Mata Arza melirik dengan tajam. Sontak seluruh pegawai menunduk. Lalu perlahan mereka bubar tanpa mengatakan sepatah katapun. Arza memang terkenal sangat dingin kepada siapapun. Tak terkecuali pada sahabatnya Alwi yang juga merupakan manajer di kafe tersebut.
Arza kembali melangkah pergi. menyisakan Azkiya dan Atifa yang masih terdiam. Di tempat mereka berdiri. Lantas Atifa langsung membawa Azkiya ke belakang. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya ini.
“Kenapa kamu menikah tanpa memberitahuku?” todong Atifa tanpa basa-basi. Bibirnya mengerucut sebal. Azkiya hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.
“Maafkan aku, Fa. Ini sangat mendadak. Jadi aku tidak sempat memberitahumu,” tutur Azkiya menjelaskan.
“Baiklah. Eh, tapi kenapa kamu masih memakai baju pelayan ini?” Dahi Atifa mengernyit saat bertanya hal itu.
“Kamu istri dari pemilik tempat ini. Artinya kamu juga bos di sini, Kiya,” seloroh Atifa dengan polosnya.
Kiya merupakan panggilan yang diberikan Atifa pada Azkiya. Mendengar pertanyaan polos dari sahabatnya membuat Azkiy hanya bisa tersenyum. Entah apa yang harus ia katakan tentang pernikahannya ini, tentang Arza yang hanya terpaksa menikah dengannya.
“Kiya,” panggil Atifa yang membuatnya tersadar dari lamunan. “Kenapa malah diam?” lanjutnya.
Sontak Azkiya langsung memandangnya dengan kikuk.
“E-em itu, ya. Aku hanya bosan jika terus berada di rumah, makanya aku putuskan untuk tetap bekerja,” jelasku berusaha santai.
“Tapi tidak harus menjadi pelayan juga, ‘kan?”
Pertanyaan Atifa sungguh membuat Azkiya bingung mencari alasannya, terlebih sahabatnya ini memang tipe orang yang selalu ingin tahu. Azkiya terdiam.
“Memang salah menjadi pelayan?” Azkiya bertanya balik.
“Memang tidak salah, tapi .…”
“Sudahlah. Sebaiknya kita bekerja sebelum pemiliknya kembali marah,” potong Azkiya segera. Dia tahu setelah ini pasti akan banyak pertanyaan yang keluar dari mulut Atifa. Akhirnya Atifa mengalah. Mereka bersiap untuk membersihkan meja-meja sebelum para pelangan datang.
Selang beberapa lama satu persatu pelanggan mulai datang. Para pegawai mulai sibuk dengan pekerjaan mereka. Begitu juga Azkiya. Sesekali wanita itu memandang ke arah pintu tempat dimana Arza berada. Lelaki itu belum keluar sama sekali dari ruangannya.
Suasana di antara para pegawai menjadi canggung. Bagaimana tidak, istri dari pemilik kafe tempat mereka bekerja justru menjadi pelayan di sana. Alwi yang merupakan sahabat dari kedua orang itu bahkan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia sangat penasaran tapi belum sempat bertanya pada Arza. Alwi mengambil kesempatan ketika suasana mulai lengang. Lelaki itu menghampiri Azkiya.
“Hey!” seru Alwi seraya berjalan mendekat pada Azkiya.
Merasa ada yang memanggil Azkiya lantas mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Wanita itu tersenyum saat mengetahui siapa yang menyapanya.
“Selamat atas pernikahanmu,” ucap Alwi memulai pembicaraan.
Azkiya tersenyum tipis, ”Terima kasih.”
Hening sesaat. Alwi ragu bertanya tentang hal itu. Tapi ia sangat penasaran.
“Bukankah seharusnya kamu tidak lagi mengerjakan sesuatu seperti ini, Azkiya?” tanya Alwi hati-hati. Tanpa butuh waktu Azkiya paham apa yang ditanyakan lelaki di sampingnya.
“Ah, Ini? Tidak apa-apa. Aku hanya terlanjur terbiasa saja.” Mata Azkiya tak berani menatap Alwi. Tentu saja ia berbohong.
“Baiklah,” timpal Alwi tak puas. Lelaki itu tau ada yang tak biasa. Tapi ia merasa tak enak jika terus bertanya.
Lalu tiba-tiba ada seorang perempuan masuk seraya memandang kesana kemari seperti mencari seseorang. Azkiya berinisiatif menghampiri perempuan tersebut untuk bertanya. Sementara Alwi hanya diam memperhatikan.
“Permisi. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Azkiya ramah. Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia melihat Azkiya dari atas hingga bawah. tentu saja Azkiya tak nyaman.
“Di mana kekasih saya?” Perempuan itu balik bertanya. Tentu saja pertanyaan itu membuat Azkiya bingung.
Dahi Azkiya berkerut. ”Siapa yang anda maksud?”
Helaan napas terdengar dari mulut perempuan tersebut. Ia merapikan rambutnya dengan tangan. ”Maksud saya Arza.”
Seketika mulut Azkiya kelu. Ia terdiam dan menatap tak percaya pada perempuan di hadapannya. Melihat reaksi Azkiya yang tak biasa membuat Alwi penasaran. Lelaki itu gegas menghampiri mereka berdua.
“Azkiya! Ada apa?”
Azkiya masih diam tak menjawab. Kemudian Alwi menatap perempuan asing di hadapannya.
“Kamu tahu Arza di mana? Saya sudah membuat janji dengannya.” Perempuan tersebut beralih pada Alwi.
“Anda siapa?” Alwi balik bertanya.
“Kekasihnya.”
Satu jawaban yang membuat Alwi juga ikut terdiam. Beberapa pegawai yang mendengar hal itu ikut terkejut. Pandangan Alwi beralih pada Azkiya. Entah apa yang Azkiya pikirkan. Yang jelas lelaki itu tau jika Azkiya tidak baik-baik saja.
Azkiya tengah duduk dengan pandangan lurus. Tidak. Lebih tepatnya ia sedang melamun. Setelah apa yang dikatakan perempuan tadi Azkiya hanya bisa terdiam. Situasi ini sangat tidak bisa dipercaya. Tapi Azkiya tak bisa menyangkalnya. Mengingat Arza juga menikahi dirinya karena terpaksa, bukan tidak mungkin lelaki itu juga masih memiliki kekasih.
Di tengah lamunannya Azkiya dihampiri oleh seseorang. Dengan ragu seseorang itu duduk di samping Azkiya. Atifa-sahabat Azkiya menatapnya dengan lekat, namun hal itu tak disadari oleh Azkiya. Pikirannya masih berkelana pada apa yang ia lihat tadi. Benaknya penuh dengan tanya tentang wanita yang bergelayut manja pada suaminya.
Azkiya tersadar saat tangannya digenggam lembut oleh seseorang. Ia lantas menengok ke samping, lalu tersenyum canggung saat Atifa menatapnya.
“Eh, Atifa.” Azkiya tersenyum tipis.
“Kiya, apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Atifa terdengar pelan dan sangat hati-hati.
Senyum terukir di wajah Azkiya, sekuat tenaga ia berusaha menutupi lukanya di hadapan Atifa. Ia belum sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. Atifa masih setia menunggu jawaban Azkiya, tangannya mengenggam erat jemari sahabatnya itu.
“Azkiya!” seru seseorang tiba-tiba. Mereka berdua menoleh ke sumber suara. Seorang pegawai berjalan menghampiri tempat mereka duduk.
“Pak Arza menyuruhmu untuk membuat minuman,” ucap pegawai itu.
Azkiya mengernyitkan dahi. Ia merasa bingung karena selama ia bekerja di kafe itu Azka tak pernah sekalipun menyuruh Azkiya membuatkan minuman.
“E-em, itu untuk tamunya Pak Arza,” sambung karyawan itu yang langsung menjawab kebingungan Azkiya. Atifa mendesis tak suka. Bisa-bisanya Arza memperlakukan Azkiya seperti itu.
“Kenapa tidak kamu saja yang membuatnya?” tanya Atif tiba-tiba. Pegawai itu diam sejenak. Ada rasa iba saat melihat Azkiya.
“Maaf. Ini perintah dari Pak Arza sendiri,” jawabnya dengan sungkan.
Azkiya menghela napas, mengusap lembut tangan Atifa agar tenang. Dengan senyum ia mencoba meyakinkan Atifa bahwa dirinya baik-baik saja.
“Baik. Akan segera aku buatkan.” Azkiya menjawab dengan tenang. Pegawai tadi mengangguk pelan lalu melenggang pergi meninggalkan tempat itu.
“Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku, Kiya,” cegah Atifa saat Azkiya melepaskan genggaman tangannya.
Azkiya bangkit dari duduknya tanpa menjawab pertanyaan Atifa. Ia hanya takut tak bisa menahan diri dan menangis lagi. Kaki Azkiya perlahan melangkah hendak pergi, namun terhenti saat Atifa mencekal pergelangan tangannya. Azkiya berbalik menatap sahabatnya, raut wajah khawatir terpahat jelas di sana.
“Kamu tidak apa-apa, Kiya?” tanyanya dengan suara pelan. Azkiya tersenyum seraya menggeleng.
“Aku akan baik-baik saja,” jawab Azkiya mencoba meyakinkan sahabatnya.
Azkiya melepas genggaman tangan Atifa, lalu melenggang pergi. Sungguh jika harus jujur, tidak ada yang baik-baik saja saat ini. Hatinya gundah, jiwanya terluka atas apa yang telah di lakukan Azka. Namun tekadnya membuat ia kuat. Ia percaya mampu mengambil hati Azka suatu saat.
Teh telah siap di tangan, namun Azkiya ragu untuk masuk ke ruangan Azka. Ia terpaku di depan pintu. Matanya menatap lurus ke bawah, mencoba menguatkan hati dengan berkali-kali mengambil napas.
Tangan Azkiya membuka pintu dengan perlahan. Azkiya tak percaya dengan apa yang ia lihat saat pintu itu telah terbuka sempurna. Seluruh sendi tubuhnya seakan membeku. Azkiya mematung .…
Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.Matanya memana
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L
“Ayah!”Tiba-tiba Aluna berlari menghampiri dan langsung menubruk tubuh Arza. Seketika perhatian mereka langsung teralihkan pada gadis kecil itu.“Iya, kenapa?” tanya Arza seraya memegang tubuh putrinya.Aluna memegang telunjuk sang ayah lalu menariknya agar bangun dari duduknya. Arza bangun menuruti keinginan sang putri.“Ayo ke sana!” ajak Aluna seraya menunjuk ke suatu arah. Gadis itu ingin ayahnya ikut bergabung dan bermain bersamanya.Arza melirik ke arah Azkiya. Ia bahkan belum sempat menyelesaikan pertanyaannya tadi, padahal Arza sudah mempersiapkan diri untuk hal itu.Tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti keinginan Aluna. Arza tidak sampai hati untuk menolak permintaan putrinya.Akhirnya Arza berjalan mengikuti langkah kecil Aluna. Matanya beberapa kali sempat melirik ke arah Azkiya. Perempuan itu hanya bisa tersenyum tipis karena sebenarnya ia juga penasaran dengan apa yang ingin Arza katakan.Tidak terasa mereka sudah seharian berada di pusat perbelanjaan ters
Arza tertegun sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan seraya tersenyum kecil.Saat menyetir Arza terus terngiang-ngiang ucapan Azkiya sebelum ia pergi tadi. Entah mengapa tiba-tiba ada yang menghangat di sudut hatinya saat kembali mengingat hal itu.Hatinya berdebar saat membayangkan wajah Azkiya. Bayangan perempuan tersebut membuat Arza terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju rumah.Lelaki itu bersumpah perasaannya pada Azkiya tidak pernah berubah sedikitpun.Keesokan paginya saat Aluna bangun ia langsung langsung menanyakan keberadaan sang ayah. Gadis kecil itu berpikir akan hidup satu rumah dengan ayahnya.“Bunda!” seru Aluna.“Hem?” Azkiya tengah sibuk menyiapkan bekal untuk dibawa putrinya ke sekolah.“Kenapa ayah tidak tinggal bersama kita?” tanya Aluna polos.Azkiya tertegun sejenak. Ia bingung bagaimana menjelaskan mengenai perceraian pada anak sekecil itu.“Aku ju
“Aku tidak akan menyarankan apapun. Keputusan ada padamu, Azkiya,” ujar Alwi.Azkiya tampak bingung setelah mendengar celotehan Aluna mengenai nenek dan kakeknya.Selama ini, Azkiya memang tidak pernah menunggu Aluna saat gadis kecil itu bersekolah karena ia memang harus bekerja.Azkiya hanya akan mengantarnya saat berangkat lalu menjemputnya saat waktu pulang tiba.Perempuan itu mendesah pelan setelah cukup lama berpikir. Meski ia dan Arza sudah berpisah, tapi Aluna tetaplah bagian dari keluarga Arza.Aluna tampak sangat gembira duduk di dalam mobil Arza. Gadis itu tak berhenti berceloteh membicarakan apapun yang ia lihat di sepanjang jalan.Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Azkiya menerima ajakan Arza untuk membawa putri mereka menemui neneknya.Sesekali Arza tersenyum mendengar ocehan Aluna yang duduk di belakang bersama Azkiya. Arza sadar mungkin kebahagiaan ini tidak pantas ia dapatkan, tapi hari ini adalah
“Aluna! Kamu tidak apa-apa?”“Oh! Bunda! Iya, tadi Om ini menolongku,” jawab gadis kecil yang ternyata bernama Aluna tersebut.“Benarkah?” Seseorang yang dipanggil bunda tersebut kembali menanggapi.Arza masih terpaku dalam posisinya. Ia berjongkok membelakangi orang tua dari anak tersebut. Jantungnya mendadak berdebar. Apakah suara itu benar milik seseorang yang ia kenal?“Kamu harus mengucapkan terima kasih padanya!”“Terima kas….”Perempuan tersebut membeku dan tidak sempat menyelesaikan ucapannya saat Arza membalikkan tubuhnya.Arza mematung di tempatnya. Begitu juga perempuan tersebut yang terdiam seketika dengan mata membulat sempurna.Dua orang tersebut saling menatap satu sama lain dengan perasaan yang campur aduk.“Azkiya,” lirih Arza dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Bunda?” panggil Aluna yang merasa heran
“Arza!” pekik Alwi saat melihat pemandangan di kamar Arza.Tampak Arza tengah berdiri di balkon. Sekilas tak ada yang salah memang. Namun, yang membuat Alwi segera berlari menghampiri adalah karena Arza berdiri di atas kursi tepat di depan pagar yang menjadi pembatas balkon.Benar. Arza memang berniat mengakhiri hidupnya.Alwi berlari dengan cepat lalu segera menarik tubuh Arza agar turun dari kursi tersebut. Ia kemudian membawa Arza menjauh dari pinggir balkon.Alwi benar-benar terkejut dengan apa yang ia lihat. Wajahnya tampak sangat tegang dan penuh ketakutan.“Apa yang akan kau lakukan, hah?” pekik Alwi. Ia menatap sahabatnya itu dengan segala emosi yang seketika bercampur baur.Tetapi tidak ada respon apapun dari Arza. Lelaki itu hanya diam seraya menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong seperti tanpa jiwa.“Arza!”“Dengarkan aku!” bentak Alwi seraya mengguncang tubuh lelaki
“Dengan sadar aku menjatuhkan talak padamu.”Kalimat talak Arza bercampur dengan suara air hujan mengalun lirih di telinga Azkiya.“Seperti permintaanmu aku akan mengurus perceraian kita. Jadi, kamu tidak perlu datang,” ujar Arza.Gelegar petir menyambar mengiringi jatuhnya air mata dari sudut mata Arza. Lelaki itu semakin mengeratkan genggamannya pada payung, ia berusaha menahan sesak yang semakin menghimpit dadanya.Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Azkiya sebagai tanggapan dari ucapan Arza. Perempuan itu membeku mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.Azkiya terpaku saat rasa sakit mulai merambah dalam hatinya. Meski ini yang Azkiya inginkan, tetap saja ia tidak dapat mengelak bahwa perasaannya hancur kala kata talak keluar dari mulut Arza.Mulut Azkiya terkatup rapat tetapi air matanya mengalir semakin deras. Ia berusaha menahan tangisnya agar tidak meledak di hadapan Arza.“Maaf, karena sampai akhir aku masih tidak mampu membahagiakanmu,” lirih Arza.Kakinya mela
Pukulan terakhir dari Alwi membuat Arza terkapar. Tidak ada perlawanan sama sekali dari Arza, lelaki itu benar-benar sudah pasrah.Alwi duduk di samping Arza yang terbaring di bawah. Ia mengatur nafasnya perlahan untuk meredam emosi yang sempat meluap.“Tolong sampaikan maafku pada Azkiya,” pinta Arza yang masih berada di posisi sebelumnya. Matanya menatap ke arah langit.“Tidak.”“Katakan pada Azkiya dengan mulutmu sendiri!” tolak Alwi dengan cepat. Ia sadar tidak berhak masuk ke dalam urusan tersebut karena ini menyangkut hubungan mereka berdua.Alwi bangkit dari duduknya. Ia berdiri membelakangi Arza.“Selesaikan semua ini!”“Kau harus melanjutkan hidup apapun yang terjadi!” tukas Alwi.Arza hanya terdiam mendengar ucapan Alwi. Melanjutkan hidup? Arza bahkan rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini.“Obati lukamu!” ujar Alwi sebelum akhirnya mele
Tangannya gemetar saat memegang kertas tersebut. Arza tertegun cukup lama dengan netra yang berkaca-kaca.“Benarkah ini?” lirih Arza. Ia sungguh ingin mempercayai bahwa apa yang ia lihat tidaklah nyata. Tetapi tanda tangan Azkiya di kertas tersebut tidak dapat disangkal.Surat yang dulu pernah ia siapkan untuk perceraian kini benar-benar ditandatangani oleh Azkiya.Arza meremas kertas itu dengan kuat seiring rasa sakit yang makin menyesakkan dadanya. Apakah pernikahannya akan benar-benar berakhir seperti ini?Arza menggeleng. Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya. Ia menyambar kunci mobil di atas nakas lalu melangkah cepat keluar dari kamar.Kebahagiaannya bersama Azkiya terlalu cepat berakhir. Ini bahkan tidak sebanding dengan usaha Arza untuk menerima kehadiran perempuan itu dalam hidupnya.Kakinya melangkah dengan cepat menuruni tangga. Pikirannya kini hanya tertuju pada Azkiya. Arza harus bisa menemukan perempuan itu baga
Azkiya langsung tertegun. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Atifa.“Apa kamu yakin Arza berkata jujur?” tanya Azkiya memastikan. Ia sepertinya trauma dengan semua kebohongan yang ditujukan padanya.“Dia mengatakannya kepadaku dan Alwi kemarin. Aku tidak melihat kebohongan di matanya,” jelas Atifa. Ia merasa serba salah saat mengatakannya. Pasalnya, Alwi bersikeras untuk tidak memberitahu Azkiya tentang hal itu.Tak ada tanggapan apapun. Azkiya hanya termangu dengan tatapan entah kemana.“Kemarin Alwi menghajarnya,” cicit Atifa yang masih bisa terdengar oleh Azkiya.“Kondisinya sangat memprihatinkan. Dia tidak pernah berhenti mencarimu, Azkiya,” tambah Atifa. Hatinya merasa dilema saat mengatakannya.Seketika Azkiya mengalihkan pandangannya. Air matanya mulai berjatuhan saat ia menatap sahabatnya itu.Ada rasa perih disudut hatinya saat mendengar hal t