Dengan perasaan berat hati, Lucy Setiawan menyerahkan sejumlah uang tunai sebesar sepuluh juta rupiah kepada ibunya, Rika. Ada rasa enggan yang tertahan di dalam dada Lucy, namun dia tahu bahwa ini bukan kali pertama dia harus mengalah demi ibunya.Rika Setiawan, yang wajahnya sebelumnya tampak tegang, tiba-tiba saja terdiam setelah memegang tumpukan uang kertas yang masih harum dengan aroma khas uang baru.Airmatanya, yang seolah siap menetes karena sakit hati diperlakukan tidak adil oleh anak sendiri, mendadak berhenti.Matanya yang tadinya redup penuh airmata kepalsuan, kini berkilat-kilat penuh keserakahan.Ia membawa uang itu ke hidungnya, menghirup aromanya dalam-dalam seolah itu adalah oksigen yang sangat dibutuhkannya.“Terima kasih, anakku. Kamu memang anak yang patuh kepada ibumu!” Rika tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak membawa kehangatan yang seharusnya. Hanya bertahan sekejap, karena segera setelah itu, ekspresi dingin kembali menguasai wajahnya.Rika berdiri dengan a
Baru-baru ini, seluruh kalangan pengusaha kelas atas di Kota Jatavia diguncang oleh kehadiran seorang perempuan yang tiba-tiba membuat gebrakan besar.Sosok yang semula tidak terlalu dikenal di kalangan elite ini mendadak menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena kekayaannya yang tak terhitung, tetapi juga karena langkah-langkah bisnisnya yang agresif dan berani.Dengan kekayaan yang seolah tak mengenal batas, perempuan tersebut dengan mudahnya membeli mayoritas saham Gorilas Kafe, sebuah brand kopi nasional yang telah lama menjadi favorit bagi mereka yang mencari kenikmatan tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam.Gorilas Kafe adalah simbol perlawanan terhadap serbuan brand-brand internasional seperti Starluks, yang berusaha mendominasi pasar dengan harga tinggi dan gaya hidup mewah. Namun, Gorilas Kafe tetap bertahan sebagai pilihan utama bagi mereka yang menghargai kualitas tanpa embel-embel status sosial.Belum cukup dengan membuat kegemparan di dalam negeri, perempuan ini kembali
Hari itu, saat langit masih gelap dengan hanya sedikit cahaya yang membayang di ufuk Timur, Kota Jatavia terbangun dalam keheningan.Di sebuah kedai kopi tradisional bergaya Tionghoa, dua sosok manusia duduk berhadapan, menikmati sajian hangat yang ada di depan mereka.Wangi kopi Robusta yang baru saja diseduh memenuhi ruangan, menyebar dengan kehangatan yang menenangkan. Uap tipis mengepul dari cangkir, membawa aroma yang kuat dan pahit, berpadu dengan manisnya cairan susu kental yang membuat setiap tegukan menjadi harmoni rasa yang sempurna.Xander merasakan kehangatan itu ketika ia menyesap kopi panas-panas, seolah memberi tenaga untuk menghadapi hari.Di meja, roti bakar tradisional yang dipanggang di atas bara api—tempat kopi juga diseduh—tampak menggiurkan.Roti itu dilapisi selai ‘Kaya’, perpaduan santan kental dengan kuning telur yang diperkaya aroma pandan atau vanilla. Setiap gigitan menyajikan rasa gurih yang melekat di lidah, seolah membangkitkan semangat pagi yang perlaha
Keesokan harinya, sinar matahari yang masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar Xander. Suara dering telepon yang nyaring membangunkannya dari tidur yang masih lelap.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur, melirik angka yang tertera pada jam dinding digital di kamar—08.00 pagi. Masih terlalu pagi untuk menerima panggilan, pikirnya. Namun, ketika melihat nama di layar, ia segera menjawab telepon itu tanpa ragu."Halo, Ibu Grace. Ada apa pagi-pagi begini?" Suara Xander terdengar sedikit serak, sisa-sisa kantuk masih membayang di ujung nada bicaranya."Er... tentang perbincangan kita kemarin," suara Grace terdengar lembut namun penuh arti, "saham Bank Central Halilintar sudah Anda miliki, secara mayoritas. Dengan kata lain, Anda sekarang adalah pemilik dari salah satu bank terbesar di negeri Konoya ini. Selamat, Tuan Xander."Kata-kata itu seolah menampar kesadaran Xander sepenuhnya. Ia terdiam sejenak, membiarkan berita itu meresap."Ah... lega sekali r
Karena Grace Song bilang bahwa pihak Manajemen Bank Central Halilintar ingin bertemu dengannya, Xander tanpa ragu langsung memilih lift terdekat, untuk menuju lantai lima belas di gedung megah itu. Xander melangkah cepat, dadanya berdebar sedikit lebih keras dari biasanya. Gedung itu, dengan arsitektur modern dan kaca yang memantulkan sinar matahari, terasa begitu besar dan menakutkan. Namun, Xander mencoba menepis perasaan cemas yang menyelinap di hatinya. Sementara itu, Xander berlari-lari kecil menuju lift. Saat melihat pintu lift yang sudah terisi oleh sepuluh orang dengan raut wajah serius, ia berteriak, "Tolong tahan sebentar! Aku juga mau ke lantai lima belas!" Namun, yang terjadi berikutnya membuat jantungnya serasa jatuh ke lantai. Tepat ketika jarak Xander hanya tersisa tiga meter dari lift, pintu logam itu tertutup rapat. Dengan cepat, lift itu bergerak naik, membawa sepuluh orang itu menuju lantai yang akan mereka tuju. Xander berdiri terpaku, napasnya terengah-engah.
Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di samping meja June, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat dia menyiapkan diri untuk menerima arahan.Ruangan itu terasa sejuk dengan aroma kopi yang samar, bercampur dengan wangi khas kertas dan tinta. Di depan matanya, June tampak begitu profesional, tangannya sibuk dengan beberapa dokumen di atas meja yang rapi."Tugas kita dari bagian sekretariat korporat ada banyak," kata June dengan nada tegas, matanya tak lepas dari tumpukan kertas yang terorganisir. "Termasuk mengatur pertemuan pagi ini antara dewan direksi dan komisaris dengan pemilik perusahaan yang baru. Mr. Sanjaya!"Nada tegas itu membuat Xander sedikit terkejut, namun dia berusaha tetap tenang.Matanya mengikuti gerakan tangan June yang tiba-tiba berhenti. June mendongak dan menatap name tag di dada Xander. Dia menyipitkan mata, seakan berusaha memastikan apa yang dilihatnya."Namun, Mr. Sanjaya pemilik perusahaan itu tentunya bukan kamu, bukan?" kata June, bibirnya membentuk
“Selamat pagi, anak muda. Kamu pasti karyawan baru, bukan?” suara wanita paruh baya itu terdengar nyaring menyapa Xander dengan nada yang terdengar seperti perintah daripada sapaan.“Aku tahu, meskipun kamu baru di sini, pasti kamu sudah diracuni dengan kebohongan dari suamiku. Sekarang, jawab dengan jujur! Apakah Tuan Smith, suamiku, ada di kantornya?”Xander terperangah, tubuhnya menegang mendengar nada sinis dan penuh tuduhan dari wanita yang berdiri di hadapannya.Nyonya Ida Smith, dengan mata yang tajam seperti elang, menatapnya seolah bisa menembus setiap lapisan kebohongan yang mungkin akan ia katakan. Jantung Xander berdegup kencang, tenggorokannya mengering seketika.“Aku... aku...” Xander tergagap, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Rasa takut menjalari tubuhnya, membuatnya tak mampu berbohong, apalagi di bawah tatapan menuduh Nyonya Smith.Melihat Xander yang ragu-ragu, Nyonya Smith langsung menepisnya dengan gerakan cepat yang tidak diduga-duga. Tubuhnya yang gemuk namu
Yang disebut kantin di Gedung Bank Central Halilintar sesungguhnya lebih cocok disebut dengan nama Pujasera.Suasana di dalamnya penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang bergegas memesan makanan, suara sendok dan garpu beradu, serta aroma masakan yang bercampur dari berbagai konter.Aneka hidangan dari berbagai daerah tersedia di sana, tertata rapi di konter-konter yang menyerupai food court di mall, hanya saja di sini tidak ada merek terkenal, melainkan warung lokal dengan cita rasa autentik.“Mari kita antri di Warung Minahasa!” kata June pada Xander sambil melirik ke arah konter yang didominasi warna merah mencolok dengan papan nama berhiaskan ukiran tradisional Minahasa.“Minahasa? Bukankah itu sejenis masakan Manado?” tanya Xander dengan alis terangkat, sedikit penasaran.“Iya,” jawab June dengan senyum tipis di wajahnya. “Minahasa itu nama kabupaten di sana, jadi jenis makanannya hampir mirip dengan masakan Manado. Kamu cukup kuat makan pedas, bukan?” tanya June sambil memutar tub