Aria tidak pernah menyangka hidupnya akan berputar begitu cepat. Dari seorang gadis sederhana yang hanya menginginkan hidup tenang, kini ia terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Setiap langkahnya di rumah megah keluarga ini penuh dengan tekanan, seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Ketegangan yang semakin hari semakin meningkat, membuatnya merasa seperti boneka dalam permainan besar yang tidak ia mengerti.
Namun, Aria juga tahu satu hal—dia tidak bisa menyerah. Meski ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, meski banyak orang yang mencoba menahannya, ia bertekad untuk menemukan kebenaran. Di balik semua kebohongan ini, ada satu rahasia besar yang tersembunyi, dan Aria merasa ia harus menggali lebih dalam, meski itu berarti harus mengungkapkan kebenaran yang bisa menghancurkan semuanya. Malam itu, setelah makan malam yang penuh dengan obrolan yang terlihat biasa, Aria kembali ke kamarnya. Langkahnya berat, dan kepalanya dipenuhi oleh banyak pikiran. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi cermin besar di depannya. Sejenak, ia merenung, bertanya-tanya apakah ia benar-benar siap menghadapi apa yang akan datang. Semua yang ia rasakan kini hanyalah perasaan bingung, takut, dan cemas. Namun, di tengah ketidakpastian itu, satu suara kecil dalam dirinya terus berkata, "Kamu harus kuat, Aria." Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Adrian muncul di ambang pintu, mengenakan setelan hitam yang rapi. Senyum di wajahnya terlihat lebih dingin dari biasanya, meskipun masih ada sedikit kehangatan di matanya. Adrian: (dengan suara tenang) "Kamu sendirian, Aria?" Aria: (tersenyum tipis) "Aku selalu sendirian di sini." Adrian: (menghampiri dan duduk di tepi ranjang) "Aku tahu ini berat, tapi kamu harus bertahan. Banyak orang yang menganggapmu ancaman." Aria: (memandangnya tajam) "Ancaman? Apa maksudmu, Adrian?" Adrian: (memperbaiki posisi duduk) "Mereka khawatir. Keluargaku. Mereka tidak tahu apakah kamu akan merusak segala yang sudah mereka bangun." Aria: (dengan nada datar) "Mereka takut pada saya? Apa aku hanya alat dalam permainan mereka?" Adrian: (menghela napas) "Tidak, Aria. Ini lebih rumit dari itu. Kamu tahu bahwa di keluarga ini, segalanya penuh dengan politik. Semuanya tentang kekuasaan dan siapa yang menguasainya. Mereka tahu kamu adalah pewaris yang sah, dan itu membuat mereka takut." Aria: "Kenapa mereka tidak memberitahuku sejak awal?" Adrian: (memandang ke luar jendela) "Karena mereka tidak ingin kamu mengetahui siapa dirimu. Kamu adalah ancaman yang bisa menghancurkan mereka, Aria. Dan mereka ingin menjaga segalanya tetap seperti yang mereka inginkan." Aria: (menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik) "Aku hanya ingin hidup sederhana. Aku tidak ingin terlibat dalam konflik ini." Adrian: (dengan suara lembut) "Aku tahu. Tapi kadang hidup tidak memberi kita pilihan. Apa yang kamu lakukan sekarang bukan hanya tentang kamu, Aria. Ini tentang masa depan yang lebih besar, tentang keluarga ini, tentang dinasti yang telah dibangun selama bertahun-tahun." Ada keheningan yang dalam setelah kata-kata Adrian. Aria bisa merasakan beban yang berat di dadanya. Semua yang telah terjadi, semua yang telah ia pelajari dalam beberapa minggu terakhir, terasa begitu tidak masuk akal dan membingungkan. Ia merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia kendalikan. Aria: (menggigit bibir) "Jadi, jika mereka takut padaku, apakah itu berarti aku harus melawan mereka?" Adrian: "Tidak. Kamu tidak perlu melawan mereka, Aria. Tetapi kamu harus melawan ketakutan mereka. Kamu harus menunjukkan pada mereka bahwa kamu lebih dari sekedar ancaman." Aria: (memandang Adrian dengan penuh tanya) "Apa maksudmu?" Adrian: "Kamu harus mengambil kendali atas hidupmu, Aria. Jangan biarkan mereka memutuskan jalan hidupmu untukmu. Kamu adalah pewaris yang sah. Kamu punya hak untuk memilih apa yang ingin kamu lakukan." Aria: (diam sejenak, lalu mengangguk pelan) "Aku tahu, Adrian. Tapi aku takut jika aku salah langkah, semuanya akan hancur." Adrian: (dengan lembut) "Kamu tidak sendiri. Aku ada di sini untuk membantu." Aria: (melihatnya, ragu) "Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau inginkan, Adrian." Adrian: (dengan senyum tipis) "Aku hanya ingin melihatmu mendapatkan apa yang pantas kamu dapatkan. Jangan biarkan mereka mengendalikanmu." Aria merasa ada kedalaman di mata Adrian. Sesuatu yang sulit ia baca. Apakah dia benar-benar ingin membantunya, atau ada agenda tersembunyi di balik itu semua? Namun, satu hal yang ia tahu—kehidupan barunya penuh dengan teka-teki yang harus dipecahkan, dan meskipun ia tidak tahu siapa yang bisa dipercaya, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Malam itu, Aria memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Ia tahu bahwa untuk mengatasi semua ini, ia harus menghadapi masa lalunya yang terlupakan, dan menggali lebih dalam ke dalam dunia keluarga yang kini menjadi takdirnya. Tetapi dengan setiap langkahnya, ia semakin menyadari—dunia yang baru ini tidak hanya penuh dengan kemewahan dan kekuasaan, tetapi juga penuh dengan bahaya yang tak terlihat. Aria harus memilih jalannya sendiri. Dalam pertempuran yang penuh rahasia ini, apakah ia akan menjadi pemenang ataukah justru korban dari permainan besar yang telah dimulai sejak lama? Keesokan harinya, Aria merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis. Jurnal yang ditemukan semalam kini menjadi kunci dari seluruh rahasia yang selama ini tersembunyi. Aria tahu, ia harus berhati-hati. Apa yang telah ia baca bukanlah sekadar informasi biasa; itu adalah petunjuk yang akan mengubah segalanya. Mungkin bahkan nasibnya. Pagi itu, ia duduk di ruang makan besar keluarga yang megah. Meskipun ruangan itu penuh dengan kemewahan, namun Aria merasa semakin asing. Di luar jendela besar yang menghadap ke taman, langit tampak cerah, tetapi hatinya gelap. Ia merasa seperti dikepung, terperangkap dalam sebuah permainan yang lebih besar daripada dirinya. Setiap sudut rumah ini terasa seperti ada mata yang mengawasi, menunggu kesalahan sekecil apapun. Aria: (membuka percakapan) "Adrian, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kebenaran ini... terlalu besar. Aku merasa seperti kita sedang menghadapinya tanpa senjata." Adrian duduk di hadapannya, tampak lebih tenang dari yang seharusnya. Keberadaannya selalu memberikan sedikit ketenangan di tengah kerumitan yang ada, namun Aria tahu, semuanya hanya ilusi. Mereka berdua tidak lebih dari pion dalam permainan besar yang dikuasai oleh keluarga ini. Adrian: (dengan tenang) "Kamu sudah mengambil langkah pertama, Aria. Sekarang, kita hanya perlu menggali lebih dalam. Kita harus menemukan siapa yang terlibat dan mengapa ini semua terjadi. Kita tidak bisa mundur sekarang." Aria menggigit bibirnya, merasa cemas. Adrian benar, tetapi ada rasa takut yang begitu dalam. Setiap kali ia berpikir tentang ibunya, tentang bagaimana ibu mencoba melindunginya, ia merasa seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya mundur. Aria: (dengan suara lirih) "Aku takut, Adrian. Aku takut akan apa yang akan aku temukan. Jika ibu benar-benar terbunuh karena ini... aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi semua kebenaran ini." Adrian mengulurkan tangan, menggenggam tangan Aria dengan lembut. Meskipun ia tahu ini bukanlah sekadar masalah pribadi Aria, ia tetap ingin berada di sisi wanita itu, mendukungnya, karena ia tahu betapa besar pengorbanannya. Adrian: "Kamu tidak sendirian, Aria. Kita akan hadapi ini bersama. Keluarga ini mungkin punya kekuatan, tapi kita punya kebenaran di sisi kita. Dan kebenaran, pada akhirnya, akan selalu menang." Tiba-tiba, pintu terbuka dengan keras, memecah ketenangan. Salah satu anggota keluarga besar, Tante Nadya, melangkah masuk dengan wajah yang tidak menyenangkan. Ekspresinya tegas dan penuh perhitungan. Tante Nadya: (dengan nada tajam) "Kalian berdua. Ada apa dengan kalian berdua? Sudah cukup bersembunyi di sini. Selalu saja ada percakapan yang tidak jelas. Apakah kalian pikir kami tidak tahu apa yang sedang kalian rencanakan?" Aria dan Adrian saling memandang, tidak terkejut. Tante Nadya adalah salah satu dari banyak anggota keluarga yang melihat Aria sebagai ancaman. Semua orang yang terlibat dalam perebutan warisan ini tahu bahwa Aria, dengan darah yang mengalir dalam tubuhnya, adalah satu-satunya yang bisa merubah segalanya. Aria: (mencoba tenang) "Kami hanya berbicara tentang masalah pribadi, Tante. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan." Tante Nadya: (tersenyum sinis) "Masalah pribadi? Kalau begitu, kenapa setiap langkah kalian selalu dipenuhi dengan pertanyaan? Apa yang kalian sembunyikan? Kalian pikir, kita semua bodoh? Aria, kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi. Dunia ini jauh lebih keras dari yang kamu kira." Tante Nadya melangkah mendekat, mendekati Aria dengan langkah penuh intimidasi. Aria bisa merasakan tekanan yang semakin berat. Ia tahu Tante Nadya bukan hanya mengancam dengan kata-kata, tetapi dengan seluruh kekuasaan yang dimiliki keluarga itu. Adrian: (berbicara dengan tenang, namun penuh penekanan) "Tante, apa yang ingin Tante katakan sebenarnya? Jika ada yang perlu dibicarakan, mari kita lakukan dengan jujur." Tante Nadya mengalihkan pandangannya ke Adrian, matanya menyipit. Ia tahu bahwa Aria dan Adrian sudah tahu lebih banyak daripada yang seharusnya mereka ketahui. Tetapi ada satu hal yang ia tidak bisa abaikan—kehadiran Aria di keluarga ini adalah ancaman yang sangat nyata. Tante Nadya: (berbicara dengan nada rendah) "Aku akan memberitahumu sesuatu yang mungkin belum kamu ketahui, Aria. Ini bukan hanya masalah warisan. Ini lebih dari itu. Jika kamu terus menggali lebih dalam, kamu akan membuka pintu yang sebaiknya tetap tertutup. Dan ketika itu terjadi, tidak ada yang bisa melindungimu." Aria terdiam. Kata-kata Tante Nadya menggema dalam pikirannya. Ada bahaya yang mengintai, sesuatu yang lebih besar dari sekedar kekuasaan keluarga. Ada rahasia yang sangat dalam, yang jika terungkap, bisa menghancurkan semuanya. Aria: (dengan suara bergetar) "Tante Nadya, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kalian sembunyikan? Ibu... ibu saya tidak mati hanya karena kecelakaan, kan?" Tante Nadya tersenyum tipis, lalu berjalan mundur dengan langkah penuh percaya diri. Tante Nadya: "Kamu akan tahu semuanya, Aria. Tapi ingat, ada harga yang harus dibayar untuk setiap kebenaran yang kamu ungkapkan." Ketika Tante Nadya akhirnya meninggalkan ruangan, Aria merasakan dirinya terhimpit dalam kekosongan yang sangat besar. Semua yang ada dalam pikirannya kini berputar—misteri, kebohongan, dan konspirasi yang begitu rumit. Apa yang akan ia temukan selanjutnya? Bagaimana ia akan menghadapinya? Dan lebih penting lagi, siapa yang benar-benar bisa dipercaya? Dengan penuh tekad, Aria berbalik ke Adrian, yang memandangnya dengan rasa khawatir. Aria: (dengan penuh tekad) "Aku akan menggali lebih dalam, Adrian. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan ibu. Apa yang mereka sembunyikan. Tidak ada yang bisa menghentikan aku sekarang." Adrian mengangguk, matanya dipenuhi dengan keyakinan. Adrian: "Aku di sini untuk membantumu, Aria. Kita akan melakukannya bersama." Dan saat itu, Aria tahu satu hal dengan pasti—apapun yang terjadi, ia tidak akan mundur. Kini, rahasia yang tersembunyi selama ini akan segera terungkap.Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya.Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai.Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian
Malam itu, ruang rapat keluarga yang megah diubah menjadi medan perang kata-kata. Semua anggota keluarga Ardian berkumpul, masing-masing dengan agenda tersembunyi di balik senyum palsu dan penampilan sopan mereka. Pembicaraan yang awalnya tampak formal tentang masa depan perusahaan dengan cepat berubah menjadi argumen penuh intrik dan saling tuduh.Aria duduk di ujung meja, matanya menyapu wajah-wajah yang tampak berapi-api. Ia tahu bahwa kehadirannya sebagai pewaris sah yang baru ditemukan menjadi ancaman besar bagi banyak orang di ruangan itu.Paman Edwin: (berdiri dengan nada keras) "Kita harus realistis! Perusahaan ini butuh pemimpin yang berpengalaman, bukan seorang gadis muda yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis!"Tante Nadya: (mengangguk setuju) "Aku setuju! Bagaimana mungkin kita menyerahkan warisan keluarga pada seseorang yang bahkan baru saja masuk ke dalam keluarga ini? Dia tidak tahu apa yang dia lakukan!"Aria menggenggam lengan kur
Beberapa hari kemudian, sebuah pertemuan besar keluarga diadakan untuk membahas masa depan perusahaan. Aria tahu, ini adalah saat di mana setiap pihak akan menunjukkan taring mereka. Ia juga tahu bahwa Paman Edwin tidak akan berhenti mencoba menjatuhkannya. Di ruang rapat, suasana tegang terasa seperti udara panas yang sulit dihirup. Aria duduk di tengah, dikelilingi oleh anggota keluarga yang memandangnya seperti musuh. Tante Nadya: "Aku dengar ada kabar bahwa salah satu proyek perusahaan mengalami kerugian besar. Apakah itu karena kurangnya pengalamanmu, Aria?" Aria mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha keras untuk tetap tenang. Aria: "Kerugian itu disebabkan oleh kontrak lama yang ditandatangani sebelum aku masuk ke perusahaan. Aku sedang berusaha menanganinya." Paman Edwin: (menyela) "Ah, alasan klasik. Selalu menyalahkan keputusan masa lalu. Mungkin kamu tidak cocok untuk posisi ini."
Malam telah larut ketika Aria duduk di balkon kamarnya, memandangi langit penuh bintang. Angin malam yang sejuk tidak mampu menghalau perasaan berat yang menyesakkan dadanya. Konflik di keluarganya semakin memanas, dan kini setiap langkahnya dipenuhi bahaya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bertahan—keinginan untuk membela nama ibunya dan menemukan keadilan di tengah intrik ini. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Adrian datang menghampiri. Wajahnya tegang, matanya penuh kekhawatiran. Adrian: "Aria, aku baru saja mendapat kabar bahwa Edwin akan mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota dewan besok malam. Mereka mungkin akan mengambil langkah untuk menyingkirkanmu secara permanen." Aria menatap Adrian dengan penuh pertanyaan. Aria: "Permanen? Apa maksudmu?" Adrian: (menghela napas) "Bukan hanya posisimu di keluarga ini yang mereka incar, tapi juga keselamatanmu. Aku mendengar bahwa Edwin tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar hilang dari kehidupannya." Wajah A
Malam semakin larut, tetapi Aria tidak bisa memejamkan mata. Ruang kerjanya yang kecil di mansion keluarga itu dipenuhi dengan dokumen dan catatan. Setelah serangan yang hampir merenggut nyawanya, ia menyadari bahwa pertarungan ini tidak hanya tentang perebutan warisan ini adalah perang untuk membuktikan dirinya. Dengan jurnal ibunya yang terbuka di meja, ia mulai menyusun rencana untuk melawan musuh-musuhnya. Adrian duduk di sofa di sudut ruangan, mengamati Aria yang sibuk. Setelah sekian lama, ia akhirnya berbicara. Adrian: "Kamu tidak bisa melawan Edwin sendirian, Aria. Dia licik, dan dia punya koneksi yang jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan." Aria mengangkat pandangan dari dokumen-dokumennya dan menatap Adrian dengan tajam. Aria: "Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mundur. Jika aku menyerah sekarang, maka aku membiarkan ibuku mati sia-sia. Semua perjuangan ini akan percuma." Adrian: (menghela napas) "Aku tidak mengatakan kamu harus mundur. Tapi
Aria menatap bayangan dirinya di cermin kecil kamar asrama. Seragamnya—gaun formal hitam dengan kerah putih—terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Meski sederhana, ia memastikan penampilannya tetap rapi. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sempurna. Hanya sapuan tipis bedak dan lipstik merah muda yang menghiasi wajahnya.Dia menghela napas panjang. Hari ini adalah hari lain dalam perjuangannya, melunasi hutang keluarga yang terus menghantuinya. Ia melirik jam di dinding, memastikan waktu masih berpihak padanya.“Aria, kamu terlambat lagi!” suara Rosa, teman sekamarnya, mengagetkannya.Aria tersentak, segera mengambil tas kecilnya. "Ah, iya! Aku harus segera pergi. Kalau Miss Clara tahu aku terlambat lagi, habislah aku!"Rosa hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Semangat, Aria. Jangan sampai lupa sarapan ya, kamu terlalu sering melupakan dirimu sendiri."Aria mengangguk cepat, lalu berlari keluar dari kamar kecilnya. Asrama kar
Aria kembali ke ruangannya setelah pertemuan di lounge dengan Adrian. Pikirannya kacau, mencoba memahami arti tawaran Adrian. Namun, pagi datang dengan cepat, membawa rutinitas yang tak terhindarkan. Seperti biasa, Aria sudah berada di pantry dapur hotel saat fajar menyingsing. Ia membantu memastikan segala sesuatu siap untuk tamu VIP yang akan sarapan. Namun, suasana hati Aria terusik saat ia mendengar gumaman rekan-rekan kerjanya. Rina: "Lihat tuh, si Aria. Selalu sibuk seolah-olah dia yang punya hotel ini." Maya: "Dia mungkin berpikir kerja kerasnya akan membuatnya naik jabatan. Padahal, orang seperti dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan kita." Rina: "Benar! Dengan penampilan sederhana seperti itu, siapa yang akan memperhatikannya?" Aria mendengar setiap kata, tetapi ia berpura-pura tidak peduli. Baginya, bekerja dengan sungguh-sungguh adalah prioritas, bukan menanggapi sindiran rekan kerja yang iri.
Pagi itu, hotel mewah yang biasanya sibuk dengan kegiatan para tamu VIP, mendadak menjadi kacau. Aria, yang tengah membersihkan lobi, merasa ada sesuatu yang berbeda. Beberapa staf terlihat berlarian, dan suasana di sekitar meja resepsionis tampak tegang.Rina yang melihat Aria berjalan, menghampirinya dengan wajah cemas.Rina: "Aria, kamu harus ke ruang VIP sekarang. Ada masalah besar."Aria merasa kaget dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia mengikuti instruksi Rina tanpa bertanya lebih lanjut. Setibanya di ruang VIP, Aria melihat sekelompok manajer dan kepala keamanan berkumpul di sekitar meja besar. Seorang wanita cantik, yang sebelumnya ia lihat duduk bersama Adrian, tampak sangat marah. Itu adalah Sofia, yang kali ini tidak mengenakan senyum anggun seperti sebelumnya.Sofia: "Kalung saya hilang! Ini barang berharga yang tidak bisa saya abaikan!"Aria menelan ludah. Di meja VIP, sebuah kotak perhiasan yang kosong t
Malam semakin larut, tetapi Aria tidak bisa memejamkan mata. Ruang kerjanya yang kecil di mansion keluarga itu dipenuhi dengan dokumen dan catatan. Setelah serangan yang hampir merenggut nyawanya, ia menyadari bahwa pertarungan ini tidak hanya tentang perebutan warisan ini adalah perang untuk membuktikan dirinya. Dengan jurnal ibunya yang terbuka di meja, ia mulai menyusun rencana untuk melawan musuh-musuhnya. Adrian duduk di sofa di sudut ruangan, mengamati Aria yang sibuk. Setelah sekian lama, ia akhirnya berbicara. Adrian: "Kamu tidak bisa melawan Edwin sendirian, Aria. Dia licik, dan dia punya koneksi yang jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan." Aria mengangkat pandangan dari dokumen-dokumennya dan menatap Adrian dengan tajam. Aria: "Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mundur. Jika aku menyerah sekarang, maka aku membiarkan ibuku mati sia-sia. Semua perjuangan ini akan percuma." Adrian: (menghela napas) "Aku tidak mengatakan kamu harus mundur. Tapi
Malam telah larut ketika Aria duduk di balkon kamarnya, memandangi langit penuh bintang. Angin malam yang sejuk tidak mampu menghalau perasaan berat yang menyesakkan dadanya. Konflik di keluarganya semakin memanas, dan kini setiap langkahnya dipenuhi bahaya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bertahan—keinginan untuk membela nama ibunya dan menemukan keadilan di tengah intrik ini. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Adrian datang menghampiri. Wajahnya tegang, matanya penuh kekhawatiran. Adrian: "Aria, aku baru saja mendapat kabar bahwa Edwin akan mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota dewan besok malam. Mereka mungkin akan mengambil langkah untuk menyingkirkanmu secara permanen." Aria menatap Adrian dengan penuh pertanyaan. Aria: "Permanen? Apa maksudmu?" Adrian: (menghela napas) "Bukan hanya posisimu di keluarga ini yang mereka incar, tapi juga keselamatanmu. Aku mendengar bahwa Edwin tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar hilang dari kehidupannya." Wajah A
Beberapa hari kemudian, sebuah pertemuan besar keluarga diadakan untuk membahas masa depan perusahaan. Aria tahu, ini adalah saat di mana setiap pihak akan menunjukkan taring mereka. Ia juga tahu bahwa Paman Edwin tidak akan berhenti mencoba menjatuhkannya. Di ruang rapat, suasana tegang terasa seperti udara panas yang sulit dihirup. Aria duduk di tengah, dikelilingi oleh anggota keluarga yang memandangnya seperti musuh. Tante Nadya: "Aku dengar ada kabar bahwa salah satu proyek perusahaan mengalami kerugian besar. Apakah itu karena kurangnya pengalamanmu, Aria?" Aria mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha keras untuk tetap tenang. Aria: "Kerugian itu disebabkan oleh kontrak lama yang ditandatangani sebelum aku masuk ke perusahaan. Aku sedang berusaha menanganinya." Paman Edwin: (menyela) "Ah, alasan klasik. Selalu menyalahkan keputusan masa lalu. Mungkin kamu tidak cocok untuk posisi ini."
Malam itu, ruang rapat keluarga yang megah diubah menjadi medan perang kata-kata. Semua anggota keluarga Ardian berkumpul, masing-masing dengan agenda tersembunyi di balik senyum palsu dan penampilan sopan mereka. Pembicaraan yang awalnya tampak formal tentang masa depan perusahaan dengan cepat berubah menjadi argumen penuh intrik dan saling tuduh.Aria duduk di ujung meja, matanya menyapu wajah-wajah yang tampak berapi-api. Ia tahu bahwa kehadirannya sebagai pewaris sah yang baru ditemukan menjadi ancaman besar bagi banyak orang di ruangan itu.Paman Edwin: (berdiri dengan nada keras) "Kita harus realistis! Perusahaan ini butuh pemimpin yang berpengalaman, bukan seorang gadis muda yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis!"Tante Nadya: (mengangguk setuju) "Aku setuju! Bagaimana mungkin kita menyerahkan warisan keluarga pada seseorang yang bahkan baru saja masuk ke dalam keluarga ini? Dia tidak tahu apa yang dia lakukan!"Aria menggenggam lengan kur
Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya.Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai.Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian
Aria tidak pernah menyangka hidupnya akan berputar begitu cepat. Dari seorang gadis sederhana yang hanya menginginkan hidup tenang, kini ia terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Setiap langkahnya di rumah megah keluarga ini penuh dengan tekanan, seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Ketegangan yang semakin hari semakin meningkat, membuatnya merasa seperti boneka dalam permainan besar yang tidak ia mengerti.Namun, Aria juga tahu satu hal—dia tidak bisa menyerah. Meski ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, meski banyak orang yang mencoba menahannya, ia bertekad untuk menemukan kebenaran. Di balik semua kebohongan ini, ada satu rahasia besar yang tersembunyi, dan Aria merasa ia harus menggali lebih dalam, meski itu berarti harus mengungkapkan kebenaran yang bisa menghancurkan semuanya.Malam itu, setelah makan malam yang penuh dengan obrolan yang terlihat biasa, Aria kembali ke kamarnya. Langkahnya berat, dan kepalanya dipenuhi oleh ba
Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Adrian, Aria merasa langkahnya semakin berat. Ia kini berada di tengah-tengah keluarga besar yang penuh dengan intrik dan rahasia, sebuah dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya sebelumnya. Keluarga ini, dengan segala kemewahan dan status sosialnya, adalah sebuah dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Semua ini terasa begitu asing bagi Aria—dunia yang dipenuhi dengan kebohongan, kepalsuan, dan permainan kekuasaan yang rumit.Namun, kenyataan hidup yang harus ia hadapi tak bisa ditolak begitu saja. Aria tidak punya pilihan lain selain beradaptasi, meskipun setiap hari ia merasa semakin tertekan. Keputusan yang diambil oleh keluarganya untuk membawa Aria kembali ke dalam hidup mereka seakan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan besar.Kehidupan sehari-hari di rumah keluarga besar itu sangat berbeda. Segala sesuatunya dilakukan dengan sangat teratur, dengan standar tinggi yang tidak pernah ia ba
Aria merasa seolah-olah dia berjalan di atas tali yang sangat tipis. Setiap langkahnya membawa ketegangan, tidak hanya di dalam dirinya tetapi juga di sekitarnya. Setelah mendengar kenyataan pahit tentang dirinya, dia memutuskan untuk kembali ke rumah keluarganya, meskipun dia tahu bahwa kehadirannya di sana akan menimbulkan reaksi yang keras dari beberapa anggota keluarga. Namun, ia tidak bisa mundur. Dia harus mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa keluarganya begitu takut akan kebenaran.Sesampainya di kediaman keluarga besar itu, Aria disambut dengan pandangan mata yang penuh keraguan dan kebencian dari sebagian besar anggota keluarga. Mereka merasa terancam oleh kehadirannya. Aria bisa merasakan ketegangan yang membara di udara.Aria: (berbisik pada dirinya sendiri) Ini lebih sulit daripada yang kubayangkan. Mereka melihatku sebagai ancaman. Aku harus bertahan, apa pun yang terjadi.Di ruang tamu yang megah, keluarga besar itu
Setelah pertemuan dengan ayahnya, Aria merasa seperti dirinya sedang berada di persimpangan jalan yang penuh tanda tanya. Keputusan-keputusan besar kini harus diambil—ke mana ia akan melangkah, dan apakah ia siap menghadapi kenyataan tentang keluarga yang selama ini ia kira tidak ada? Apa yang sebenarnya terjadi di balik dunia glamor dan kekuasaan yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya?Hari itu, ia kembali menemui Adrian. Aria membutuhkan seseorang untuk berbicara, dan Adrian selalu ada, menawarkan ketenangan yang sangat ia butuhkan. Mereka duduk di taman kota, jauh dari keramaian hotel dan kehidupan sehari-hari yang biasa ia jalani. Namun, kali ini, dunia yang ia kenal mulai berputar dalam arah yang sangat berbeda.Adrian: "Aria, aku bisa lihat itu memberatkanmu. Jadi, apa yang kamu putuskan? Apakah kamu akan mengikuti jejak keluargamu, atau tetap bertahan dengan hidup yang sudah kamu jalani?"Aria menghela napas panjang, memandangi langit biru yang terliha