Sebuah mobil Lamborghini Urus berwarna silver berhenti di depan gedung tinggi nanti megah. Seorang satpam bergegas membuka pintu mobil kemundian membungkuk tanda hormat. Jelaslah sudah bahwa sosok yang turun dari mobil adalah orang terpandang. Ia tak lain tak bukan adalah Tito Rianggono, salah satu pengusaha kaya di negeri ini, Ayah Andrian dan Thomas Rianggono.
Sopir Tuan Tito melaju untuk memarkirkan mobil di parkiran khusus direktur. Mobil itu hanyalah salah satu dari 10 koleksi mobil mewahnya. Lamborghini Urus itu biasa dipakai Untuk ke kantor. Ia memang senang mengoleksi mobil mewah. Ia bahkan mengoleksi mobil Bugatti Centodieci yang hanya ada 10 unit di dunia. Selain menyukai otomotif, Tuan Tito menganggap bahwa koleksi mobil mewah adalah simbol seorang yang berharta, bertahta, dan berkuasa.
Lelaki berusia 55 tahun itu masih tampak muda dan gagah. Rambutnya klimis, wajahnya tegas dengan kulit yang bersih dan terawat. Pembawaannya sangat berwibawa. Kekayaan dan kekuasaan sangat melekat pada sosoknya. Tak hanya punya satu bidang usaha, Tito punya gurita bisnis. Mulai dari perusahaan rokok hingga perbankan menjadi penghasil pundi-pundi kekayaan keluarganya.
Tuan Tito melangkah pasti menuju lobi kantor. Elemen-elemen mewah seperti marmer Nero Marquina dan Bianco Carrara mendominasi pada coffee table dan meja resepsionis. Pemilihan warna-warna tegas yang hadir dari lantai granit Lava Black dan aksen kuningan pada chandelier cincin memperkuat kemewahan kantor tersebut.
Klien yang datang dapat melihat di belakang meja resepsionis ditampilkan konfigurasi panel triplek vertikal berlapis HPL sebagai pusat perhatian. Bentuk parametrik 3D yang diusung melambangkan fleksibilitas dan dan sikap perusahaan yang ingin terus relevan.
Tidak hanya klien yang dimanjakan oleh interior mewah nan elegan pada lobi, Tito jua memilih rancangan multifunction box di koridor yang bisa digunakan para staf perusahaan. Konfigurasi sofa custom ber-cushion beludru dan meja berlapis marmer ini diberikan partisi untuk tempat makan dan meeting informal antar karyawan. Sesekali Tuan Tito melakukan meeting singkat di sana.Belum selesai dengan kemewahan yang terpampang dari lobi hingga koridor, ruang kerja Tuan Tito, sang direktur juga menampilkan konsep yang serupa dengan interior lobi. Chandelier berbahan kuningan dan akrilik menggantung manis di bawah drop ceiling dengan sisi-sisi LED yang menguar hangat. Semua yang digunakan di kantor ini adalah produk-prosuk berkualitas premium.
Tuan Tito duduk di kursi kerjanya kemudian menelepon seseorang dari pesawat telepon yang ada di meja. Seorang pria 50 tahunan masuk ke ruangan. Hendra sekretaris pribadi Tito. Ia sudah bekerja hampir 20 tahun. Bahkan keluarga Tito tidak hanya menganggap sebagai sekretaris, melainkan keluarga.
Hendra menyerahkan amplop coklat kepada Tuan Tito. Ia lalu membuka amplop yang berisi beberapa foto. Ia melihat setiap foto dengan saksama kemudian menghela napas panjang.
"Si dungu itu rupanya masih tetap dungu. Apa yang ada di pikirannya sehingga ia masih selalu melakukan hal itu. Mengunjungi tempat itu setiap tahun. Kapan kedunguannya akan hilang?" Tito geram.
"Mungkin ia masih butuh waktu untuk bangkit dan melupakan kejadian itu, " Hendra menyahut.
"Sampai kapan? Harus berapa lama lagi? Bagaimana aku akan mempercayakan perusahaan ini pada anak yang bahkan selalu mengutuki dirinya sendiri setiap waktu. Aku butuh orang yang kuat untuk memimpin perusahaan ini."
"Tapi, Pak. Bukankah Anda tidak hanya memiliki seorang putra. Masih ada putra ke dua Anda. Thomas."
"Ya, Thomas. Tapi coba lihat apa yang dilakukan bocah tengil itu?" ujar Tito sambil melempar beberapa lembar foto ke sudut meja agar terlihat oleh Hendra.
"Ia tidak bisa lepas dari perilaku hedon. Berfoya-foya. Juga bodoh. Jangankan perusahaan, keluarganya pun tak becus dia urus. Dia seolah buta pada perilaku istrinya yang serong di belakang. Ia sangat permisif hingga hampir tak punya taring di depan istrinya. Ia membiarkan saja istrinya yang tidak mau melahirkan. Bodoh."
"Tapi, setidaknya Thomas sehat," lanjut Hendra.
"Aku punya dua putra, yang seorang lumpuh fisik dan hati, sedangkan yang seorang lagi sehat tapi otaknya... Ah, sudahlah."
"Anda bisa mengajari Thomas agar cerdas sehingga bisa memimpin perusahaan dengan baik."
"Aku tidak ingin melakukan itu. Ini adalah pertarungan senyap. Aku ingin kedua putraku menempuh cara sendiri untuk memantaskan diri menjadi pemimpin perusahaan. Aku hanya akan Diam-diam mengawasi."
Handphone Tito berdering. Ia mengangkat telepon tapi hanya berdehem lalu mematikannya. Ia meminta Hendra meninggalkan ruangan.
Di lift lantai tujuh, Hendra berpapasan dengan seorang pemuda yang tampak asing. Pemuda itu membawa amplop yang sama dengan yang ia serahkan tadi. Namun, ia tidak mengenal pemuda itu sebagai salah seorang mata-mata Tito. Hendra lalu mengurungkan niat untuk ke luar dan tetap berada di dalam lift untuk memastikan tujuan pemuda itu.
Menyadari diperhatikan Hendra, pemuda itu menyembunyikan amplopnya. Gestur pemuda itu justru meningkatkan kecurigaan Hendra. Ia melihat pemuda itu mengubah nomor lantai yang dituju, mukanya akan ke lantai delapan, di mana ruangan direktur berada menjadi lantai 14. Hendra tidak mengikutinya hingga lantai 14, ia berhenti di lantai 10 agar tak memberi kesan mengikuti pemuda itu.
Saat tiba di lantai 14, sang pemuda keluar kemudian menunggu beberapa saat untuk turun kembali ke lantai delapan dan masuk ke ruangan Tito.
"Bagaimana?" Tanya Tito pada seorang pemuda usai ia menyerahkan amplop coklat.
"Dia bersih, Tuan. Tidak ada cela. Sepertinya dia memang setia," ujar pemuda itu.
Sebagai seorang yang malang melintang di dunia bisnis, tentu tak mudah bagi Tito untuk mempercayai orang lain sekalipun orang terdekat. Ia selalu waspada terhadap siapa saja. Hal itulah yang membuat ia mampu membangun raksasa bisnisnya. Tak hanya putranya, ternyata Tito juga memata-matai sekretarisnya, Hendra. Tito lega karena hingga saat ini ia sama sekali belum menemukan cela. Kesetiaan Hendra tak pantas diragukan.
Tito meminta Erika, sekretaris perusahaan untuk masuk ke ruangan. Ia menanyakan berkas yang akan ditandatangani dan memastikan kembali jadwal kegiatan hari ini. Erika mengingatkan bahwa ia ada janji temu dengan Indra, pengacara perusahaan. Tito meminta Erika mengatur ulang jadwal temu dengan Indra pada hari lain dengan alasan ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda.
Rianti begegas merapikan kerudungnya ketika ia mendengar bunyi pintu diketuk dengan keras. Dilihatnya waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB."Ini pasti bukan Bapak. Biasanya Bapak pulang lebih larut, " bisiknya dalam hati.Ia melangkah tergesa kemudian membuka pintu. Ia melihat sosok lelaki paruh baya yang ia tahu sudah lama meninggalkan desa untuk bekerja di kota."Bapak ada, Neng?" Tanya lelaki itu."Belum pulang, Pak.""Biasanya pulang jam berapa? Perginya jauh?""Biasanya larut malam, Pak. Tidak jauh, hanya duduk-duduk seperi biasa di warung Bang Kocir.""Bisa tolong dipanggilkan sebetar, Neng. Saya ada urusan sangat penting tapi tidak bisa menunggu lama," Katanya."O, kalau begitu saya panggilkan dulu Bapak di warung Bang Kocir. Bapak silakan masuk dan menunggu di dalam," pinta Rianti.Rianti tidak khawatir membiarkan Pak Bejo, yang datang berkunjung untuk menunggu di dalam rumah tanpa
Nyonya Retno menuruni anak tangga sedikit tergesa. Hari ini ia ada janji temu dengan seseorang yang penting. Ia tampil paripurna dengan sapuan make up minimalis. Rambutnya dibiarkan tergerai sebahu. Separuh abad usia sama sekali tak tampak dari perawakannya. Ia mengenakan midi dress dengan hole pattern berwarna khaki. Kaki jenjangnya disempurnakan dengan sepatu Malone Souliers senada warna dressnya. Nyonya Retno menenteng tas Hermes Matte White Niloticus Crocodile Himalaya Birkin 30 dengan diamond hardware untuk mengukuhkan statusnya sebagai nyonya besar, istri Tito Riang gono.Diantar Pak Bejo, Nyonya Retno tiba di salah satu restoran elite yang menyajikan masakan Prancis. Nyonya Retno berjalan menuju meja yang telah dipesannya. Namun, tampaknya orang yang hendak ditemui belum tiba. Nyonya Retno duduk menunggu. Restoran ini menjadi salah satu tempat makan favorit keluarga Tito. Mereka sering menjamu mitra dan kerabat di sini. Interior restoran ini sangat ke
Retno termangu dalam mobil. Ia meminta Pak Bejo untuk tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia tidak menyebutkan tujuan perjalanan. Handphone Nyonya Retno berdering. Nyonya Retno menatap layar kemudian mengabaikan panggilan itu. Ia merasa tidak mengenal si penelepon. Namun, handphone-nya terus berdering. Dengan terpaksa Nyonya Retno mengangkat telepon. Matanya membelakan seketika ia mendengar suara penelepon. Ia amat sangat kenal suara itu. Ia tidak akan pernah melupakan suara itu meski sudah bertahun lamanya.“Apa kabar Nyonya Retno?”Nyonya Retno tak menyahut, giginya gemeretak, sekuat tenaga ia mengenggam handphone-nya seperti hendak menyalurkan kemarahan.“Hallo, hallo...,” seseorang di seberang telepon terus bicara.Nyonya Retno hanya diam. Ia tidak mampu berujar sepatah kata pun. Ia lalu mematikan handphone. Wajahnya tampak panik dan tegang. Pak Bejo menatap dari spion mobil. Ia i
Dentuman house music yang dimainkan oleh DJ internasional berpadu dengan pendar cahaya chandelier teramat besar yang tergantung di langit-langit diskotik. Sesekali sinar laser mencuat ke sana kemari mengikuti alunan musik yang sedang dimainkan.Di meja bar yang memanjang di pinggir lantai dansa, seorang pemuda duduk sambil menenggak cognac. Itu adalah gelas ke tiga yang diminumnya. Pemuda itu, menikmati minuman tidak sendirian. Seorang gadis duduk disebelahnya. Paha mulus gadis itu tampak dengan jelas karena ia hanya mengenakan rok mini. Sesekali gadis itu mendekatkan wajahnya ke arah sang pemuda kemudian tersenyum manja. Sang pemuda terus memesan minuman meski sudah dilarang oleh gadis itu.Pemuda itu melepas jasnya kemudian melipat lengan kemejanya dan segera menuju lantai dansa. Dalam keadaan setengah sadar, ia terus menggerakkan badannya tak beraturan. Sang gadis hanya menyaksikan dari kursi bar. Saat sedang menari, tanpa sengaja pemuda itu menyenggo
Harum tanah di pekarangan masih pekat. Embun baru saja jatuh membasahi dedaunan di taman rumah mewah milik Tito Rianggono. Nyonya besar pemilik rumah telah rapi dan bersiap akan pergi. Derit ban mobil meninggalkan bekas di jalan menuju gerbang rumah. Ketika gerbang terbuka, sebuah mobil hitam mempercepat lajunya. Sang sopir tidak bertanya lagi kepada nyonyanya karena kali ini ia yang tahu pasti ke mana hendak pergi. “Kita akan menempuh perjalanan sekitar dua jam Nyonya,” kata Pak Bejo kepada Nyonya Retno. “Iya. Apakah kamu sudah mengabari kepada mereka bahwa kita akan datang hari ini?” “Saya sudah
Rianti dibawa ke dokter kandungan. Di ruang praktek dokter itu, Nyonya Retno menanti dengan cemas. Ia menginginkan agar Rianti diperiksa secara keseluruhan mulai dari kesehatan organ reproduksi hingga keperawanan. Rianti merasa malu bukan alang kepalang. Ini adalah pertama kali ada orang asing yang melihat bagian intimnya.“Dia sehat Nyonya. Dia juga masih perawan,” kata Dokter Ben.“Baguslah kalau begitu. Apakah memungkinkan dia memberi saya cucu?”“Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Nyonya berdoa saja.”“Maksud saya, dengan kondisi anak saya yang lumpuh, apakah memungkinkan untuk mempunyai keturunan.”“Untuk itu saya perlu memeriksa lebih lanjut terhadap kondisi anak Nyonya.”“Kalau untuk program bayi tabung bagaimana, Dok?”“Bisa saja, nanti ada prosesnya. Dan ketika ingin melakukannya, pasangan suami istri dapat berkonsult
“Apa kabarmu? Apakah hidupmu nyaman di luar negeri?” tanya Hendra kepada sesosok perempuan.“Aku baik, dan juga hidup nyaman,” jawab perempuan itu sambil menyeruput kopi.“Lantas, mengapa kau kembali ke Indonesia kalau kau lebih nyaman di luar negeri?”“Nyaman saja tidak cukup, sayang. Aku perlu sesuatu yang lebih dari sekadar nyaman.”“Sayang? Sungguh memuakkan. Tinggal di luar negeri rupanya tak mengubah karaktermu,” Hendra mendengus sinis.“Manusia itu harus berpikir dan bertindak demi kemajuan. Sekarang aku sedang bertindak demi kemajuan hidupku?”“Apalagi yang kurang dari hidumu? Anakmu tinggal di rumah mewah dan menjadi salah satu pewaris kerajaan perusahaan ayahnya sedangkan kamu cukup berfoya-foya tanpa memikirkan mendapatkan uang.”“Hahaha, aku tidak mau kalau anakku menjadi salah satu pewaris, aku mau ia menjadi satu
“Om, aku tidak tahan kalau harus terus dekat dengan Thomas. Dia manja dan kekanak-kanakan.”“Bertahan saja dulu sebentar. Saat ini tidak ada yang bisa aku percaya selain kau, Lusia.”“Tapi, Om. Sebenarnya mengapa Om Hendra begitu peduli pada Thomas?”“Sudah kukatakan, Thomas itu anak bos di perusahaanku.”“Iya, tapi Tuan Tito kan punya dua anak. Mengapa Om hanya terfokus pada Thomas saja?”“Karena dia sulit diatur dan badung. Jadi harus diawasi. Aku cuma meminta kamu bertahan dengan Thomas. Selebihnya kamu tak perlu ikut campur,” kata Hendra.“Aku melakukan ini bukan untuk Thomas, tapi untuk Om. Aku hanya heran saja, bukannya Thomas punya istri yang cantik dan dari kalangan sosialita?”“Aku rasa aku tidak perlu memberi perkuliahan tentang lelaki di sini kan?”“Iya, Om. Tetapi hubungan dengan Thomas seperti penjara bagiku.