Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.
“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.
Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.
“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.
Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.
“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.
Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.
Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”
Ia tidak benar-benar tulus mengucapkan itu. Mereka dua insan yang hidup dalam kebohongan, merasa tidak butuh ketulusan juga di lingkupi keegoisan dan dendam. Ria keluar dari ruangan Azka dengan angkuh. Menatap para karyawan dengan remeh. Atifa yang melihat hal itu lalu menghampiri Azkiya.
“Apa dia wanita jalang itu?” bisik Atifa pada Azkiya. Azkiya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Atifa sambil terus menatap Ria yang sedang berjalan dengan sombongnya.
“Iya. Ria-kekasih Arza.” Suara Azkiya terdengar tenang.
Atifa tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Bagaimana Azkiya bisa setenang itu ketika mengucapkannya?
“Aku tidak percaya ini, Kiya. Bagaimana kamu bisa tenang seperti itu?” Kepala Atifa menggeleng. Ia tak habis pikir pada sahabatnya ini. Tawa lirih terdengar dari mulut Azkiya, membuat Atifa langsung menengok ke samping. Terlihat genangan air mata di sana.
“Kamu tidak pandai berbohong, Kiya. Mengapa kamu tidak melabraknya saja sekarang?” seloroh Atifa.
Lagi-lagi Azkiya hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di sampingnya itu, ia belum memiliki niat untuk melakukan itu.
Merasa diperhatikan, Ria berhenti melangkah. Lalu menatap ke sekeliling dengan dagu terangkat. Wanita itu tersenyum sinis.
“Apa yang kalian lihat?” tanya Ria. Tak ada yang menjawab, semua diam. Bahkan ada dari mereka yang langsung pergi.
“Bekerjalah dengan baik agar kalian tidak dipecat!” pungkasnya.
Atifa melongo. Tidak percaya jika wanita itu tidak tahu malu. Dia pikir siapa dia di sini?
“Dan kau!” Telunjuknya mengarah pada Azkiya. Ria melangkah untuk lebih dekat. Atifa spontan menggenggam tangan Azkiya, ia takut wanita itu berbuat yang lebih jauh.
“Tetaplah bekerja! Jangan bermimpi bisa menjadi ratu di sini!” desisnya penuh penekanan.
“Hei!” seru Atifa.
Ia hendak melangkah, namun ditahan oleh Azkiya. Atifa menatap sahabatnya dengan tanya, lalu dijawab dengan gelengan kepala oleh Azkiya.
“Tapi, Azkiya. Wanita itu,” ujar Atifa.
“Sudahlah, Atifa.” Azkiya mencoba menenangkannya.
“Baguslah. Kamu memang seharusnya sadar diri. Perempuan rendahan tidak pantas melawanku,” ucap Ria dengan congkak. Setelah mengatakan itu Ria pergi melenggang meninggalkan restoran.
***
Waktu berputar begitu cepat. Jam pulang sebentar lagi tiba. Hanya beberapa pengunjung yang terlihat masih duduk di restoran itu. Hari yang cukup melelahkan bagi seluruh karyawan karena pengunjung cukup banyak.
Azkiya mengusap peluh di dahinya. Merasa panas, akhirnya perempuan bertubuh mungil itu mengikat rambutnya yang tergerai. Ia duduk di salah satu kursi pengunjung untuk sekedar melepas penat, sambil menunggu pelanggan benar-benar tidak ada. Setelah kepulangan kekasih Arza tadi, Azkiya belum melihat lelaki keluar daari ruangannya. Entah apa yang pria itu lakukan di dalam sana, Azkiya tidak tahu.
Sementara sepasang mata sendu tengah menatapnya dari belakang. Alwi berdiri dari jarak yang cukup jauh sambil terus memperhatikan Azkiya. Ada yang perih di sudut hatinya saat melihat perempuan itu. Jika saja Alwi tahu akan seperti ini, mungkin ia akan menyatakan perasaannya semenjak dulu. Tapi ia urungkan karena tahu jika Azkiya memendam perasaan pada Arza.
Kini sesal itu datang menyemai perih, jiwanya ikut terluka melihat Azkiya diperlakukan tidak layak oleh suaminya. Kakinya hendak melangkah, tapi kembali ia urungkan. Alwi ragu untuk menemui Azkiya. Namun akhirnya dengan sedikit memaksakan hati, kaki itu bergerak maju. Alwi memutuskan untuk menghampiri Azkiya. Ia duduk di samping Azkiya, namun perempuan itu belum menyadarinya karena tengah melamun.
Bagaimana Arza bisa menyakiti perempuan secantik dan sebaik Azkiya? Pertanyaan itu bercokol di benak Alwi. Matanya belum lepas menatap perempuan di sampingnya. Sesaat kemudian Azkiya menyadari kehadirannya.
“Eh, Alwi!” Raut wajah Azkiya sedikit terkejut. Tidak ada respon dari lelaki di sampingnya. Hal itu membuat Azkiya bingung.
Lalu ia mengibaskan sebelah tangan di hadapan wajah Alwi sambil berseru, “Alwi!”
Pria itu tersentak kaget, lalu segera tersenyum menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menyergap hatinya.
“Eh, i-iya,” jawabnya dengan gugup. Alwi mengusap wajahnya, merutuki kebodohannya di depan Azkiya.
“Kamu sedang apa?” tanya Alwi
Alwi kembali tersenyum canggung. Bisa-bisanya ia melontarkan pertanyaan tidak berfaedah. Jelas-jelas perempuan di hadapannya sedang duduk menunggu. Azkiya menatap bingung pada lelaki itu, tapi ia akhirnya tetap memberikan respon.
“Aku sedang menunggu pelanggan pulang,” jawab Azkiya.
Alwi hanya mengangguk pelan. Ingin rasanya ia menghilang saat itu juga karena merasa bodoh. Hening sesaat, dua manusia itu sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alwi bingung hendak bertanya dari mana, yang jelas ia ingin tahu ada apa sebenarnya dengan pernikahan Azkiya. Tapi ia bingung harus memulai dari mana.
“Kiya! Kamu baik-baik saja?”
Azkiya menoleh, menatap Alwi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebenarnya Alwi tahu tentang kejadian di ruangan Arza, jelas Azkiya saat ini tidak baik-baik saja. Pertanyaan itu sengaja dilontarkan, berharap perempuan di sampingnya mau berbagi perasaan.
“Aku baik-baik saja, Wi.” Senyum tipis menghiasi wajah mungil itu. Namun matanya tidak dapat berbohong, luka itu terpampang jelas di hadapan Alwi.
“Kamu bahagia dengan pernikahan ini?”
Entah keberanian dari mana yang Alwi dapatkan, tapi pertanyaan itu tentu sangat menohok hati Azkiya. Perempuan itu sedikit terkejut sambil menatapnya, tangannya memilin ujung baju dengan gugup. Azkiya hanya mampu terdiam, lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Alwi. Ia tidak menyangka jika lelaki itu akan bertanya prihal pernikahannya. Azkiya menunduk, mengambil napas untuk menetralkan perasaannya. Lalu ia mendongak sambil menyunggingkan senyum pada Alwi.
“Aku akan selalu bahagia dengan apa yang Tuhan takdirkan.” Suaranya sedikit sendu tapi tetap diiringi senyum.
Alwi tahu jika senyum itu terpaksa, dihadirkan hanya untuk menutupi luka. Azkiya kembali menunduk menghindari tatapan Alwi, ia sendiri tahu jika jawaban yang diberikan sepertinya tidak dapat menutupi keadaan yang sebenarnya.
“Semoga kamu tetap bahagia,” lirih Alwi pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Azkiya.
Perempuan itu hanya tersenyum mengaminkan uapan Alwi. Tak ada percakapan setelahnya, Alwi terpaku pada perempuan di hadapannya. Sementara Azkiya tetap menunduk, tenggelam oleh perasaannya.
Waktu pulang tiba. Satu persatu karyawan meninggalkan restoran itu. Azkiya tengah bersiap untuk pulang, lalu Atifa tiba-tiba menghampiri.
“Kiya, aku pulang, ya.” Tangannya menyentuh pundak Azkiya.
Azkiya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Hati-hati.”
Baru saja beberapa langkah, Atifa kembali berbalik pada Azkiya.
“Kamu pulang dengan Arza?” tanyanya.
Terdiam sesaat, Azkiya ragu untuk menjawab. Tapi akhirnya ia mengangguk pelan.
“Baiklah.”
Atifa melenggang pulang.
Azkiya sebenarnya ragu akan pulang dengan suaminya atau tidak. Apalagi setelah kejadian tadi, hatinya masih saja perih kala ucapan Arza terngiang di telinganya. Ia melihat ke arah ruangan Arza, sepertinya lelaki itu masih ada di sana. Perempun itu melangkah keluar restoran, ia memutuskan jika Arza tidak berbicara padanya maka ia akan pulang sendiri.
Di depan restoran Azkiya kembali melihat ke belakang, berharap Arza segera keluar. Tapi tidak ada tanda-tanda dari sana. Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Azkiya memutuskan memesan ojek online untuk pulang. Ia tidak bisa terus menunggu Arza, takut jika mertuanya khawatir. Saat tangan kecilnya tengah mengutak-atik ponsel, tiba-tiba ...
“Menungguku?”
Suara bariton laki-laki terdengar dari arah belakang. Ternyata Arza. Azkiya terkejut dan langsung berbalik ke sumber suara. Seorang lelaki tengah berdiri sambil menatapnya dengan rendah, senyum sinis terukir dari bibirnya.
“Kamu bahkan tidak bisa pulang tanpaku bukan?” sambungnya sembari berjalan menghampiri Azkiya.
“Aku akan memesan ojek online saja,” ucap Azkiya menahan kesal. Lalu ia kembali mengusap layar ponselnya.
“Jangan membuat masalah! Kamu ingin pulang sendiri lalu mengadukan pada ibu jika aku memperlakukanmu tidak baik?” Arza menatapnya dengan tajam. “Lalu kamu dengan mudah kamu bisa mengambil simpatinya? Rendahan sekali!” desis Arza penuh benci.
Seketika tangan Azkiya berhenti mengusap layar ponsel, matanya kini tertuju pada lelaki bergelar suaminya. Azkiya tidak percaya jika Arza bisa berpikir ke arah sana, hatinya sakit dituduh seperti itu. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi sekuat tenaga ia tahan.
“Sampai hati kamu menuduhku seperti itu?” lirih Azkiya. Arza hanya tertawa remeh, ia memasukkan tangannya ke saku celana.
“Lalu apa yang bisa dilakukan perempuan rendahan dan miskin sepertimu? Bukannya tujuanmu adalah menarik simpati ibu dan menguasai hartaku?”
Azkiya menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya Arza mengatakan hal itu. Air matanya kembali turun tak terbendung, hatinya kali ini benar-benar hancur. Tangannya mengenggam erat ponsel, melampiaskan rasa sakitnya. Lalu dengan perlahan menatap Arza.
“Perlu kamu tahu, aku tak pernah sekalipun berusaha menarik simpati ibu. Ia datang sendiri padaku,” ucap Azkiya dengan menahan sesak.
“Aku memang bukan orang berpendidikan tinggi, tapi apa kamu kira aku tidak punya harga diri? Aku hidup tanpa orang tua, berdiri di atas kakiku sendiri. Tak pernah sekalipun menggoda lelaki, aku lebih memilih bekerja sebagai seorang pelayan.” Suara Azkiya bergetar menahan amarah.
“Masihkah pantas kamu menyebutku sebagai perempuan rendahan?” lirihnya penuh penekanan.
Arza terdiam seketika.
Sunyi. itulah keadaannya. Dua insan itu kini telah berada di dalam mobil. Setelah perdebatan di depan restoran tadi Arza meminta Azkiya untuk tetap ikut pulang bersamanya, tentu saja alasannya adalah agar Lina-ibunya tidak curiga.
Tanpa berkata apapun Azkiya hanya menurut dengan apa yang diminta suaminya, alasan Arza tidak dapat ia bantah. Meski dalam hati ia ingin pulang sendiri, menenangkan hati yang kacau. Hening, mereka berdua tetap diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya, hanya suara deru mesin kendaraan yang kentara jelas di telinga. Jarak antara rumah dan restoran memang cukup jauh, sekitar 30 menit.
Azkiya menyandarkan tubuhnya ke samping, memandang keluar dengan mata sayu. Ia merasa sangat lelah hari ini, lelah fisik juga batin. Sementara Arza, tangannya tetap fokus memegang stir dengan pandangan lurus ke depan. Tapi pikirannya berkelana entah kemana.
Perkataan Azkiya tadi mengusik hatinya, mungkinkah ia sudah keterlaluan dalam memperlakukan Azkiya, hingga menyebutnya wanita rendahan. Lelaki itu membuang napas kasar. Sesekali matanya melirik ke arah Azkiya yang sedari tadi diam dengan pandangan kosong, rasa bersalah menyusup dalam hatinya.
Namun egonya tidak mau kalah, ia masih belum bisa menerima kehadiran Azkiya. Juga akalnya mengatakan bahwa perempuan yang kini duduk di sampingnya hanya ingin menguasai hartanya. Perdebatan antara akal dan hatinya membuat Arza semakin bingung. Sekali lagi ia melirik ke arah Azkiya, ternyata perempuan itu telah tertidur dengan kepala bersandar ke kaca mobil.
Lampu merah menghentikan laju mobilnya, Arza kini memperhatikan Azkiya yang tengah tertidur. Matanya menangkap sesuatu, ternyata Azkiya tidak mengenakan sabuk pengaman. Arza berdecak, dalam hati ia menggerutu. Bagaimana jika terjadi kecelakaan dan Azkiya tidak memakai sabuk pengaman? Perempuan ceroboh pikirnya. Tangan Arza bergerak meraih sabuk pengaman, dengan sangat hati-hati ia memasangkannya agar Azkiya tidak bangun.
Namun saat Arza tengah memakaikan sabuk pengaman, tiba-tiba Azkiya bergerak membuat jantung Arza berdegup tidak karuan. Ia sudah seperti maling yang takut jika aksinya diketahui orang. Arza berhenti seketika saat wajah Azkiya kini menghadapnya, matanya terpaku menatap bulu mata Azkiya yang lentik. Cantik, pikirnya.
Namun sedetik kemudian Arza tersadar, dengan segera dia memasangkan sabuk pengaman dan menjauh dari Azkiya. Ia takut jika Azkiya bangun dan melihatnya sedang memasangkan sabuk pengaman untuk Azkiya. Segera saja Arza tancap gas ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Mobil berhenti tepat di depan rumah yang cukup mewah, mereka sudah sampai. Arza melepas sabuk pengamannya, lalu melihat ke arah Azkiya. Ternyata perempuan itu masih tertidur. Lantas lelaki itu keluar, dan berjalan memutari mobil. Pintu mobil di bukanya, tapi Azkiya masih juga belum bangun. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Azkiya, tapi niat itu urung dilakukan. Arza kembali menariknya.
“Hei!” serunya pada Azkiya.
Tak ada respon.
“Dia ini tidur atau pingsan?” Azka menggerutu.
“Azkiya! Kamu ingin tidur di mobil sampai pagi?” Suara Azka sedikit keras kali ini.
Berhasil. Azkiya membuka matanya perlahan. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tersadar jika ini sudah sampai rumah.
Azkiya menatap Arza yang kini berdiri di sampingnya. “Maaf.”
Lelaki itu hanya diam, lalu melenggang masuk ke dalam rumah meninggalkan istrinya.
Azkiya masih terjaga di ruang tamu. Setelah perdebatannya dengan Azka, ia memilih bungkam hingga tiba di rumah. Ia bahakan sebisa mungkin menghindari suaminya. Sementara itu ibu mertuanya telah tidur saat mereka tiba di rumah. Azkiya merasa sedikit lega. Ia takut mertuanya bertanya sesuatu saat melihat matanya yang sembab.
Malam semakin larut. Azkiya yakin suaminya sudah tidur. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Azkiya membuka pintu dengan sangat perlahan. Sebenarnya ia takut jika Arza belum tidur. Hati Azkiya amat lega kala ia mendapati suaminya sudah terlelap. Ia berjalan mengendap mendekati ranjang. Tatapannya tak pernah lepas dari Arza. Kini ia sudah seperti pencuri yang takut ketahuan sang pemilik rumah.
Arza yang semula tidur menyamping kini berbalik menghadap tepat ke arah Azkiya. Hal itu membuat Azkiya kaget dan langsung mematung. Namun ternyata Arza tidak bangun, matanya masih terpejam. Ia hanya mengganti posisinya.
Selamat. pikir Azkiya. Tangan Azkiya meraih bantal dan selimut dengan sangat hati-hati, ia takut Azka terbangun. Azkiya berhasil mengambil bantalnya. Ia berbalik dan hendak pergi menuju sofa, tapi tiba-tiba tangannya dicekal kuat.
Tentu saja perempuan itu kaget bukan main. Kali ini ia benar-benar tertangkap basah dan pasti akan mendengar kata-kata pedas dari mulut suaminya lagi. Azkiya terdiam dengan degup jantung yang kian berpacu dengan cepat.
“Aku sangat membencimu! Dasar perempuan murahan!” caci Arza.
Dirinya sudah pasrah kali ini jika harus kembali dihina.
“Aku memberikan segalanya padamu, tapi kau membalas dengan pengkhianatan,” sambung Arza.
Azkiya menyadari ada sesuatu yang aneh pada ucapan Arza. Tapi ia belum berani membalikan badannya. Akhirnya Azkiya mencoba memberanikan diri. Perempuan itu berbalik. Tunggu. Ia terkejut ketika mendapati Arza masih terpejam. Apa? Jadi dia ….
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L
Azkiya menatap sahabatnya itu dengan penasaran dan bingung.“Ada apa, Atifa? Katakan saja!” desak Azkiya tidak sabar.“Wanita itu lagi-lagi hanya ingin dilayani olehmu. Dan Arza memanggilmu untuk kesana.” Tatapan Atifa menunduk sesaat setelah mengatakan hal itu. Ia tahu hati Azkiya pasti terluka diperlakukan seperti ini oleh Arza.Dalam hatinya, Atifa mengumpat kesal pada atasannya itu. Bisa-bisanya orang yang berpendidikan seperti dia melakukan hal serendah itu.Ucapan Azkiya barusan membuatnya terkejut sesaat, tapi segera senyum itu terukir dari bibirnya. Meski ia yakin senyum yang disuguhkan tidak membuat sahabatnya itu merasa tenang, setidaknya Azkiya berusaha untuk terlihat baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Atifa. Aku akan melayaninya. Pekerjaanku memang seorang pelayan.” Kata-kata itu meluncur bebas dari mulut Azkiya.Mendengar apa yang diucapkan sahabatnya itu membuat hati Aatifa semakin pilu, ia mend
“Arza!” lirih Alwi dengan mengepalkan tangannya.Pria berwajah manis itu memandang kejadian di sudut sana dengan tidak percaya. Arza sudah melewati batasnya pikir Alwi.Azkiya melangkah mendekat pada Ria.“Kamu boleh merendahkanku karena harta, tapi jangan pernah melukai harga diriku,” desis Azkiya seraya menatap tajam pada wanita yang kini wajahnya telah basah oleh jus.“Dan, ya. Kalaupun ada yang harus disebut sebagai perempuan rendahan adalah kamu! Karena tidak ada wanita berkelas yang mengusik rumah tangga orang lain!” ucap Azkiya dengan penuh penekanan disetiap kata.Duarrrr!Gelegar petir terdengar, seketika hujan turun dengan derasnya.Air mata tak henti turun dengan derasnya, Azkiya tidak lagi mencoba menahannya karena ini sudah amat melukai dirinya.“Berani sekali kamu!” Ria membentak Azkiya.Namun hal itu sama sekali tidak membuat Azkiya takut, memang benar