Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.
Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.
“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.
Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.
“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.
Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.
“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.
Matanya memanas, air mata sebentar lagi akan jatuh. Azkiya sungguh tidak menyangka dengan apa yang ia dengar. Tangannya memegang nampan dengan sangat erat, mencoba menahan amarah yang bergemuruh dalam dada. Ia sadar, memaki wanita itu tidak akan ada artinya. Arza hanya menatap kedua perempuan itu dengan sinis.
Azkiya mencoba menetralkan perasaannya. Kemudian menatap Ria sambil tersenyum.
“Maaf menganggu waktunya, saya hanya ingin mengantarkan ini.” Suara Azkiya terdengar tenang.
“Tentu saja kamu sangat menganggu,” jawab Ria dengan sinis.
Tak lagi menghiraukan ucapan wanita itu, Azkiya melangkah masuk menuju meja tamu untuk meletakkan minuman yang dibawanya. Sementara Ria kembali menghampiri Azka yang sedari tadi diam melihat Azkiya.
“Kamu sungguh menikahi perempuan rendahan seperti itu, Sayang?” tanya Ria pada Azka. Matanya memandang Azkiya dengan rendah. Arza tertawa sinis mendengar pertanyaan itu. Lalu ia meraih tangan Ria.
“Jika bukan karena ibu, aku tidak sudi menikahi pelayan seperti dia. Tak pantas seorang pangeran bersanding dengan upik abu,” ucap Arza yang di akhiri satu kecupan di tangan Ria.
Sontak hal itu membuat Azkiya benar-benar hancur. Tidak menyangka Arza sampai hati memperlakukannya seperti ini. Sementara Ria tersenyum penuh kemenangan sambil menatap Azkiya.
“Sepertinya ia hanya menginginkan hartamu, Sayang.” Ria kembali melontarkan ucapan pedasnya. Azkiya masih diam. Namun air matanya tak dapat lagi di tahan, pipinya telah basah.
“Kamu pikir apa lagi yang ia inginkan selain itu? Entah apa yang telah Azkiya lakukan pada ibuku sehingga dia sangat tunduk dan menyayanginya.” Mata Arza menatap tajam saat mengatakan hal itu.
Tatapan Azkiya yang semula ke bawah sontak beralih pada Arza, ia sungguh tidak percaya jika ternyata serendah itu dirinya di hadapan Arza. Hatinya benar-benar perih.
“Bagaimana bisa kamu memperlakukan aku seperti ini, Arza?” tanya Azkiya dengan deraian air mata.
“Aku memang miskin, tapi harus kamu tahu jika aku tidak serendah yang ada di pikiranmu!” ucap Azkiya dengan nada sedikit tinggi dan penuh penekanan. Jiwanya terluka, harga dirinya sebagai seorang perempuan ternoda.
Arza tersenyum sinis, inilah yang dia inginkan. Melihat Azkiya terluka dan hancur menjadi sesuatu yang membahagiakan untuknya. Kebencian telah mengakar di hatinya, ia benar-benar berpikir jika Azkiya memang hanya menginginkan hartanya.
Ria terkejut mendengar apa yang Azkiya katakan, ternyata ia berani menjawab juga pikir Ria.
“Hei! Berani kau berbicara dengan nada tinggi pada kekasihku?” tunjuk Ria pada Azkiya.
“Dasar tidak tahu malu! Kamu hanya pelayan di sini! Jadi jangan macam-macam! Dasar perempuan rendahan!” hardik Ria.
Azkiya terkejut mendengarnya. “Perempuan rendahan katanya? Lalu ia apa?” monolog Azkiya dalam batinnya.
Melihat Azkiya yang terus terdiam membuat Ria naik pitam. Ia hendak menghampiri Aazkiya, namun segera ditahan oleh Arza.
“Lepaskan, Arza! Aku harus memberi pelajaran pada perempuan rendah itu!” ucap Ria dengan penuh emosi.
“Jangan Ria!” cegah Arza. Ria menatap Azka tak percaya.
“Lihat! Wanita itu sudah menangis. Kurasa cukup untuk kali ini, biarkan dia pergi,” Ucap Arza dengan nada mengejek.
“Pergilah!” titah Arza dingin.
Azkiya menggenggam nampan dengan sangat erat. Azkiya berpikir haruskah ia melemparnya pada dua manusia itu?
***
Azkiya terdiam dengan pandangan terus mengarah pada Arza yang sedang tersenyum mengejek. Ia tidak habis pikir jika rasa sakit yang suaminya berikan akan seperih ini. Ia melangkah gontai meninggalkan ruangan itu, menyeret luka yang tak dapat dipastikan seberapa dalamnya.
Azkiya tergesa melangkah ke kamar mandi, menghindari jikalau ada orang lain yang melihatnya dengan uraian air mata. Ia menumpahkan rasa sakitnya seorang diri di sana, menangis meratapi nasib yang tak kunjung berpihak padanya. Namun lagi setelahnya Azkiya menguatkan hati untuk menghadapi segalanya, meyakini bahwa tuhan selalu ada bersamanya.
Puas menangis Azkiya berniat keluar untuk kembali bekerja, tapi ia terkejut saat membuka pintu. Atifa-sahabatnya tengah berdiri dengan air mata yang hampir menetes. Azkiya sudah menduga Atifa mengetahui jika dirinya menangis. Tapi ia berusaha menutupinya seolah tidak terjadi apapun.
“E-em, Atifa. Kamu mau memakai kamar mandinya?” tanya Azkiya dengan gugup.
Namun tidak ada jawaban dari Atifa, ia masih bergeming menatap Azkiya. Ditatap seperti itu membuat Azkiya bingung harus berbuat apa, akhirnya mereka berdua hanya diam. Lalu tiba-tiba Atifa menghambur ke pelukan Azkiya, ia menangis sambil memeluk sahabatnya dengan erat.
Azkiya tahu jika hal ini pasti akan terjadi, ia hanya tidak menyangka jika akan secepat ini Atifa tahu masalah yang sedang ia hadapi. Air mata itu kembali berhasil meluncur membasahi pipi Azkiya. Dua wanita itu menangis tepat di pintu kamar mandi, untunglah tidak ada orang lain di sana.
“Mengapa kamu menangis, Atifa?” tanya Azkiya dengan suara bergetar. Ia masih saja berusaha menutupi meski tahu itu tidak akan berhasil.
“Kiya,” ujar Atifa di sela tangisnya. Pelukannya semakin erat. Azkiya menghapus air matanya, lalu menepuk-nepuk punggung Atifa dengan lembut.
“Sudahlah. Aku baik-baik saja.”
Azkiya berusaha meyakinkan Atifa bahwa semuanya masih bisa ia kendalikan. Hal itu ia lakukan agar Atifa fokus pada pekerjaannya. Akhirnya mereka berdua kembali bekerja. Pengunjung hari ini lumayan banyak, membuat para karyawan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Begitu juga dengan Azkiya yang sibuk bekerja meski dengan hati yang perih.
Sementara di ruangan Azka wanita yang menjadi kekasihnya itu masih betah di sana. Merasa leluasa melakukan apapun karena Arzapun membiarkannya. Ria mengira jika Azka telah benar-benar jatuh pada pesonanya, ini membuat wanita itu sangat senang karena peluangnya untuk mendapatkan harta Azka semakin besar.
Ia hanya tidak tahu jika Arza hanya memanfaatkan kehadirannya untuk membuat Azkiya menderita. Tak ada sedikitpun rasa tertarik pada wanita dengan penampilan glamour itu. Arza tipe lelaki dingin dan selektif dalam memilih. Jauh di lubuk hatinya, Arza merasa risih dengan kehadiran Ria. Tapi ia harus bertahan untuk mencapai keinginannya menghempaskan Azkiya.
“Sayang!” panggil Ria yang sedang duduk di sofa tamu.
Tidak ada jawaban dari Arza, lelaki itu hanya diam di hadapan laptop. Bukan bekerja, lebih tepatnya ia sedang memikirkan sesuatu. Merasa diabaikan Ria kembali memanggil Arza.
“Arza!” seru Ria dengan sedikit keras.
Lelaki itu tersadar, lalu menoleh pada Ria dengan tatapan dingin. Arza memberi isyarat dengan mengangkat sebelah alisnya.
“Kapan kamu mau menceraikan pelayan miskin itu?” tanya Ria tanpa basa-basi.
Mendengar pertanyaan Ria barusan membuat Arza tertawa miris dalam hati. Ternyata benar, dalam pikiran manusia harta adalah segalanya. Mereka bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
“Aku tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya, lagipula ibu tidak akan setuju. Mungkin hanya bisa jika Azkiya sendiri yang memilih untuk meninggalkanku,” lirih Arza dengan tatapan kembali pada laptop. Ria terdiam mendengar jawaban Arza. Ia tersenyum miring.
“Alasan? Aku akan menciptakan alasan itu,” gumam Ria. Wanita itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu sambil tersenyum miring.
“Haruskah aku .…”
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L
Azkiya menatap sahabatnya itu dengan penasaran dan bingung.“Ada apa, Atifa? Katakan saja!” desak Azkiya tidak sabar.“Wanita itu lagi-lagi hanya ingin dilayani olehmu. Dan Arza memanggilmu untuk kesana.” Tatapan Atifa menunduk sesaat setelah mengatakan hal itu. Ia tahu hati Azkiya pasti terluka diperlakukan seperti ini oleh Arza.Dalam hatinya, Atifa mengumpat kesal pada atasannya itu. Bisa-bisanya orang yang berpendidikan seperti dia melakukan hal serendah itu.Ucapan Azkiya barusan membuatnya terkejut sesaat, tapi segera senyum itu terukir dari bibirnya. Meski ia yakin senyum yang disuguhkan tidak membuat sahabatnya itu merasa tenang, setidaknya Azkiya berusaha untuk terlihat baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Atifa. Aku akan melayaninya. Pekerjaanku memang seorang pelayan.” Kata-kata itu meluncur bebas dari mulut Azkiya.Mendengar apa yang diucapkan sahabatnya itu membuat hati Aatifa semakin pilu, ia mend
“Tidak.”“Tidak mungkin!” lirih Azkiya dengan wajah yang sudah pucat pasi. Tangannya mulai gemetar tidak karuan.Kepalanya menggeleng perlahan. Ia terus menyangkal meski hatinya mulai terbawa oleh ucapan Ria.“Kebohongan apalagi yang kau katakan?!” Azkiya menatap tajam Ria dengan mata yang tampak bergetar.Ria kembali merogoh tasnya. Kali ini ia mengambil ponsel miliknya.Wanita itu mengutak-ngatik benda pipih itu beberapa saat. Tak lama Ria menyodorkannya ke hadapan Azkiya.Azkiya meraih benda itu lalu melihatnya.Sebuah foto terpampang di layar smartphone tersebut.Itu adalah foto Arza.Bersama Ria.Azkiya mematung. Matanya bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat.Dalam foto tersebut tampak Arza yang terkapar tidak sadarkan diri di atas sofa. Dan tepat di sampingnya ada Ria yang tengah bersandar di dada lelaki itu.Tangan Azkiya memegang ponsel itu dengan sangat
Raut wajah Azkiya seketika berubah tidak senang.Bagaimana tidak, ternyata yang datang adalah seseorang yang selama ini ikut membuatnya menderita.Di hadapannya kini berdiri seorang wanita dengan penampilan glamournya.Wanita itu tersenyum manis. Tapi mampu membuat Azkiya muak saat melihatnya.Dia adalah Ria.Untuk sesaat dua orang itu terdiam sambil menatap satu sama lain.“Ada perlu apa?” tanya Azkiya datar.Ria menaikkan satu alisnya ke atas. Matanya memindai Azkiya dari atas hingga bawah sambil tersenyum remeh.“Apa seperti ini caramu memperlakukan seorang tamu?”“Kau bahkan tidak membiarkanku untuk duduk terlebih dahulu,” cibir Ria.“Ada perlu apa?” Azkiya tidak menggubris cibiran Ria. Ia kembali memberikan pertanyaan yang sama.Ria memasang wajah tidak suka.“Jangan berlagak sok!”“Ingat dari mana kau berasal! Dasar perempuan miskin!” cerca Ria dengan wajah sinis.Wanita itu kemudian melangkah masuk seraya menyenggol bahu Azkiya dengan cukup keras.Ria berjalan menuju ruang tamu
Lina menoleh ke samping.Mereka beradu pandang sesaat.Tak lama Lina dengan cepat memutuskan kontak matanya.Ia menunduk menatap ke bawah untuk menghindari tatapan mata Azkiya.Tiba-tiba perasaan Lina menjadi tidak nyaman saat Azkiya bertanya hal tersebut."Tidak!""Ibu tidak pernah memberi sumbangan ke panti asuhan," ujar Lina tanpa menatap Azkiya. Suaranya terdengar gugup.Ia berusaha untuk bersikap seperti biasanya. Tapi wajah tetap tidak bisa berbohong.Sangat jelas jika saat ini ia sedang gugup."Memangnya kenapa?" tanya Lina.Azkiya sedikit tersentak karena tengah melamun."Ah?""Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit penasaran karena Ibu dulu sangat baik padaku," jelas Azkiya seraya tersenyum canggung.Suasana menjadi hening setelah itu.Baik Azkiya maupun Lina hanya membisu hingga pekerjaan mereka selesai.Arza tampak sudah berbaring saat Azkiya masuk ke dalam kamar.
“Sepertinya Ibu tidak asing dengan mertuamu,” ujar Laila seraya menunjuk foto Lina yang terpampang di layar ponsel.Matanya menyipit. Laila berusaha mengingat-ngingatnya kembali.Azkiya tampak terkejut.”Ibu mengenalnya?”Laila tidak langsung menjawabnya, ia masih mencoba menerka-nerka. Ponsel tersebut beberapa kali diangkat agar Laila bisa melihatnya lebih dekat.“Tunggu!” Laila tampaknya menemukan kembali potongan ingatannya.“Benar!”“Ini beliau,” ujar Laila seraya menatap Azkiya.Azkiya terbengong. Ia menunggu kelanjutan dari ucapan Laila.“Ibu mengenalnya?” tanya Azkiya tidak sabar.Kepala Laila mengangguk mantap.“Bu Lina.”“Dulu dia donatur tetap di panti ini,” tutur Laila. Ia menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada Azkiya.Mata Azkiya melebar.”Benarkah?”Ia tampak heran karena
Alwi menatap kedatangan Ria sekilas, ia kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan.“Kamu sudah lama menungguku?” Ria menjatuhkan bokongnya di bangku tepat di samping Alwi.“Langsung saja pada intinya.”“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” tanya Alwi datar.Ia awalnya berniat mengabaikan permintaan Ria yang ingin bertemu dengannya. Tapi Alwi takut ada sesuatu yang penting yang ingin Ria bicarakan.“Hei! Santai saja!”“Kau seperti tidak mengenalku saja,” celetuk Ria seraya terkekeh.Mereka berdua memang sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama. Tepatnya saat Ria mulai dekat dengan Arza.Karena itu Alwi sudah cukup tahu banyak tentang Ria, termasuk sifat liciknya.“Aku ingin mengajakmu bekerjasama,” ujar Ria.Alwi mengernyit. Kerjasama?Ria menoleh ke samping untuk menatap Alwi.”Bantu aku mendapatkan Arza kembali.”Seketika Alwi terkejut. Wajahnya tercengang tidak percaya.Mendengar ucapan Ria yang menurutnya sangat konyol, Alwi lantas bangkit dan berniat meninggalkan tem
Permasalahan mengenai fitnah tersebut tampaknya sudah selesai setelah kepergian Gama.Lina berkali-kali meminta maaf kepada Azkiya karena sempat percaya dengan ucapan lelaki tersebut.Tapi Azkiya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.Ia memaklumi respon dari mertuanya, Azkiya pikir wajar dan siapapun akan percaya saat Gama mengatakan kebohongan tersebut.Apalagi fakta bahwa mereka memang pernah bertemu semakin mendukung kebohongan itu.Meski begitu, tampaknya semua belum selesai bagi Arza.Entah mengapa lelaki itu terus membisu.Setelah kepergian Gama, Arza terus berdiam diri di kamarnya hingga malam tiba.Azkiya mencoba memahaminya.Ia pikir Arza masih shock dengan kejadian tadi dan emosinya belum stabil.Seperti tidak terjadi apa-apa, Azkiya beraktivitas seperti biasanya.Ia bahkan memasak untuk makan malam.Namun, Arza masih tampak berbeda. Ia bahkan tidak mengatakan sepatah katapun saat makan malam.Lelaki itu hanya menggeleng atau mengangguk untuk menjawab setiap Azkiya bertany
Gama menggaruk kecil ujung alisnya, ia tampak berpikir sejenak."Eeh.""Itu...."Azkiya masih menunggu. Ia sudah sangat yakin akan kebohongan yang Gama ucapkan."Sudah dua bulan!""Ya! Sudah dua bulan," ujar Gama sambil tersenyum canggung.Azkiya tersenyum miring saat mendengar jawaban itu."Benarkah?" tanya Azkiya memancing.Wajah Gama tampak canggung, ia menatap kesana kemari untuk menghindari Azkiya."Jadi di mana kita bertemu untuk pertama kalinya?" Lagi Azkiya bertanya.Arza dan Lina tampak heran dengan apa yang Azkiya lakukan, tapi mereka hanya diam dan terus memperhatikan."Kita pertama kali bertemu di kota sebelah.""Apa kamu lupa? Aku yang menolongmu waktu itu," jelas Gama dengan percaya diri. Ia tidak sadar bahwa ucapannya adalah bumerang bagi dirinya sendiri."Ah, benar. Itu tepat saat pembukaan kafe suamiku di luar kota.""Jadi pasti aku ada di sana," ujar Azkiya seray
Arza masih menatap Azkiya tanpa mengatakan apapun. Kepalanya bergerak maju mendekat ada Azkiya.Jantung Azkiya sudah tidak aman. Tubuhnya tiba-tiba mematung tak bergerak.Jarak mereka semakin terkikis dan kini Arza sudah benar-benar menempel ada Azkiya.Tapi lelaki itu tiba-tiba berhenti bergerak."Aku tidak bisa tidur.""Bolehkah aku memelukmu?" tanya Arza dengan suara pelan. Ia tampak ragu saat mengatakannya."H-hah?""Tentu saja." Meski sedikit terkejut, tapi Azkiya akhirnya mengizinkannya.Tangan Arza bergerak perlahan ke atas tubuh Azkiya.Arza memeluk pinggang ramping perempuan itu.Sementara wajahnya ia tempelkan menempel pada pundak Azkiya.Azkiya hanya terdiam dan membiarkan Arza melakukan apapun yang lelaki itu inginkan.Ia meletakkan kedua tangannya di atas lengan kekar Arza lalu mengusapnya lembut.Ujung matanya melirik ke arah Arza. Lelaki itu tampak terpejam, sepertinya mencoba u
Azkiya tampak menggenggm garpu dan memilah-milah buah yang ada di piring. Tapi ia tak kunjung memakannya.Kepalanya menunduk. Ia menatap piring di hadapannya sambil melamun.Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Seorang lelaki keluar dengan handuk yang bertengger di pinggangnya.Arza selesai dengan ritual mandinya.Azkiya menunduk semakin dalam saat mendengar suara langkah Arza padahal lelaki itu berjalan menuju lemari.Tampaknya Arza akan memakai pakainnya.Mengetahui hal itu, Azkiya baru sadar jika dia masuk ke kamar terlalu cepat. Biasanya ia akan menunggu hingga suaminya selesai lebih dulu.Ia ingin keluar dari sana. Tapi tubuhnya serasa membeku.Otak Azkiya seperti linglung, ia tidak tahu harus melakukan apa.Azkiya tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap menatap ke bawah. Ia tak berniat untuk melirik meski sekilas.Tak lama Arza sudah selesai memakai pakaiannya dengan rapi.Lelaki itu kemudian melangkah menuju sofa. Ia menatap Azkiya yang masih mematung dengan posisi