Udara segar di pagi hari menyerbak menelisik setiap Azkiya menarik napas. Wanita itu tengah bersiap karena ia akan mulai kembali bekerja. Ya, bekerja sebagai pelayan di kafe milik suaminya sendiri. Namun kewajibannya untuk melayani Arza sebagai suami tidak ia sepelekan. Azkiya tidak ingin melalaikannya meski mungkin pernikahannya tidak sama layaknya seperti orang lain.
Setelah bangun dan melaksanakan sholat subuh Azkiya langsung turun ke bawah untuk membuat sarapan. Sebelumnya baju untuk Arza juga telah Azkiya siapkan di sisi ranjang. Wanita itu bersikap selayaknya seorang istri meski Arza tak menganggapnya seperti itu.
Tidak lama berselang Arza turun dan langsung pergi menuju teras, melihat hal itu Azkiya bergegas membuat teh untuk suaminya. Teh telah siap, kaki Azkiya perlahan melangkah menuju teras untuk menyuguhkan minuman itu. Terlihat Arza tengah sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu terus menunduk hingga tak menyadari kedatangan Azkiya. Tangan Azkiya terulur untuk menaruh teh. Dengan sengaja ia meletakan gelas itu dengan sedikit keras agar Arza sadar kehadirannya.
Namun Arza hanya melihatnya sekilas. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Azkiya hanya bisa diam melihat hal itu lalu memilih kembali untuk melanjutkan pekerjaannya tadi. Ternyata ibu mertuanya sudah berada di dapur juga. Ia sedang meminum teh yang memang sengaja Azkiya buatkan tadi. Wanita paruh baya itu tersenyum kala menantunya datang menghampiri.
Sarapan telah selesai. Azkiya berniat memberitahu sang ibu mertua tentang keinginannya untuk tetap bekerja. Azkiya mengangkat wajahnya dengan ragu.
“Ibu,” panggil Azkiya. Ibu mertuanya menatap ke arah sumber suara.
“Aku akan tetap bekerja. Dan hari ini aku sudah masuk,” tutur Azkiya.
Ibu mertuanya mengernyitkan dahi.
“Tapi kafe itu milik suami kamu. Bagaimana bisa kamu tetap bekerja di sana? Bukankah saat ini kamu juga sudah menjadi istri pemiliknya?” tanya mertuanya bingung.
Azkiya tersenyum.”Aku hanya tidak ingin meninggalkan rutinitasku saja, Bu. Aku juga sudah mendapat izin dari suamiku.”
Setelah mendengar hal itu Lina langsung melihat ke arah sang anak yang sedari tadi hanya diam.
“Arza?” panggil Lina meminta penjelasan.
“Aku memang mengizinkannya, Bu. Tidak mengapa jika itu yang dia inginkan selagi kewajibannya sebagai istri tidak terabaikan,” tutur Arza dengan santai. Azkiya tertawa miris dalam hati saat mendengar Arza meyinggung soal kewajiban.
Lina kembali memandang sang menantu dengan ragu. Namun Azkiya mengangguk untuk meyakinkannya.
“Baiklah. Tapi kamu jangan terlalu capek, ya. Dan itu tugasmu juga Arza untuk menjaga istrimu.” Tatap Lina pada anak lelakinya. Arza hanya mengangguk pelan.
Setelah rampung membereskan bekas sarapan, Azkiya bergegas bersiap-siap untuk berangkat kerja. Saat ia masuk ke dalam kamar, terlihat Arza juga sedang memakai pakaiannya. Sekilas Azkiya memperhatikannya lalu melangkah untuk menghampiri sang suami.
Arza menatap Azkiya penuh tanya. Tamun Azkiya hanya diam. Tangan Azkiya terulur untuk membantu merapihkan kerah baju Arza. Lelaki itu sempat mundur untuk menghindar.
“Tidak perlu,” tolak Arza. Hati Azkiya teriris mendengar penolakan dari Arza. Tapi ia tidak akan langsung menyerah.
“Kamu sudah berjanji. Jadi biarkan aku melakukan kewajibanku sebagai istrimu,” pinta Azkiya.
Arza terdiam sebentar seraya menatap Azkiya. Akhirnya Arza sedikit memajukan tubuhnya pada Azkiya agar sang istri mudah menggapai tubuhnya. Arza memang jauh lebih tinggi Azkiya. Azkiya tersenyum. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Tak lama Arza telah siap. Lelaki itu lalu turun ke bawah meninggalkan Azkiya. Wanita itupun bergegas mengganti baju selepas suaminya pergi. Sampai di bawah terlihat Arza sedang berbicara dengan sang Ibu. Lalu kedatangan Aazkiya membuat kegiatan itu berhenti.
“Azkiya! Kamu berangkat dengan suamimu, ya!” titah Lina menatap menantunya.
Netra Azkiya langsung melihat ke arah Arza, sepertinya ia sama terkejutnya dengan Azkiya. Azkiya hanya diam tidak menjawab.
“Tentu saja, Bu,” jawab Arza.
Azkiya diam tak percaya. Tapi setelah itu Azkiya baru sadar perkataan Arza sebelumnya. Lelaki itu akan memperlakukan Azkiya dengan baik jika di hadapan sang Ibu.
“Baiklah. Aku dan Azkiya berangkat dulu, ya,” pamit Arza seraya mencium tangan sang Ibu. Hal yang sama juga Azkiya lakukan.
Azkiya terdiam di samping mobil. Ia bingung harus duduk di depan atau di belakang. Pasalnya Arza memang tidak ingin dekat-dekat dengannya.
“Duduk di depan! Aku bukan sopirmu!” ketus Arza saat melihat Azkiya mematung. Tak ada yang Aazkiya katakan. Wanita itu hanya menuruti perintah sang suami dan langsung masuk.
“Pakai sabuk pengaman!” titah Arza lagi.
Tangan Azkiya meraih sabuk pengaman. Tapi sayangnya ia kesulitan untuk memakainya.
Ckk!
Decak Arza kesal. Tiba-tiba ia meraih sabuk pengaman itu dan langsung memakaikannya pada Azkiya. Wanita itu hanya bisa menahan napas. Pasalnya Azkiya tidak pernah sedekat itu dengan Arza. Azkiya merasa jantung akan meledak karena gugup. Hening. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka.
“Kamu bisa menurunkan aku sebelum sampai di kafe,” ucap Azkiya memecah kesunyian. Wanita itu mencoba melirik sang suami. Tapi Arza hanya diam dengan tatapan lurus ke depan.
“Untuk apa? Semua karyawanku sudah tau jika aku menikahi seorang pelayan kafe. Jadi hal yang kamu katakan itu tidak berguna dan tidak akan merubah kenyataan apapun.”
Jlebb!
Azkiya hanya bisa terdiam saat mendengar jawaban Arza. Tiap kalimat yang keluar dari mulut Arza sangat menusuk hatinya. Azkiya hanya bisa terdiam mendengar apa yang Arza katakan. Memang tidak salah, hanya saja perkataan suaminya itu sangat merendahkannya. Setelah perkataan yang terlontar dari mulut Arza, suasana dalam mobil itu sunyi hingga mereka tiba.
Mobil itu berhenti di parkiran restoran. Arza tidak langsung turun, lelaki itu hanya diam seraya menatap ke depan. Azkiya berniat untuk turun terlebih dahulu. Namun, sabuk pengaman yang dia pakai sulit terlepas. Wanita itu menggerutu dalam hati seraya terus berusaha melepas sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. Ia tak menghiraukan Arza yang kini mulai menatap dirinya.
“Menyusahkan saja!” gerutu Arza. Sementara Azkiya hanya diam dan membiarkan Arza membantunya. Akhirnya sabuk pengaman itu terlepas.
“Apa perlu aku bukakan pintu untukmu juga?” tanya Arza yang membuat Azkiya tersentak. Lantas ia langsung buru-buru membuka pintu mobil.
Namun, gerakannya terhenti. Azkiya kembali menutup pintu mobil kala teringat sesuatu. Wanita itu mengubah posisi tubuhnya agar berhadapan dengan Arza. Ia menatap lelaki itu sebentar lalu mengulurkan tangan.
Arza terdiam sebentar, dia sedikit bingung sebelum akhirnya tahu yang dimaksud Azkiya. Akhirnya dengan berat hati Arza memberikan tangannya untuk Azkiya cium. Lelaki itu masih heran dengan sikap Azkiya. Tapi ia memilih mengabaikannya. Azkiya berlalu dari dalam mobil, begitu juga Arza yang ikut keluar menuju restoran.
Para pegawai terlihat berjejer di pintu masuk. Mereka berniat menyambut dan memberikan ucapan selamat pada bos mereka. Mereka sepertinya tidak menyangka jika Azkiya memiliki nasib yang sangat bagus karena dinikahi seorang bos. Setidaknya itulah yang tertanam dalam benak para karyawan, karena mereka tidak tahu yang sebenarnya.
Namun pertanyaan langsung terlintas dalam di pikiran mereka saat melihat Azkiya memakai pakaian seorang pelayan. Terlihat Atifa juga tengah melihat ke arah Azkiya dengan senyum sekaligus heran. Atifa adalah sahabat Azkiya sedari remaja. Mereka berdua bahkan melamar pekerjaan di kafe tersebut bersama-sama.
Azkiya berhenti di depan para pegawai yang tengah berjejer. Ia berniat menyapa sebentar. Ternyata Arza juga menghentikan langkahnya. Wanita itu berpikir jika Arza juga hendak menyapa para pegawai. Tapi, semua diluar dugaan.
“Apa kalian digaji olehku untuk hal seperti ini?”
Mata Arza melirik dengan tajam. Sontak seluruh pegawai menunduk. Lalu perlahan mereka bubar tanpa mengatakan sepatah katapun. Arza memang terkenal sangat dingin kepada siapapun. Tak terkecuali pada sahabatnya Alwi yang juga merupakan manajer di kafe tersebut.Arza kembali melangkah pergi. menyisakan Azkiya dan Atifa yang masih terdiam. Di tempat mereka berdiri. Lantas Atifa langsung membawa Azkiya ke belakang. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya ini.“Kenapa kamu menikah tanpa memberitahuku?” todong Atifa tanpa basa-basi. Bibirnya mengerucut sebal. Azkiya hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.“Maafkan aku, Fa. Ini sangat mendadak. Jadi aku tidak sempat memberitahumu,” tutur Azkiya menjelaskan.“Baiklah. Eh, tapi kenapa kamu masih memakai baju pelayan ini?” Dahi Atifa mengernyit saat bertanya hal itu.“Kamu istri dari pemilik tempat ini. Artinya kamu juga bos di sini, Kiya,” seloroh Atifa dengan polosnya.Kiya merupakan panggilan yang diberikan Atif
Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.Matanya memana
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan