Armani adalah desainer ternama dari luar negeri yang dikenal dengan karya-karya modisnya, terutama untuk kaum pria.Jaket-jaketnya dibuat dari bahan berkualitas tinggi dan ditenun dengan keahlian tangan terbaik. Setiap detailnya mencerminkan keanggunan dan kemewahan, menjadikannya primadona di dunia fesyen internasional.Lebih dari sekadar nama, Armani telah membangun reputasi yang kuat.Karyanya sering dipilih oleh selebriti dan kalangan elite yang ingin menampilkan status dan gaya hidup mereka. Oleh karena itu, harga yang ditawarkan untuk setiap koleksi adalah pantas, dan sering kali melambung tinggi.Seperti halnya jaket semi-formal terbaru dari koleksi musim semi yang dibawa oleh sepasang kekasih ke dalam ruang ganti.Dengan harga enam puluh juta rupiah, jaket ini adalah salah satu item paling eksklusif di butik Armani. Terbuat dari material premium, jaket ini memancarkan aura kemewahan yang tak tertandingi.Di dalam ruang ganti butik Armani itu, terdengar cekikikan lembut dari ga
Entah mengapa, saat melihat dirinya menjadi tontonan, Xander merasa jantungnya berdebar-debar, seolah-olah Black Card yang ia genggam hanyalah sebuah kartu tak berarti. Kegelisahan merayap perlahan, membuat keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.Dia melirik ke arah gadis sombong yang tampak sangat antusias.Gadis itu berdiri dengan leher terulur panjang, seakan-akan dia ingin melongok ke dalam meja konter pembayaran, berharap menemukan kenyataan bahwa kartu yang diberikan Xander palsu atau setidaknya tidak ada isinya sama sekali."Maaf... ini area khusus. Hanya diperuntukkan untuk karyawan, terutama bagian kasir!"Beruntung, kasir perempuan di butik Armani itu sangat ketat menjalankan prosedur sesuai SOP perusahaan. Dia memberi tahu gadis yang mulai kepo dengan kartu Xander itu bahwa ada batasan antara pelanggan dan area karyawan. Gadis itu tampak kesal, bibirnya mengerucut tanda tidak puas, dan dia mencibir dengan tajam.“Buat apa kalian melindungi pelanggan yang jelas-jelas s
Waktu menunjukkan pukul 11.00, dan acara pembukaan Peza Gallery hampir dimulai.Karena tidak memiliki mobil pribadi, Xander memutuskan untuk menggunakan jasa taksi online merek Uber. Dia membuka aplikasi di ponselnya dengan gesekan jari yang terampil.“Tak mungkin aku meminta Grace Song untuk mengantarkanku dengan mobilnya. Dia masih sibuk menyelesaikan semua transaksi kepemilikan Gorilla’s Kafe. Lebih baik aku menggunakan taksi online saja,” pikirnya, sambil memeriksa layar ponsel.Tak lama kemudian, sebuah mobil Avanza sederhana—kendaraan yang umum dimiliki oleh banyak orang di Negeri Konoya—menyusul di depan Xander. Avanza berwarna silver itu tampak sedikit kusam dan kurang terawat. Catnya mulai memudar, menampakkan noda-noda kecil yang tampak seperti bekas hujan.Meskipun demikian, bentuknya masih cukup layak untuk dinaiki Xander, yang sifatnya memang sederhana dan tak suka menonjol.Peza Gallery terletak di lantai sepuluh gedung perkantoran tinggi yang megah bernama 'Azure Buildi
“Well, well, well... Xander Sanjaya, seorang kenalan lama dari zaman SMA. Apa yang membuatmu datang ke tempat ini? Aku menebak, pasti kamu baru saja selesai mengantar seorang bos, bukan? Dan kamu bekerja sebagai sopir tentunya!” Paul berkacak pinggang, menatap Vera dengan penuh kemenangan sebelum mengalihkan pandangannya ke Xander.Dia mulai melancarkan jurus lamanya untuk menghina Xander, dengan nada suara yang sarat dengan kepongahan.Paul ini sebenarnya patut dikasihani.Dia berusaha menampilkan sisa-sisa kejayaan masa lalunya meskipun sekarang pekerjaannya hanya sebagai seorang sales promotion boy yang digaji per jam dengan upah rendah. Setiap hari, dia berpura-pura menjadi orang penting, meskipun kenyataannya jauh dari itu.Menghadapi kata-kata sinis Paul, Xander hanya berusaha tersenyum. Senyum yang penuh kesabaran dan ketenangan, seolah tidak terpengaruh oleh hinaan tersebut. Suasana sekitar terasa tegang, namun Xander tetap berdiri dengan tenang.Dengan suara penuh kerendahan
“Tuan Xander,” Emma berkata dengan nada rendah, wajahnya tampak menyesal. “Maafkan kecerobohan dua anak buah kami ini. Mereka tidak tahu siapa Anda dan tidak mengerti arti undangan berwarna hitam emas ini.”Emma menghapus keringat yang menetes memenuhi peipisnya. Wajahnya menunjukkan betapa mendalamnya rasa malu yang dirasakannya. Dalam hati, dia memaki-maki Vera dan Paul yang ia nilai bodoh itu.Masalah Vera dan Paul yang memperumit Tuan Xander, apalagi karena mereka merobek undangan seorang tamu VVIP, jelas bukan perkara remeh.Lagipula, siapakah Xander yang bisa membeli unit apartemen termahal di Pacific Residence dengan pembayaran tunai—tanpa harus lewat bank? Jika bukan seorang miliuner, Xander pasti adalah anak dari generasi kedua orang terkaya di Kota Jatavia.Lebih baik memecat dua karyawan yang tidak becus itu, dari pada kehilangan pelanggan potensial seperti Tuan Xander. Emma menyaksikan sendiri di Lobby Pacific Residence saat Tuan Xander itu membayar hanya dalam sekali klik
Lantai sepuluh Gedung Azure Building adalah simbol kemewahan dan kelas tinggi.Penataan ruangan di lantai ini mengusung konsep seni yang sangat berkualitas tinggi, kabarnya desainnya langsung ditangani oleh seorang arsitek terkenal dari Konoya. Setiap sudut ruangan dihias dengan nilai seni yang tinggi, menciptakan atmosfer yang begitu nyaman dan elegan bagi setiap pengunjungnya.Ruangan pamer ini sangat luas dan dirancang berkelok-kelok, menyerupai tata letak jalanan. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan dari berbagai artis, mulai dari karya pop hingga abstrak, menciptakan sebuah galeri yang memanjakan mata. Begitu Xander memasuki ruangan ini, informasi yang dipelajarinya dari sistem toko langsung terlintas dalam pikirannya.“Lukisan kuda liar yang berlari di padang luas ini adalah karya pelukis terkenal dari Negeri Konoya – Abraham, dibuat puluhan tahun lalu,” jelas suara halus yang terdengar di telinganya.Xander berhenti sejenak dan memeriksa detail lukisan tersebut.
Johana seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia bahkan bertanya ulang, memastikan dengan nada penuh harap.“Tuan... Apakah Anda benar-benar ingin membeli lukisan kuda karya pelukis Abraham, dan lukisan pemandangan karya Lord Johan?”Xander tidak memberikan jawaban langsung. Ia hanya mendengus, sebuah isyarat penuh kepastian yang membuat Johana tidak bisa menahan senyum.“Beritahu pada kasir, aku akan membayar tunai melalui kartu. Tolong catat alamatku dan kirimkan ke sana!” tegas Xander dengan nada yang menyiratkan bahwa ia memang sangat serius.Dengan gaya seperti seorang raja yang kembali ke ruang kerjanya, Xander melangkah ke dinding pameran di sudut lain dan mulai melihat-lihat kembali. Dari kejauhan, Johana mendengar Xander bergumam dengan nada penuh rencana.“Barangkali ada lagi yang bisa aku tambahkan. Jadi, tunggu sebentar untuk pembayaran. Jangan terlalu lama, aku bisa saja terpesona oleh lukisan-lukisan lain dan akhirnya membeli seluruh koleksi di sini.”Hati Joh
Namun, ketika kartu berwarna hitam itu digesek di mesin, tidak butuh waktu lama untuk suara mesin printer kecil terdengar mendering, mengonfirmasi transaksi berhasil."Apakah kartu hitam itu berhasil?" gumam seorang pria dengan nada terkejut."Apa? Kartu hitam itu punya saldo?" sahut yang lain dengan raut wajah tidak percaya."Bagaimana bisa? Transaksi sebesar miliaran rupiah lolos dari kartu anak muda itu? Siapa dia sebenarnya?" bisik seseorang, suaranya penuh rasa ingin tahu.Johana semakin percaya diri melihat reaksi orang-orang di sekitarnya.Dengan cekatan, dia mencetak bukti transaksi tersebut dan memberikan sertifikat khusus penjualan pada Xander. Mata-mata yang penuh rasa cemburu dari Dahlia dan senior-seniornya mengikuti setiap gerakan Johana."Tuan Xander, terimalah bukti pembelian Anda. Kami akan mengirimkan langsung ke apartemen Pacific Residence di lantai VVIP," kata Johana dengan penuh hormat, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu berulang kali membungkuk, memberi hormat
Hari itu, pagi pagi benar Xander datang ke Kantor Diamond Air sesuai janjinya pada Grace Song.Ia memarkir mobil listriknya, BYD keluaran terbaru, di tempat parkir dengan tanda besar bertuliskan "Direktur Diamond Air." Xander tidak terlalu memusingkan hal ini; baginya, toh perusahaan ini adalah miliknya.Saat Xander baru saja melangkah sepuluh langkah meninggalkan mobilnya, tiba-tiba seseorang menegurnya dengan nada kasar.“Hei kamu! Apa kamu tidak bisa membaca? Jelas-jelas tertulis ‘Direktur Utama’ di situ. Apa kamu pikir kamu pemilik perusahaan ini, lebih tinggi dari direktur?”Xander menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap petugas keamanan yang berjaga di area parkir.“Tapi aku melihat tempat itu kosong. Apa salahnya kalau aku parkir mobilku sebentar? Lagipula aku tidak akan lama berada di Gedung Diamond Air. Apakah Anda...” Xander baru saja hendak menjelaskan bahwa ia akan bertemu dengan direktur utama, ketika petugas keamanan bernama Hani itu menghardiknya.“Kamu membant
Gedung Diamond Air, yang terletak di pusat Kota Jatavia, berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya.Transformasi Pelican Air menjadi Diamond Air adalah bukti nyata kekuatan uang. Gedung yang dulu kusam kini berkilau dengan kaca hitam mengilap, sementara lobby marmernya memancarkan kemewahan yang tak bisa diabaikan.Semua detailnya berseru: kekayaan.Di dalam, suasana kantor dipenuhi ketegangan yang hanya bisa diciptakan oleh dua hal: kedatangan bos besar yang penuh teka-teki dan rasa penasaran akan apa yang akan berubah di bawah kepemimpinannya.Para karyawan, yang dulunya nyaris kehilangan pekerjaan karena bangkrutnya Pelican Air, sekarang memiliki alasan baru untuk resah.“Sophia Wang,” suara berat Michael Chen, Direktur Pemasaran, memecah keheningan.“Apa kamu sudah mempersiapkan semua acara penyambutan? Aku ingin hari ini sempurna. Tuan Sanjaya harus terkesan.”Sophia Wang, sekretarisnya, mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. “Semuanya sudah beres, Tuan Che
Dengan sumber daya yang banyak, tiada batasan ini maka dalam sekejap mata Pelican Air langsung diakuisisi oleh Bank Central Halilintar Group.Dunia bisnis di Negeri Konoya dibuat heboh dengan gebrakan pemilik Halilintar Group, yang mengambil langkah berani mengakuisisi perusahaan yang hampir pailit ini.Seisi Kota Jatavia membincangkan ini, termasuk di Keluarga Setiawan.Pada sebuah acara minum teh di sore hari, Nyonya Ouyang dikelilingi semua keluarga inti, yang memuji-muji dia.Ruangan itu dihiasi ornamen tradisional dengan sentuhan modern; meja besar di tengah ruangan dipenuhi set teh mewah dan penganan kecil yang tersaji rapi.Lucy kebetulan ada di sana. Dia sudah selesai dengan masa penahanannya di Kota Singapura. Ibunya, Rika, juga sudah bebas dengan pertimbangan berbuat baik selama masa tahanan dan usianya yang cukup sepuh.Rika, yang berpura-pura rapuh dan sakit-sakitan selama di penjara, kini duduk dengan postur lemah tetapi matanya tetap memancarkan kecerdasan licik.Oleh se
Setelah sekian lama, proyek Dolphin Bakery berjalan dengan lancar. Anak-anak panti asuhan kini hidup nyaman dan tentram.Namun, di balik senyum puas itu, Xander mulai memikirkan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang sudah lama ia impikan, jauh di dalam hatinya.“Perusahaan penerbangan. Aku ingin mendirikan perusahaan penerbangan,” kata Xander suatu malam, suaranya penuh tekad, meluncur lembut ke udara.Dia duduk santai di teras apartemennya yang megah, menikmati angin malam, ditemani Grace Song yang setia di sisinya sebagai tangan kanan.“Perusahaan penerbangan, Tuan Xander?” Grace Song mengangkat alis, terdengar skeptis. “Bukankah pasar sudah cukup jenuh dengan perusahaan semacam itu? Dan… bukankah ini berarti Anda akan bertentangan dengan Nona Clara?”Grace menggulirkan informasi yang ia tahu tentang hubungan rumit antara Xander dan Clara. Kedua orang itu jelas saling tertarik, tapi belum ada yang berani mengungkapkan perasaan.Grace tersenyum sambil melirik barista pribadi yang sed
Beberapa bulan setelahnya, di kawasan supermall yang terletak di wilayah timur Jatavia, sebuah toko kue baru saja dibuka.Toko itu berdiri kokoh di antara butik-butik mewah dan gerai-gerai kelas atas yang mengelilinginya, seolah menjadi simbol kedatangan sesuatu yang tak terbendung—sebuah lambang status dan kemewahan baru di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.Nama toko itu adalah Dolphin Bakery, dan hari itu, sang pemilik merayakan peresmian dengan acara yang sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan penuh sentuhan pribadi.Walaupun undangannya terbatas, suasana yang tercipta terasa sangat akrab dan hangat.Seolah, segenap kebahagiaan yang ada mengalir begitu bebas di ruang yang penuh dengan tawa dan suara riang, menciptakan atmosfer yang tidak bisa dihalangi oleh apapun.“Selamat atas dibukanya Dolphin Bakery!” Xander berkata sambil mengulurkan tangan, senyumnya lebar ketika ia menjabat tangan Ibu Mary yang sudah sangat tua.Wajah wanita itu tampak berkaca-kaca, mata
Setelah semua pihak terdiam oleh ancaman tegas Tuan William Tjiang, suasana di ruangan itu menjadi sunyi.Darmawan Tjiang dan Felicia anaknya bersiap meninggalkan kantor, langkah mereka terdengar berat di lantai marmer. Namun, suara Xander memecah kesunyian itu.“Tunggu. Jangan pergi dulu,” ucapnya sambil berdiri tegap, sorot matanya tajam namun tetap tenang.Felicia berhenti, berbalik dengan wajah masam. “Ada apa lagi?” tanyanya dengan nada ketus. “Bukankah tujuanmu sudah tercapai? Panti asuhan itu selamat. Apa lagi yang kamu inginkan?”Wajahnya mencerminkan kejengkelan.Sementara Darmawan Tjiang berdiri dengan sikap hati-hati.Matanya sesekali melirik Xander, seolah mencoba menilai langkah apa yang mungkin dilakukan pria itu. Ia tahu, tindakan sembrono hanya akan memperburuk situasi.“Kalian perlu melihat ini,” kata Xander. Tanpa ragu, ia melemparkan setumpuk file tebal ke meja. Bunyi keras itu menarik perhatian semua orang di ruangan.“Aku pikir kalian mendukung orang yang salah,”
Sandy Setiawan duduk menunggu keputusan rapat singkat di ruang pertemuan Tuan Tua, dengan dada berdebar.Ia bahkan tidak merasa sakit hati saat William Tjiang mengusirnya dari kantor pribadi Tuan Tua beberapa waktu lalu.Ia sudah terbiasa dengan sikap orang-orang yang merasa diri penting.Sandy tahu, keputusan yang diambil di dalam ruangan itu akan sangat menentukan masa depan bisnis Setiawan Corporation. Namun bagi Sandy, yang lebih penting adalah keuntungan untuk dirinya sendiri.Ia merenung, pikirannya melayang ke tanah panti asuhan yang hampir 2000 meter persegi itu. "Bayangkan berapa banyak yang bisa aku dapatkan jika panti asuhan bobrok itu tergusur...," pikirnya, semakin membayangkan potensi keuntungan yang menggiurkan.Selama ini, Sandy sudah mengeruk untung sampai tujuh puluh persen dalam setiap transaksi pembebasan tanah dan bangunan di lokasi supermall Tjiang Global.Setiap mark-up harga ia habiskan untuk berfoya-foya. Itu adalah cara dia menjalani hidup—dengan segala kesen
“Darmawan Tjiang! Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kantor pribadiku?” Bentakan Yuan William menggema dengan suara rendah yang mengerikan, membekukan seluruh suasana.Darmawan Tjiang terdiam, tubuhnya kaku. Baru kali ini ia melihat ayahnya semarah ini.Yang ia tahu, semakin marah ayahnya, semakin dingin sikapnya. Dan itu selalu berarti satu hal—tindakan yang akan merugikan siapa saja yang berdiri di hadapannya.Melihat ketakutan di mata Darmawan, Tuan William merasa kemenangan seketika.Dengan gerakan angkuh, ia berbalik menuju Felicia, cucunya, yang ikut-ikutan menunduk, ketakutan.“Tidak biasanya kakek semarah ini…” batin Felicia, meremas tangannya. Keringat dingin menetes, meresap ke dalam pori-pori kulitnya. Suara dan ekspresi kakeknya terasa asing, dingin, tanpa sekecil pun kehangatan.Sekarang giliran Tuan William melemparkan tatapan tajam kepada Sandy Setiawan. Suaranya makin dingin, penuh ancaman.“Dan kamu, Sandy Setiawan! Kamu hanya seorang kontraktor sub-kontrak di perus
Di dalam ruang Tuan William, suasana penuh wibawa menyelimuti. Ukiran kayu klasik pada dinding dan lampu gantung kristal memancarkan kesan mewah.Sementara aroma Teh Pu-er yang khas memenuhi ruangan, melambangkan kelas atas yang tidak bisa disangkal.Tuan William menyambut mereka dengan ramah, membuat Ibu Mary sedikit lebih nyaman meski canggung.Xander duduk tenang di sudut, senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah sudah memprediksi bagaimana Tuan William akan terpesona oleh roti yang dibawa Ibu Mary.“Tuan penolong Xander, aku tidak menyangka ada seseorang yang memiliki keterampilan pembuatan roti kelas internasional seperti ini...” ujar Tuan William, tatapannya tertuju pada roti di hadapannya.Ia memeriksa tekstur roti itu dengan jari, seolah menilai sebuah karya seni.“Aku pernah makan roti dengan kualitas serupa di Shanghai,” tambahnya dengan nada tulus, seakan kenangan tentang perjalanan itu kembali hidup.Ia kemudian menoleh pada Ibu Mary, pandangannya penuh rasa kagum. “Tak kus