Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.
Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.
“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.
Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.
“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.
Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.
“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.
Matanya memanas, air mata sebentar lagi akan jatuh. Azkiya sungguh tidak menyangka dengan apa yang ia dengar. Tangannya memegang nampan dengan sangat erat, mencoba menahan amarah yang bergemuruh dalam dada. Ia sadar, memaki wanita itu tidak akan ada artinya. Arza hanya menatap kedua perempuan itu dengan sinis.
Azkiya mencoba menetralkan perasaannya. Kemudian menatap Ria sambil tersenyum.
“Maaf menganggu waktunya, saya hanya ingin mengantarkan ini.” Suara Azkiya terdengar tenang.
“Tentu saja kamu sangat menganggu,” jawab Ria dengan sinis.
Tak lagi menghiraukan ucapan wanita itu, Azkiya melangkah masuk menuju meja tamu untuk meletakkan minuman yang dibawanya. Sementara Ria kembali menghampiri Azka yang sedari tadi diam melihat Azkiya.
“Kamu sungguh menikahi perempuan rendahan seperti itu, Sayang?” tanya Ria pada Azka. Matanya memandang Azkiya dengan rendah. Arza tertawa sinis mendengar pertanyaan itu. Lalu ia meraih tangan Ria.
“Jika bukan karena ibu, aku tidak sudi menikahi pelayan seperti dia. Tak pantas seorang pangeran bersanding dengan upik abu,” ucap Arza yang di akhiri satu kecupan di tangan Ria.
Sontak hal itu membuat Azkiya benar-benar hancur. Tidak menyangka Arza sampai hati memperlakukannya seperti ini. Sementara Ria tersenyum penuh kemenangan sambil menatap Azkiya.
“Sepertinya ia hanya menginginkan hartamu, Sayang.” Ria kembali melontarkan ucapan pedasnya. Azkiya masih diam. Namun air matanya tak dapat lagi di tahan, pipinya telah basah.
“Kamu pikir apa lagi yang ia inginkan selain itu? Entah apa yang telah Azkiya lakukan pada ibuku sehingga dia sangat tunduk dan menyayanginya.” Mata Arza menatap tajam saat mengatakan hal itu.
Tatapan Azkiya yang semula ke bawah sontak beralih pada Arza, ia sungguh tidak percaya jika ternyata serendah itu dirinya di hadapan Arza. Hatinya benar-benar perih.
“Bagaimana bisa kamu memperlakukan aku seperti ini, Arza?” tanya Azkiya dengan deraian air mata.
“Aku memang miskin, tapi harus kamu tahu jika aku tidak serendah yang ada di pikiranmu!” ucap Azkiya dengan nada sedikit tinggi dan penuh penekanan. Jiwanya terluka, harga dirinya sebagai seorang perempuan ternoda.
Arza tersenyum sinis, inilah yang dia inginkan. Melihat Azkiya terluka dan hancur menjadi sesuatu yang membahagiakan untuknya. Kebencian telah mengakar di hatinya, ia benar-benar berpikir jika Azkiya memang hanya menginginkan hartanya.
Ria terkejut mendengar apa yang Azkiya katakan, ternyata ia berani menjawab juga pikir Ria.
“Hei! Berani kau berbicara dengan nada tinggi pada kekasihku?” tunjuk Ria pada Azkiya.
“Dasar tidak tahu malu! Kamu hanya pelayan di sini! Jadi jangan macam-macam! Dasar perempuan rendahan!” hardik Ria.
Azkiya terkejut mendengarnya. “Perempuan rendahan katanya? Lalu ia apa?” monolog Azkiya dalam batinnya.
Melihat Azkiya yang terus terdiam membuat Ria naik pitam. Ia hendak menghampiri Aazkiya, namun segera ditahan oleh Arza.
“Lepaskan, Arza! Aku harus memberi pelajaran pada perempuan rendah itu!” ucap Ria dengan penuh emosi.
“Jangan Ria!” cegah Arza. Ria menatap Azka tak percaya.
“Lihat! Wanita itu sudah menangis. Kurasa cukup untuk kali ini, biarkan dia pergi,” Ucap Arza dengan nada mengejek.
“Pergilah!” titah Arza dingin.
Azkiya menggenggam nampan dengan sangat erat. Azkiya berpikir haruskah ia melemparnya pada dua manusia itu?
***
Azkiya terdiam dengan pandangan terus mengarah pada Arza yang sedang tersenyum mengejek. Ia tidak habis pikir jika rasa sakit yang suaminya berikan akan seperih ini. Ia melangkah gontai meninggalkan ruangan itu, menyeret luka yang tak dapat dipastikan seberapa dalamnya.
Azkiya tergesa melangkah ke kamar mandi, menghindari jikalau ada orang lain yang melihatnya dengan uraian air mata. Ia menumpahkan rasa sakitnya seorang diri di sana, menangis meratapi nasib yang tak kunjung berpihak padanya. Namun lagi setelahnya Azkiya menguatkan hati untuk menghadapi segalanya, meyakini bahwa tuhan selalu ada bersamanya.
Puas menangis Azkiya berniat keluar untuk kembali bekerja, tapi ia terkejut saat membuka pintu. Atifa-sahabatnya tengah berdiri dengan air mata yang hampir menetes. Azkiya sudah menduga Atifa mengetahui jika dirinya menangis. Tapi ia berusaha menutupinya seolah tidak terjadi apapun.
“E-em, Atifa. Kamu mau memakai kamar mandinya?” tanya Azkiya dengan gugup.
Namun tidak ada jawaban dari Atifa, ia masih bergeming menatap Azkiya. Ditatap seperti itu membuat Azkiya bingung harus berbuat apa, akhirnya mereka berdua hanya diam. Lalu tiba-tiba Atifa menghambur ke pelukan Azkiya, ia menangis sambil memeluk sahabatnya dengan erat.
Azkiya tahu jika hal ini pasti akan terjadi, ia hanya tidak menyangka jika akan secepat ini Atifa tahu masalah yang sedang ia hadapi. Air mata itu kembali berhasil meluncur membasahi pipi Azkiya. Dua wanita itu menangis tepat di pintu kamar mandi, untunglah tidak ada orang lain di sana.
“Mengapa kamu menangis, Atifa?” tanya Azkiya dengan suara bergetar. Ia masih saja berusaha menutupi meski tahu itu tidak akan berhasil.
“Kiya,” ujar Atifa di sela tangisnya. Pelukannya semakin erat. Azkiya menghapus air matanya, lalu menepuk-nepuk punggung Atifa dengan lembut.
“Sudahlah. Aku baik-baik saja.”
Azkiya berusaha meyakinkan Atifa bahwa semuanya masih bisa ia kendalikan. Hal itu ia lakukan agar Atifa fokus pada pekerjaannya. Akhirnya mereka berdua kembali bekerja. Pengunjung hari ini lumayan banyak, membuat para karyawan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Begitu juga dengan Azkiya yang sibuk bekerja meski dengan hati yang perih.
Sementara di ruangan Azka wanita yang menjadi kekasihnya itu masih betah di sana. Merasa leluasa melakukan apapun karena Arzapun membiarkannya. Ria mengira jika Azka telah benar-benar jatuh pada pesonanya, ini membuat wanita itu sangat senang karena peluangnya untuk mendapatkan harta Azka semakin besar.
Ia hanya tidak tahu jika Arza hanya memanfaatkan kehadirannya untuk membuat Azkiya menderita. Tak ada sedikitpun rasa tertarik pada wanita dengan penampilan glamour itu. Arza tipe lelaki dingin dan selektif dalam memilih. Jauh di lubuk hatinya, Arza merasa risih dengan kehadiran Ria. Tapi ia harus bertahan untuk mencapai keinginannya menghempaskan Azkiya.
“Sayang!” panggil Ria yang sedang duduk di sofa tamu.
Tidak ada jawaban dari Arza, lelaki itu hanya diam di hadapan laptop. Bukan bekerja, lebih tepatnya ia sedang memikirkan sesuatu. Merasa diabaikan Ria kembali memanggil Arza.
“Arza!” seru Ria dengan sedikit keras.
Lelaki itu tersadar, lalu menoleh pada Ria dengan tatapan dingin. Arza memberi isyarat dengan mengangkat sebelah alisnya.
“Kapan kamu mau menceraikan pelayan miskin itu?” tanya Ria tanpa basa-basi.
Mendengar pertanyaan Ria barusan membuat Arza tertawa miris dalam hati. Ternyata benar, dalam pikiran manusia harta adalah segalanya. Mereka bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
“Aku tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya, lagipula ibu tidak akan setuju. Mungkin hanya bisa jika Azkiya sendiri yang memilih untuk meninggalkanku,” lirih Arza dengan tatapan kembali pada laptop. Ria terdiam mendengar jawaban Arza. Ia tersenyum miring.
“Alasan? Aku akan menciptakan alasan itu,” gumam Ria. Wanita itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu sambil tersenyum miring.
“Haruskah aku .…”
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L
Azkiya menatap sahabatnya itu dengan penasaran dan bingung.“Ada apa, Atifa? Katakan saja!” desak Azkiya tidak sabar.“Wanita itu lagi-lagi hanya ingin dilayani olehmu. Dan Arza memanggilmu untuk kesana.” Tatapan Atifa menunduk sesaat setelah mengatakan hal itu. Ia tahu hati Azkiya pasti terluka diperlakukan seperti ini oleh Arza.Dalam hatinya, Atifa mengumpat kesal pada atasannya itu. Bisa-bisanya orang yang berpendidikan seperti dia melakukan hal serendah itu.Ucapan Azkiya barusan membuatnya terkejut sesaat, tapi segera senyum itu terukir dari bibirnya. Meski ia yakin senyum yang disuguhkan tidak membuat sahabatnya itu merasa tenang, setidaknya Azkiya berusaha untuk terlihat baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Atifa. Aku akan melayaninya. Pekerjaanku memang seorang pelayan.” Kata-kata itu meluncur bebas dari mulut Azkiya.Mendengar apa yang diucapkan sahabatnya itu membuat hati Aatifa semakin pilu, ia mend