“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.
Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.
Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Berbagai pertanyaan muncul di benak Azkiya. Tentu saja ia tidak dapat menemukan jawabannya.
“Aku harus bertanya pada ibu,” gumam Azkiya.
****
Wangi masakan menguar memenuhi ruangan, Azkiya tengah berjibaku dengan bahan masakan di dapur ditemani asisten rumah tangga. Sementara mertuanya belum muncul. Meski tugas rumah sudah ada yang mengurus, tapi Azkiya selalu ingin ikut andil di dalamnya. Apalagi jika menyangkut masalah keperluan Arza, ia sebisa mungkin akan menyiapkannya sendiri.
Beberapa saat kemudian mertua Azkiya muncul dari arah kamar. Azkiya tersenyum ke arahnya. Dengan cekatan tangan mungil Azkiya membuat teh, lalu segera menyajikannya di meja makan.
“Arza hari ini tidak ke restoran. Kemarin dia memberitahu ibu jika ada keperluan bisnis keluar,” ucap mertuanya sambil mengambil cangkir.
Azkiya hanya diam.
“Apa Arza sudah memberitahumu, Nak?” tanya mertuanya.
Azkiya gelagapan mendengar pertanyaan itu. Tentu saja karena sedikitpun Arza tidak memberitahu Azkiya soal itu. Ah, jangankan untuk hal seperti itu, Arza bahkan sangat jarang berbicara kecuali menghina.
“I-iya, Bu,” jawab Azkiya gugup.
Ia merasa bersalah karena harus berbohong, tapi tidak ada pilihan lain lagi. Ia tidak mungkin berkata tidak di depan mertuanya. Tentu saja akan mengundang curiga. Azkiya bangkit mengambil teh lagi, lalu berjalan menuju teras tempat suaminya duduk setiap pagi. Dari jarak beberapa meter Azkiya mendengar Arza bercakap-cakap. Tepatnya tengah berbicara lewat telpon dengan seseorang.
“Iya. Kita bertemu di sana. Kemungkinan saya akan sampai di jam sembilan,” ucap Arza kepada seseorang di seberang telpon.
Azkiya kini tepat berada di depan Arza, tangannya terulur menyajikan teh.
“Baik, Pak.” Tangan Arza menurunkan ponsel dari telinganya. Sementara Azkiya masih berdiri di tempat semula.
“Apa kamu tidak akan ke restoran hari ini? Kamu mau keluar?” tanya Azkiya dengan hati-hati.
Lelaki itu berhenti mengutak-ngatik ponsel, pandangannya beralih pada perempuan yang berdiri tepat di depannya.
“Kalau iya lalu apa urusannya denganmu?” ketus Arza. Jawaban yang sangat menohok bagi Azkiya. Tapi ia tetap berusaha sabar menghadapinya.
“Kenapa tidak memberitahuku?” Azkiya masih berusaha tenang dalam berucap.
Mendengar hal itu Arza mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum remeh.
“Untuk apa? Apa untungnya bagiku?” Lagi-lagi jawaban Arza menyayat hati Azkiya. Perempuan itu menghela napas dalam, mencoba sabar meski rasanya ingin marah saat itu juga.
"Aku istrimu."
“Setidaknya aku bisa memberi jawaban ketika ibu bertanya tentangmu, ia akan curiga jika aku sebagai istrimu tidak tahu tentang ini,” ucap Azkiya.
Lelaki itu terdiam mendengar apa yang diucapkan Azkiya, ia baru sadar ucapan Azkiya benar. Ah, bahkan ia tidak berpikir sejauh itu.
“Baiklah, beritahu aku apa yang akan kamu lakukan hari ini,” pinta Azkiya pada suaminya.
Arza menatapnya sebentar. Lalu menghela napas.
“Hari ini aku akan bertemu dengan partner bisnis, jadi tidak pergi ke restoran.” Arza membenarkan posisi duduknya. “Aku akan pulang larut,” sambungnya dengan nada malas.
Azkiya mengulas senyum tipis, meski terdengar terpaksa tapi itu tetap membuatnya merasa dihargai. Setelah ucapan itu Azkiya kembali ke dapur untuk menyelesaikan tugasnya. Azkiya bergegas naik ke atas setelah sarapan, dengan telaten ia menyiapkan baju yang akan dipakai suaminya. Selalu ada rasa bahagia kala ia melakukan tugasnya, meski mungkin bagi Arza ia tidak lebih dari perempuan yang hanya menginginkan hartanya.
Perempuan berbulu mata lentik itu mematut diri di cermin, merapikan rambutnya. Ia telah siap pergi bekerja. Tangannya berhenti kala Arza masuk ke kamar. Azkiya langsung buru-buru keluar meninggalkan Arza yang hendak mengganti bajunya.
Arza baru saja turun dari kamarnya, lalu menghampiri Ibunya yang tengah berbicara dengan Azkiya di ruang tamu. Lina beralih menatap anaknya.
“Apa kamu bisa mengantarkan Azkiya dulu ke restoran?” tanya Lina pada Arza.
“Aku bisa berangkat sendiri, Bu. Jika mengantarkan aku lebih dulu takutnya terlambat.” Pandangan Azkiya mengarah pada suaminya. Arza tidak langsung menjawab, ia diam sebentar.
“Iya, Bu. Aku akan mengantarnya dulu,” tutur Arza setelah beberapa saat terdiam.
Azkiya terkejut mendengar ucapan Arza. Ia berusaha memberi kesempatan agar Arza tidak perlu mengantarnya, karena Azkiya tahu lelaki itu tidak suka berdekatan dengannya. Sementara Lina hanya tersenyum menanggapinya.
“Baiklah. Kami berangkat, Bu,” pamit Arza sambil menyalami Lina yang diikuti oleh Azkiya.
Mereka bedua berjalan menuju garas. Azkiya berjalan terlebih dahulu dengan terus menunduk. Pikirannya masih terfokus pada ucapan Arza tadi. Ia sangat penasaran apa yang direncanakan Arza.
Karena penasaran akhirnya Azkiya memutuskan untuk menanyakannya saja pada lelaki itu. Ia hanya takut jika tiba-tiba diturunkan di tengah jalan, jika itu benar maka Azkiya akan memesan ojol saja dari sini. Azkiya berbalik untuk bertanya, tapi ternyata ....
“Haah!”
Ia terkejut saat menabrak dada bidang milik Arza, hal itu membuat Azkiya kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Azkiya pasrah jika jatuh karena memang tak sempat untuk menahan tubuhnya. Namun,
Happ!
Sepasang tangan kekar itu menangkap tubuh mungil Azkiya yang hampir terjatuh. Kini Azkiya berada di pelukan Arza. Mereka berdua terdiam, terkejut atas kejadian yang sangat tiba-tiba. Wajah keduanya sangat dekat dan hampir menempel, Azkiya hanya bisa menahan nafas dengan jantung yang berdegup sangat kencang. Hingga ia merasa bahwa jantungnya akan melompat keluar karena sangat gugup.
Arza segera tersadar. Dengan cepat ia membantu Azkiya agar berdiri sempurna.
“E-mm. Maaf a-aku tadi ....” Azkiya justru bingung harus mengucapkan apa.
Arza berdecak dan menatap Azkiya tidak suka.
“Apa sekarang matamu sudah tidak berfungsi?” ketus Arza yang membuat Azkiya menunduk.
Azkiya tidak membalas ucapan Arza, karena memang ia merasa bersalah.
“Kamu tidak perlu mengantarku, aku bisa pergi sendiri ke sana.” Tatapan Azkiya masih mengarah ke bawah.
“Lalu Ibu tahu dan ia memarahiku begitu?” Azka tertawa sinis.
Perempuan itu menghela napas. Lelaki di hadapannya ini selalu saja berpikiran negatif.
“Aku hanya takut kamu terlambat. Itu saja,” jawab Azkiya sedikit kesal.
“Naiklah! Jangan bersikap seolah kamu peduli padaku!” Lagi Arza berucap ketus.
Azkiya memutar bola mata malas. Arza benar-benar menyebalkan, tapi ia harus tetap sabar. Akhirnya Azkiya mengalah dan mengikuti perintah Arza yang tetap memaksa untuk mengantarnya. Seperti biasa, keadaan di dalam sana selalu sunyi. Lebih sunyi dari TPU pikir Azkiya. Arza melirik ke arah perempuan di sampingnya, Azkiya tengah menatap keluar kaca mobil. Entah apa yang dilihatnya, tapi mata indah itu selalu melihat keluar sana.
"Kenapa terus menatapku seperti itu, Kak?"
pertanyaan Azkiya sontak menyadarkan Arza. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
Arza gelagapan.
"Arza bodoh!" rutuk Arza dalam hatinya.
v
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L
Azkiya menatap sahabatnya itu dengan penasaran dan bingung.“Ada apa, Atifa? Katakan saja!” desak Azkiya tidak sabar.“Wanita itu lagi-lagi hanya ingin dilayani olehmu. Dan Arza memanggilmu untuk kesana.” Tatapan Atifa menunduk sesaat setelah mengatakan hal itu. Ia tahu hati Azkiya pasti terluka diperlakukan seperti ini oleh Arza.Dalam hatinya, Atifa mengumpat kesal pada atasannya itu. Bisa-bisanya orang yang berpendidikan seperti dia melakukan hal serendah itu.Ucapan Azkiya barusan membuatnya terkejut sesaat, tapi segera senyum itu terukir dari bibirnya. Meski ia yakin senyum yang disuguhkan tidak membuat sahabatnya itu merasa tenang, setidaknya Azkiya berusaha untuk terlihat baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Atifa. Aku akan melayaninya. Pekerjaanku memang seorang pelayan.” Kata-kata itu meluncur bebas dari mulut Azkiya.Mendengar apa yang diucapkan sahabatnya itu membuat hati Aatifa semakin pilu, ia mend
“Arza!” lirih Alwi dengan mengepalkan tangannya.Pria berwajah manis itu memandang kejadian di sudut sana dengan tidak percaya. Arza sudah melewati batasnya pikir Alwi.Azkiya melangkah mendekat pada Ria.“Kamu boleh merendahkanku karena harta, tapi jangan pernah melukai harga diriku,” desis Azkiya seraya menatap tajam pada wanita yang kini wajahnya telah basah oleh jus.“Dan, ya. Kalaupun ada yang harus disebut sebagai perempuan rendahan adalah kamu! Karena tidak ada wanita berkelas yang mengusik rumah tangga orang lain!” ucap Azkiya dengan penuh penekanan disetiap kata.Duarrrr!Gelegar petir terdengar, seketika hujan turun dengan derasnya.Air mata tak henti turun dengan derasnya, Azkiya tidak lagi mencoba menahannya karena ini sudah amat melukai dirinya.“Berani sekali kamu!” Ria membentak Azkiya.Namun hal itu sama sekali tidak membuat Azkiya takut, memang benar
“Azkiya!” gumam Alwi. Ia mengenali pakaian kerja yang Azkiya kenakan.Ya. Azkiya masih mengenakan pakaian kerjanya.Alwi melangkah dengan cepat. Lelaki itu benar-benar khawatir.Sementara itu, Azkiya menangis sambil menundukkan pandangannya sehingga tak menyadari kedatangan Alwi.“Azkiya,” panggil Alwi dengan lirih. Tangannya menyentuh pundak Azkiya dengan pelan.Azkiya membuka matanya saat merasakan pundaknya disentuh. Ia perlahan mendongak.“Alwi!” Suara Azkiya terdengar lemah.Azkiya menatap Alwi dengan sendu. Wajahnya sangat pucat karena kedinginan.Tanpa aba-aba Alwi memeluk Azkiya dengan erat. Ia amat terluka melihat kondisi Azkiya.Sementara Azkiya hanya bisa terdiam dalam pelukan lelaki itu. Pikirannya benar-benar kalut hingga tak sadar dengan apa yang terjadi.Tak ada satupun kata yang terucap. Azkiya hanya menangis. Meluapkan semua rasa sakitnya dalam pelukan Alw