, meskipun terdengar tulus, sulit untuk ia percayai. Tapi matanya menangkap ekspresi Adrian yang penuh dengan rasa sakit dan kejujuran. Aria: (tersenyum kecil, tapi getir) "Peduli padaku? Itu terdengar seperti kebohongan lain, Adrian. Kamu bagian dari keluarga ini. Bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak hanya memainkan peran untuk menjatuhkanku?" Adrian menggeleng, memutar tubuhnya untuk menatap langsung ke mata Aria. Ada intensitas di sana yang membuatnya sulit berpaling. Adrian: "Aku mungkin bagian dari keluarga ini, tapi aku tidak seperti mereka. Aku tidak peduli dengan warisan atau kekuasaan. Aku peduli dengan kamu, Aria. Sejak pertama kali aku melihatmu di hotel, aku tahu kamu berbeda. Kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di keluarga ini—integritas, keberanian, hati yang tulus. Itu sesuatu yang aku... kagumi." Aria merasa panas di wajahnya. Ia ingin menolak ucapan Adrian, tetapi suara di dalam hatinya mengatakan bahwa mungkin, hanya mungkin, Adrian berkata jujur. Aria: (berbisik) "Aku ingin percaya padamu, Adrian. Tapi semuanya begitu rumit. Setiap kali aku berpikir semuanya mulai jelas, ada saja rahasia baru yang muncul." Adrian menundukkan kepalanya, terlihat menyesal. Adrian: "Aku tahu aku tidak pantas untuk dimaafkan. Tapi aku akan membuktikan pada kamu bahwa aku ada di pihakmu. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi kamu, Aria." Kata-kata itu membuat Aria terdiam. Ia tidak tahu harus merasa apa. Sebagian dari dirinya ingin mempercayai Adrian, tapi bagian lain berteriak untuk tetap waspada. Hubungan mereka terlalu penuh dengan luka dan kebohongan untuk dianggap sederhana. Malam itu, percakapan mereka berakhir dengan keheningan. Adrian meninggalkan Aria dengan pikirannya yang semakin rumit. Namun, untuk pertama kalinya, Aria mulai membuka sedikit celah di hatinya—celah yang memungkinkan rasa percaya, atau mungkin cinta, untuk masuk. Keesokan harinya, situasi kembali menjadi tegang. Salah satu anggota keluarga, Tante Nadya, dengan sengaja mengabaikan Aria di meja makan. Suasananya penuh dengan ketegangan, tetapi Adrian, yang biasanya tenang, justru mulai berbicara dengan nada lebih tegas. Tante Nadya: (sinis) "Saya rasa anak seperti kamu tidak pantas duduk di meja ini. Kita semua tahu kenapa kamu di sini. Jangan terlalu berharap bisa menjadi bagian dari keluarga ini sepenuhnya." Aria menundukkan pandangan, mencoba menahan emosinya. Tapi sebelum ia sempat membalas, Adrian angkat bicara. Adrian: (tegas) "Cukup, Tante. Kita semua tahu bahwa Aria adalah bagian dari keluarga ini, apakah kita suka atau tidak. Jika ada yang tidak bisa menerima itu, mungkin mereka yang harus pergi dari meja ini." Semua orang terdiam, termasuk Tante Nadya. Aria menatap Adrian dengan campuran rasa terkejut dan bingung. Ia tidak menyangka Adrian akan membelanya dengan begitu terang-terangan. Setelah makan malam, Aria mendekati Adrian di lorong. Aria: (berbisik) "Kenapa kamu membelaku tadi? Itu hanya akan membuat semuanya lebih sulit untukmu." Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Aria dengan lembut. Adrian: "Karena aku tahu apa yang benar, Aria. Dan aku tahu kamu pantas mendapatkan lebih dari perlakuan mereka." Kali ini, Aria tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun masih banyak hal yang tidak ia percayai, untuk sesaat, ia merasa bahwa Adrian mungkin adalah satu-satunya orang di keluarga ini yang benar-benar ada untuknya.Malam itu, ruang rapat keluarga yang megah diubah menjadi medan perang kata-kata. Semua anggota keluarga Ardian berkumpul, masing-masing dengan agenda tersembunyi di balik senyum palsu dan penampilan sopan mereka. Pembicaraan yang awalnya tampak formal tentang masa depan perusahaan dengan cepat berubah menjadi argumen penuh intrik dan saling tuduh.Aria duduk di ujung meja, matanya menyapu wajah-wajah yang tampak berapi-api. Ia tahu bahwa kehadirannya sebagai pewaris sah yang baru ditemukan menjadi ancaman besar bagi banyak orang di ruangan itu.Paman Edwin: (berdiri dengan nada keras) "Kita harus realistis! Perusahaan ini butuh pemimpin yang berpengalaman, bukan seorang gadis muda yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis!"Tante Nadya: (mengangguk setuju) "Aku setuju! Bagaimana mungkin kita menyerahkan warisan keluarga pada seseorang yang bahkan baru saja masuk ke dalam keluarga ini? Dia tidak tahu apa yang dia lakukan!"Aria menggenggam lengan kur
Beberapa hari kemudian, sebuah pertemuan besar keluarga diadakan untuk membahas masa depan perusahaan. Aria tahu, ini adalah saat di mana setiap pihak akan menunjukkan taring mereka. Ia juga tahu bahwa Paman Edwin tidak akan berhenti mencoba menjatuhkannya. Di ruang rapat, suasana tegang terasa seperti udara panas yang sulit dihirup. Aria duduk di tengah, dikelilingi oleh anggota keluarga yang memandangnya seperti musuh. Tante Nadya: "Aku dengar ada kabar bahwa salah satu proyek perusahaan mengalami kerugian besar. Apakah itu karena kurangnya pengalamanmu, Aria?" Aria mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha keras untuk tetap tenang. Aria: "Kerugian itu disebabkan oleh kontrak lama yang ditandatangani sebelum aku masuk ke perusahaan. Aku sedang berusaha menanganinya." Paman Edwin: (menyela) "Ah, alasan klasik. Selalu menyalahkan keputusan masa lalu. Mungkin kamu tidak cocok untuk posisi ini."
Malam telah larut ketika Aria duduk di balkon kamarnya, memandangi langit penuh bintang. Angin malam yang sejuk tidak mampu menghalau perasaan berat yang menyesakkan dadanya. Konflik di keluarganya semakin memanas, dan kini setiap langkahnya dipenuhi bahaya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bertahan—keinginan untuk membela nama ibunya dan menemukan keadilan di tengah intrik ini. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Adrian datang menghampiri. Wajahnya tegang, matanya penuh kekhawatiran. Adrian: "Aria, aku baru saja mendapat kabar bahwa Edwin akan mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota dewan besok malam. Mereka mungkin akan mengambil langkah untuk menyingkirkanmu secara permanen." Aria menatap Adrian dengan penuh pertanyaan. Aria: "Permanen? Apa maksudmu?" Adrian: (menghela napas) "Bukan hanya posisimu di keluarga ini yang mereka incar, tapi juga keselamatanmu. Aku mendengar bahwa Edwin tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar hilang dari kehidupannya." Wajah A
Malam semakin larut, tetapi Aria tidak bisa memejamkan mata. Ruang kerjanya yang kecil di mansion keluarga itu dipenuhi dengan dokumen dan catatan. Setelah serangan yang hampir merenggut nyawanya, ia menyadari bahwa pertarungan ini tidak hanya tentang perebutan warisan ini adalah perang untuk membuktikan dirinya. Dengan jurnal ibunya yang terbuka di meja, ia mulai menyusun rencana untuk melawan musuh-musuhnya. Adrian duduk di sofa di sudut ruangan, mengamati Aria yang sibuk. Setelah sekian lama, ia akhirnya berbicara. Adrian: "Kamu tidak bisa melawan Edwin sendirian, Aria. Dia licik, dan dia punya koneksi yang jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan." Aria mengangkat pandangan dari dokumen-dokumennya dan menatap Adrian dengan tajam. Aria: "Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mundur. Jika aku menyerah sekarang, maka aku membiarkan ibuku mati sia-sia. Semua perjuangan ini akan percuma." Adrian: (menghela napas) "Aku tidak mengatakan kamu harus mundur. Tapi
Aria menatap bayangan dirinya di cermin kecil kamar asrama. Seragamnya—gaun formal hitam dengan kerah putih—terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Meski sederhana, ia memastikan penampilannya tetap rapi. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sempurna. Hanya sapuan tipis bedak dan lipstik merah muda yang menghiasi wajahnya.Dia menghela napas panjang. Hari ini adalah hari lain dalam perjuangannya, melunasi hutang keluarga yang terus menghantuinya. Ia melirik jam di dinding, memastikan waktu masih berpihak padanya.“Aria, kamu terlambat lagi!” suara Rosa, teman sekamarnya, mengagetkannya.Aria tersentak, segera mengambil tas kecilnya. "Ah, iya! Aku harus segera pergi. Kalau Miss Clara tahu aku terlambat lagi, habislah aku!"Rosa hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Semangat, Aria. Jangan sampai lupa sarapan ya, kamu terlalu sering melupakan dirimu sendiri."Aria mengangguk cepat, lalu berlari keluar dari kamar kecilnya. Asrama kar
Aria kembali ke ruangannya setelah pertemuan di lounge dengan Adrian. Pikirannya kacau, mencoba memahami arti tawaran Adrian. Namun, pagi datang dengan cepat, membawa rutinitas yang tak terhindarkan. Seperti biasa, Aria sudah berada di pantry dapur hotel saat fajar menyingsing. Ia membantu memastikan segala sesuatu siap untuk tamu VIP yang akan sarapan. Namun, suasana hati Aria terusik saat ia mendengar gumaman rekan-rekan kerjanya. Rina: "Lihat tuh, si Aria. Selalu sibuk seolah-olah dia yang punya hotel ini." Maya: "Dia mungkin berpikir kerja kerasnya akan membuatnya naik jabatan. Padahal, orang seperti dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan kita." Rina: "Benar! Dengan penampilan sederhana seperti itu, siapa yang akan memperhatikannya?" Aria mendengar setiap kata, tetapi ia berpura-pura tidak peduli. Baginya, bekerja dengan sungguh-sungguh adalah prioritas, bukan menanggapi sindiran rekan kerja yang iri.
Pagi itu, hotel mewah yang biasanya sibuk dengan kegiatan para tamu VIP, mendadak menjadi kacau. Aria, yang tengah membersihkan lobi, merasa ada sesuatu yang berbeda. Beberapa staf terlihat berlarian, dan suasana di sekitar meja resepsionis tampak tegang.Rina yang melihat Aria berjalan, menghampirinya dengan wajah cemas.Rina: "Aria, kamu harus ke ruang VIP sekarang. Ada masalah besar."Aria merasa kaget dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia mengikuti instruksi Rina tanpa bertanya lebih lanjut. Setibanya di ruang VIP, Aria melihat sekelompok manajer dan kepala keamanan berkumpul di sekitar meja besar. Seorang wanita cantik, yang sebelumnya ia lihat duduk bersama Adrian, tampak sangat marah. Itu adalah Sofia, yang kali ini tidak mengenakan senyum anggun seperti sebelumnya.Sofia: "Kalung saya hilang! Ini barang berharga yang tidak bisa saya abaikan!"Aria menelan ludah. Di meja VIP, sebuah kotak perhiasan yang kosong t
Malam itu, suasana di hotel tampak lebih tenang dari biasanya. Aria duduk di ruang kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang tergeletak di meja. Pikiran Aria masih tertuju pada peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir. Semua yang telah terjadi—tuduhan mencuri kalung, Sofia, Rina, dan semua kejadian yang melibatkan Adrian—membuatnya merasa ada sesuatu yang sangat besar sedang dimainkan di balik layar. Namun, ada satu hal yang paling membuatnya bingung: siapa sebenarnya dirinya?Ia selalu merasa terasing, seperti seorang gadis biasa yang terjebak dalam dunia yang jauh lebih besar dari dirinya. Aria sering kali merasa bahwa dirinya tidak benar-benar berada di tempat yang tepat, seolah-olah dirinya dilahirkan untuk hidup dalam dunia yang lebih besar dari pekerjaan sehari-harinya di hotel mewah ini. Meskipun ia berusaha keras untuk menjaga pekerjaan dan keluarganya, hatinya selalu merasa ada sesuatu yang kurang.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka, dan Adrian masuk de
Malam semakin larut, tetapi Aria tidak bisa memejamkan mata. Ruang kerjanya yang kecil di mansion keluarga itu dipenuhi dengan dokumen dan catatan. Setelah serangan yang hampir merenggut nyawanya, ia menyadari bahwa pertarungan ini tidak hanya tentang perebutan warisan ini adalah perang untuk membuktikan dirinya. Dengan jurnal ibunya yang terbuka di meja, ia mulai menyusun rencana untuk melawan musuh-musuhnya. Adrian duduk di sofa di sudut ruangan, mengamati Aria yang sibuk. Setelah sekian lama, ia akhirnya berbicara. Adrian: "Kamu tidak bisa melawan Edwin sendirian, Aria. Dia licik, dan dia punya koneksi yang jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan." Aria mengangkat pandangan dari dokumen-dokumennya dan menatap Adrian dengan tajam. Aria: "Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mundur. Jika aku menyerah sekarang, maka aku membiarkan ibuku mati sia-sia. Semua perjuangan ini akan percuma." Adrian: (menghela napas) "Aku tidak mengatakan kamu harus mundur. Tapi
Malam telah larut ketika Aria duduk di balkon kamarnya, memandangi langit penuh bintang. Angin malam yang sejuk tidak mampu menghalau perasaan berat yang menyesakkan dadanya. Konflik di keluarganya semakin memanas, dan kini setiap langkahnya dipenuhi bahaya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bertahan—keinginan untuk membela nama ibunya dan menemukan keadilan di tengah intrik ini. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Adrian datang menghampiri. Wajahnya tegang, matanya penuh kekhawatiran. Adrian: "Aria, aku baru saja mendapat kabar bahwa Edwin akan mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota dewan besok malam. Mereka mungkin akan mengambil langkah untuk menyingkirkanmu secara permanen." Aria menatap Adrian dengan penuh pertanyaan. Aria: "Permanen? Apa maksudmu?" Adrian: (menghela napas) "Bukan hanya posisimu di keluarga ini yang mereka incar, tapi juga keselamatanmu. Aku mendengar bahwa Edwin tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar hilang dari kehidupannya." Wajah A
Beberapa hari kemudian, sebuah pertemuan besar keluarga diadakan untuk membahas masa depan perusahaan. Aria tahu, ini adalah saat di mana setiap pihak akan menunjukkan taring mereka. Ia juga tahu bahwa Paman Edwin tidak akan berhenti mencoba menjatuhkannya. Di ruang rapat, suasana tegang terasa seperti udara panas yang sulit dihirup. Aria duduk di tengah, dikelilingi oleh anggota keluarga yang memandangnya seperti musuh. Tante Nadya: "Aku dengar ada kabar bahwa salah satu proyek perusahaan mengalami kerugian besar. Apakah itu karena kurangnya pengalamanmu, Aria?" Aria mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha keras untuk tetap tenang. Aria: "Kerugian itu disebabkan oleh kontrak lama yang ditandatangani sebelum aku masuk ke perusahaan. Aku sedang berusaha menanganinya." Paman Edwin: (menyela) "Ah, alasan klasik. Selalu menyalahkan keputusan masa lalu. Mungkin kamu tidak cocok untuk posisi ini."
Malam itu, ruang rapat keluarga yang megah diubah menjadi medan perang kata-kata. Semua anggota keluarga Ardian berkumpul, masing-masing dengan agenda tersembunyi di balik senyum palsu dan penampilan sopan mereka. Pembicaraan yang awalnya tampak formal tentang masa depan perusahaan dengan cepat berubah menjadi argumen penuh intrik dan saling tuduh.Aria duduk di ujung meja, matanya menyapu wajah-wajah yang tampak berapi-api. Ia tahu bahwa kehadirannya sebagai pewaris sah yang baru ditemukan menjadi ancaman besar bagi banyak orang di ruangan itu.Paman Edwin: (berdiri dengan nada keras) "Kita harus realistis! Perusahaan ini butuh pemimpin yang berpengalaman, bukan seorang gadis muda yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis!"Tante Nadya: (mengangguk setuju) "Aku setuju! Bagaimana mungkin kita menyerahkan warisan keluarga pada seseorang yang bahkan baru saja masuk ke dalam keluarga ini? Dia tidak tahu apa yang dia lakukan!"Aria menggenggam lengan kur
Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya.Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai.Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian
Aria tidak pernah menyangka hidupnya akan berputar begitu cepat. Dari seorang gadis sederhana yang hanya menginginkan hidup tenang, kini ia terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Setiap langkahnya di rumah megah keluarga ini penuh dengan tekanan, seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Ketegangan yang semakin hari semakin meningkat, membuatnya merasa seperti boneka dalam permainan besar yang tidak ia mengerti.Namun, Aria juga tahu satu hal—dia tidak bisa menyerah. Meski ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, meski banyak orang yang mencoba menahannya, ia bertekad untuk menemukan kebenaran. Di balik semua kebohongan ini, ada satu rahasia besar yang tersembunyi, dan Aria merasa ia harus menggali lebih dalam, meski itu berarti harus mengungkapkan kebenaran yang bisa menghancurkan semuanya.Malam itu, setelah makan malam yang penuh dengan obrolan yang terlihat biasa, Aria kembali ke kamarnya. Langkahnya berat, dan kepalanya dipenuhi oleh ba
Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Adrian, Aria merasa langkahnya semakin berat. Ia kini berada di tengah-tengah keluarga besar yang penuh dengan intrik dan rahasia, sebuah dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya sebelumnya. Keluarga ini, dengan segala kemewahan dan status sosialnya, adalah sebuah dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Semua ini terasa begitu asing bagi Aria—dunia yang dipenuhi dengan kebohongan, kepalsuan, dan permainan kekuasaan yang rumit.Namun, kenyataan hidup yang harus ia hadapi tak bisa ditolak begitu saja. Aria tidak punya pilihan lain selain beradaptasi, meskipun setiap hari ia merasa semakin tertekan. Keputusan yang diambil oleh keluarganya untuk membawa Aria kembali ke dalam hidup mereka seakan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan besar.Kehidupan sehari-hari di rumah keluarga besar itu sangat berbeda. Segala sesuatunya dilakukan dengan sangat teratur, dengan standar tinggi yang tidak pernah ia ba
Aria merasa seolah-olah dia berjalan di atas tali yang sangat tipis. Setiap langkahnya membawa ketegangan, tidak hanya di dalam dirinya tetapi juga di sekitarnya. Setelah mendengar kenyataan pahit tentang dirinya, dia memutuskan untuk kembali ke rumah keluarganya, meskipun dia tahu bahwa kehadirannya di sana akan menimbulkan reaksi yang keras dari beberapa anggota keluarga. Namun, ia tidak bisa mundur. Dia harus mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa keluarganya begitu takut akan kebenaran.Sesampainya di kediaman keluarga besar itu, Aria disambut dengan pandangan mata yang penuh keraguan dan kebencian dari sebagian besar anggota keluarga. Mereka merasa terancam oleh kehadirannya. Aria bisa merasakan ketegangan yang membara di udara.Aria: (berbisik pada dirinya sendiri) Ini lebih sulit daripada yang kubayangkan. Mereka melihatku sebagai ancaman. Aku harus bertahan, apa pun yang terjadi.Di ruang tamu yang megah, keluarga besar itu
Setelah pertemuan dengan ayahnya, Aria merasa seperti dirinya sedang berada di persimpangan jalan yang penuh tanda tanya. Keputusan-keputusan besar kini harus diambil—ke mana ia akan melangkah, dan apakah ia siap menghadapi kenyataan tentang keluarga yang selama ini ia kira tidak ada? Apa yang sebenarnya terjadi di balik dunia glamor dan kekuasaan yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya?Hari itu, ia kembali menemui Adrian. Aria membutuhkan seseorang untuk berbicara, dan Adrian selalu ada, menawarkan ketenangan yang sangat ia butuhkan. Mereka duduk di taman kota, jauh dari keramaian hotel dan kehidupan sehari-hari yang biasa ia jalani. Namun, kali ini, dunia yang ia kenal mulai berputar dalam arah yang sangat berbeda.Adrian: "Aria, aku bisa lihat itu memberatkanmu. Jadi, apa yang kamu putuskan? Apakah kamu akan mengikuti jejak keluargamu, atau tetap bertahan dengan hidup yang sudah kamu jalani?"Aria menghela napas panjang, memandangi langit biru yang terliha