"Dek, Mas di PHK!"
Bagaikan tidak memiliki tulang lagi, tubuh Mawar luruh ke bawah setelah mendengar pernyataan sang suami. Berbagai ujian dalam hidup berumah–tangga saja sudah membuat seorang Mawar yang berstatus sebagai istri harus menelan pil pahit, sekarang ditambah masalah ekonomi yang menjadi momok yang paling menakutkan. "Lalu, bagaimana biaya hidup kita, Mas?" tanya Mawar dengan lirih. "Kamu 'kan masih bekerja? Jadi, pakai uang gajih kamu saja dulu, untuk menutupi kebutuhan kita," terang Bambang yang membuat Mawar hanya mampu tersenyum getir. Bukan Mawar tidak ingin berbakti kepada sang suami, akan tetapi kebutuhan mereka sangatlah banyak. Karena Bambang yang harus membiayai ibu dan juga adik perempuannya, sedangkan gajih yang dimiliki oleh Mawar sebagai pegawai disalah satu pemerintahan desa tidaklah seberapa. Disaat semua hal tengah berkecambuk di dalam pikirannya, tidak berapa lama terdengar suara Herlina dari balik pintu. "Bang! Ibu mau minta uang! Tabung gas habis!" Mawar hanya mampu terdiam, seraya menatap wajah tampan sang suami yang masih tidak bergeming sama sekali setelah mendengar teriakan dari sang ibu. "Dek," panggil Bambang dengan pelan setelah ketukan dan teriakan dari sang ibu semakin menjadi. Dengan langkah gontai Mawar berjalan ke lemari dan mengambil uang yang ada di dalam dompetnya, kemudian melangkah menuju pintu. "Eh, Mawar," sapa Herlina setelah melihat wajah sang menantu yang membukakan pintu kamar. Tanpa banyak berbicara, Mawar menyodorkan uang berwarna biru kepada sang ibu mertua. Namun, ketika mawar hendak menutup pintu kembali. Wanita itu melahan menahannya. "Tunggu, Mawar. Ini gak cukup!" kata Herlina setengah berteriak, sengaja wanita itu lakukan agar bisa di dengar oleh Bambang. Benar saja, lelaki itu pun menghampiri kedua wanita tersebut. "Memangnya berapa yang Mawar kasih ke Ibu?" tanya Bambang membuat senyum sang ibu merekah seperti bunga mawar dipagi hari. "Cuma segini, Bang. Mana cukup untuk beli lauk dan jajan Kirana," terang Herlina dengan wajah memelas seraya memagang uang pemberian dari sang menantu. "Dek, kamu ko' pelit sama Ibu?" Bagaikan di tusuk sembilu, ucapan Bambang membuat hati dan perasaan Mawar terasa perih. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang mampu menyakiti seorang istri dengan begitu kejam, kecuali suaminya sendiri. Mawar tidak menimpali ucapan Bambang, ia memilih berlalu dan kembali naik ke atas ranjang. Masih bisa ia dengar celotehan sang ibu mertua yang terus-menerus menyudutkannya. "Kamu lihat istrimu, Bang? Dia tidak memiliki sopan-santun kepada Ibu! Padahal, Ibu 'kan juga orang–tuanya. Sekolah saja dia tinggi, gelar sarjana tidak membuatnya memiliki akhlak yang baik." "Sudah Ibu bilang 'kan, kemarin. Kamu itu, tidak cocok menikahi dengan Mawar. Dia–" "Maaf, Bu. Aku capek, mau istirahat dulu," terang Bambang menghindari pernyataan sang ibu yang sudah bisa dipastikan akan membandingkan Mawar dengan mantan kekasihnya. "Loh, Bang! Ini uangnya kurang, bagaimana!" teriak Herlina yang sama sekali tidak diperdulikan oleh Bambang, di mana lelaki itu masih berdiri dibalik pintu kamar yang tertutup. "Dasar! Enggak menantu! Enggak anak! Sama-sama pelit! Padahal aku Ibunya, yang melahirkan dan membesarkannya! Enak-enaknya Mawar ambil Bambang! Awas aja nanti kamu, punya anak. Baru tahu rasa anaknya diambil orang." Suara Herlina yang terus-menerus mengoceh di luar sana masih bisa didengar oleh Bambang dan Mawar, hingga perlahan air mata Mawar yang berada di balik selimut jatuh juga. Cinta itu memang buta, ia tidak mampu melihat kekurangan orang yang dicintai. Sekalipun disakiti berulang kali, cinta tetap masih tumbuh subur. Seolah rasa sakitnya merupakan pupuk yang paling baik. "Dek," panggil Bambang pelan seraya naik ke atas ranjang. Tubuh Mawar yang membelakangi suaminya membuat lelaki itu tahu, kalau sang istri tengah merajuk. "Maafkan, Ibu ya," kata Bambang. "Iya, aku tahu! Aku yang harus selalu mengalah dan menjadi orang yang salah! Emang pernah Ibu kamu salah, Mas? Enggak 'kan? Tetap aku yang salah, sekalipun enggak melakukan apapun!" Jika benci sudah menjalar keseluruh tubuh, jangankan berbicara. Bernafas sekalipun, orang yang tidak disukai akan salah. Seperti itulah yang dirasakan oleh Mawar, setelah menikah dengan Bambang dan dibawa tinggal bersama keluarga sang suami. Kehidupan Mawar begitu berubah, jika di rumah orang tuanya ia dijadikan ratu. Berbeda dengan di rumah sang suami. Mawar tak' ubahnya seperti babu yang harus siap menjadi orang yang salah dan disalahkan. Sekalipun tidak melakukan apapun. "Kamu ya harus ngertiin, Ibu, Dek. Dia janda, gak ada pekerjaan. Jadi–" "Jadi, aku yang harus menghidupinya? Baru aja kamu bilang sudah di PHK! Terus kita mau makan apa? Ibu kamu kasih makan apa? Adik kamu itu, mau kamu kasih makan apa? Hah!" Pertanyaan tanpa henti Mawar layangkan kepada sang suami, ia merasa lelah dan juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua yang terjadi pada hidupnya kali ini begitu berat, suaminya akan menjadi pengganguran. Sedangkan mereka harus tetap makan dan membiayai ibu serta Kirana. "Dek, kamu ko' marah-marah?" Mawar tidak mampu berkata-kata lagi, ia memilih untuk diam dan menangis. Meratapi hidupnya yang akan semakin sulit untuk kedepannya, kalau masih bertahan di rumah ini. "Dek, kamu itu harus pengertian. Mas baru di PHK, jadi tolong diberi semangat." Apa yang diucapkan oleh Bambang bagaikan angin lalu ditelinga Mawar, ia tidak mampu membayangkan jika dirinya harus menjadi tulang punggung untuk menghidupi keluarga suaminya. "Dek! Kamu dengar tidak?" bentak Bambang kesal. "Iya! Iya! Aku dengar semuanya, Mas. Aku akan menjadi menantu yang baik. Istri yang cantik dan pengertian. Kakak ipar yang mengayomi. Iya! Aku dengar semua itu!" kata Mawar berapi-api seraya menatap wajah sang suami dengan lelehan air mata. "Kamu itu kenapa, sih?" Mawar tidak mampu berkata apa-apa setelah mendengar pertanyaan dari suaminya, ternyata menikah itu tidaklah indah seperti film-film korea yang ia sering tonton. Di mana pemeran laki-lakinya akan memeluk sang kekasih ketika menangis. "Gak pa-pa! Aku capek! Mau istirahat! Besok harus kerja!" balas Mawar kesal. "Loh gitu? Kamu nyindir, Mas?" Ingin rasanya Mawar menceburkan suaminya ke dalam dasar laut, "Mas lupa? Mulai besok enggak bekerja?" terang Mawar menahan amarah. "Iya, baru aja Mas bilang sama kamu. Mas di PHK, balas Bambang. "Jadi, kenapa Mas harus marah? Lalu, bilang aku nyindir, Mas?" tanya Mawar setengah berteriak. Ditengah-tengah perdebatan keduanya, tidak berapa lama terdengar teriakan dari Herlina. "Bang! Ada perempuan, cari kamu!" Seketika darah Mawar mendidih mendengar perkataan dari sang ibu mertua dan berlari ke luar diiringi oleh sang suami yang mengekor dibelakang. "Kamu!" pekik Mawar setelah berada di depan wanita cantik yang dimaksud oleh Herlina."Kamu!" pekik Mawar antara terkejut dan juga kesal, sedangkan Herlina tertawa lepas melihat ekspresi sang menantu yang berhasil ia kerjai."Ada apa sih, War?" tanya Kirana tanpa dosa membuat Mawar semakin kesal dan berbalik badan berlalu seraya menghentak-hentakkan kakinya. Bambang yang melihat tingkah ibu dan juga adik perempuannya itu hanya mampu membuang nafas panjang."Ibu kenapa, sih? Suka sekali mengerjai Mawar?" tanya Bambang tidak habis pikir dengan kelakukan sang ibu. Namun, wanita itu hanya mengangkat bahunya acuh.Ketika Bambang ingin berlalu menyusul sang istri, tangannya di cegat oleh Karina membuat lelaki itu menatap sang adik lekat."Ada apa lagi?" tanyanya dengan dingin."Its, Mas Bambang gitu deh," balas Kirana manja seraya mengayun-ayunkan tangan Bambang seperti anak kecil yang tengah merajuk dan meminta dibelikan permen.Herlina yang awalnya acuh kini menghampiri kedua anaknya itu."Kamu jangan kasar sama adikmu, Bang. Ibu gak suka,!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Setelah sambutan dan serangkaian acara apel yang digelar selesai, Mawar yang hendak berlalu seperti teman-temannya yang sudah pada bubar sedikit tersentak. Ketika ada sebuah tangan yang begitu hangat menariknya perlahan. "Mawar?" seru pemuda itu membuat Mawar hanya bisa mematung, antara senang dan juga bingung harus berbuat apa. Namun, disaat kedua manik mata mereka bertemu. Tiba-tiba saja terdengar suara berat lelaki yang sangat ia kenal. "Mas Bambang!" seru Mawar terkesima. Bambang menarik dengan kasar tangan Mawar dan membuat Rendy yang sebelumnya menggenggam pergelangan tangan Mawar melepaskan genggamannya. "Ayo pulang!" perintah Bambang yang sudah mulai kehilangan akal sehatnya, sebab cemburu buta yang tengah menguasai lelaki itu. Mawar berusaha untuk tidak terpancing emosi dan mengelus lembut lengan sang suami, apa yang dilakukan oleh Mawar membuat Rendy yang melihat hal itu hanya terdiam dengan sorot mata dingin. "Mas, aku akan pulang nanti siang. Hari ini aku bekerja du
"Aaaa!""Mawar!" pekik Bambang panik melihat tubuh sang istri yang terjatuh dan terguling ditangga. Bahkan semua orang yang berada di tempat tersebut ikut terkejut dan bergegas menghampiri tubuh Mawar yang kini sudah berada di atas tanah. Tergeletak tidak berdaya.Bambang langsung panik seketika, ketika melihat keadaan sang istri. Namun sayang, karena jaraknya yang lumayan jauh membuat Rendy yang kebetulan berada disana dengan sigap mengangkat tubuh Mawar dan membawanya masuk ke mobil.Aprilia ikut masuk ke mobil yang ditumpangi oleh Rendy dan juga mawar tersebut, sedangkan Bambang tidak mempu berbicara apa-apa melihat semua yang terjadi begitu cepat. Hingga sedetik kemudian Bambang tersadar kemudian kembali naik ke atas motornya dan mengekori mobil mereka bertiga dari belakang."Minggir! Tolong! Beri jalan!" teriak Rendy panik seraya menggedong tubuh Mawar ketika sudah sampai disebuah puskesmas sederhana yang berada di desa tersebut.Sedangkan Aprlila yang sedari tadi berjalan dibela
Bambang menghajar wajah Rendy dengan membabi–buta, orang-orang yang berada di puskesmas tersebut menjadi gaduh dan berusaha untuk melerai keduanya."Aduh! Kamu pikir kamu siapa! Hah!" pekik Rendy setelah menerima bogem mentah dari Bambang di wajahnya. Rendy mengusap pelan sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan d4r4h, lelaki itu ingin membalas perbuatan Bambang. Namun, tangannya yang sudah berada di udara harus terhenti karena suara teriakan seseorang yang menyebut namanya."Pak Rendy!" pekik Aprilia dan bergegas berlari menuju ke arah Rendy."Kamu kenapa sih, Bang! Gaya kayak preman! Main pukul orang!" bentak Aprilia meluapkan emosinya setelah melihat wajah Rendy babak-belur akibat ulah Bambang."Itu bukan urusanmu! Minggir!" bantak Bambang yang ingin kembali memukul Rendy sampai puas. Namun, Aprilia membentangkan kedua tangannya. Melindungi Rendy, hal itu membuat Bambang semakin kesal.Bambang meludahkan air liurnya ke tanah, sebagai bentuk penghinaan kepada Rendy, "Dasar b4nc1!"
Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian."Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi."Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya."Mana cukup ini, Dek!"Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang y
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Mawar memilih untuk beristirahat sejenak. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memainkan ponsel miliknya.Ah, hanya hal yang sederhana. Namun bisa mengurangi rasa jenuh yang ia rasakan. Mawar mulai menggeser-geser layar ponselnya, mencari hal-hal yang menarik untuk dilihat. Sampai sebuah postingan seseorang membuatnya tertarik."Aku selalu berusaha, walaupun ... hasilnya entah sampai kapan baru bisa kamu rasakan."Mata Mawar membulat sempurna akan sepengalan kalimat tersebut, sampai merubah posisinya yang tadi rebahan kini menjadi duduk."Apa maksudnya?" gumam Mawar. Kemudian membaca komentar pada kolom postingan tersebut. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.Mawar semakin penasaran akan apa yang suaminya lakukan diluar sana, di mana yang ia ketahui kalau Bambang hanya keluyuran dan nongkrong bersama temannya.Pernah sekali Mawar meminta suaminya itu untuk mencari pekerjaan dan mengajukan lamaran, namun hanya dibalas deng
Bab 8 Di TalakHari kembali kepada aktivitas yang melelahkan lagi, sekarang tugas Mawar bukan hanya mencari nafkah dengan bekerja di kantor. Melainkan mencari tambahan dengan membuat kue yang akan dititipkan ke beberapa warung.Cibiran demi hinaan mulai menerpa Mawar, sebab sebagian orang mengenalnya sebagai istri Bambang. Hingga banyak sekali isu yang tidak sedap didengar sampai ke telinga sang suami."Dek! Kamu kalau pergi kerja, jangan dandan! Mas enggak suka!" perintah Bambang ketika Mawar baru saja mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya.Bukan kali ini saja sang suami menyuarakan ketidaksukaan atas penampilannya dalam bekerja, sebab Mawar tidak mampu menghitung berapa kali mereka berdua bertengkar akan masalah sepele menurutnya."Dek! Kamu dengar atau, tidak?" bentak Bambang, sebab diacuhkan oleh Mawar."Aku dengar, Mas. Cuma enggak menyahut," balas Mawar cepat dan bergegas memasukan poselnya ke dalam tas dan berjalan menuju keluar.Baru saja di ambang pintu rumah, Kiranan sudah m
Bab 9 Minta Pulang"Siapa yang mau ditalak?"Mawar bergegas mengusap air matanya yang sempat terjatuh dan berusaha terlihat baik-baik saja, ketika Rendy yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul dan bertanya."Itu si Mawar—""Bukan apa-apa, Pak!" balas Mawar dengan cepat, memotong ucapan Aprilia dan menatap wajah temannya itu dengan sorot mata yajam. Seolah, jika Aprilia membuka mulutnya akan m4ti.Aprilia menjadi bungkam dan tidak berkutik, Rendy yang merasa ada kejanggalan tersebut kembali memperjelas apa yang disampaikan oleh Mawar."Beneran?" tanya Rendy yang mendapatkan anggukan dari Mawar."Oh, iya Pak Rendy. Nanti siang, kemungkinan hanya Aprilia yang akan menemani Bapak ke lokasi bangunan yang akan kita buat. Sebab, saya ada keperluan lain," jelas Mawar yang mengingat akan adanya agenda bersama Rendy.Mungkin begitu berat bagi Mawar untuk bisa bekerja dengan baik, jika ditipa masalah yang begitu besar seperti saat ini.Bukan ingin menghindari tanggungjawab, tapi Mawar ingin c