Share

BAB 5 Seseorang yang Tak Diharapkan Datang 

Retno termangu dalam mobil. Ia meminta Pak Bejo untuk tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia tidak menyebutkan tujuan perjalanan. Handphone Nyonya Retno berdering. Nyonya Retno menatap layar kemudian mengabaikan panggilan itu. Ia merasa tidak mengenal si penelepon. Namun, handphone-nya terus berdering. Dengan terpaksa Nyonya Retno mengangkat telepon. Matanya membelakan seketika ia mendengar suara penelepon. Ia amat sangat kenal suara itu. Ia tidak akan pernah melupakan suara itu meski sudah bertahun lamanya.

“Apa kabar Nyonya Retno?”

Nyonya Retno tak menyahut, giginya gemeretak, sekuat tenaga ia mengenggam handphone-nya seperti hendak menyalurkan kemarahan.

Hallo, hallo...,” seseorang di seberang telepon terus bicara.

Nyonya Retno hanya diam. Ia tidak mampu berujar sepatah kata pun. Ia lalu mematikan handphone. Wajahnya tampak panik dan tegang. Pak Bejo menatap dari spion mobil. Ia ingin bertanya kepada Nyonya Retno, tetapi ia ragu. Ia hanya diam memperhatikan sambil menunggu barangkali Nyonya Retno membutuhkan sesuatu.

“Bejo, kita pergi ke Kafe Roomy sekarang,” perintah Nyonya Retno.

“Baik, Nyonya.”

Bejo melaju mencari jalan memutar. Sementara itu, Nyonya Retno sibuk mengetik pesan di handphone-nya. Selang 20 menit kemudian, Nyonya Retno tiba di tempat yang dituju. Ia memperhatikan sekeliling untuk memastikan bahwa tak ada orang yang mengenalnya di situ.

“Kamu tunggu di sini saja. Segera kabari saya  kalau kamu melihat ada seseorang yang menurut kamu mengenal saya,” pesan Nyonya Retno kepada Pak Bejo.

Nyonya Retno duduk di meja sudut. Tampak dengan jelas kegelisahan di wajahnya. Ia memanggil pelayan dan memesan dua cangkir kopi. Tak lama berselang, seorang laki-laki mengenakan jaket kulit warna hitam, kacamata hitam, bertopi hitam, dan celana jeans biru datang menghampiri Nyonya Retno. Lelaki itu menutupi separuh wajahnya dengan tangan. Sepertinya ia tidak ingin ada orang yang mengenalnya. Dari raut wajah Nyonya Retno yang tidak ramah, lelaki itu yakin ada masalah genting sehingga Nyonya Retno memintanya datang.

“Sebagai informan kamu tidak becus,” ucap Nyonya Retno ketus.

“Apa maksud Nyonya?”

“Aku sudah bilang kamu harus memantau dan menginformasikan apa saja yang mencurigakan padaku. Bagaimana bisa perempuan itu menghubungiku?”

“Maria?”

“Iya, Maria, siapa lagi kalau bukan dia? Aku masih ingat benar suaranya.”

“Bukankah dia di luar negeri?”

“Dari nomor teleponnya, aku yakin dia ada di sini sekarang. Bagaimana bisa kabar penting ini lolos dari pantauanmu? Aku membayarmu untuk menjadi informan,” Nyonya Rento semakin kesal.

“Maaf Nyonya. Aku sama sekali tidak menyangka tentang hal ini, jadi aku tidak fokus dengan Maria. Aku hanya mencari informasi yang berhubungan dengan Tuan  Tito Rianggono dan Thomas,” lelaki itu membela diri.

“Sekarang, kamu harus mencari informasi tentang dia. Jangan biarkan dia mengacak-acak kehidupan keluarga kami.”

“Baik Nyonya,”.

Nyonya Retno meninggalkan lelaki itu dan menuju mobil. Pak Bejo dengan sigap membukakan pintu mobil untuk nyonyanya.

“Pak Bejo, kita harus segera tiba di rumah,” pinta Nyonya Retno.

Pak Bejo hanya mengangguk dan paham bahwa ia harus mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Kali ini, ia tak hanya melihat kegelisahan di wajah Nyonya Retno, tetapi air mata. Nyonya Retno terisak sembari menatap ke luar jendela mobil.

****

“Andrian, Mama mau bicara,” Nyonya Retno mengetuk kamar Andrian.

Setelah pintu dibuka, Nyonya Retno sekonyong-konyong masuk dan duduk di sofa dekat jendela kamar.

“Mama minta dengan sangat agar kamu mau menikah dengan Larissa,” suara Nyonya Retno tak beraturan dan mulai meninggi.

“Maksud Mama?”

“Mama sudah mengatur pertemuan kamu dengan Larissa anak teman Mama. Kamu harus mau,” Nyonya Retno memerintah.

“Mama masih berusaha mencari jodoh untukku? Perempuan seperti apa yang Mama siapkan untukku? Kenapa Mama selalu memaksa?” suara Andrian meninggi.

“Ini demi kamu. Apa pernah Mama meminta sesuatu padamu? Apa pernah selama ini Mama memaksamu melakukan sesuatu yang Mama inginkan? Mama yang mengikuti keiiginanmu. Kamu ingin tidak melanjutkan pengobatan, Mama izinkan meskipun Mama berat hati. Kamu ingin hanya mengurung diri saja di rumah tanpa bersosialisasi dengan orang lain juga Mama maklumi. Kali ini, Mama mohon, penuhi permintaan Mama,” Nyonya Rento mulai terisak.

Andrian terkejut melihat sikap Nyonya Retno. Ia sama sekali tidak menyangka perempuan yang melahirkannya itu tampak begitu berduka. Ia mendekati Nyonya Retno kemudian menyentuh tangannya.

“Ma, apa yang sesungguhnya membuat Mama bersikap begini? Apakah begitu genting masalah yang sedang Mama hadapi?” Andrian berbicara lirih.

“Mama selalu merasa akan kehilangan banyak hal yang berharga. Mama merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang dan ada orang yang bersiap untuk mendorong Mama,” Nyonya Retno tak berhenti menangis.

“Mama terlalu overthinking terhadap sesuatu yang belum terjadi,” ucap Andrian menghibur ibunya.

“Kamu tahu, perasaan perempuan itu kuat. Entah bagaimana menjelaskannya padamu, tetapi Mama yakin ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Mama tidak punya kekuatan dan hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk dalam keluarga kita. Hati Mama tidak lagi sanggup menahan rasa sakit,” Nyonya Retno berucap dengan penuh ketakutan dan derai air mata.

Melihat tangis ibunya yang tak mereda, Andrian mengalah. Ia menyeka air mata Nyonya Retno dengan jarinya.

“Ma, jangan bersedih lagi. Aku akan mengikuti apapun yang Mama minta. Aku akan menikah dengan siapapun yang Mama pilihkan. Aku mengalah asalkan Mama bahagia.”

Nyonya Retno memeluk Andrian dengan erat. Tangisnya semakin menjadi, tetapi kali ini bukan tangis kesedihan. Ia menangis haru dan bahagia karena anaknya mau menuruti permintaannya.

Air mata Nyonya Retno seperti mengalir dalam relung hati Andrian. Momen sentimental seperti ini sudah lama tidak ia rasakan. Pelukan ini membuat ia menyadari bahwa selama ini ibunya hanya pura-pura bahagia. Sekarang Andrian tahu bahwa di balik senyum ibunya ada luka yang berkarat. Sebenarnya ia tahu sumber duka ibunya, tetapi ia menutup mata karena ia pun tidak tahu bagaimana mengobati hatinya sendiri.

***

“Bagaimana Jeng Lili. Sudah menentukan tanggal yang baik untuk mempertemukan Andrian dengan Larissa?” Nyonya Rento menelepon.

“Su...su...dah, Jeng Retno,” Jeng Lili menjawab Ragu.

“Syukurlah kalau begitu. Kira-kira kapan kita bisa mempertemukan mereka berdua dan di mana tempat pertemuannya?”

“Kalau lusa bagaimana, Jeng Retno? Mereka bisa bertemu di restoran Prancis tempat kita makan siang tempo hari.”

“Baiklah, saya akan mengabari Andrian. Terimakasih banyak, Jeng Lili. Sampai bertemu lusa,”  Nyonya Retno menutup telepon.

Nyonya Retno tersenyum sumringah. Ia sangat berharap Andrian dan Larissa dapat menjalin hubungan hingga ke pernikahan.

***

“Mengapa Mama tidak menanyakan dulu persetujuanku sebelum membuat janji bertemu dengan Andrian,” Larissa berang kepada ibunya.

“Bagaimana Mama akan menolak permintaan Nyonya Retno? Kamu tahu sendiri bahwa perusahaan kita bermitra dengan mereka. Mama tidak mau penolakan kita akan membuat hubungan kerjasama dengan perusahaan mereka buruk.”

“Tapi, Ma. Ini persoalan hidupku. Ini masalah pernikahan. Mama menjodohkan aku dengan sesorang yang cacat. Bagaimana bisa aku terima?”

“Kita harus memikirkan penolakan yang lebih halus, Larissa. Tidak mungkin kita menolak sejak awal. Intinya kamu bertemu dulu dengan Andrian. Nanti, kita pikirkan lagi cara yang tepat untuk menolak.”

“Mama terlalu jauh melangkah. Bisa jadi kita akan semakin sulit menolak perjodohan ini. Mama sudah keterlaluan menggadaikan hidupku hanya demi urusan bisnis.”

“Kamu jangan menilai Mama begitu. Kalau kamu ada di posisi Mama, pasti kamu juga akan bingung.”

“Kalau aku ada di posisi Mama, aku akan langsung menolak tegas,” ujar Larissa berang.

“Mama minta kamu pergi ke pertemuan itu pukul 13.00 WIB, jangan sampai terlambat.”

Larissa bersungut-sungut meninggalkan ibunya. Ia sama sekali tidak membayangkan bahwa ibunya menjodohkannya dengan Andrian. Andrian memang berasal dari keluarga kaya, tetapi kondisi fisik Andrian yang kekurangan tidak dapat diterima oleh Larissa.

“Ini sudah gila. Aku tidak mau dijodohkan dengan Andrian. Apa yang akan orang-orang katakan tentang aku jika melihat aku berpasangan dengannya,” Larissa bergumam dalam hati.

***

“Mama sudah menyiapkan jas untuk pertemuan siang nanti. Mama yakin kamu akan semakin tampan dengan setelan jas itu,” ucap Nyonya Retno kepada Andrian.

“Apa tidak berlebihan, Ma. Aku hanya makan siang biasa dengannya. Kenapa harus mengenakan setelan jas?”

“Ini bukan pertemuan biasa. Seorang gadis biasanya terpikat pada penampilan lelaki pada pertemuan pertama. Penampilan kamu harus memukau mata Larissa. Mama yakin, kamu juga akan terpesona padanya. Ia gadis yang cantik dan menarik,” Nyonya Retno berucap dengan penuh semangat.

Andrian tidak menanggapi perkataan ibunya. Kalau bukan karena ia sudah telanjur berjanji kepada ibunya, ia tidak akan mau dipertemukan dengan Larissa. Jauh di dalam lubuk hatinya, Andrian takut bahwa ibunya kecewa. Ia ragu bahwa Larissa akan menerima kekurangannya.

Mendekati waktu pertemuan, Andrian mematut diri di depan cermin. Ia mengenakan jas keluaran brand Merrion London. Jas itu pas di tubuh Andrian. Kalau bukan karena kondisi kakinya  yang lumpuh, Andrian tergolong pria tampan dengan tubuh proporsional. Seorang hair stylish didatangkan oleh Nyonya Retno untuk menata rambut Andrian. Rambut Andrian ditata model undercut faux hawk dengan aksen belahan ke kanan. Tren rambut kekinian itu membuat  Andrian tampil rapi dan menawan.

Pak Bejo menanti di sisi mobil Toyota Century warna hitam pekat. Mobil mewah itu menjadi tunggangan sempurna bagi Andrian untuk menemui calon jodohnya. Andrian duduk tanpa ekspresi. Wajah datarnya sudah menjadi pemandangan lumrah bagi Pak Bejo. Menurut Pak Bejo, tuannya itu sulit ditebak. Kadang wajahnya begitu lembut, tetapi kadang begitu garang dan menakutkan.

“Sebentar lagi kita sampai, Tuan,” Pak Bejo membuka percakapan.

“Hmm...”, Andrian hanya berdeham.

Andrian tiba di tempat pertemuan. Pelayan restoran menyapa ramah kepadanya. Andrian menyebutkan nomor meja yang sudah dipesan oleh ibunya, kemudian pelayan itu mengantarkan Andrian ke sana. Andrian melihat belum ada siapappun  di sana. Ia lantas melihat arlojinya. “Pukul 13.05 WIB, aku rasa tidak terlalu cepat datang,” gumamnya dalam hati.

Sepuluh menit berlalu, tetapi Larissa belum juga datang. Andrian mulai kesal. Ia merasa seperti orang bodoh. Saat Andrian hendak berbalik, sesosok perempuan datang mendekat. Andrian mengurungkan niatnya dan kembali pada posisi semula.

“Maafkan, aku datang terlambat,” ujar Larissa dengan senyum terpaksa.

“Hmm...,” lagi-lagi Andrian hanya berdeham.

Andrian dan Larissa masih belum saling bicara sampai pelayan tiba untuk menanyakan pesanan. Andrian mempersilakan Larissa memilih menu.

“Aku terjebak macet di jalan sehingga datang terlambat,” ujar Larissa memecah kebisuan.

“Sejak dulu permasalahan ibukota adalah kemacetan. Sangat aneh rasanya kalau masih ada orang yang tidak dapat menyiasati agar tidak datang terlambat,” Andrian menjawab dengan ketus.

Jawaban Andrian menohok hati Larissa. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Andrian sosok yang sedingin itu.

“Iya, karena aku orang yang cukup sibuk sehingga banyak agenda yang harus aku selesaikan. Mungkin sebagian orang tidak memiliki agenda yang padat sepertiku,” Larissa membalas Andrian dengan sindiran.

Andrian paham bahwa perempuan yang sedang duduk di hadapannya itu menyindirnya. Meski ia sangat tersinggung, ia tidak ingin merusak pertemuan yang telah diatur oleh ibunya. Ia menahan amarahnya demi janji pada ibunya.

“Orang-orang memang selalu mencari pembenaran terhadap setiap kesalahannya. Jarang sekali ada orang yang mengakui kesalahan tanpa menyebutkan argumentasi pembelaan diri,” kata-kata Andrian meluncur tajam kepada Larissa.

“Aku rasa kita bertemu di sini tidak untuk berdebat dan beradu argumen.”

“Benar. Kita bertemu di sini untuk memenuhi janji kepada orang tua kita,” tukas Andrian ketus.

Larissa merasa kesal dengan kalimat Andrian. Meskipun sejak awal ia tidak ingin menjumpai Andrian, ia tetap ingin menjaga sikap. Namun, keterusterangan Andrian menunjukkan keterpaksaan sangat mengganggu Larissa.

“Iya, kamu benar. Aku datang ke sini karena permintaan ibuku. Jadi, mari kita selesaikan saja pertemuan ini. Jangan ada pertemuan ke dua,” kata  Larissa.

Dari kejauhan tampak pelayan membawa minuman pesanan mereka berdua. Dari ekor matanya, Andrian menduga pelayan itu akan menyandung kaki seorang tamu yang duduk tak jauh dari mereka.

Prediksi Andrian benar. Pelayan itu hampir terjatuh dan minuman yang dibawanya tumpah mengenai Larissa. Larissa naik pitam.

“Apakah kamu tidak punya mata?”

“Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja,” ujar pelayan itu ketakutan.

“Saya tidak terima ini. Saya akan menemui manager kamu. Sungguh buruk pelayanan restoran ini terhadap para tamu,” Larissa semakin marah.

Semua orang di ruangan menatap ke arah Larissa. Andrian sebenarnya berusaha menghalau agar minuman itu tidak mengenai Larissa. Namun, ia tak punya daya upaya karena tidak bisa berdiri. Hal itu  membuat kemarahan Larissa semakin tidak tekontrol.

“Kamu tahu kan bahwa pelayan itu akan jatuh dan menumpahkan minuman padaku? Tapi kamu tidak bisa menolongku karena kamu tidak dapat berdiri. Bagaimana kamu akan melindungiku  nanti jika aku menjadi istrimu? Hal sekecil ini pun kamu tidak bisa melakukan apa-apa?” Larisa terus memberondong Andrian dengan kalimat-kalimat penghinaan.

Andrian sudah tidak tahan lagi. Ia meninggalkan Larissa yang masih basah kuyup. Kata-kata yang dilontarkan Larissa benar-benar melukai hatinya. “Bagaimana bisa seorang gadis cantik dari keluarga terpandang mampu berkata-kata seperti itu?” pikir Andrian.

Pak Bejo terkejut melihat Andrian keluar dari pintu restoran. Ia tidak mengira pertemuan akan berlangsung sangat singkat. Dari raut wajah Andrian, Pak Bejo dapat menebak telah terjadi sesuatu yang tidak baik.

“Kita pulang, Tuan?” tanya Pak Bejo.

“Kita ke tempat biasa,” Andrian memerintah.

            Dengan ragu-ragu Pak Bejo mengemudikan mobil dan mengantar Andrian ke tempat yang dimaksud. Pak Bejo menduga Andrian akan mengamuk kembali di tempat itu. Namun, ternyata Andrian hanya duduk termangu menatap jalan tempat ia mengalami kecelakaan. Pak Bejo mengambil sikap siaga kalau-kalau Andrian akan melakukan tindakan yang buruk. Namun, telah 10 menit berlalu, Andrian hanya diam membisu. Ia duduk di kursi rodanya dengan tatapan nanar.

            Tiba-tiba, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan mereka. Saat kaca mobil terbuka, tampak soerang perempuan cantik usia 40 tahunan.

            “Aku kira kau sudah tidak bodoh lagi. Ternyata kau tetap pemuda yang tak berguna. Tetapi tidak apa-apa, lanjutkan saja kebodohan ini. Sampaikan salamku pada Nyonya Retno. Katakan padanya bahwa aku bersyukur ia punya anak bodoh sepertimu. Aku akan kembali untuk menuntut hakku,” perempuan itu menutup kaca mobil kemudian berlalu dari mereka.

            “Kurang ajar. Sungguh lancang ia berkata demikian, siapa dia?” tanya Andrian berang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status