Mata Arza melirik dengan tajam. Sontak seluruh pegawai menunduk. Lalu perlahan mereka bubar tanpa mengatakan sepatah katapun. Arza memang terkenal sangat dingin kepada siapapun. Tak terkecuali pada sahabatnya Alwi yang juga merupakan manajer di kafe tersebut.
Arza kembali melangkah pergi. menyisakan Azkiya dan Atifa yang masih terdiam. Di tempat mereka berdiri. Lantas Atifa langsung membawa Azkiya ke belakang. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya ini.
“Kenapa kamu menikah tanpa memberitahuku?” todong Atifa tanpa basa-basi. Bibirnya mengerucut sebal. Azkiya hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.
“Maafkan aku, Fa. Ini sangat mendadak. Jadi aku tidak sempat memberitahumu,” tutur Azkiya menjelaskan.
“Baiklah. Eh, tapi kenapa kamu masih memakai baju pelayan ini?” Dahi Atifa mengernyit saat bertanya hal itu.
“Kamu istri dari pemilik tempat ini. Artinya kamu juga bos di sini, Kiya,” seloroh Atifa dengan polosnya.
Kiya merupakan panggilan yang diberikan Atifa pada Azkiya. Mendengar pertanyaan polos dari sahabatnya membuat Azkiy hanya bisa tersenyum. Entah apa yang harus ia katakan tentang pernikahannya ini, tentang Arza yang hanya terpaksa menikah dengannya.
“Kiya,” panggil Atifa yang membuatnya tersadar dari lamunan. “Kenapa malah diam?” lanjutnya.
Sontak Azkiya langsung memandangnya dengan kikuk.
“E-em itu, ya. Aku hanya bosan jika terus berada di rumah, makanya aku putuskan untuk tetap bekerja,” jelasku berusaha santai.
“Tapi tidak harus menjadi pelayan juga, ‘kan?”
Pertanyaan Atifa sungguh membuat Azkiya bingung mencari alasannya, terlebih sahabatnya ini memang tipe orang yang selalu ingin tahu. Azkiya terdiam.
“Memang salah menjadi pelayan?” Azkiya bertanya balik.
“Memang tidak salah, tapi .…”
“Sudahlah. Sebaiknya kita bekerja sebelum pemiliknya kembali marah,” potong Azkiya segera. Dia tahu setelah ini pasti akan banyak pertanyaan yang keluar dari mulut Atifa. Akhirnya Atifa mengalah. Mereka bersiap untuk membersihkan meja-meja sebelum para pelangan datang.
Selang beberapa lama satu persatu pelanggan mulai datang. Para pegawai mulai sibuk dengan pekerjaan mereka. Begitu juga Azkiya. Sesekali wanita itu memandang ke arah pintu tempat dimana Arza berada. Lelaki itu belum keluar sama sekali dari ruangannya.
Suasana di antara para pegawai menjadi canggung. Bagaimana tidak, istri dari pemilik kafe tempat mereka bekerja justru menjadi pelayan di sana. Alwi yang merupakan sahabat dari kedua orang itu bahkan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia sangat penasaran tapi belum sempat bertanya pada Arza. Alwi mengambil kesempatan ketika suasana mulai lengang. Lelaki itu menghampiri Azkiya.
“Hey!” seru Alwi seraya berjalan mendekat pada Azkiya.
Merasa ada yang memanggil Azkiya lantas mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Wanita itu tersenyum saat mengetahui siapa yang menyapanya.
“Selamat atas pernikahanmu,” ucap Alwi memulai pembicaraan.
Azkiya tersenyum tipis, ”Terima kasih.”
Hening sesaat. Alwi ragu bertanya tentang hal itu. Tapi ia sangat penasaran.
“Bukankah seharusnya kamu tidak lagi mengerjakan sesuatu seperti ini, Azkiya?” tanya Alwi hati-hati. Tanpa butuh waktu Azkiya paham apa yang ditanyakan lelaki di sampingnya.
“Ah, Ini? Tidak apa-apa. Aku hanya terlanjur terbiasa saja.” Mata Azkiya tak berani menatap Alwi. Tentu saja ia berbohong.
“Baiklah,” timpal Alwi tak puas. Lelaki itu tau ada yang tak biasa. Tapi ia merasa tak enak jika terus bertanya.
Lalu tiba-tiba ada seorang perempuan masuk seraya memandang kesana kemari seperti mencari seseorang. Azkiya berinisiatif menghampiri perempuan tersebut untuk bertanya. Sementara Alwi hanya diam memperhatikan.
“Permisi. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Azkiya ramah. Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia melihat Azkiya dari atas hingga bawah. tentu saja Azkiya tak nyaman.
“Di mana kekasih saya?” Perempuan itu balik bertanya. Tentu saja pertanyaan itu membuat Azkiya bingung.
Dahi Azkiya berkerut. ”Siapa yang anda maksud?”
Helaan napas terdengar dari mulut perempuan tersebut. Ia merapikan rambutnya dengan tangan. ”Maksud saya Arza.”
Seketika mulut Azkiya kelu. Ia terdiam dan menatap tak percaya pada perempuan di hadapannya. Melihat reaksi Azkiya yang tak biasa membuat Alwi penasaran. Lelaki itu gegas menghampiri mereka berdua.
“Azkiya! Ada apa?”
Azkiya masih diam tak menjawab. Kemudian Alwi menatap perempuan asing di hadapannya.
“Kamu tahu Arza di mana? Saya sudah membuat janji dengannya.” Perempuan tersebut beralih pada Alwi.
“Anda siapa?” Alwi balik bertanya.
“Kekasihnya.”
Satu jawaban yang membuat Alwi juga ikut terdiam. Beberapa pegawai yang mendengar hal itu ikut terkejut. Pandangan Alwi beralih pada Azkiya. Entah apa yang Azkiya pikirkan. Yang jelas lelaki itu tau jika Azkiya tidak baik-baik saja.
Azkiya tengah duduk dengan pandangan lurus. Tidak. Lebih tepatnya ia sedang melamun. Setelah apa yang dikatakan perempuan tadi Azkiya hanya bisa terdiam. Situasi ini sangat tidak bisa dipercaya. Tapi Azkiya tak bisa menyangkalnya. Mengingat Arza juga menikahi dirinya karena terpaksa, bukan tidak mungkin lelaki itu juga masih memiliki kekasih.
Di tengah lamunannya Azkiya dihampiri oleh seseorang. Dengan ragu seseorang itu duduk di samping Azkiya. Atifa-sahabat Azkiya menatapnya dengan lekat, namun hal itu tak disadari oleh Azkiya. Pikirannya masih berkelana pada apa yang ia lihat tadi. Benaknya penuh dengan tanya tentang wanita yang bergelayut manja pada suaminya.
Azkiya tersadar saat tangannya digenggam lembut oleh seseorang. Ia lantas menengok ke samping, lalu tersenyum canggung saat Atifa menatapnya.
“Eh, Atifa.” Azkiya tersenyum tipis.
“Kiya, apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Atifa terdengar pelan dan sangat hati-hati.
Senyum terukir di wajah Azkiya, sekuat tenaga ia berusaha menutupi lukanya di hadapan Atifa. Ia belum sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. Atifa masih setia menunggu jawaban Azkiya, tangannya mengenggam erat jemari sahabatnya itu.
“Azkiya!” seru seseorang tiba-tiba. Mereka berdua menoleh ke sumber suara. Seorang pegawai berjalan menghampiri tempat mereka duduk.
“Pak Arza menyuruhmu untuk membuat minuman,” ucap pegawai itu.
Azkiya mengernyitkan dahi. Ia merasa bingung karena selama ia bekerja di kafe itu Azka tak pernah sekalipun menyuruh Azkiya membuatkan minuman.
“E-em, itu untuk tamunya Pak Arza,” sambung karyawan itu yang langsung menjawab kebingungan Azkiya. Atifa mendesis tak suka. Bisa-bisanya Arza memperlakukan Azkiya seperti itu.
“Kenapa tidak kamu saja yang membuatnya?” tanya Atif tiba-tiba. Pegawai itu diam sejenak. Ada rasa iba saat melihat Azkiya.
“Maaf. Ini perintah dari Pak Arza sendiri,” jawabnya dengan sungkan.
Azkiya menghela napas, mengusap lembut tangan Atifa agar tenang. Dengan senyum ia mencoba meyakinkan Atifa bahwa dirinya baik-baik saja.
“Baik. Akan segera aku buatkan.” Azkiya menjawab dengan tenang. Pegawai tadi mengangguk pelan lalu melenggang pergi meninggalkan tempat itu.
“Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku, Kiya,” cegah Atifa saat Azkiya melepaskan genggaman tangannya.
Azkiya bangkit dari duduknya tanpa menjawab pertanyaan Atifa. Ia hanya takut tak bisa menahan diri dan menangis lagi. Kaki Azkiya perlahan melangkah hendak pergi, namun terhenti saat Atifa mencekal pergelangan tangannya. Azkiya berbalik menatap sahabatnya, raut wajah khawatir terpahat jelas di sana.
“Kamu tidak apa-apa, Kiya?” tanyanya dengan suara pelan. Azkiya tersenyum seraya menggeleng.
“Aku akan baik-baik saja,” jawab Azkiya mencoba meyakinkan sahabatnya.
Azkiya melepas genggaman tangan Atifa, lalu melenggang pergi. Sungguh jika harus jujur, tidak ada yang baik-baik saja saat ini. Hatinya gundah, jiwanya terluka atas apa yang telah di lakukan Azka. Namun tekadnya membuat ia kuat. Ia percaya mampu mengambil hati Azka suatu saat.
Teh telah siap di tangan, namun Azkiya ragu untuk masuk ke ruangan Azka. Ia terpaku di depan pintu. Matanya menatap lurus ke bawah, mencoba menguatkan hati dengan berkali-kali mengambil napas.
Tangan Azkiya membuka pintu dengan perlahan. Azkiya tak percaya dengan apa yang ia lihat saat pintu itu telah terbuka sempurna. Seluruh sendi tubuhnya seakan membeku. Azkiya mematung .…
Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.Matanya memana
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul
Azkiya terjatuh. Tentu saja piring yang dibawanya ikut terjatuh dan seketika hancur berserakan. Tubuh Azkiya bersimpuh di lantai, ia terdiam karena terkejut dengan apa yang menimpanya. Semua mata kini tertuju padanya.“Upss! Maaf. Kakiku ini memang sedikit nakal,” celetuk Ria dengan tersenyum puas.Mata Azkiya kini memandang wanita itu dengan tajam, hatinya panas tersulut emosi.“Apa yang kamu lakukan nenek lampir!” bentak Atifa yang berlari menghampiri Azkiya. Ia langsung membantu sahabatnya untuk bangun.“Apa? Aku hanya mencoba memberitahu jika tempat wanita miskin dan rendahan seperti dia itu di bawah, itu saja. Ada yang salah?” ucap Ria santai dengan tatapan meremehkan.Atifa tertawa sumbang mendengar penuturan Ria, ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu ucapkan. Rendahan katanya?“Rendahan katamu? Lalu harus aku sebut apa wanita yang bermesraan dengan suami orang seperti dirimu? Jala*g?” cecar Atifa dengan tangan terkepal.Seketika mata Ria membulat mendengar
Azkiya duduk ditepi ranjang, tangannya memutar-mutar ponsel dengan tatapan entah kemana.Ucapan mertuanya masih terngiang-ngiang di telinga Azkiya.“Namanya Ria.”Azkiya yakin jika memang Ria yang dimaksud mertuanya adalah perempuan yang datang ke restoran tempo hari.Tapi jika memang Arza terluka akibat diselingkuhi mengapa sampai saat ini dia masih berhubungan dengan Ria?Tangan Azkiya mengetuk-ngetuk dagu.‘Apa maksud semua ini?’ Batin Azkiya bermonolog.Azkiya membuka ponsel, lalu mencari sebuah kontak disana. Ia baru saja hendak menekan kontak itu untuk menghubunginya, tapi jarinya tiba-tiba terhenti.“Aku rasa Alwi tidak akan memberitahuku seperti tadi siang,” ujar Azkiya.Perempuan itu menghela nafas berat, semua yang terjadi membuatnya bingung. Ditambah sikap Arza yang belum juga melunak kian menyesakkan dada.Tengah malam hampir tiba, Tapi Arza belum juga pulang. Azkiya beberapa kali menguap karena mengantuk, tapi sebisa mungkin ia tahan.Azkiya duduk di ruang tamu menunggu A
Tubuhnya mematung, pandangannya terkunci pada sosok perempuan yang tengah duduk di sana. Arza merasa sesuatu menyusup dalam perasaannya.Hening. hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Perempuan mungil itu dengan perlahan menyuapkan nasi ke mulut.Namun sesaat kemudian terdengar isak tangis yang semakin jelas di telinga Arza. Perempuan itu mengambil air dalam gelas lalu meminumnya, Azkiya menyudahi acara makannya.Azkiya menelengkupkan wajahnya di atas meja. Isak tangisnya tertahan tapi masih bisa terdengar.Arza berbalik, terkejut dengan apa yang ia lihat. Sekali lagi pandangannya jatuh pada sosok Azkiya yang tengah menangis sendirian, sebelum akhirnya ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu.Isak tangis masih belum juga reda, Azkiya sengaja makan sendiri karena tidak ingin usahanya terbuang percuma.Namun akhirnya ia tidak mampu menahan tangisnya, ia makan dengan berurai air mata. Semampu yang ia bisa, Azkiya menahan
“Jangan banyak bertingkah! Kehadiranmu saja sudah susah, jadi tolong jangan membuatku dalam masalah!” gerutu Arza sesaat setelah mobil itu melesat membelah jalanan.Azkiya yang tengah melamun dengan memandang keluar lantas menengok ke samping, ia hanya tersenyum miris. “Maafkan aku.”“Kamu sengaja agar ibu tahu tentang masalah ini!?” Lagi Arza meluapkan kekesalannya.Perempuan di sampingnya hanya diam. Bukan tidak sopan, tapi ia lelah jika harus kembali berdebat, dan akhirnya memilih mengalah.Lelaki itu menyentak nafas kasar. Setelahnya tidak ada pembicaraan apapun antara dua manusia itu, hening menyelimuti hingga mobil sampai tepat di depan restoran.Arza langsung keluar mobil tanpa menghiraukan apapun.BruggghLelaki itu membanting pintu mobil dengan kasar, membuat Azkiya tersentak kaget. Ia hanya mengelus dada.Dengan langkah cepat Azkiya keluar mengejar Arza yang berjalan hendak masuk. L