Keesokan harinya, sinar matahari yang masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar Xander. Suara dering telepon yang nyaring membangunkannya dari tidur yang masih lelap.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur, melirik angka yang tertera pada jam dinding digital di kamar—08.00 pagi. Masih terlalu pagi untuk menerima panggilan, pikirnya. Namun, ketika melihat nama di layar, ia segera menjawab telepon itu tanpa ragu."Halo, Ibu Grace. Ada apa pagi-pagi begini?" Suara Xander terdengar sedikit serak, sisa-sisa kantuk masih membayang di ujung nada bicaranya."Er... tentang perbincangan kita kemarin," suara Grace terdengar lembut namun penuh arti, "saham Bank Central Halilintar sudah Anda miliki, secara mayoritas. Dengan kata lain, Anda sekarang adalah pemilik dari salah satu bank terbesar di negeri Konoya ini. Selamat, Tuan Xander."Kata-kata itu seolah menampar kesadaran Xander sepenuhnya. Ia terdiam sejenak, membiarkan berita itu meresap."Ah... lega sekali r
Karena Grace Song bilang bahwa pihak Manajemen Bank Central Halilintar ingin bertemu dengannya, Xander tanpa ragu langsung memilih lift terdekat, untuk menuju lantai lima belas di gedung megah itu. Xander melangkah cepat, dadanya berdebar sedikit lebih keras dari biasanya. Gedung itu, dengan arsitektur modern dan kaca yang memantulkan sinar matahari, terasa begitu besar dan menakutkan. Namun, Xander mencoba menepis perasaan cemas yang menyelinap di hatinya. Sementara itu, Xander berlari-lari kecil menuju lift. Saat melihat pintu lift yang sudah terisi oleh sepuluh orang dengan raut wajah serius, ia berteriak, "Tolong tahan sebentar! Aku juga mau ke lantai lima belas!" Namun, yang terjadi berikutnya membuat jantungnya serasa jatuh ke lantai. Tepat ketika jarak Xander hanya tersisa tiga meter dari lift, pintu logam itu tertutup rapat. Dengan cepat, lift itu bergerak naik, membawa sepuluh orang itu menuju lantai yang akan mereka tuju. Xander berdiri terpaku, napasnya terengah-engah.
Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di samping meja June, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat dia menyiapkan diri untuk menerima arahan.Ruangan itu terasa sejuk dengan aroma kopi yang samar, bercampur dengan wangi khas kertas dan tinta. Di depan matanya, June tampak begitu profesional, tangannya sibuk dengan beberapa dokumen di atas meja yang rapi."Tugas kita dari bagian sekretariat korporat ada banyak," kata June dengan nada tegas, matanya tak lepas dari tumpukan kertas yang terorganisir. "Termasuk mengatur pertemuan pagi ini antara dewan direksi dan komisaris dengan pemilik perusahaan yang baru. Mr. Sanjaya!"Nada tegas itu membuat Xander sedikit terkejut, namun dia berusaha tetap tenang.Matanya mengikuti gerakan tangan June yang tiba-tiba berhenti. June mendongak dan menatap name tag di dada Xander. Dia menyipitkan mata, seakan berusaha memastikan apa yang dilihatnya."Namun, Mr. Sanjaya pemilik perusahaan itu tentunya bukan kamu, bukan?" kata June, bibirnya membentuk
“Selamat pagi, anak muda. Kamu pasti karyawan baru, bukan?” suara wanita paruh baya itu terdengar nyaring menyapa Xander dengan nada yang terdengar seperti perintah daripada sapaan.“Aku tahu, meskipun kamu baru di sini, pasti kamu sudah diracuni dengan kebohongan dari suamiku. Sekarang, jawab dengan jujur! Apakah Tuan Smith, suamiku, ada di kantornya?”Xander terperangah, tubuhnya menegang mendengar nada sinis dan penuh tuduhan dari wanita yang berdiri di hadapannya.Nyonya Ida Smith, dengan mata yang tajam seperti elang, menatapnya seolah bisa menembus setiap lapisan kebohongan yang mungkin akan ia katakan. Jantung Xander berdegup kencang, tenggorokannya mengering seketika.“Aku... aku...” Xander tergagap, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Rasa takut menjalari tubuhnya, membuatnya tak mampu berbohong, apalagi di bawah tatapan menuduh Nyonya Smith.Melihat Xander yang ragu-ragu, Nyonya Smith langsung menepisnya dengan gerakan cepat yang tidak diduga-duga. Tubuhnya yang gemuk namu
Yang disebut kantin di Gedung Bank Central Halilintar sesungguhnya lebih cocok disebut dengan nama Pujasera.Suasana di dalamnya penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang bergegas memesan makanan, suara sendok dan garpu beradu, serta aroma masakan yang bercampur dari berbagai konter.Aneka hidangan dari berbagai daerah tersedia di sana, tertata rapi di konter-konter yang menyerupai food court di mall, hanya saja di sini tidak ada merek terkenal, melainkan warung lokal dengan cita rasa autentik.“Mari kita antri di Warung Minahasa!” kata June pada Xander sambil melirik ke arah konter yang didominasi warna merah mencolok dengan papan nama berhiaskan ukiran tradisional Minahasa.“Minahasa? Bukankah itu sejenis masakan Manado?” tanya Xander dengan alis terangkat, sedikit penasaran.“Iya,” jawab June dengan senyum tipis di wajahnya. “Minahasa itu nama kabupaten di sana, jadi jenis makanannya hampir mirip dengan masakan Manado. Kamu cukup kuat makan pedas, bukan?” tanya June sambil memutar tub
“Ada apa, sayang? Kelihatannya kamu sedang berdebat dengan seseorang,” sebuah suara dari arah belakang tiba-tiba menegur Susi Halim dengan nada penuh keingintahuan.Suara itu milik Alex Setiawan, adik sepupu Lucy Setiawan.Xander mengenali suara ini dengan baik, meskipun Alex sudah berusia dua puluh tiga tahun. Suaranya yang khas dan penuh kepongahan itu selalu mudah dikenali.Alex Setiawan, seorang sarjana bisnis lulusan Singapura, terkenal dengan rasa bangga yang berlebihan terhadap pendidikannya.“Ah, sayang... kamu sudah datang,” kata Susi Halim sambil mendaratkan kecupan mesra di pipi Alex tanpa rasa malu.Di momen itu, seolah dunia berhenti berputar. Lampu sorot seakan-akan berfokus pada mereka berdua, membuat mereka tampak seperti pemeran utama dalam drama murahan yang penuh kepura-puraan.Cup—cup!Bunyi kecupan Susi Halim sangat keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka memalingkan muka karena malu. Ada rasa tidak nyaman yang menyebar di udara, menambah kesan teatrikal p
Xander dan June menghilang di balik pintu lift yang perlahan tertutup, meninggalkan Susi Halim yang masih tertegun, terperangkap dalam kebingungannya.Kenikmatan yang biasa Susi dapatkan saat membully seseorang kini terasa terputus begitu saja, seolah panggung yang biasa ia kuasai di ruang kantin itu tiba-tiba lenyap tanpa penonton yang mau memperhatikannya.Dengan napas yang mulai memburu, Susi melemparkan pandangan tajam ke arah lift yang sudah tak lagi terlihat."June... gadis itu terlalu berani! Siapa dia pikir dirinya? Hanya seorang sekretaris perusahaan ini saja, tapi dia bertingkah seolah-olah memegang posisi tertinggi di kantor ini. Berani-beraninya meremehkan aku, orang dari bagian SDM dan keponakan Ricky Lenusa, sang Komisaris!"Kemarahan membara dalam dada Susi. Ia mengepalkan tangannya, dan tanpa sadar meninju lengan kekasihnya, Alex Setiawan, yang berdiri di sampingnya."Aduh! Kenapa kamu memukulku?" Alex mengerutkan wajahnya, merajuk, sambil mengusap lengannya yang memer
Pada salah satu lantai di gedung pencakar langit Bank Central Halilintar, Susi Halim melangkah masuk ke dalam ruangan dengan penuh percaya diri.Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai marmer yang dingin, menggema dalam keheningan gedung yang megah. Udara dingin dari pendingin ruangan menyapa kulitnya, namun tidak mengurangi aura keangkuhan yang terpancar dari dirinya.Susi adalah sosok yang dikenal dan disegani oleh banyak orang di gedung itu, dan kehadirannya selalu menarik perhatian.“Well – well – well... lihatlah siapa yang datang mengunjungi tempat kerja kita,” suara itu datang dari seorang pria muda dengan senyum hangat yang terpancar dari wajahnya. Itu adalah Wahyu, kepala bagian IT yang sudah lama menyimpan perasaan khusus terhadap Susi.Senyumnya tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan ketertarikan yang ia rasakan terhadap wanita yang kini berdiri di hadapannya.Mata Susi menyipit, menatap Wahyu dengan tatapan arogan yang sudah menjadi ciri khasnya. Ia tahu betul bahwa
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.