Nyonya Retno menuruni anak tangga sedikit tergesa. Hari ini ia ada janji temu dengan seseorang yang penting. Ia tampil paripurna dengan sapuan make up minimalis. Rambutnya dibiarkan tergerai sebahu. Separuh abad usia sama sekali tak tampak dari perawakannya. Ia mengenakan midi dress dengan hole pattern berwarna khaki. Kaki jenjangnya disempurnakan dengan sepatu Malone Souliers senada warna dressnya. Nyonya Retno menenteng tas Hermes Matte White Niloticus Crocodile Himalaya Birkin 30 dengan diamond hardware untuk mengukuhkan statusnya sebagai nyonya besar, istri Tito Riang gono.
Diantar Pak Bejo, Nyonya Retno tiba di salah satu restoran elite yang menyajikan masakan Prancis. Nyonya Retno berjalan menuju meja yang telah dipesannya. Namun, tampaknya orang yang hendak ditemui belum tiba. Nyonya Retno duduk menunggu. Restoran ini menjadi salah satu tempat makan favorit keluarga Tito. Mereka sering menjamu mitra dan kerabat di sini. Interior restoran ini sangat kental dengan suasana Eropanya. Furnitur kayu disusun cantik dilengkapi lampu gantung chandilier mini di setiap meja hingga susananya sedikit temaram.
Tak lama berselang, seseorang yang ditunggu tiba. Seorang perempuan sebaya Nyonya Retno yang tak kalah elegan. Sangat jelas tampak yang sedang bersama Nyonya Retno juga seorang nyonya besar.
"Maafkan saya, Jeng Retno. Apakah sudah lama menunggu?"
"Belum lama, Jeng Lili. Saya baru saja tiba. Tapi, apakah Jeng hanya datang sendiri? Larissa mana?"
"Larissa menyusul Jeng. Ia masih ada janji dengan klien. Maklum, sejak pulang dari luar negeri Larissa membantu papanya mengurus perusahaan."
"Oh, begitu ya Jeng. Jeng sungguh beruntung punya anak perempuan seperti Larissa. Cantik, cerdas, dan berbakti."
Pramusaji datang menyajikan makanan yang dipesan. Pertama disajikan menu amuse bouche sebagai kudapan yang dilanjutkan dengan menu pembuka escargot dan citron presse yang menyegarkan.
"Ada apa Jeng Retno mengundang saya makan siang?"
"Ada sesuatu hal penting yang ingin saya sampaikan. Saya sedang mencari calon menantu untuk anak saya, Andrian."
"O, saya bisa bantu apa?"
"Ini, Jeng. Bagaimana kalau kita...." Retno urung meneruskan kalimatnya karena sesosok gadis muda datang menghampiri mereka. Tinggi gadis itu sekitar 168 cm, kulitnya kuning langsat dan terawat, rambutnya hitam panjang bergelombang. Gadis itu Larissa. Larissa mencium pipi Jeng Lili, mamanya lantas menyapa Nyonya Retno.
"Tante Retno apa kabar?" Tanya Larissa ramah sambil mencium pipi Nyonya Retno.
"Tante baik, sayang. Kamu bagaimana?"
"Baik jiga, Tan. Maaf aku telat tadi karena masih ada sedikit urusan."
"Iya, tidak masalah. Tante paham."
Kedatangan Larissa membuat Nyonya Retno tak ingin langsung berbicara tentang tujuannya. Mereka bercakap-cakap santai sambil menikmati menu utama andalan restoran itu, foie gras. Nyonya Retno terus memuji Larissa dan Jenk Lili. Tak lain Tak bukan ia lakukan itu agar mendapatkan sesuatu yang diharapkannya.
Sembari menunggu sajian mocha pots de creme sebagai menu penutup, Nyonya Retno mulai berbicara serius tentang maksud dan tujuannya.
"Jenk Lili, saya bermaksud agar hubungan kita tak sekadar sebagai relasi bisnis. Tetapi, kita bisa jadi keluarga."
"Senang sekali kalau bisa menjadi bagian dari keluarga Jeng Retno."
"Bagus kalau begitu. Saya ingin menjodohkan Larissa dengan anak saya, Andrian," Nyonya Retno berujar mantap.
Mimik wajah Jeng Lili dan Larissa berubah. Air mukanya menunjukkan keterkejutan yang berusaha disembunyikan. Meski Nyonya Retno mulai membaca gelagat itu, ia tetap optimis.
"Maaf, maksud Jeng Retno, Andrian anak Jeng yang...," ucap Jeng Lili terus berupaya bersikap sopan.
"Iya, Jeng. Andrian putra sulung saya."
"Bukannya saya menolak, tapi urusan ini tentu harus dibicarakan dengan keluarga besar kami, termasuk juga Larissa. Ini tidak bisa diputuskan langsung."
"Emm, iya Tante. Larissa belum kenal Andrian dan tidak bisa langsung memutuskan."
Sebenarnya Nyonya Retno sangat sadar bahwa kalimat-kalimat yang dilontarkan Larissa dan Jeng Lili adalah penolakan secara halus. Namun, ia masih sangat berharap.
"Iya sayang. Tante paham. Tante juga tidak minta jawaban sekarang. Bagaimana kalau kita atur pertemuan kamu dengan Andrian," tanya Nyonya Retno sembari melirik ke arah Jeng Lili pertanda meminta persetujuan.
Baik Jeng Lili maupun Larissa kebingungan untuk menentukan sikap. Sebagai relasi bisnis Nyonya Retno, tidak mungkin mereka menyatakan penolakan secara frontal. Akhirnya mereka terpaksa membuat kesepakatan untuk bertemu dengan Andrian minggu depan.
Nyonya Retno masuk mobil dengan wajah sumringah.
"Kita langsung pulang Nyonya?""Kita singgah dulu ke kantor menemui tuan."
"Baik, Nyonya. Nyonya tampaknya senang. Apakah perjodohannya berhasil?"
"Menuju keberhasilan, Pak. Larissa adalah calon ke lima. Empat calon lain langsung menolak, setidaknya Larissa membuka kesempatan untuk pertemuan ke dua."
"Iya, Nyonya."
"Bagimana kabar keluarga kamu di kampung?"
"Alhamdulillah, baik Nyonya. Oh iya, saya ingin menyampaikan sesuatu pada Nyonya," Pak Bejo berujar ragu.
"Sampaikanlah, mumpung kita belum tiba di kantor tuan."
Pak Bejo lalu menceritakan tentang Rianti pada Nyonya Retno. Ia mengisahkan semuanya kecuali tentang Yanto yang suka berjudi. Mata Nyonya Retno membelalak.
"Apakah kamu bermaksud kami harus bermenantukan seorang gadis kampung? Kami keluarga terpandang, tidak mungkin berbesanan dengan orang kampung. Kamu sedang menghina keluarga kami?" Suaranya kian meninggi.
"Anu, bu... bukan begitu Nyonya. Saya tidak...."
"Ah, sudahlah. Saya yakin Andrian berjodoh dengan Larissa," kalimat Nyonya Retno mengunci percakapan.
Bejo tak berani lagi buka suara. Ia tak mau lancang membuat Nyonya Retno marah. Tentu saja ia tidak ingin dipecat yang dapat mengakibatkan periuk nasinya tak mengepul.
Tiba di kantor, Nyonya Retno menemui suaminya, Tuan Tito. Ia menyampaikan niatnya untuk menjodohkan Andrian dengan Larissa. Tuan Tito menanggapi dengan dingin.
"Apa kamu sudah memastikan bahwa anak itu mau dijodohkan?"
"Aku akan mengurus hal itu."
"Baik, kalau kamu yakin. Tapi, apakah ada yang mau bersanding dengan anak itu?"
"Aku sudah menghubungi relasi kita dan sudah banyak yang menolak. Hanya putrinya Jeng Lili yang bersedia melakukan pertemuan ke dua. Aku sangat berharap padanya."
"Aku tidak peduli dengan siapa atau dari gadis dari keluarga yang bagaimana ia akan menikah. Aku hanya tak mau dia menjadi orang bodoh seumur hidup."
"Itu semua gara-gara kamu. Kalau saja kamu bersikap adil dan tidak menganakemaskan Thomas, Andrian tidak mungkin seperti sekarang," Nyonya Retno mendengus sinis.
"Bukan salahku. Anakmu keras kepala dan keras hati. Harusnya dia mau terapi sampai sembuh bukannya terus terpuruk dengan keadaannya."
"Seharusnya kamu harus memberi perhatian lebih padanya. Setidaknya kamu menghargai aku yang bersedia menerima anak selingkuhanmu. Andai saja dulu aku tidak menerima Thomas di rumahku," Nyonya Retno meradang.
"Jangan mengorek kisah lama. Apalagi yang kurang kuberikan padamu. Status sosial, kemewahan, apapun yang kamu inginkan."
"Aku berhak menerima itu. Itu bukan semata-mata karena pemberian darimu. Jangan lupa, bagaimana sejarahnya kamu bisa punya bisnis seperti ini. Andil orang tuaku sangat besar."
"Kamu selalu membuat percakapan kita tidak nyaman dengan pernyataan serupa. Setiap kali, kamu selalu berusaha memojokkanku dengan mengungkit jasa orang tuamu. Kalau bukan karena kerja kerasku, tak mungkin perusahaan ini menjadi seraksasa ini."
Ruangan kantor menjadi mencekam dengan perdebatan pasangan suami istri yang sudah menikah 30 tahun lalu. Pernikahan mereka tampak ideal di mata relasi dan kerabat. Mereka tampil selayaknya pasangan suami istri yang harmonis semata mereka lakukan demi nama baik. Namun, tak ada yang tahu sudah sejak lama tak ada gairah cinta dalam hati mereka. Romansa cinta masa muda hanya tinggal cerita usang. Keduanya bergelut dalam kemelut praduga terhadap masing-masing. Sudah lama hati mereka beku dan dingin. Meski mereka juga dulu dijodohkan oleh orang tua mereka, cinta yang bahagia pernah menjadi bagian kisah rumah tangga mereka. Ironisnya, kehadiran Thomas dalam kehidupan mereka telah membawa perubahan besar.
Nyonya Retno meninggalkan kantor. Ia terus menyusun kalimat-kalimat dalam benak yang akan ia sampaikan pada Andrian. Ia mempersiapkan jawaban dan rayuan jika Andrian menolak bertemu Larissa. Ia juga mulai memikirkan rencana pertemuan Andrian dan Larissa. Ia bertekad agar pertemuan Andrian dan Larissa berhasil.
Retno termangu dalam mobil. Ia meminta Pak Bejo untuk tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia tidak menyebutkan tujuan perjalanan. Handphone Nyonya Retno berdering. Nyonya Retno menatap layar kemudian mengabaikan panggilan itu. Ia merasa tidak mengenal si penelepon. Namun, handphone-nya terus berdering. Dengan terpaksa Nyonya Retno mengangkat telepon. Matanya membelakan seketika ia mendengar suara penelepon. Ia amat sangat kenal suara itu. Ia tidak akan pernah melupakan suara itu meski sudah bertahun lamanya.“Apa kabar Nyonya Retno?”Nyonya Retno tak menyahut, giginya gemeretak, sekuat tenaga ia mengenggam handphone-nya seperti hendak menyalurkan kemarahan.“Hallo, hallo...,” seseorang di seberang telepon terus bicara.Nyonya Retno hanya diam. Ia tidak mampu berujar sepatah kata pun. Ia lalu mematikan handphone. Wajahnya tampak panik dan tegang. Pak Bejo menatap dari spion mobil. Ia i
Dentuman house music yang dimainkan oleh DJ internasional berpadu dengan pendar cahaya chandelier teramat besar yang tergantung di langit-langit diskotik. Sesekali sinar laser mencuat ke sana kemari mengikuti alunan musik yang sedang dimainkan.Di meja bar yang memanjang di pinggir lantai dansa, seorang pemuda duduk sambil menenggak cognac. Itu adalah gelas ke tiga yang diminumnya. Pemuda itu, menikmati minuman tidak sendirian. Seorang gadis duduk disebelahnya. Paha mulus gadis itu tampak dengan jelas karena ia hanya mengenakan rok mini. Sesekali gadis itu mendekatkan wajahnya ke arah sang pemuda kemudian tersenyum manja. Sang pemuda terus memesan minuman meski sudah dilarang oleh gadis itu.Pemuda itu melepas jasnya kemudian melipat lengan kemejanya dan segera menuju lantai dansa. Dalam keadaan setengah sadar, ia terus menggerakkan badannya tak beraturan. Sang gadis hanya menyaksikan dari kursi bar. Saat sedang menari, tanpa sengaja pemuda itu menyenggo
Harum tanah di pekarangan masih pekat. Embun baru saja jatuh membasahi dedaunan di taman rumah mewah milik Tito Rianggono. Nyonya besar pemilik rumah telah rapi dan bersiap akan pergi. Derit ban mobil meninggalkan bekas di jalan menuju gerbang rumah. Ketika gerbang terbuka, sebuah mobil hitam mempercepat lajunya. Sang sopir tidak bertanya lagi kepada nyonyanya karena kali ini ia yang tahu pasti ke mana hendak pergi. “Kita akan menempuh perjalanan sekitar dua jam Nyonya,” kata Pak Bejo kepada Nyonya Retno. “Iya. Apakah kamu sudah mengabari kepada mereka bahwa kita akan datang hari ini?” “Saya sudah
Rianti dibawa ke dokter kandungan. Di ruang praktek dokter itu, Nyonya Retno menanti dengan cemas. Ia menginginkan agar Rianti diperiksa secara keseluruhan mulai dari kesehatan organ reproduksi hingga keperawanan. Rianti merasa malu bukan alang kepalang. Ini adalah pertama kali ada orang asing yang melihat bagian intimnya.“Dia sehat Nyonya. Dia juga masih perawan,” kata Dokter Ben.“Baguslah kalau begitu. Apakah memungkinkan dia memberi saya cucu?”“Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Nyonya berdoa saja.”“Maksud saya, dengan kondisi anak saya yang lumpuh, apakah memungkinkan untuk mempunyai keturunan.”“Untuk itu saya perlu memeriksa lebih lanjut terhadap kondisi anak Nyonya.”“Kalau untuk program bayi tabung bagaimana, Dok?”“Bisa saja, nanti ada prosesnya. Dan ketika ingin melakukannya, pasangan suami istri dapat berkonsult
“Apa kabarmu? Apakah hidupmu nyaman di luar negeri?” tanya Hendra kepada sesosok perempuan.“Aku baik, dan juga hidup nyaman,” jawab perempuan itu sambil menyeruput kopi.“Lantas, mengapa kau kembali ke Indonesia kalau kau lebih nyaman di luar negeri?”“Nyaman saja tidak cukup, sayang. Aku perlu sesuatu yang lebih dari sekadar nyaman.”“Sayang? Sungguh memuakkan. Tinggal di luar negeri rupanya tak mengubah karaktermu,” Hendra mendengus sinis.“Manusia itu harus berpikir dan bertindak demi kemajuan. Sekarang aku sedang bertindak demi kemajuan hidupku?”“Apalagi yang kurang dari hidumu? Anakmu tinggal di rumah mewah dan menjadi salah satu pewaris kerajaan perusahaan ayahnya sedangkan kamu cukup berfoya-foya tanpa memikirkan mendapatkan uang.”“Hahaha, aku tidak mau kalau anakku menjadi salah satu pewaris, aku mau ia menjadi satu
“Om, aku tidak tahan kalau harus terus dekat dengan Thomas. Dia manja dan kekanak-kanakan.”“Bertahan saja dulu sebentar. Saat ini tidak ada yang bisa aku percaya selain kau, Lusia.”“Tapi, Om. Sebenarnya mengapa Om Hendra begitu peduli pada Thomas?”“Sudah kukatakan, Thomas itu anak bos di perusahaanku.”“Iya, tapi Tuan Tito kan punya dua anak. Mengapa Om hanya terfokus pada Thomas saja?”“Karena dia sulit diatur dan badung. Jadi harus diawasi. Aku cuma meminta kamu bertahan dengan Thomas. Selebihnya kamu tak perlu ikut campur,” kata Hendra.“Aku melakukan ini bukan untuk Thomas, tapi untuk Om. Aku hanya heran saja, bukannya Thomas punya istri yang cantik dan dari kalangan sosialita?”“Aku rasa aku tidak perlu memberi perkuliahan tentang lelaki di sini kan?”“Iya, Om. Tetapi hubungan dengan Thomas seperti penjara bagiku.
Thomas bangun lebih pagi dan ia mulai bersiap ke kantor. Pemandangan itu menjadi sesuatu yang aneh di rumah Tito Rianggono.“Pagi sekali kamu bangun, mau ke mana?” tanya Nyonya Retno.“Ayolah, Ma. Aku bangun siang Mama sinis, aku bangun pagi juga Mama sinis,” kata Thomas.“Tidak sinis, hanya saja sepertinya matahari akan terbit dari barat karena kamu bangun pagi.”“Aku mulai kerja di kantor Papa hari ini,” Thomas menjawab cuek.“Apa? kerja di kantor Papa?”Saat Nyonya Retno masih dalam keheranan, Tito Rianggono datang dan duduk di kursi makan.“Apa benar Thomas akan bekerja di perusahaan mulai hari ini?” tanya Nyonya Retno pada Tito.“Iya,” Tuan Tito menjawab singkat.“Kenapa tiba-tiba dia ingin kerja di perusahaan?”“Mama, ada apa sebenarnya. Tidak masalah kan kalau aku bekerja di perusahaan o
Sebuah mobil sedan hitam memasuki pelataran kantor Tito Rianggono. Perempuan cantik turun dari mobil itu. Ia langsung menuju meja resepsionis dan mengatakan ingin bertemu Tito.“Saya sedang tidak ada janji dengan klien hari ini. Kamu kan tahu jadwal saya, kenapa masih bertanya?” kata Tito saat sang sekretaris mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu.“Iya, Pak. Tetapi orang itu mengatakan bahwa ada urusan yang mendesak dan sangat penting.”“Tanyakan apa kepentinganya?”Sesaat sang sekretaris kembali setelah menelepon resepsionis.“Namanya Maria, Pak. Katanya ada urusan pribadi yang penting.”Tito Rianggono terhenyak mendengar nama itu disebut. Sudah lama ia tidak berhubungan dengan perempuan itu.“Mengapa tiba-tiba datang lagi?” gumam Tito.“Katakan padanya aku tidak mau bertemu dia di kantor. Suruh dia menunggu di Coffeshop dekat kantor,” kata