Share

Bab 3 Gadis Bernama Rianti

Rianti begegas merapikan kerudungnya ketika ia mendengar bunyi pintu diketuk dengan keras. Dilihatnya waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. 

"Ini pasti bukan Bapak. Biasanya Bapak pulang lebih larut, " bisiknya dalam hati. 

Ia melangkah tergesa kemudian membuka pintu. Ia melihat sosok lelaki paruh baya yang ia tahu sudah lama meninggalkan desa untuk bekerja di kota. 

"Bapak ada, Neng?" Tanya lelaki itu. 

"Belum pulang, Pak."

"Biasanya pulang jam berapa? Perginya jauh?"

"Biasanya larut malam, Pak. Tidak jauh, hanya duduk-duduk seperi biasa di warung Bang Kocir."

"Bisa tolong dipanggilkan sebetar, Neng. Saya ada urusan sangat penting tapi tidak bisa menunggu lama," Katanya. 

"O, kalau begitu saya panggilkan dulu Bapak di warung Bang Kocir. Bapak silakan masuk dan menunggu di dalam," pinta Rianti. 

Rianti tidak khawatir membiarkan Pak Bejo, yang datang berkunjung untuk menunggu di dalam rumah tanpa kehadiran tuan rumah. Ia cukup tahu diri terhadap kondisinya. Tidak ada harta berharga di rumahnya yang dapat menjadi sasaran gondolan maling. Satu-satunya benda yang paling berharap menurutnya adalah sebuah figura usang yang tergantung di dinding papan rumahnya. Figuran yang membungkus potretnya, ibu dan bapaknya. 

Sembari menunggu, Pak Bejo memindai sekeliling ruangan. Sejak ia memutuskan merantau ke kota yang menjadi sopir keluarga Tito, tak ada yang berubah dengan rumah ini. Tak ada renovasi atau penambahan barang-barang di rumah. Semua sama saja kecuali perabotan yang mulai melapuk ditelan waktu. 

Namun, Pak Bejo tak memungkiri, rumah yang sangat sederhana ini cukup bersih. Meski lapuk, perabotan tertata apik. Pemandangan itu jelas menunjukkan si empunya rumah rajin membersihkannya. Siapa lagi kalau bukan Rianti, putri tinggal karibnya yang ingin  ia temui itu. 

"Pak, ada Pak Bejo di rumah mau bertemu Bapak, " ujar Rianti kepada bapaknya, Yanto yang sedang asik memilih kartu remi sambil merokok. 

"Ada tujuan apa, Bejo datang malam-malam?"

"Tidak tahu, Pak. Katanya ada urusan penting."

Meski mengerutkan kening, Yanto, bapak Rianti menurut panggilan anaknya dan pulang ke rumah. Di rumah ia melihat Bejo yang sedang menunggu dengan gelisah. 

"Ada apa, Bejo. Lama tidak pulang kampung tiba-tiba malam begini berkunjung."

"Saya ada hal penting yang ingin disampaikan."

Rianti meninggalkan  mereka berdua lalu pergi membuat minuman ke dapur. 

"Kamu masih sering di tempat Bang Kocir?"

"Aku iseng saja, suntuk. Di rumah juga tidak ada yang  bisa aku kerjakan."

"Aku dengar dari orang kampung, kamu banyak utang judi pada rentenir?"

"Ya, makanya aku judi lagi. Siapa tau beruntung untuk bayar utang."

"Sudah untung?"

"Ya, belum."

"Berarti buntung. Utang menggunung."

"Ah....Sudahlah. Bukan waktunya menceramahi. Tidak mungkin kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menceramahiku kan?"

"Oke.Aku ke sini untuk membantumu agar dapat melunasi utang. Aku punya tawaran yang baik yang dapat membuatmu melunasi utang, tapi ini berkaitan dengan anakmu, Ranti."

Belum sempat Pak Bejo menyampaikan maksud dan tujuannya, Yanto meradang. Dengan geram ia setengah melompat ke arah Bejo. Dipilinnya kerah baju hingga Bejo berdiri. Matanya merah nyala. 

"Apa maksudmu berkaitan dengan anakku? Apa kau mau menjadikannya TKW atau pelacur? Aku memang penjudi, tapi menjual anak, tidak mungkin aku lakukan," Yanto berteriak garang. 

Mendengar suara ribut, Rianti bergegas ke ruang tamu. Hampir saja sebuah tinju melayang ke wajah Pak Bejo jika Rianti tidak segera menghalangi. 

"Bapak.Jangan Pak!" Rianti melerai. 

"Ja... Jangan salah paham dulu Yanto. Aku belum selesai," suara Pak Bejo tertahan. 

Yanto mengendorkan pilinannya pada Bejo kemudian mendorong hingga Bejo terduduk kembali di kursi. Bejo merapikan kerah bajunya sembari menggosok lehernya yang sakit karena tercekik. 

"Tenang dulu. Sabar. Kebetulan ada Rianti. Biar dia mendengarkan sekalian."

Pak Bejo lalu menceritakan ihwal kedatangannya pada Yanto dan Rianti bahwa ia ingin membantu Nyonya Retno mencari pasangan untuk tuan mudanya yang lumpuh. 

"Lumpuh?" Tanya Yanto terhenyak. 

"Iya, tapi jika Rianti menikah dengannya pasti akan bahagia. Ia anak sulung keluarga Tito, pengusaha besar. Kelumpuhannya sama sekali bukan masalah."

Rianti hanya terdiam. Pada usianya yang baru 19 tahun, pernikahan sama sekali belum pernah terbayang di benaknya. Apalagi ia harus menikah dengan orang yang belum dikenalnya. Kelumpuhan tuan muda Pak Bejo itu bukan menjadi alasan utama kecemasannya. Ia hanya khawatir harus bersama orang yg belum dikenalnya sekalipun orang itu dari keluarga terpandang. 

Lama hening. Rianti tentu tak bersuara. Ia tak mau mendahului pendapat ayahnya. Pun ia ingin menghormati tamunya. 

"Jika menikah dengan tuan muda Andrian, tentu Nyonya Retno akan melunasi utang-utangmu.  Kamu juga akan diberikan modal usaha. Hidupmu dan Rianti pasti lebih baik. Asalkan kamu berhenti berjudi, soal uang tak jadi masalah."

Yanto tampak berpikir. Siapa yang tak ingin menjadi besan orang kaya? Tapi Andrian lumpuh. Sejurus kemudian ia berpikir lagi, uangnya tidak lumpuh. Ini soal uang. 

Saat semua masih terdiam, mereka dikejutkan  oleh kedatangan dua lelaki berwajah sangar bertubuh kekar.  Mata merah biji saga, bibir melengkung ke bawah, tato di sepanjang lengan hingga leher, lalu berjalan dengan dada membusung menunjukkan dengan jelas dua lelaki itu sedang tidak dalam rangka beramah-tamah ke rumah Yanto. 

"Yanto, uangmu sudah lama jatuh tempo. Kapan kau akan membayarnya. Bahkan bunganya pun belum kau cicil," gertak salah seorang lelaki secara tiba-tiba tanpa salam atau mukadimah. 

"Aku belum punya uang sekarang, Bang, " Yanto ketakutan. 

"Ini peringatan terakhir. Kalau sampai Minggu depan kau belum juga melunasi utang, rumah ini jadi milik Pak Broto."

Bejo membuka dompetnya, mengeluarkan lima lembar uang Rp100 ribu. 

"Bang, saya tau berapa utang Yanto. Setidaknya ini jaminan sementara bahwa Yanto akan membayar utangnya."

"Cuih, Rp500 ribu ini untuk bunga bulan ini saja tidak cukup. Bahkan kalau kami sita rumah ini pun, utang Yanto masih belum lunas, " ucap seorang lelaki sembari tetap menerima uang dari Pak Bejo.

 

"Ingat Yanto. Minggu depan," ancamnya lagi sambil mengepalkan tinju. 

Sepeninggalan kedua lelaki sangar itu, susana ruang tamu semakin menegangkan. 

"Betapa utangmu pada Pak Broto, Yanto?"

"Dua ratus juta," Yanto menyahut kilat. 

"Dua ratus juta?" Bejo terkejut. 

"Itu jumlah uang yang sangat banyak. Bagaimana bisa kamu berutang sebanyak itu?" Bejo melanjutkan. 

"Awalnya aku berutang Rp50 juta untuk biaya berangkat Marni jadi TKW ke Taiwan. Marni berjanji bahwa utang itu akan cepat lunas dari gajinya bekerja di Taiwan. Namun, bukannya melunasi utang, enam bulan bekerja di Taiwan ia minta dikirmkan uang lagi Rp50 juta. Katanya ia mau pulang ke Indonesia. Ternyata ia tak kunjung pulang bahkan hilang kontak dengan kami, " Yanto berkisah. 

"Lalu kenapa bisa sampai berutang dua ratus juta?"

"Karena tidak mampu mencicil sesuai perjanjian, Pak Broto menarik bunga yang sangat tinggi. hingga utangku bertambah. Karena frustasi, aku nekat berjudi dengan harapan dapat uang banyak. Bukan dapat uang, aku malah menambah utang sampai Rp200 juta. Aku menggadaikan rumah ini sebagai jaminan utang."

"Harusnya ini jadi pelajaran. Mengapa kau masih berjudi?"

"Sudah kubilang, jangan ceramah!"

Pak Bejo terdiam sejenak. Ia kemudian menanyakan tentang Marni pada Yanto. 

"Apa kamu sudah mencoba menghubungi perusahaan yang memfasilitasi Marni menjadi TKW untuk mengetahui keberadaannya?"

"Aku tidak tahu di mana perusahaannya, aku hanya mencari tahu dari Yatmi, makelar yang mengajaknya ke Taiwan?"

"Lantas, apa kata Yatmi?"

"Marni sudah jadi simpanan orang Taiwan..., " suara Yanto tercekar seperi menahan tangis. 

Pak Bejo menarik napas panjang. Sedangkan Rianti hanya menatap iba pada lelaki di sebelhnya. Lelaki yang rambutnya kini kian memutih itu. Pipinya semakin kempot dan keriput. Urat-urat menonjol di lengan dan kakinya. Kesusahan hidup tergambar jelas  tatap matanya yang nanar. Garis-garis di kening dan sudut matanya teramat gamblang memaparkan luka hatinya yang dikubur dalam-dalam. Laki-laki malang yang dikhianati istrinya. 

Sejak ibunya hilang kabar, Rianti melihat perubahan sikap bapaknya. Bapaknya yang pendiam, berubah menjadi suka keluyuran dan berjudi. Sebagai anak, berkali Rianti meminta bapaknya berhenti berjudi, tetapi tiap ia mengatakan itu, bapaknya hanya melengos lalu meninggalkannya. 

Sejak semula Yanto tidak mengizinkan Marni menjadi TKW. Namun, Marni meyakinkan bahwa ia ingin kehidupan yang lebih baik. Toh, bukan hanya ia yang merantau ke luar negeri. Hampir separuh orang kampung merantau mencari peruntungan di negeri orang 

Yanto tak kuasa meredam tekad Marni. Apalagi ia tak punya sesuatu yang bisa ia tawarkan sebagai kompensasi agar Marni mengurungkan niat. Yanto hanyalah buruh tani yang diupah menggarap lahan. 

Upahnya tak akan sanggup memuaskan mimpi-mimpi Marni. Dengan berat hari, ia berikan ridho pada istrinya untuk merantau. Hingga akhirnya Marni tak lagi mengirim kabar. Marni lenyap, bak hilang ditelan bumi. 

Sejak kepergian Marni tiga tahun lalu. Riantilah yang mengurus rumah tangga. Untungnya ia sudah terbiasa melakukan berbagai pekerjaan rumah. Pernah ia mencoba melamar pekerjaan di kota, apa daya Rianti yang tamatan Madrasah Aliyah itu tak dapat kesempatan. 

Di kampung, tak ada lowongan pekerjaan. Karenanya banyak orang kampungnya yang merantau jadi TKW. Rianti tak berniat jadi TKW karena ia yakin bapaknya tak akan mengizinkan. 

"Pikirkanlah Yanto. Jika kamu menerima tawaran ku, utangmu pasti lunas. Hubungi aku segera," ujar Bejo sambil memberikan nomor handphonenya kepada Yanto lalu pamit pulang. 

Yanto masih belum dapat memejamkan mata. Ia mengisap dalam-dalam rokoknya. Asap mengepul membaur bersama udara malam yang dingin. Dari puntung di asbak rokok, tampak bahwa lelaki itu telah mengisap hampir sebungkus rokok. 

Rianti mendapati ayahnya yang masih terjaga di teras. Ia lantas menghampiri. Terdengar derit kursi teras yang lapuk saat Rianti duduk si sebelah bapaknya. 

"Pak, Rianti rela kalau memang bisa membantu Bapak," ucap Rianti meretakkan kesunyian malam. 

Yanto belum menyahut bahkan tak melirk pada Rianti. Ia masih menghisap rokoknya lalu mengepulkan asapnya dengan berat. 

"Uang. Itulah hebatnya dia. Orang bisa mendapatkan apa saja dengan uang. Orang rela melakukan apa saja demi uang, " Yanto berucap dengan pelan dan tatap mata kosong ke depan. 

"Mungkin, sudah takdir Rianti, Pak. Kalau dengan ini Bapak bisa terbebas dari utang dan hidup senang, Rianti tidak apa-apa, Pak. Rianti minta, berhentilah berjudi. Judi itu candu, Pak. Bapak tidak akan puas meski menang dan tidak akan kapok saat kalah."

Yanto menoleh lalu menatap wajah anak gadisnya. Sudah lama ia tidak memperhatikan anaknya itu. Wajahnya cantik mewarisi kulit putih ibunya. Hidungnya mancunt dan bibir tipis yang merona. Matanya bulat persis seperti miliknya. Ada sesak yang menderu di hari Yanto melihat wajah anaknya. 

"Maafkan Bapak. Bapak telah lama mengabaikan kamu. Bapak sibuk dengan kekecewaan Bapak sendiri sampai lupa dengan perasaanmu. Maafkan Bapak."

"Bapak, " Rianti memeluk bapaknya. Tak ada kata, hanya isak tangisnya yang meletup-letup di dada Yanto. Rianti merasakan kerudungnya basah. Bahu bapaknya turun naik. Tahulah Rianti bahwa bapaknya sesenggukan menahan tangis yang akhirnya tumpah ruah bersama desau angin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status