Share

Bab 2

"Kamu!" pekik Mawar antara terkejut dan juga kesal, sedangkan Herlina tertawa lepas melihat ekspresi sang menantu yang berhasil ia kerjai.

"Ada apa sih, War?" tanya Kirana tanpa dosa membuat Mawar semakin kesal dan berbalik badan berlalu seraya menghentak-hentakkan kakinya. Bambang yang melihat tingkah ibu dan juga adik perempuannya itu hanya mampu membuang nafas panjang.

"Ibu kenapa, sih? Suka sekali mengerjai Mawar?" tanya Bambang tidak habis pikir dengan kelakukan sang ibu. Namun, wanita itu hanya mengangkat bahunya acuh.

Ketika Bambang ingin berlalu menyusul sang istri, tangannya di cegat oleh Karina membuat lelaki itu menatap sang adik lekat.

"Ada apa lagi?" tanyanya dengan dingin.

"Its, Mas Bambang gitu deh," balas Kirana manja seraya mengayun-ayunkan tangan Bambang seperti anak kecil yang tengah merajuk dan meminta dibelikan permen.

Herlina yang awalnya acuh kini menghampiri kedua anaknya itu.

"Kamu jangan kasar sama adikmu, Bang. Ibu gak suka,!" ucapnya dengan penuh penekanan. Namun, tidak merubah ekspresi Bambang sama sekali.

"Mas Bambang, aku pengen minta uang, bolehkan?" ucap Kirana setelah melihat sang ibu yang membelanya.

"Untuk apa?" tanya Bambang singkat.

Bagaikan lampu hijau di persimpangan jalan, Kirana langsung mengutarakan niatnya yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

"Aku mau kuliah!" teriaknya girang.

Bambang menarik pergelangan tangannya yang ditahan oleh Kirana dan mengusap lembut puncak kepala sang adik, apa yang dilakukan oleh lelaki itu disaksikan oleh sang ibu yang nampak begitu bahagia. Seakan-akan Bambang begitu menyayangi Kirana.

"Jadi, boleh, Mas?" tanya Kirana antusias dengan mata berbinar. Namun, sedetik kemudian perasaannya dibanting dan dihancurkan begitu saja.

"Tidak!" balas Bambang cepat dan hendak berlalu. Kali ini, sang ibu yang menahannya.

"Kamu gak boleh gitu, Bang! Kirana adikmu! Jangan pelit! Apa salahnya kalau dia ingin kuliah? Toh! Istri kamu saja bergelar sarjana!" Herlina meluapkan kekesalannya kepada Bambang, akan tetapi lelaki itu hanya tersenyum tipis dan menampakkan ekspresi yang datar kembali.

"Bukankah Ibu sendiri yang bilang? Kalau gelar sarjana Mawar tidak membuatnya menjadi pribadi yang sopan–santun? Jadi, untuk apa Kirana kuliah?"

Herlina hanya mampu bungkam seribu bahasa setelah mendengar kalimat pemungkas dari Bambang, walaupun di dalam hatinya mengumpat kesal kepada anak lelakinya yang kini telah berlalu.

Sebenarnya, tanpa Mawar ketahui. Selama ini Bambang sering membela sang istri dari ibu dan juga adiknya, walaupun hal itu tidak dilakukan didepan Mawar. Sebab, Bambang hanya ingin istrinya tetap patuh kepada ibu dan bisa menyayangi sang adik dengan baik.

Bambang yang kini sudah berada di dalam kamar segera naik ke atas ranjang dan menarik perlahan selimut sang istri yang ia yakini tengah merajuk. Di dalam diamnya Bambang memeluk tubuh wanita yang ia pilih sebagai penamping hidupnya itu.

"Dek, maafkan Mas ya? Mas belum bisa membuatmu bahagia, tapi ... Mas akan terus berusaha," kata Bambang dengan lirih.

"Aku gak perlu janji! Aku perlu bukti!" balas Mawar yang memang belum tidur dengan cepat, bukannya marah Bambang malahan senang dengan apa yang diucapkan oleh sang istri dan menghadiahi wanita itu dengan ribuan ciuman mesra.

Namun, apa yang dilakukan oleh Bambang tidak mampu meluluhkan hati sang istri yang masih saja merajuk sampai pagi.

Mawar lebih banyak diam dan menghindari Bambang, walaupun semua pekerjaannya tetap wanita itu lakukan seperti biasa.

"Dek, Mas antar ke kantor, ya?" Bambang masih berusaha membujuk sang istri yang begitu dingin kepadanya seraya mengikuti langkah wanita itu sampai ke depan.

"Jangan biasakan memanjakan istrimu, Bang! Dia harus bisa mandiri!" celetuk Herlina yang kebetulan baru saja datang dari berbelanja. Akan tetapi, Bambang buru-buru menarik tangan sang istri dan mengajak Mawar naik ke atas motornya meninggalkan omelan sang ibu yang seperti kereta ekspres itu.

Ketika di motor Bambang berusaha untuk menarik tangan sang istri yang berada di belakang, hal itu membuat Mawar menjadi geram.

"Apa sih, Mas?" tanya Mawar seraya menarik kembali tangannya, akan tetapi Bambang mengeggamnya dengan begitu erat.

"Biarkan seperti ini ya, Dek?" pinta Bambang yang membuat Mawar mengalah dan membiarkan tangannya melingkar di pinggang sang suami. Walaupun di dalam hatinya begitu dongkol.

Ketika berada di lampu merah, Bambang menatap sekilas ke belakang. Untuk memastikan bahwa sang istri tidak menekuk wajahnya lagi.

"Dek," panggil Bambang pelan.

"Iya, ada apa?" jawab Mawar dengan malas.

"Dek," panggil Bambang lagi yang berhasil membuat Mawar makin kesal.

"Gak usah panggil-panggil! Kalau gak punya pulsa!"

Bambang terkekeh mendengar ucapan Mawar tersebut, hal sederhana seperti ini yang nanti akan ia rindukan.

"Dek, jika suatu hari nanti Mas gak ada lagi di dunia ini? Bisa tidak kamu menjaga Ibu?"

Mawar yang mendengar permintaan aneh sang suami mendelik, "Mas jangan kasih wasiat yang aneh-aneh! Mana sanggupn aku jaga Ibu, Mas yang seperti Ibu tiri itu," jelas Mawar apa adanya dan membuat Bambang terdiam. Hingga tidak terasa mereka sudah sampai di halaman sebuah gedung sederhana.

Bambang menyodorkan tangannya dan disambut dengan wajah masam dari Mawar yang ingin segera pergi.

"Mas, lepaskan! Nanti aku terlambat! Hari ini ada tamu," kata Mawar setengah berteriak, sebab sang suami yang mengeggam erat tangannya seolah tidak ingin berpisah.

"Hati-hati, Dek," balas Bambang yang tidak ditimpali oleh Mawar yang kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju lapangan di mana teman-temannya sudah berbaris dan sang kepala desa telah membuka acara apel hari ini.

"Kamu terlambat lagi, War," kata Aprilia yang membuat Mawar hanya mampu tersenyum kecut setelah mendengar pernyataan temannya itu.

Namun, setelah kepala desa memanggil nama seseorang yang menjadi tamu penting mereka hari ini membuat semua perhatian kini teralihkan kepada sosok pemuda yang memiliki alis tebal itu.

Mata Mawar yang melihat sosok pemuda tersebut membulat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar, begitupun dengan Aprilia yang berada di sampingnya dan semua wanita yang ikut berbaris di sana.

"Saya ucapkan terimakasih atas sambutan yang diberikan, kedatangan saya ke sini seperti yang sebelumnya telah disampaikan—" ucapan pemuda itu terhenti. Ketika manik matanya menangkap sosok yang tidak asing.

Cukup lama sunyi, sampai kepala desa menepuk pelan pundak pemuda itu dan menyadarkannya. Begitupun dengan Mawar yang masih tidak percaya dengan sosok yang kini tengah berdiri di atas podium sederhana itu.

Bagaikan mimpi disiang bolong, hati Mawar yang sejak semalam terasa perih dan hambar. Kini terasa segar, seolah tanaman yang layu dan kembali segar setelah disiram oleh embun dipagi hari.

Di saat hati Mawar yang tengah menghangat setelah melihat sosok yang begitu ia kenal dan kagumi, ada perasaan yang kini tengah gelisah dengan tangan yang mengempal kuat.

"Mau apa lagi dia ada di sini?" tanya Bambang yang masih berada di sana dan melihat sosok yang sangat ia kenal dengan perasaan yang begitu terbakar api cemburu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status