"Jadi, dia adalah adik perempuannya?" tanya Mas Azzam pada pria berbaju hitam yang memberikan informasi tentang foto yang di pegangnya. "Benar, Bos. Dia masih kuliah akhir semester. Dia juga salah satu orang yang disayangi oleh pria yang Bos bilang." Mas Azzam tersenyum menyungging penuh arti. "Baiklah, terima kasih informasinya. Terus awasi dia dan laporkan apa saja tentangnya." "Siap, Bos!" Pria berbaju hitam itu pun keluar dari ruangan Mas Azzam. Mas Azzam kembali menatap foto gadis yang diberikan oleh pria suruhannya tadi. "Cantik, tapi Ana tetap paling cantik. Sorry, jika kamu harus menjadi korban karena ulah Abang mu, cantik, he he." Mas Azzam meremas foto itu dan kembali mengambil foto ku yang dia ambil saat masih bersamanya dulu. "Cintaku tetap untuk mu, Ana. Kamu tidak akan tergantikan oleh siapapun. Dan kamu adalah milikku, milikku, Ana." Mas Azzam berkali-kali mengecup foto itu dan menyimpannya di dada dengan dekapan erat. Entah apa rencana Mas Azzam pada foto yang dib
Akilah menatap pria itu dengan berpikir sejenak. "Mas Azzam?" tebaknya. Mas Azzam pun tersenyum senang karena ternyata Akilah mengenalinya. "Mobil kamu bocor?" Mas Azzam menoleh pada mobil Akilah. "Saya antar kamu kalau tidak keberatan. Ke kampus kan?" Akilah masih belum menjawab pertanyaan Mas Azzam. Namun, setelah beberapa detik Akilah berpikir. Akhirnya senyuman itu pun terukir dari bibirnya membuat Mas Azzam pun tersenyum senang. "Enggak ngerepotin nih, Mas?" "Enggak, saya kebetulan lagi santai hari ini. Sebenarnya masih belum ingin masuk kantor, hanya saja kalau di rumah malah terasa banget sesaknya, he he."Akilah kembali terdiam sejenak mencerna ucapan Mas Azzam. Tentu saja Akilah mengerti maksud ucapan sesaknya dari mulut Mas Azzam. Ada rasa iba terbesit dari hati Akilah pada Mas Azzam. Akilah tentu saja mengerti bagaimana rasanya patah hati. "Ya udah deh, Pak Jon Kila ikut Mas Azzam ya. Soalnya jam nya udah mepet takut telat."Pak Jon pun mengangguk. "Oh, iya, Non. Maafi
Hari berganti hari dengan begitu cepat karena mungkin kini aku begitu menikmati hidup dalam kebahagiaan bersama Mas Salman. Walau kini aku dibuat dilema oleh kabar dari Dokter perihal keadaan Ibu. Aku bingung, keputusan apa yang harus aku ambil. Dokter mengatakan jika keadaan Ibu memang sudah tidak bisa dikatakan baik. Karena jiwa dan raganya seperti tidak menginginkannya untuk kembali hidup. Mungkin itu karena fisik Ibu yang sudah melemah akibat penyakit hati yang dideritanya. "Ada apa, sayang?" Mas Salman memelukku dari belakang seperti biasanya. "Apa yang kamu pikirkan, Ana?" Aku menarik tangan Mas Salman agar mendekapku lebih erat. "Aku tidak apa-apa, Mas." Mas Salman melonggarkan pelukannya dan membalikkan badanku agar kami saling berhadapan. "Apa kamu masih tidak percaya padaku, Ana?" Mas Salman mengecup bibirku lembut. "Jangan anggap aku seperti dulu, Ana. Aku dulu memang tidak peduli padamu sama sekali, tapi tidak untuk sekarang." Mas Salman menyisipkan rambutku di belakang
"Jadi seperti itu, Dok? Apa tidak ada jalan lain? Apa kemungkinan untuk sembuh itu tidak ada?" Mas Salman memegang erat tanganku saat tengah berbicara dengan dokter yang menangani Ibu. "Saya minta maaf, Tuan Emir. Rumah sakit di sini sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya memang dari pasien sudah tidak berkeinginan untuk hidup." Aku terus mengeluarkan air mata karena sudah tak mampu membendungnya. Mas Salman langsung memeluk tubuhku bahkan terus mengecup wajahku di depan sang dokter. Aku berpikir mungkin Ibu saat ini sudah merasa tenang meninggalkanku karena perubahan Mas Salman yang sudah benar-benar mencintaiku. Aku pun masuk ke ruangan Ibu dengan kaki yang lesu. "Buu." Aku mengambil tangan Ibu, lalu mengecupnya dengan deraian air mata karena aku yang begitu merindukan belaian dari tangan Ibu. "Ana rindu, Ibu. Bangun, Bu." Mas Salman kembali memelukku. "Kamu harus kuat, sayang. Ibu akan bahagia kalau kamu kuat. Begitu pun sebaliknya." Sungguh, aku begitu bahagia men
"An, ibu perhatikan kok kamu seperti tidak semangat begitu? Wajahnya pucet." Ibu mengapit wajahku. "Apa Al tahu ini?" "Tahu apa, Bu?" sahut Mas Salman baru datang dari kantor. "Waalaikum salam," kata Ibu menyindir Mas Salman yang lupa mengucapkan salam. "Astaghfirullah ... maaf Bu, Al lupa." Mas Salman mengecup punggung tangan Ibu lalu mengecup keningku. "Kamu kenapa sayang?" "Loh, kamu enggak tahu, Al?" "Tadi pagi Ana baik-baik saja, Bu." "Buu, Ana tidak apa-apa. Hanya sedikit kurang enak badan." "Kita ke dokter, sayang," tawar Mas Salman langsung khawatir padaku. "Kamu beneran pucat ini." Mas Salman meraba semua bagian wajah dan tubuhku. "Aku tidak apa-apa, Mas." Mas Salman tak menghiraukan ucapanku dan langsung menggendongku menuju mobilnya. Padahal Mas Salman baru pulang dari kantor. Bahkan Mas Salman belum minum apalagi sampai ke dalam kamar, Mas Salman baru sampai di ruang tengah dan langsung berangkat lagi karena khawatir pada keadaanku. Aku mengucap syukur bahagia Ma
"Selamat ya, sayang. Ibu bahagia sekali." Ibu terus memelukku berkali-kali lalu menoleh pada Ayah yang kini juga terlihat begitu bahagia. "Ayah, sebentar lagi kita akan jadi nenek dan kakek, Ayah." "Iya, Bu. Ayah juga bahagia dan tidak percaya jika kita akan menjadi kakek dan nenek secepat ini. Masalahnya ...." Ayah menoleh pada Mas Salman. "Al, mungkin kami ingin mengadakan syukuran besar-besaran. Ayah sungguh tidak percaya dengan anugerah yang Allah berikan pada kita. Walau pun awalnya kami begitu kecewa padamu, tapi, nyatanya Allah mengganti semua kekecewaan itu dengan memberikan kebahagiaan ini dengan cepat. Ayah sungguh senang, Al." Mas Salman menoleh dan menatapku dengan tersenyum lebar. "Ini semua karena Ana yang sudah mau menerima Al dan menyadarkan Al. Jika saja Ana tidak mau menerima Al kembali, mungkin ini tidak akan terjadi." "Sstttt, jangan pernah katakan itu lagi, Mas. Kamu yang sekarang adalah suamiku yang sempurna." Aku memotong ucapan Mas Salman. "Aku tidak ingin m
"Wah ... alhamdulillah, selamat Kak Ana, Mas Al. Kalian hebat." Akilah ikut bahagia atas kehamilanku. "Jadi, bagaimana? Apa hubungan kalian sudah sampai mana?" tanyaku lagi pada Akilah dan menoleh pada Mas Azzam. Suasana kembali hening. Mas Salman dan Ayah masih belum ada yang bicara. Begitu pun Mas Azzam yang hanya menatap Mas Salman sesekali menoleh padaku dan Akilah. "Ayah, Mas." Suara Akilah pada akhirnya. "Sebenarnya kita ...." "Biar pria itu yang mengatakan maksud dan tujuannya, Kila." Akilah pun menunduk dan meremas lenganku. Aku mengerti perasaan Akilah yang adalah gadis penurut pada kedua pria terhormat di rumah kami. Aku dan Ibu pun merangkul dan hanya mampu mengusap punggungnya untuk menenangkan. Mas Azzam akhirnya bersuara. "Baiklah, Ayah ... sebenarnya, kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Akilah agar hubungan kamu mempunyai status yang jelas. Walau pun kami masih akan menimbang kapan kami akan menikah." Hening. Suasana kembali hening bahkan saat ini jantun
Mas Salman begitu kesal karena aku terus saja menariknya untuk pergi. "An, kamu itu apaan sih?" Mas Salman menghempaskan tanganku. "Kamu yang apaan, Mas? Kenapa kamu bersikap seperti itu? Biarkan mereka juga meraih kebahagiaan mereka. Aku yakin ini memang takdir dan jalan untuk kita agar kita bisa terus saling bersilaturahmi dengan Mas Azzam." Aku meraih tangan Mas Salman. "Pleas, Mas. Aku sendiri begitu merasa bersalah pada Mas Azzam. Dulu, dia yang selalu ada untukku. Tapi, di saat dia terluka aku tidak bisa bersamanya. Bahkan hanya untuk memberikan kata semangat pun aku tidak bisa karena hubungan rumit di antara kita, Mas. Aku sangat berterima kasih pada Akilah karena dia berhasil membuat Mas Azzam bangkit lagi.""Anaa, tapi tidak begitu yang Mas tangkap dari sorot matanya. Dia masih-" Cup! Aku mengecup bibir Mas Salman agar berhenti bicara. "Apa Mas masih takut aku akan berpaling padanya?" Mas Salman memejamkan matanya sedikit luluh. "Aku memang takut dia merebutmu dariku, Ana