Johana seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia bahkan bertanya ulang, memastikan dengan nada penuh harap.“Tuan... Apakah Anda benar-benar ingin membeli lukisan kuda karya pelukis Abraham, dan lukisan pemandangan karya Lord Johan?”Xander tidak memberikan jawaban langsung. Ia hanya mendengus, sebuah isyarat penuh kepastian yang membuat Johana tidak bisa menahan senyum.“Beritahu pada kasir, aku akan membayar tunai melalui kartu. Tolong catat alamatku dan kirimkan ke sana!” tegas Xander dengan nada yang menyiratkan bahwa ia memang sangat serius.Dengan gaya seperti seorang raja yang kembali ke ruang kerjanya, Xander melangkah ke dinding pameran di sudut lain dan mulai melihat-lihat kembali. Dari kejauhan, Johana mendengar Xander bergumam dengan nada penuh rencana.“Barangkali ada lagi yang bisa aku tambahkan. Jadi, tunggu sebentar untuk pembayaran. Jangan terlalu lama, aku bisa saja terpesona oleh lukisan-lukisan lain dan akhirnya membeli seluruh koleksi di sini.”Hati Joh
Namun, ketika kartu berwarna hitam itu digesek di mesin, tidak butuh waktu lama untuk suara mesin printer kecil terdengar mendering, mengonfirmasi transaksi berhasil."Apakah kartu hitam itu berhasil?" gumam seorang pria dengan nada terkejut."Apa? Kartu hitam itu punya saldo?" sahut yang lain dengan raut wajah tidak percaya."Bagaimana bisa? Transaksi sebesar miliaran rupiah lolos dari kartu anak muda itu? Siapa dia sebenarnya?" bisik seseorang, suaranya penuh rasa ingin tahu.Johana semakin percaya diri melihat reaksi orang-orang di sekitarnya.Dengan cekatan, dia mencetak bukti transaksi tersebut dan memberikan sertifikat khusus penjualan pada Xander. Mata-mata yang penuh rasa cemburu dari Dahlia dan senior-seniornya mengikuti setiap gerakan Johana."Tuan Xander, terimalah bukti pembelian Anda. Kami akan mengirimkan langsung ke apartemen Pacific Residence di lantai VVIP," kata Johana dengan penuh hormat, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu berulang kali membungkuk, memberi hormat
Dengan judes, Lucy Setiawan membentak gadis itu saat memberikan penjelasan pada Kevin Ng. "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tersenyum pada kekasihku ini? Apakah kamu wanita penggoda? Perlu aku tegaskan di sini, pacarku Kevin ini tidak suka dengan gadis miskin seperti kamu! Seleranya adalah gadis-gadis kelas atas keturunan orang kaya dari generasi kedua!"Lucy Setiawan melambaikan jaket bulunya dengan angkuh, sehingga menampar wajah gadis kasir itu."Aduh!" teriak gadis itu kesakitan. Bulu-bulu hewan palsu dari jaket musim dingin yang dikenakan Lucy Setiawan terasa seperti cambuk kecil ketika menampar wajahnya. Mata gadis kasir itu berair, menahan sakit dan juga rasa malu yang mendalam.Namun, tanpa memiliki belas kasihan sedikit pun, masih dengan nada jahat dan judes, Lucy Setiawan menambahkan, "Ayo, transaksi sekarang. Guna apa kamu menunda-nunda waktu? Apakah kamu masih ingin melihat pacarku, Kevin? Kukatakan padamu, hai gadis kasir, sebaiknya bekerja dengan benar. Jangan berting
“Kevin Sanjaya... menantu matrilokal yang menumpang hidup di Keluarga Setiawan!” Suara Kevin Ng bergema setengah berteriak di ruangan itu, seolah-olah dia ingin mengumumkan kepada semua orang bahwa Xander hanyalah seorang menantu matrilokal yang tidak memiliki hak istimewa di keluarga tersebut.“Xander Sanjaya!” teriak Lucy Setiawan, suaranya tidak kalah nyaring. Ia merasa penting saat menyadari sosok yang membeli lukisan seharga tiga ratus juta itu adalah Xander, suaminya yang telah ia selingkuhi. Rasa terkejut dan kemarahan bercampur dalam nada suaranya.“Apakah kamu membuntuti aku? Ataukah kamu masih menginginkanku?” Lucy melanjutkan dengan nada menuduh, ekspresi arogan terpatri di wajahnya.“Dengar baik-baik, Xander... meskipun kamu berusaha menunjukkan kekayaan di hadapanku, aku tahu siapa kamu sebenarnya.” Aku yakin lukisan yang kamu beli ini bukan milikmu!” Ucapannya penuh sindiran dan kesombongan, seolah-olah ia ingin menghancurkan harga diri Xander.Sebenarnya, Xander sudah l
Sementara itu, Lucy berdiri di sudut ruangan, matanya terpaku pada adegan di depan matanya.Dia menyaksikan Grace Song yang berbicara dengan penuh perhatian kepada Xander. Terpancar rasa terkejut di wajahnya saat ia menyadari bahwa Xander sudah memiliki pengganti dalam waktu yang sangat singkat.Meski wanita itu tampak sedikit lebih tua, keanggunannya sangat mencolok dan tidak bisa diabaikan.Rasa cemburu mendalam seketika membakar hati Lucy. Ia merasa bahwa Xander adalah hak miliknya dan seharusnya dialah yang memiliki kekuasaan untuk memperlakukan Xander dengan keleluasaan, bukan wanita elegan tersebut.“Bagus sekali, Xander. Anda benar-benar orang yang bermuka dua. Mengatakan bahwa saya berselingkuh dengan orang lain, padahal kita masih sah sebagai suami istri!” ujar Lucy dengan nada penuh sindiran, suara marahnya membelah keheningan ruangan.Lucy melangkah dengan penuh kemarahan menuju Xander dan Grace Song yang tampak sedang terlibat percakapan akrab. Wajah mereka tampak sangat d
Namun, saat Kevin Ng mencoba menarik perhatian dengan segala sikap manis dan penuh kepura-puraan, Grace Song hanya menanggapinya dengan dingin.Tatapan Grace Song yang tajam, penuh ketenangan, seakan menegaskan jarak yang tak terlihat namun begitu nyata di antara mereka. Tanpa sepatah kata pun, dia berpaling, seolah-olah Kevin tak lebih dari bayang-bayang tak berarti di ruangan megah tersebut."Mari kita pergi," ujar Grace Song, suaranya mengandung kekuatan dan ketegasan. Dia memandang dengan sopan pada Xander, semakin membuat Kevin Ng kebingungan dengan status hubungan antara Grace Song dan Xander.Grace berjalan anggun bersama Xander meninggalkan aula Peza Gallery, meninggalkan keheningan yang tak nyaman di belakang mereka. Semua orang di aula Pezza galleri menatap kepergian dua orang itu dengan taapan penuh tanda tanya.Para penonton yang mengawasi, mulai berpendapat..."Apa sebenarnya hubungan antara Xander dengan Grace Song? Semakin membingungkan saja. Xander mengaku sebagai suam
Xander berbaring santai di atas ranjang empuk di kamarnya yang luas dan sejuk, udara dingin dari pendingin ruangan mengalir lembut di sekelilingnya.Apartemen mewahnya ini adalah sebuah oase modern di tengah hiruk-pikuk kota, dikelilingi oleh dinding kaca yang menawarkan pemandangan cakrawala kota yang gemerlap. Namun, meskipun berada di tempat yang begitu nyaman, Xander belum sempat mandi.Pikiran tentang aktivitas lain sudah memenuhi kepalanya, terutama tentang rencana untuk berenang di kolam renang pribadinya yang dilengkapi dengan teknologi canggih, termasuk kamera Obscura yang mampu mengubah pemandangan di berbagai sudut, terlihat nyata seolah-olah ia hadir sendiri di tempat dibelahan bumi lain."Bagaimana kalau aku berenang, dan membayangkan sedang berada di tengah dinginnya udara Finlandia? Sekalian melihat apakah suhu di ruangan ini bisa mengalahkan suhu di luar yang sangat panas?" pikirnya sambil tersenyum kecil.Ia merasakan sensasi aneh yang tiba-tiba membangkitkan adrenali
Sejenak, Xander dilanda kebimbangan yang mendalam, membuatnya terdiam dalam kolam renang indoor yang tenang. Keheningan terasa mencekam, hanya terdengar percikan air yang lembut, seolah-olah mencerminkan kekacauan yang bergejolak dalam pikirannya.[Kamu tidak berani, bukan?]Suara sistem yang dingin dan menghakimi itu memecah keheningan, menggema di dalam pikirannya.[Aku jadi ragu apakah kamu cocok untuk sistem kekayaan ini. Pemakai sistem sebelumnya, puluhan tahun yang lalu, bukanlah sosok yang penakut seperti kamu!]Sistem itu berhenti sejenak, seolah membiarkan kata-katanya meresap, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih menekan.[Lagipula... bukankah pertemuan kita yang tak terduga itu lebih banyak dipicu oleh dirimu yang hampir mati terkena setrum? Semua gara-gara Lucy Setiawan itu berkhianat! Mengapa kamu merasa berat untuk menceraikan dia?]Kata-kata sistem tersebut seperti cairan cabai yang menyiram wajah Xander, membuatnya tersadar dengan tajam. Rasa sakit dari ingatan i
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.