Bugh!!!
Sebuah sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak seorang pejalan kaki yang tengah menyeberang hingga terpental cukup jauh.
Dan
Brakk!!!
Motor tersebut kehilangan kendali lalu menabrak trotoar. Akhirnya sang pengendara juga ikut terkapar dengan luka di kepalanya.
Jalanan tersebut terlihat sepi karena sudah tengah malam. Tak ada satupun kendaraan yang lewat saat itu.
Gelegar petir menyambar di tengah gelapnya malam. Disusul hujan yang turun dengan sangat deras.
Pengendara motor tersebut membuka matanya perlahan. Ia sadar tapi tak bisa bergerak. Tubuhnya terasa sangat lemas dan tak berdaya.
Terdengar suara rintihan minta tolong yang tersamarkan oleh suara hujan yang turun dengan deras. Dengan kesadaran yang hampir hilang pengendara motor itu mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber suara tersebut.
Ternyata suara tersebut berasal dari pejalan kaki yang terkapar di tengah jalan dengan darah yang terus mengalir dari kepalanya.
Sang pengendara berusaha menggerakkan tubuhnya. Ia berniat menghampiri pejalan kaki tersebut. Namun, luka yang cukup serius di kepalanya membuat ia tak berkutik.
Suara rintihan itu perlahan mengecil disusul dengan hilangnya kesadaran si pengendara motor.
****
“Apa yang ibu katakan?”
“Aku tidak mau!”
Arza yang semula bersandar pada kursi langsung menegakkan tubuhnya kala mendengar permintaan sang ibu. Lelaki itu menatap wanita yang telah melahirkannya dengan bingung.
“Kenapa tidak mau? Dia cantik dan terlihat baik, Nak.” Lina mengenggam tangan sang anak dengan lembut.
Arza menghembuskan napas pelan saat mendengar perkataan sang ibu. Entah apa yang sudah terjadi sehingga sang ibu meminta ia menikah secara tiba-tiba.
”Bu, aku bahkan tidak berencana untuk menikahi siapapun.” Tatapan Arza memelas.
Kenyataannya memang Arza tak berniat hidup dengan siapapun kecuali dengan ibunya. Menikah? Arza bahkan terlihat tak tertarik dengan satu kata itu.
“Apa maksudmu!?” Lina melepaskan genggaman tangannya.
Arza terkejut karena suara sang ibu yang tiba-tiba meninggi.
“Aku tidak sanggup memenuhi permintaan ibu,” ucap Arza pelan. Ia berharap sang ibu mau mengerti.
“Permintaan? Kamu pikir Ibu melakukan ini tanpa alasan?” Mata Lina memerah. Ia bahkan tak sadar sudah membentak anak tunggalnya.
Arza terdiam. Ia benar-benar terkejut dengan sikap sang ibu. Ini pertama kalinya ia mendengar sang ibu membentak.
“Lalu apa alasannya? Beri tahu aku, Bu.”
Lina terdiam. Tangannya meremas baju yang ia kenakan. Pertanyaan itu mengingatkan ia pada sesuatu. Kejadian yang membuatnya dihantui rasa bersalah selama bertahun-tahun dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
“Ini sudah menjadi keputusan Ibu.”
“Kamu harus tetap menikahi gadis itu apapun yang terjadi,” ucap Lina dengan tatapan dingin.
“Besok kita akan menemui gadis itu untu melamarnya.”
Lina bangkit dari duduknya dan berlalu pergi tanpa menghiraukan Arza yang menunggu jawaban. Sementara Arza hanya bisa menatap punggung sang ibu yang perlahan menjauh tanpa bisa melakukan apapun. Arza memang sangat patuh dan menyayangi ibunya. Namun permintaan sang ibu kali ini benar-benar di luar dugaan.
Bugh!
Arza meninju tembok dengan amat keras hingga membuat tangannya terluka. Ia marah. Tapi tak bisa melampiaskannya pada sang ibu.
Helaan nafas berat keluar dari mulut Arza. Ia menggenggam erat stir mobil sambil menatap sebuah kontrakan kecil tak jauh dari tempat mobilnya terparkir.
Lina keluar lebih dulu meninggalkan Arza yang masih terdiam.
Di sinilah Arza kini berada. Di tempat tinggal gadis yang akan ia lamar dengan tiba-tiba.
Suara ketukan pintu membuat Azkiya segera bangkit dari posisinya. Ia memang sudah tahu bahwa Lina akan datang ke tempatnya.
Azkiya dan Lina memang sudah saling mengenal cukup lama. Bermula dari pertemuan tak sengaja di sebuah halte bus.Mereka terlibat percakapan singkat yang membuat Lina tahu bahwa Azkiya tengah mencari pekerjaan.
Lalu akhirnya Lina memberi tahu Azkiya lowongan pekerjaan di café anak lelakinya yang membuat Azkiya bekerja sebagai seorang pelayan hingga saat ini.
Hubungan tersebut terus berlanjut. Lina sering berkunjung ke tempat tinggal Azkiya. perempuan paruh baya itu memperlakukan Azkiya dengan sangat baik dan menyanyanginya seperti anak sendiri.
“Ibu sudah data…”
Ucapan Azkiya langsung terhenti saat matanya menangkap sosok lelaki yang berdiri di samping Lina.
Azkiya terkejut karena Lina tak datang sendiri melainkan bersama anak lelakinya yang sekaligus menjadi bos di café tempat Aazkiya bekerja.
“Silakan masuk.” Azkiya memberi isyarat dengan tangannya.
Suasana menjadi canggung. Azkiya terlihat kikuk dan bingung karena sama sekali tidak tahu jika Arza juga akan datang.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Lina berusaha mencairkan suasana.
Sementara Arza sedari tadi hanya diam seribu bahasa.
Seulas senyum terbit di bibir Azkiya.”Aku baik-baik saja, Bu.”
“Maaf karena tidak memberi tahu kamu jika Ibu akan datang bersama Arza.” Lina melirik Arza sekilas.
Meski canggung Azkiya tetap tersenyum menyiratkan bahwa dia tidak keberatan dengan kehadiran Arza.
“Ibu ingin meminang kamu untuk Arza.”
Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Lina membuat Azkiya terpaku beberapa saat.
Azkiya menatap Lina dengan wajah bingung. Kemudian netranya beralih pada Arza yang juga tengah menatapnya dengan senyum tipis.
Lelaki itu tersenyum. Senyum yang entah apa artinya.
*****
Satu usapan lembut di pundak menyadarkan Azkiya dari lamunan. Ia menoleh, lalu tersenyum saat melihat seseorang di belakangnya.
“Cantiknya menantu ibu,” puji Lina dengan senyum merekah.
Azkiya hanya bisa menunduk malu mendengarnya. Ya. Akhirnya setelah beberapa bulan dari pertemuan itu Arza dan Azkiya akhirnya menikah.
Akad sebentar lagi dimulai, degup jantung Azkiya tak beraturan. Kegugupan menguasai dirinya, membuat gelisah dan tidak karuan. Azkiya duduk menunggu di kamar, sementara di depan sana akad tengah berlangsung. Beberapa saat kemudian Lina datang dan meminta Azkiya untuk ikut ke depan bersamanya, yang menandakan akad telah usai.
Tangan Azkiya berkeringat, begitu juga jantungnya yang semakin tidak terkontrol. Lina yang kini telah menjadi ibu mertuanya mengusap punggung Azkiya untuk menenangkan, sepertinya dia tahu jika Azkiya sangat gugup. Lina menuntunnya keluar untuk duduk di samping Arza. Azkiya bahkan belum mengangkat wajahnya sama sekali semenjak keluar hingga kini telah tepat berada di samping suaminya.
Kemudian penghulu meminta wanita yang tengah gugup itu untuk mencium tangan laki-laki yang baru saja menjadi suaminya. Arza bergerak menghadapnya, begitu juga Azkiya. Kemudian Arza mengulurkan tangannya ke hadapan wanita yang kini sudah menjadi istrinya. Meski dengan sedikit bergetar tapi akhirnya Azkiya tetap meraih tangan itu perlahan. Mengenggam lembut tangan yang sekarang akan menjadi pelindungnya, lalu dengan ta’dzim dia mencium tangan itu.
Tanpa Azkiya duga Arza mengangkat dagunya agar melihat Arza, jelas saja dia terkejut karena memang baru pertama kali Azkiya melihat wajahnya yang tampan sedekat ini. Setelahnya dia mengecup lembut kening Azkiya di hadapan semua orang. Perasaan malu seketika merambah dalam hatinya.
Namun ada yang aneh, tatapan Arza tidak menyiratkan kebahagiaan, bahkan cenderung kemarahan. Tidak ada resepsi. Ini memang permintaan Azkiya, dia ingin menikah secara sederhana saja. Selesai akad dan semua tamu pulang. Pengantin baru itu membantu membereskan rumah, meski dilarang oleh Ibu mertuanya karena memang telah ada yang ditugaskan untuk itu. Sementara Arza masih duduk di balkon kamar lengkap dengan pakaian pengantinnya, entah apa yang dia lakukan namun sepertinya ada beban berat yang tengah ditanggungnya.
“Aku ingin tahu berapa lama wanita itu mampu bertahan,” lirih Arza dengan tatapan tajam ke arah depan.
Malam telah menyapa, Azkiya berada di dapur bersama Lina dan Bi Kai pembantu di sini untuk menyiapkan makan malam.
“Azkiya,” panggil Lina.
Wanita itu menoleh, “Iya, Bu.”
“Panggil suamimu untuk makan malam.”
Azkiya hanya mengangguk mendengar perintahnya. Wanita itu melangkah perlahan menuju lantai atas di mana suaminya berada. Azkiya membuka pintu perlahan, terlihat sosok Arza disana tengah duduk menghadap jendela. Entah apa yang terjadi, tapi selepas acara tadi lelaki itu hanya diam. Bahkan Arza belum berbicara sedikitpun padanya.
Azkiya melangkah ragu untuk mendekat, jujur masih malu meski Arza sudah menjadi suaminya. Langkahnya berhenti tepat di samping Arza, namun dia tidak langsung berbicara.
Matanya melihat Arza. “Kak! Ibu menyuruh turun untuk makan.”
Arza lantas melihatnya, ekspresinya datar. Azkiya yang mengetahui sedang ditatap lelaki itu langsung menunduk. Arza bangkit tanpa mengatakan apapun. Kemudian ia berjalan mendahului sang istri. Azkiya terdiam sejenak, berpikir mengapa Arza bersikap seperti itu.
Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut Azkiya, dia hanya mengikuti langkah lelaki itu perlahan dari belakang. Layaknya seorang istri, Azkiya melayani Arza dengan sepenuh hati. Meski tetap saja ada yang menganggu pikirannya, yaitu tentang sikap Arza yang begitu dingin padanya.
Azkiya merebahkan diri diatas kasur, wanita itu mencoba melepas lelah. Namun dia kembali terduduk karena ingat jika malam ini adalah malam pengantin. Jantungnya kembali berdebar, kegugupan kembali menyergap.
Saat sedang bergelut dengan kegelisahan, tiba-tiba pintu perlahan terbuka, menampilkan sosok lelaki yang telah sah menjadi suaminya. Hati Azkiya semakin tidak karuan dibuatnya, dia hanya menunduk tanpa berani melihatnya.
Arza naik ke atas ranjang, lalu merangkak mendekati istrinya yang tengah menunduk. Tatapannya dingin tak bersahabat, gemuruh dadanya menyimpan kemarahan pada Azkiya. Tangan Arza terulur meraih pundak Azkiya. Menariknya perlahan untuk mendekat. Arza mendekatkan wajahnya, perlahan dan terus mendekat.
Namun, tiba-tiba Arza berhenti. Wajahnya kini tepat berada ditelinga Azkiya, membuat wanita itu terheran dengan apa yang dia lakukan.
“Jangan pernah berharap sedikitpun padaku!” bisiknya di telinga Azkiya.
Lirih. Namun mampu menghujam tepat pada hati Azkiya.
Tentu saja Azkiya terkejut mendengar hal itu. Genggaman tangan di pundaknya juga semakin keras mencengkram, semakin lama semakin sakit. Azkiya mendongak memastika apa yang terjadi, namun tak ada yang Azkiya temukan kecuali kilat kemarahan di wajah suaminya.
“Karena aku sangat membencimu,” sambung Arza.
Degg!
Azkiya menatap wajah suaminya dengan ragu.
“A-apa maksudnya?”
Cengkraman tangan Arza mulai mengendur. Namun kebencian itu jelas masih tersorot lewat tatapan matanya yang tajam, seolah ingin menerkam. Azkiya masih membisu mencoba mencerna apa yang terjadi, tapi sedikitpun tidak dapat ia temukan titik masalahnya.Perlahan lelaki itu bergerak bangkit, langkah kakinya perlahan menjauh. Arza keluar menuju balkon kamar. Mata Azkiya tak henti-hentinya memandang pria itu, tentu dengan hati yang sudah remuk dan berbagai pertanyaan yang berjejal dalam pikiran.“Apa salahku?” gumam Azkiya pelan.Pedih menjalar dalam hati wanita dengan rambut panjang itu. Malam pengantin yang Azkiya harapkan ternyata amat jauh dari bayangannya. Apa yang salah dari dirinya pikir Azkiya. Arza sendiri yang bersedia menikahinya. Dia tidak pernah memohon apalagi memaksa lelaki itu.Tapi mengapa akhirnya menjadi seperti ini?Arza masih berdiri di balkon, pandangannya lurus ke depan. Sedangkan Azkiya hanya bisa terduduk di ranjang pengantin yang seharusnya ditempati mereka berdua.
Udara segar di pagi hari menyerbak menelisik setiap Azkiya menarik napas. Wanita itu tengah bersiap karena ia akan mulai kembali bekerja. Ya, bekerja sebagai pelayan di kafe milik suaminya sendiri. Namun kewajibannya untuk melayani Arza sebagai suami tidak ia sepelekan. Azkiya tidak ingin melalaikannya meski mungkin pernikahannya tidak sama layaknya seperti orang lain.Setelah bangun dan melaksanakan sholat subuh Azkiya langsung turun ke bawah untuk membuat sarapan. Sebelumnya baju untuk Arza juga telah Azkiya siapkan di sisi ranjang. Wanita itu bersikap selayaknya seorang istri meski Arza tak menganggapnya seperti itu.Tidak lama berselang Arza turun dan langsung pergi menuju teras, melihat hal itu Azkiya bergegas membuat teh untuk suaminya. Teh telah siap, kaki Azkiya perlahan melangkah menuju teras untuk menyuguhkan minuman itu. Terlihat Arza tengah sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu terus menunduk hingga tak menyadari kedatangan Azkiya. Tangan Azkiya terulur untuk menaruh teh. Den
Mata Arza melirik dengan tajam. Sontak seluruh pegawai menunduk. Lalu perlahan mereka bubar tanpa mengatakan sepatah katapun. Arza memang terkenal sangat dingin kepada siapapun. Tak terkecuali pada sahabatnya Alwi yang juga merupakan manajer di kafe tersebut.Arza kembali melangkah pergi. menyisakan Azkiya dan Atifa yang masih terdiam. Di tempat mereka berdiri. Lantas Atifa langsung membawa Azkiya ke belakang. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya ini.“Kenapa kamu menikah tanpa memberitahuku?” todong Atifa tanpa basa-basi. Bibirnya mengerucut sebal. Azkiya hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.“Maafkan aku, Fa. Ini sangat mendadak. Jadi aku tidak sempat memberitahumu,” tutur Azkiya menjelaskan.“Baiklah. Eh, tapi kenapa kamu masih memakai baju pelayan ini?” Dahi Atifa mengernyit saat bertanya hal itu.“Kamu istri dari pemilik tempat ini. Artinya kamu juga bos di sini, Kiya,” seloroh Atifa dengan polosnya.Kiya merupakan panggilan yang diberikan Atif
Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.Matanya memana
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar