Share

Bab 2 Diam-Diam Mengawasi

Sebuah mobil Lamborghini Urus berwarna silver berhenti di depan gedung tinggi nanti megah. Seorang satpam bergegas membuka pintu mobil kemundian membungkuk tanda hormat. Jelaslah sudah bahwa sosok yang turun dari mobil adalah orang terpandang. Ia tak lain tak bukan adalah Tito Rianggono, salah satu pengusaha kaya di negeri ini, Ayah Andrian dan Thomas Rianggono. 

Sopir Tuan Tito melaju untuk memarkirkan mobil di parkiran khusus direktur. Mobil itu hanyalah salah satu dari 10 koleksi mobil mewahnya. Lamborghini Urus itu biasa dipakai Untuk ke kantor. Ia  memang senang mengoleksi mobil mewah. Ia bahkan mengoleksi mobil Bugatti Centodieci yang hanya ada 10 unit di dunia. Selain menyukai otomotif, Tuan Tito menganggap bahwa koleksi mobil mewah adalah simbol seorang yang berharta, bertahta, dan berkuasa. 

Lelaki berusia 55 tahun itu masih tampak muda dan gagah. Rambutnya klimis, wajahnya tegas dengan kulit yang bersih dan terawat. Pembawaannya sangat berwibawa. Kekayaan dan kekuasaan sangat melekat pada sosoknya. Tak hanya punya satu bidang usaha, Tito punya gurita bisnis. Mulai dari perusahaan rokok hingga perbankan menjadi penghasil pundi-pundi kekayaan keluarganya. 

Tuan Tito melangkah pasti menuju lobi kantor. Elemen-elemen mewah seperti marmer Nero Marquina dan Bianco Carrara mendominasi pada coffee table dan meja resepsionis. Pemilihan warna-warna tegas yang hadir dari lantai granit Lava Black dan aksen kuningan pada chandelier cincin memperkuat kemewahan kantor tersebut. 

Klien yang datang dapat melihat di belakang meja resepsionis ditampilkan konfigurasi panel triplek vertikal berlapis HPL sebagai pusat perhatian. Bentuk parametrik 3D yang diusung melambangkan fleksibilitas dan dan sikap perusahaan yang ingin terus relevan.

Tidak hanya klien yang dimanjakan oleh interior mewah nan elegan pada lobi, Tito jua memilih rancangan multifunction box di koridor yang bisa digunakan para staf perusahaan. Konfigurasi sofa custom ber-cushion beludru dan meja berlapis marmer ini diberikan partisi untuk tempat makan dan meeting informal antar  karyawan. Sesekali Tuan Tito melakukan meeting singkat di sana. 

Belum selesai dengan kemewahan yang terpampang dari lobi hingga koridor, ruang kerja Tuan Tito, sang direktur juga menampilkan konsep yang serupa dengan interior lobi. Chandelier berbahan kuningan dan akrilik menggantung manis di bawah drop ceiling dengan sisi-sisi LED yang menguar hangat. Semua yang digunakan di kantor ini adalah produk-prosuk berkualitas premium. 

Tuan Tito duduk di kursi kerjanya kemudian menelepon seseorang dari pesawat telepon yang ada di meja. Seorang pria 50 tahunan masuk ke ruangan. Hendra sekretaris pribadi Tito. Ia sudah bekerja hampir 20 tahun. Bahkan keluarga Tito tidak hanya menganggap sebagai sekretaris, melainkan keluarga. 

Hendra menyerahkan amplop coklat kepada Tuan Tito. Ia lalu membuka amplop yang  berisi beberapa foto. Ia melihat setiap foto dengan saksama kemudian menghela  napas panjang. 

"Si dungu itu rupanya masih tetap dungu. Apa yang ada di pikirannya sehingga ia masih selalu melakukan hal itu. Mengunjungi tempat itu setiap tahun. Kapan kedunguannya akan hilang?" Tito geram. 

"Mungkin ia masih butuh waktu untuk bangkit dan melupakan kejadian itu, " Hendra menyahut. 

"Sampai kapan? Harus berapa lama lagi? Bagaimana aku akan mempercayakan perusahaan ini pada anak yang bahkan selalu mengutuki dirinya sendiri setiap waktu. Aku butuh orang yang kuat untuk memimpin perusahaan ini."

"Tapi, Pak. Bukankah Anda tidak hanya memiliki seorang putra. Masih ada putra ke dua Anda. Thomas."

"Ya, Thomas. Tapi coba lihat apa yang dilakukan bocah tengil itu?" ujar Tito sambil melempar beberapa lembar foto ke sudut meja agar terlihat oleh Hendra. 

"Ia tidak bisa lepas dari perilaku hedon. Berfoya-foya. Juga bodoh. Jangankan perusahaan, keluarganya pun tak becus dia urus. Dia seolah buta pada perilaku istrinya yang serong di belakang. Ia sangat permisif hingga hampir tak punya taring di depan istrinya. Ia membiarkan saja istrinya yang tidak mau melahirkan. Bodoh."

"Tapi, setidaknya Thomas sehat," lanjut Hendra. 

"Aku punya dua putra, yang seorang lumpuh fisik dan hati, sedangkan yang seorang lagi sehat tapi otaknya... Ah, sudahlah."

"Anda bisa mengajari Thomas agar cerdas sehingga bisa memimpin perusahaan dengan baik."

"Aku tidak ingin melakukan itu. Ini adalah pertarungan senyap. Aku ingin kedua putraku menempuh cara sendiri untuk memantaskan diri menjadi pemimpin perusahaan. Aku hanya akan Diam-diam mengawasi."

Handphone Tito berdering. Ia mengangkat telepon tapi hanya berdehem lalu mematikannya. Ia meminta Hendra meninggalkan ruangan. 

Di lift lantai tujuh, Hendra berpapasan dengan seorang pemuda yang tampak asing. Pemuda itu membawa amplop yang sama dengan yang ia serahkan tadi. Namun, ia tidak mengenal pemuda itu sebagai salah seorang mata-mata Tito. Hendra lalu mengurungkan niat untuk ke luar dan tetap berada di dalam lift untuk memastikan tujuan pemuda itu. 

Menyadari diperhatikan Hendra, pemuda itu menyembunyikan amplopnya. Gestur pemuda itu justru meningkatkan kecurigaan Hendra. Ia melihat pemuda itu mengubah nomor lantai yang dituju, mukanya akan ke lantai delapan, di mana ruangan direktur berada menjadi lantai 14. Hendra tidak mengikutinya hingga lantai 14, ia berhenti di lantai 10 agar tak memberi kesan mengikuti pemuda itu. 

Saat tiba di lantai 14, sang pemuda keluar kemudian menunggu beberapa saat untuk turun kembali ke lantai delapan dan masuk ke ruangan Tito. 

"Bagaimana?" Tanya Tito pada seorang pemuda usai ia menyerahkan amplop coklat. 

"Dia bersih, Tuan. Tidak ada cela. Sepertinya dia memang setia," ujar pemuda itu. 

Sebagai seorang yang malang melintang di dunia bisnis, tentu tak mudah bagi Tito untuk mempercayai orang lain sekalipun orang terdekat. Ia selalu waspada terhadap siapa saja. Hal itulah yang membuat ia mampu membangun raksasa bisnisnya. Tak hanya putranya, ternyata Tito juga memata-matai sekretarisnya, Hendra. Tito lega karena hingga saat ini ia sama sekali belum menemukan cela. Kesetiaan Hendra tak pantas diragukan. 

Tito meminta Erika, sekretaris perusahaan untuk masuk ke ruangan. Ia menanyakan berkas yang akan ditandatangani dan memastikan kembali jadwal kegiatan hari ini. Erika mengingatkan bahwa ia ada janji temu dengan Indra, pengacara perusahaan. Tito meminta Erika mengatur ulang jadwal temu dengan Indra pada hari lain dengan alasan ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status