Kedua mata Arsyila terasa panas. Arsyila menggigit bibir bawahnya kuat. Berusaha untuk tidak kembali menangis layaknya gadis bodoh seperti sebelumnya. Ternyata fakta itu benar, bahwa ayahnyalah yang merubah Syakila menjadi kupu-kupu malam. Kini ayahnya melakukan hal yang sama pada Arsyila.Rasanya Arsyila masih tidak ingin mempercayainya. Fakta ini terlalu menyakitkan untuk diterima Arsyila. Kecewa, marah, juga sedih. Arsyila tak bisa memilah perasaan mana yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Seolah semuanya bercampur menjadi satu dan memporak porandakan hati Arsyila.“Ayo keluar!” Arsyila menyimpan benda pemberian tuan Derin dalam sakunya. Jemarinya masih bergetar. Tatapan Arsyila berubah hampa. Gadis itu memilih pasrah saat tuan Derin menariknya keluar. Tuan Derin tak sedetik pun melepaskan tangannya dari lengan Arsyila. Cengkramannya cukup kuat. Itu mungkin akan berbekas nanti. Meski lengannya terasa sakit Arsyila tak bersuara. Bagi Arsyila rasanya ta
“Tapi, kau harus melayaniku lebih dulu.” Mr. Ji menyeringai. Mengantarkan ketakutan yang lebih mencekam untuk Arsyila. Sekujur tubuh Arsyila merinding dibuatnya. Tanpa disadari Arsyila, air mata terus menetes dari sepasang matanya. Takut. Arsyila benar-benar takut.“Bi-biarkan sa-saya pergi. Sa-saya mohon.” Tubuh Arsyila bergetar hebat. Kulit wajahnya sudah sepucat mayat. Arsyila salah sempat berpikir Mr. Ji akan melepaskannya begitu saja. Tak ada sisi kemanusiaan dari pria itu yang tersisa. Tidak, mungkin orang itu juga tak layak disebut manusia. Perilakunya itu lebih mirip dengan binatang.“Menangislah. Wajah ketakutanmu ini membuatku semakin bergairah.” Jari-jari kasar Mr. Ji menelusuri wajah Arsyila yang basah oleh air mata. Arsyila memalingkan wajahnya. Merasa jijik dan terhina. Arsyila berusaha mungkin menghentikan tangisannya. Tidak boleh, tidak boleh menangis. Ini bukan waktunya Arsyila menangis dan merasa ketakutan seperti ini!“Aku bena
Bel berbunyi berkali-kali, membuat Mr. Ji yang berusaha mengabaikannya lama-kelamaan terusik. Mr. Ji mengumpat dengan kesal. Kegelapan telah menelan Arsyila sepenuhnya. Gadis itu terbaring tak sadarkan diri dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.Di sisi lain Mr. Ji terlihat membuka pintu dengan tergesa. Pria itu berpikir mungkin putranya kembali lagi untuk meminta uang lebih banyak. Tapi ketika Mr. Ji baru saja membuka pintu wajahnya segera disambut dengan sebuah bogem mentah. Mr. Ji terhuyung mundur. Tubuh tambunnya tumbang ketika mendapatkan pukulan kedua. “Si-siapa?!” geram Mr. Ji memegangi wajahnya sambil mendesis kesakitan. Sosok pria berambut emas datang dan menendang wajah Mr. Ji dengan keras. Mr. Ji berteriak, namun teriakannya tertahan karena kali ini kaki pria berambut emas itu menginjak lehernya.“Dimana?” Zhou menggeram, memperhatikan kondisi rumah Mr. Ji yang cukup berantakan. Butuh waktu yang lumayan lama untuk Zhou menemukan keberadaan
“Kakak … ukh, kakak ….” Arsyila meracau dalam tidurnya. Keringat dingin terus muncul dan mengalir dari keningnya. Keningnya berkerut. Gadis itu menggeliat tidak nyaman. Terkadang air mata meleleh dari sudut matanya dan terkadang Arsyila menggertakkan giginya. Arsyila menangis dan merintih dalam tidurnya. Ketakutan yang mencekam masih menghantui Arsyila, bahkan mengikutinya ke dalam mimpi. Dalam mimpinya, Arsyila melihat kakaknya di rantai di sebuah tiang. Syakila, gadis itu terlihat kurus dari yang terakhir Arsyila lihat. Syakila terus menangis dan berteriak kesakitan saat sebuah cambuk besar terus diarahkan padanya. Arsyila ikut berteriak. Sayangnya suaranya tidak keluar. Arsyila berusaha berlari menyelamatkan kakaknya. Tapi sekencang apapun Arsyila berlari rasanya jarak yang dia tempuh sama sekali tak berkurang.Suara tawa menggelegar. Arsyila melihat sosok itu terus menghujamkan cambuknya tanpa ampun pada Syakila. Sosok itu … seorang pria yang memakai topeng di wajahnya. Arsyila
Hambar.Sebenarnya Arsyila tak berharap banyak dari masakan Zhou. Tapi rasanya benar-benar diluar ekpetasi Arsyila. Itu adalah sup jagung yang hampir tak memiliki rasa. Meski begitu Arsyila terus membuka mulutnya dan menelannya tanpa bicara apa-apa. Sesekali mata coklatnya mencuri pandang pada Zhou yang dengan sabar menyuapinya.“Kurasa aku sudah kenyang,” ucap Arsyila membuat Zhou memberinya minum dan membereskan makanan Arsyila. Mata coklat Arsyila terus memperhatikannya. “Jam … jam berapa sekarang?” tanya Arsyila melihat jendela di kamar itu tertutup rapat.“Sembilan malam,” jawab Zhou kembali duduk di sebelah Arsyila. Zhou merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel dengan case merah muda.“Ini. Yerina memintaku mengembalikan ini.” Zhou menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya. Melihat ponsel itu masih utuh dan dalam keadaan baik membuat Arsyila merasa lega. Bagaimana pun ponsel itu adalah pemberian Reyga. Arsyila pasti kebin
“Kenapa?” Arsyila bertanya dengan suara yang bergetar. Tangannya masih mengenggam erat atasan Zhou bagian belakang. Zhou berdiri memunggungi Arsyila. Sama sekali tak menunjukkan keinginan untuk menatap ke arah gadis itu. Hanya dengan sikap dinginnya itu sudah berhasil membuat Arsyila merasa kecewa.“Ke-kenapa?” Arsyila mengulangi pertanyaannya. Kebisuan Zhou membuat Arsyila frustasi. Setelah beberapa detik diam, akhirnya Arsyila mendengar Zhou menghela napas.“Ini salah, Syila.” Arsyila bisa merasakan suara Zhou yang sedikit melunak. Meski tak menatap Arsyila, setidaknya Zhou mau berbicara dengannya.“Sa-salah? … salah?” Arsyila membeo. Arsyila masih tak mengerti. Ini pertama kalinya gadis itu jatuh cinta, dan Arsyila tak tau letak kesalahannya.“Benar. Seharusnya kau tak memiliki perasaan semacam itu. Jadi lupakanlah!” Hati Arsyila bengkok. Tangannya semakin erat meremas ujung pakaian Zhou. Matanya kembali terbakar. “Kenapa?” lirih ga
Zhou mengepalkan tangannya. Pria itu memang pergi menjauh dari Arsyila. Tapi dia tidak benar-benar meninggalkannya. Zhou mengawasi dari kejauhan. Pria itu hampir tak bisa menahan diri untuk tidak berlari pada Arsyila saat gadis itu tiba-tiba jatuh ke tanah. Zhou ingin menolongnya, tapi suara teriakan Arsyila yang menyedihkan kembali berdengung dalam kepalanya dan menghentikannya.Arsyila terisak-isak. Selama hampir sepuluh menit gadis itu tak bergerak dari tempatnya. Setelah perasaannya sedikit membaik, Arsyila mendapatkan sedikit akal sehatnya. Arsyila menatap lampu taman linglung. Merasa sedikit menyesali keputusannya yang pergi terburu-buru tanpa memikirkan apa-apa. Mau bagaimana lagi? Memang seperti itulah wanita, mereka lebih dulu mengutamakan perasaannya dan membuang logikanya.Apa yang harus dilakukan Arsyila? Baru sekarang Arsyila memikirkan kondisinya. Otaknya terasa buntu. Apa yang terjadi hari ini benar-benar sebuah pukulan keras untuk Arsyila. Sangat
Arsyila merasa tubuhnya sangat lemas saat membuka mata. Kedua matanya mengerjap menatap langit-langit ruangan yang terlihat sangat familiar. Arsyila bisa merasakan alas tidurnya yang terasa nyaman. Setelah menatap sekitarnya beberapa saat, Arsyila merasa lega menyadari dia berada di dalam kamarnya di rumah Reyga. Hanya saja ada sekat baru yang tiba-tiba diletakkan di dalam kamarnya. Sebuah sekat yang membelah kamarnya menjadi dua bagian. Lebih anehnya ada lubang di mana tangan kanan Arsyila masuk ke dalam sana. Arsyila menggerakkan tangan kanannya, berniat ingin menariknya seandainya bisa. Baru setelah itu Arsyila menyadari rasa tidak nyaman seperti ada sesuatu yang menempel di punggung tangannya.“Nyonya, Anda sudah sadar rupanya.” Anes muncul dengan membawa nampan berisi air dan kain waslap. Arsyila berusaha tersenyum melihat wajah Anes yang dipenuhi kelegaan. Anes segera menghampiri Arsyila dan memberikan Arsyila air minum. Arsyila merasa tenggorokannya kering kerontang