Share

rahasia Arza

Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.

“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.

Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.

“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.

Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.

“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.

Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.

Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”

Ia tidak benar-benar tulus mengucapkan itu. Mereka dua insan yang hidup dalam kebohongan, merasa tidak butuh ketulusan juga di lingkupi keegoisan dan dendam. Ria keluar dari ruangan Azka dengan angkuh. Menatap para karyawan dengan remeh. Atifa yang melihat hal itu lalu menghampiri Azkiya.

“Apa dia wanita jalang itu?” bisik Atifa pada Azkiya. Azkiya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Atifa sambil terus menatap Ria yang sedang berjalan dengan sombongnya.

“Iya. Ria-kekasih Arza.” Suara Azkiya terdengar tenang.

Atifa tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Bagaimana Azkiya bisa setenang itu ketika mengucapkannya?

“Aku tidak percaya ini, Kiya. Bagaimana kamu bisa tenang seperti itu?” Kepala Atifa menggeleng. Ia tak habis pikir pada sahabatnya ini. Tawa lirih terdengar dari mulut Azkiya, membuat Atifa langsung menengok ke samping. Terlihat genangan air mata di sana.

“Kamu tidak pandai berbohong, Kiya. Mengapa kamu tidak melabraknya saja sekarang?” seloroh Atifa.

Lagi-lagi Azkiya hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di sampingnya itu, ia belum memiliki niat untuk melakukan itu.

Merasa diperhatikan, Ria berhenti melangkah. Lalu menatap ke sekeliling dengan dagu terangkat. Wanita itu tersenyum sinis.

“Apa yang kalian lihat?” tanya Ria. Tak ada yang menjawab, semua diam. Bahkan ada dari mereka yang langsung pergi.

“Bekerjalah dengan baik agar kalian tidak dipecat!” pungkasnya.

Atifa melongo. Tidak percaya jika wanita itu tidak tahu malu. Dia pikir siapa dia di sini?

“Dan kau!” Telunjuknya mengarah pada Azkiya. Ria melangkah untuk lebih dekat. Atifa spontan menggenggam tangan Azkiya, ia takut wanita itu berbuat yang lebih jauh.

“Tetaplah bekerja! Jangan bermimpi bisa menjadi ratu di sini!” desisnya penuh penekanan.

“Hei!” seru Atifa.

Ia hendak melangkah, namun ditahan oleh Azkiya. Atifa menatap sahabatnya dengan tanya, lalu dijawab dengan gelengan kepala oleh Azkiya.

“Tapi, Azkiya. Wanita itu,” ujar Atifa.

“Sudahlah, Atifa.” Azkiya mencoba menenangkannya.

“Baguslah. Kamu memang seharusnya sadar diri. Perempuan rendahan tidak pantas melawanku,” ucap Ria dengan congkak. Setelah mengatakan itu Ria pergi melenggang meninggalkan restoran.

***

Waktu berputar begitu cepat. Jam pulang sebentar lagi tiba.  Hanya beberapa pengunjung yang terlihat masih duduk di restoran itu. Hari yang cukup melelahkan bagi seluruh karyawan karena pengunjung cukup banyak.

Azkiya mengusap peluh di dahinya. Merasa panas, akhirnya perempuan bertubuh mungil itu mengikat rambutnya yang tergerai. Ia duduk di salah satu kursi pengunjung untuk sekedar melepas penat, sambil menunggu pelanggan benar-benar tidak ada. Setelah kepulangan kekasih Arza tadi, Azkiya belum melihat lelaki keluar daari ruangannya. Entah apa yang pria itu lakukan di dalam sana, Azkiya tidak tahu.

Sementara sepasang mata sendu tengah menatapnya dari belakang. Alwi berdiri dari jarak yang cukup jauh sambil terus memperhatikan Azkiya. Ada yang perih di sudut hatinya saat melihat perempuan itu. Jika saja Alwi tahu akan seperti ini, mungkin ia akan menyatakan perasaannya semenjak dulu. Tapi ia urungkan karena tahu jika Azkiya memendam perasaan pada Arza.

Kini sesal itu datang menyemai perih, jiwanya ikut terluka melihat Azkiya diperlakukan tidak layak oleh suaminya. Kakinya hendak melangkah, tapi kembali ia urungkan. Alwi ragu untuk menemui Azkiya. Namun akhirnya dengan sedikit memaksakan hati, kaki itu bergerak maju. Alwi memutuskan untuk menghampiri Azkiya. Ia duduk di samping Azkiya, namun perempuan itu belum menyadarinya karena tengah melamun.

Bagaimana Arza bisa menyakiti perempuan secantik dan sebaik Azkiya? Pertanyaan itu bercokol di benak Alwi. Matanya belum lepas menatap perempuan di sampingnya. Sesaat kemudian Azkiya menyadari kehadirannya.

“Eh, Alwi!” Raut wajah Azkiya sedikit terkejut. Tidak ada respon dari lelaki di sampingnya. Hal itu membuat Azkiya bingung.

Lalu ia mengibaskan sebelah tangan di hadapan wajah Alwi sambil berseru, “Alwi!”

Pria itu tersentak kaget, lalu segera tersenyum menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menyergap hatinya.

“Eh, i-iya,” jawabnya dengan gugup. Alwi mengusap wajahnya, merutuki kebodohannya di depan Azkiya.

“Kamu sedang apa?” tanya Alwi

Alwi kembali tersenyum canggung. Bisa-bisanya ia melontarkan pertanyaan tidak berfaedah. Jelas-jelas perempuan di hadapannya sedang duduk menunggu. Azkiya menatap bingung pada lelaki itu, tapi ia akhirnya tetap memberikan respon.

“Aku sedang menunggu pelanggan pulang,” jawab Azkiya.

Alwi hanya mengangguk pelan. Ingin rasanya ia menghilang saat itu juga karena merasa bodoh. Hening sesaat, dua manusia itu sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alwi bingung hendak bertanya dari mana, yang jelas ia ingin tahu ada apa sebenarnya dengan pernikahan Azkiya. Tapi ia bingung harus memulai dari mana.

“Kiya! Kamu baik-baik saja?”

Azkiya menoleh, menatap Alwi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebenarnya Alwi tahu tentang kejadian di ruangan Arza, jelas Azkiya saat ini tidak baik-baik saja. Pertanyaan  itu sengaja dilontarkan, berharap perempuan di sampingnya mau berbagi perasaan.

“Aku baik-baik saja, Wi.” Senyum tipis menghiasi wajah mungil itu. Namun matanya tidak dapat berbohong, luka itu terpampang jelas di hadapan Alwi.

“Kamu bahagia dengan pernikahan ini?”

Entah keberanian dari mana yang Alwi dapatkan, tapi pertanyaan itu tentu sangat menohok hati Azkiya.  Perempuan itu sedikit terkejut sambil menatapnya, tangannya memilin ujung baju dengan gugup. Azkiya hanya mampu terdiam, lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Alwi. Ia tidak menyangka jika lelaki itu akan bertanya prihal pernikahannya. Azkiya menunduk, mengambil napas untuk menetralkan perasaannya. Lalu ia mendongak sambil menyunggingkan senyum pada Alwi.

“Aku akan selalu bahagia dengan apa yang Tuhan takdirkan.” Suaranya sedikit sendu tapi tetap diiringi senyum.

Alwi tahu jika senyum itu terpaksa, dihadirkan hanya untuk menutupi luka. Azkiya kembali menunduk menghindari tatapan Alwi, ia sendiri tahu jika jawaban yang diberikan sepertinya tidak dapat menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Semoga kamu tetap bahagia,” lirih Alwi pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Azkiya.

Perempuan itu hanya tersenyum mengaminkan uapan Alwi. Tak ada percakapan setelahnya, Alwi terpaku pada perempuan di hadapannya. Sementara Azkiya tetap menunduk, tenggelam oleh perasaannya.

Waktu pulang tiba. Satu persatu karyawan meninggalkan restoran itu. Azkiya tengah bersiap untuk pulang, lalu Atifa tiba-tiba menghampiri.

“Kiya, aku pulang, ya.” Tangannya menyentuh pundak Azkiya.

Azkiya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Hati-hati.”

Baru saja beberapa langkah, Atifa kembali berbalik pada Azkiya.

“Kamu pulang dengan Arza?” tanyanya.

Terdiam sesaat, Azkiya ragu untuk menjawab. Tapi akhirnya ia mengangguk pelan.

“Baiklah.”

Atifa melenggang pulang.

Azkiya sebenarnya ragu akan pulang dengan suaminya atau tidak. Apalagi setelah kejadian tadi, hatinya masih saja perih kala ucapan Arza terngiang di telinganya. Ia melihat ke arah ruangan Arza, sepertinya lelaki itu masih ada di sana. Perempun itu melangkah keluar restoran, ia memutuskan jika Arza tidak berbicara padanya maka ia akan pulang sendiri.

Di depan restoran Azkiya kembali melihat ke belakang, berharap Arza segera keluar. Tapi tidak ada tanda-tanda dari sana. Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Azkiya memutuskan memesan ojek online untuk pulang. Ia tidak bisa terus menunggu Arza, takut jika mertuanya khawatir. Saat tangan kecilnya tengah mengutak-atik ponsel,  tiba-tiba ...

“Menungguku?”

Suara bariton laki-laki terdengar dari arah belakang. Ternyata Arza. Azkiya terkejut dan langsung berbalik ke sumber suara. Seorang lelaki tengah berdiri sambil menatapnya dengan rendah, senyum sinis terukir dari bibirnya.

“Kamu bahkan tidak bisa pulang tanpaku bukan?” sambungnya sembari berjalan menghampiri Azkiya.

“Aku akan memesan ojek online saja,” ucap Azkiya menahan kesal. Lalu ia kembali mengusap layar ponselnya.

“Jangan membuat masalah! Kamu ingin pulang sendiri lalu mengadukan pada ibu jika aku memperlakukanmu tidak baik?” Arza menatapnya dengan tajam. “Lalu kamu dengan mudah kamu bisa mengambil simpatinya? Rendahan sekali!” desis Arza penuh benci.

Seketika tangan Azkiya berhenti mengusap layar ponsel, matanya kini tertuju pada lelaki bergelar suaminya. Azkiya tidak percaya jika Arza bisa berpikir ke arah sana, hatinya sakit dituduh seperti itu. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi sekuat tenaga ia tahan.

“Sampai hati kamu menuduhku seperti itu?” lirih Azkiya. Arza hanya tertawa remeh, ia memasukkan tangannya ke saku celana.

“Lalu apa yang bisa dilakukan perempuan rendahan dan miskin sepertimu? Bukannya tujuanmu adalah menarik simpati ibu dan menguasai hartaku?”

Azkiya menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya Arza mengatakan hal itu. Air matanya kembali turun tak terbendung, hatinya kali ini benar-benar hancur. Tangannya mengenggam erat ponsel, melampiaskan rasa sakitnya. Lalu dengan perlahan menatap Arza.

“Perlu kamu tahu, aku tak pernah sekalipun berusaha menarik simpati ibu. Ia datang sendiri padaku,” ucap Azkiya dengan menahan sesak.

“Aku memang bukan orang berpendidikan tinggi, tapi apa kamu kira aku tidak punya harga diri? Aku hidup tanpa orang tua, berdiri di atas kakiku sendiri. Tak pernah sekalipun menggoda lelaki, aku lebih memilih bekerja sebagai seorang pelayan.” Suara Azkiya bergetar menahan amarah.

“Masihkah pantas kamu menyebutku sebagai perempuan rendahan?”  lirihnya penuh penekanan.

Arza terdiam seketika.

Sunyi. itulah keadaannya. Dua insan itu kini telah berada di dalam mobil. Setelah perdebatan di depan restoran tadi Arza meminta Azkiya untuk tetap ikut pulang bersamanya, tentu saja alasannya adalah agar Lina-ibunya tidak curiga.

Tanpa berkata apapun Azkiya hanya menurut dengan apa yang diminta suaminya, alasan Arza tidak dapat ia bantah. Meski dalam hati ia ingin pulang sendiri, menenangkan hati yang kacau. Hening, mereka berdua tetap diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya, hanya suara deru mesin kendaraan yang kentara jelas di telinga. Jarak antara rumah dan restoran memang cukup jauh, sekitar 30 menit.

Azkiya menyandarkan tubuhnya ke samping, memandang keluar dengan mata sayu. Ia merasa sangat lelah hari ini, lelah fisik juga batin. Sementara Arza, tangannya tetap fokus memegang stir dengan pandangan lurus ke depan. Tapi pikirannya berkelana entah kemana.

Perkataan Azkiya tadi mengusik hatinya, mungkinkah ia sudah keterlaluan dalam memperlakukan Azkiya, hingga menyebutnya wanita rendahan. Lelaki itu membuang napas kasar. Sesekali matanya melirik ke arah Azkiya yang sedari tadi diam dengan pandangan kosong, rasa bersalah menyusup dalam hatinya.

Namun egonya tidak mau kalah, ia masih belum bisa menerima kehadiran Azkiya. Juga akalnya mengatakan bahwa perempuan yang kini duduk di sampingnya hanya ingin menguasai hartanya. Perdebatan antara akal dan hatinya membuat Arza semakin bingung. Sekali lagi ia melirik ke arah Azkiya, ternyata perempuan itu telah tertidur dengan kepala bersandar ke kaca mobil.

Lampu merah menghentikan laju mobilnya, Arza kini memperhatikan Azkiya yang tengah tertidur. Matanya menangkap sesuatu, ternyata Azkiya tidak mengenakan sabuk pengaman. Arza berdecak, dalam hati ia menggerutu. Bagaimana jika terjadi kecelakaan dan Azkiya tidak memakai sabuk pengaman? Perempuan ceroboh pikirnya. Tangan Arza bergerak meraih sabuk pengaman, dengan sangat hati-hati ia memasangkannya agar Azkiya tidak bangun.

Namun saat Arza tengah memakaikan sabuk pengaman, tiba-tiba Azkiya bergerak membuat jantung  Arza berdegup tidak karuan. Ia sudah seperti maling yang takut jika aksinya diketahui orang. Arza berhenti seketika saat wajah Azkiya kini menghadapnya, matanya terpaku menatap bulu mata Azkiya yang lentik. Cantik, pikirnya.

Namun sedetik kemudian Arza tersadar, dengan segera dia memasangkan sabuk pengaman dan menjauh dari Azkiya. Ia takut jika Azkiya bangun dan melihatnya sedang memasangkan sabuk pengaman untuk Azkiya. Segera saja Arza tancap gas ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

Mobil berhenti tepat di depan rumah yang cukup mewah, mereka sudah sampai. Arza melepas sabuk pengamannya, lalu melihat ke arah Azkiya. Ternyata perempuan itu masih tertidur. Lantas lelaki itu keluar, dan berjalan memutari mobil. Pintu mobil di bukanya, tapi Azkiya masih juga belum bangun. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Azkiya, tapi niat itu urung dilakukan. Arza kembali menariknya.

“Hei!” serunya pada Azkiya.

Tak ada respon.

“Dia ini tidur atau pingsan?” Azka menggerutu.

“Azkiya! Kamu ingin tidur di mobil sampai pagi?” Suara Azka sedikit keras kali ini.

Berhasil. Azkiya membuka matanya perlahan. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tersadar jika ini sudah sampai rumah.

Azkiya menatap Arza yang kini berdiri di sampingnya. “Maaf.”

Lelaki itu hanya diam, lalu melenggang masuk ke dalam rumah meninggalkan istrinya.

Azkiya masih terjaga di ruang tamu. Setelah perdebatannya dengan Azka, ia memilih bungkam hingga tiba di rumah. Ia bahakan sebisa mungkin menghindari suaminya. Sementara itu ibu mertuanya telah tidur saat mereka tiba di rumah. Azkiya merasa sedikit lega. Ia takut mertuanya bertanya sesuatu saat melihat matanya yang sembab.

Malam semakin larut. Azkiya yakin suaminya sudah tidur. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Azkiya membuka pintu dengan sangat perlahan. Sebenarnya ia takut jika Arza belum tidur. Hati Azkiya amat lega kala ia mendapati suaminya sudah terlelap. Ia berjalan mengendap mendekati ranjang.  Tatapannya tak pernah lepas dari Arza. Kini ia sudah seperti pencuri yang takut ketahuan sang pemilik rumah.

Arza yang semula tidur menyamping kini berbalik menghadap tepat ke arah Azkiya. Hal itu membuat Azkiya kaget dan langsung mematung. Namun ternyata Arza tidak bangun, matanya masih terpejam. Ia hanya mengganti posisinya.

Selamat. pikir Azkiya. Tangan Azkiya meraih bantal dan selimut dengan sangat hati-hati, ia takut Azka terbangun. Azkiya berhasil mengambil bantalnya. Ia berbalik dan hendak pergi menuju sofa, tapi  tiba-tiba tangannya dicekal kuat.

Tentu saja perempuan itu kaget bukan main. Kali ini ia benar-benar tertangkap basah dan pasti akan mendengar kata-kata pedas dari mulut suaminya lagi. Azkiya terdiam dengan degup jantung yang kian berpacu dengan cepat.

“Aku sangat membencimu! Dasar perempuan murahan!” caci Arza.

Dirinya sudah pasrah kali ini jika harus kembali dihina.

“Aku memberikan segalanya padamu, tapi kau membalas dengan pengkhianatan,” sambung Arza.

Azkiya menyadari ada sesuatu yang aneh pada ucapan Arza. Tapi ia belum berani membalikan badannya. Akhirnya Azkiya mencoba memberanikan diri. Perempuan itu berbalik. Tunggu. Ia terkejut ketika mendapati Arza masih terpejam. Apa? Jadi dia ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status