Yang disebut kantin di Gedung Bank Central Halilintar sesungguhnya lebih cocok disebut dengan nama Pujasera.Suasana di dalamnya penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang bergegas memesan makanan, suara sendok dan garpu beradu, serta aroma masakan yang bercampur dari berbagai konter.Aneka hidangan dari berbagai daerah tersedia di sana, tertata rapi di konter-konter yang menyerupai food court di mall, hanya saja di sini tidak ada merek terkenal, melainkan warung lokal dengan cita rasa autentik.“Mari kita antri di Warung Minahasa!” kata June pada Xander sambil melirik ke arah konter yang didominasi warna merah mencolok dengan papan nama berhiaskan ukiran tradisional Minahasa.“Minahasa? Bukankah itu sejenis masakan Manado?” tanya Xander dengan alis terangkat, sedikit penasaran.“Iya,” jawab June dengan senyum tipis di wajahnya. “Minahasa itu nama kabupaten di sana, jadi jenis makanannya hampir mirip dengan masakan Manado. Kamu cukup kuat makan pedas, bukan?” tanya June sambil memutar tub
“Ada apa, sayang? Kelihatannya kamu sedang berdebat dengan seseorang,” sebuah suara dari arah belakang tiba-tiba menegur Susi Halim dengan nada penuh keingintahuan.Suara itu milik Alex Setiawan, adik sepupu Lucy Setiawan.Xander mengenali suara ini dengan baik, meskipun Alex sudah berusia dua puluh tiga tahun. Suaranya yang khas dan penuh kepongahan itu selalu mudah dikenali.Alex Setiawan, seorang sarjana bisnis lulusan Singapura, terkenal dengan rasa bangga yang berlebihan terhadap pendidikannya.“Ah, sayang... kamu sudah datang,” kata Susi Halim sambil mendaratkan kecupan mesra di pipi Alex tanpa rasa malu.Di momen itu, seolah dunia berhenti berputar. Lampu sorot seakan-akan berfokus pada mereka berdua, membuat mereka tampak seperti pemeran utama dalam drama murahan yang penuh kepura-puraan.Cup—cup!Bunyi kecupan Susi Halim sangat keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka memalingkan muka karena malu. Ada rasa tidak nyaman yang menyebar di udara, menambah kesan teatrikal p
Xander dan June menghilang di balik pintu lift yang perlahan tertutup, meninggalkan Susi Halim yang masih tertegun, terperangkap dalam kebingungannya.Kenikmatan yang biasa Susi dapatkan saat membully seseorang kini terasa terputus begitu saja, seolah panggung yang biasa ia kuasai di ruang kantin itu tiba-tiba lenyap tanpa penonton yang mau memperhatikannya.Dengan napas yang mulai memburu, Susi melemparkan pandangan tajam ke arah lift yang sudah tak lagi terlihat."June... gadis itu terlalu berani! Siapa dia pikir dirinya? Hanya seorang sekretaris perusahaan ini saja, tapi dia bertingkah seolah-olah memegang posisi tertinggi di kantor ini. Berani-beraninya meremehkan aku, orang dari bagian SDM dan keponakan Ricky Lenusa, sang Komisaris!"Kemarahan membara dalam dada Susi. Ia mengepalkan tangannya, dan tanpa sadar meninju lengan kekasihnya, Alex Setiawan, yang berdiri di sampingnya."Aduh! Kenapa kamu memukulku?" Alex mengerutkan wajahnya, merajuk, sambil mengusap lengannya yang memer
Pada salah satu lantai di gedung pencakar langit Bank Central Halilintar, Susi Halim melangkah masuk ke dalam ruangan dengan penuh percaya diri.Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai marmer yang dingin, menggema dalam keheningan gedung yang megah. Udara dingin dari pendingin ruangan menyapa kulitnya, namun tidak mengurangi aura keangkuhan yang terpancar dari dirinya.Susi adalah sosok yang dikenal dan disegani oleh banyak orang di gedung itu, dan kehadirannya selalu menarik perhatian.“Well – well – well... lihatlah siapa yang datang mengunjungi tempat kerja kita,” suara itu datang dari seorang pria muda dengan senyum hangat yang terpancar dari wajahnya. Itu adalah Wahyu, kepala bagian IT yang sudah lama menyimpan perasaan khusus terhadap Susi.Senyumnya tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan ketertarikan yang ia rasakan terhadap wanita yang kini berdiri di hadapannya.Mata Susi menyipit, menatap Wahyu dengan tatapan arogan yang sudah menjadi ciri khasnya. Ia tahu betul bahwa
Hari telah beranjak sore, dan jarum jam menunjukkan pukul 17.00, saat sinar matahari mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi kota. Cahaya lembut senja menyelinap melalui jendela kantor, membingkai meja kerja Xander dalam nuansa emas yang hangat.“Xander... hei, anak baru. Kamu sudah bisa pulang,” teriak June dengan nada ceria sambil menenteng tas kulit hitamnya, melambai-lambaikan tangan seolah-olah tak sabar ingin keluar.Xander tertegun sejenak ketika melihat June sudah berdiri tegap di depan pintu, siap untuk keluar dari lantai lima belas.Dia baru sadar betapa asiknya dirinya tenggelam dalam layar komputer, membaca email dari Sekretaris Korporat, hingga tak menyadari bahwa June—rekan kerjanya—telah lama meninggalkan meja di sebelahnya.Dengan cepat, Xander melirik sekeliling. Kantor yang biasanya penuh aktivitas kini sepi, hanya menyisakan beberapa bayangan kursi kosong.“Apakah aku adalah makhluk asing dari planet lain?” gumamnya dalam hati, “Kenapa aku tetap duduk di sini se
June mengangguk, lalu Xander menepi, tepat di depan sebuah supermarket impor yang terkenal, Ranch Market. Aroma segar buah-buahan impor dan sayuran organik terasa samar di udara, menggoda setiap pengunjung yang lewat. Xander segera mengangkat ponselnya yang bergetar di saku.“Halo...” Xander menjawab panggilan itu dengan nada tenang, meski matanya masih berkeliling, memandangi deretan produk mahal di etalase supermarket.“Tuan Xander, Anda akan pulang jam berapa? Aku akan menjemput Anda, karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” suara Grace Song terdengar tegas namun profesional, seperti biasa.Xander melirik jam tangan di pergelangan tangannya, lalu menjawab, “Oke, kira-kira satu jam lagi. Bisakah Anda menjemputku di Kyoto Mart? Aku akan berbelanja sebentar.”“Kyoto Mart? Itu adalah supermall mewah milik Anda juga, Tuan Xander. Saya akan menghubungi Direktur Pemasaran agar dia melayani Anda langsung untuk berbelanja...” suara Grace terdengar penuh keyakinan, seolah tidak ada yan
La Gayette adalah sebuah departemen store besar yang berdiri megah di Kyoto Mart, menawarkan kemewahan yang tak tertandingi. Tidak seperti departemen store pada umumnya, La Gayette adalah representasi otentik dari keanggunan Prancis, sebuah tempat di mana brand-brand ternama internasional berjejer, memikat hati setiap pengunjung yang melangkah masuk.Tak perlu lagi disebutkan satu per satu—tentu saja, Dior, Louis Vuitton, Hermès, Chanel, dan masih banyak lagi, semuanya ada di sini, menggoda dengan keanggunan dan kemewahan yang tak terelakkan.Begitu luas dan megahnya, La Gayette terbagi dalam dua section utama yang mencerminkan selera tinggi dan eksklusivitas.Lantai pertama dipersembahkan khusus untuk pria, sebuah arena di mana setelan jas elegan dan sepatu kulit terbaik menunggu untuk dipilih. Sedangkan lantai kedua, sepenuhnya didedikasikan untuk wanita, penuh dengan gaun-gaun mewah dan aksesori yang berkilauan, siap untuk menjadikan setiap wanita bak ratu.June melangkah perlahan
Mendengar tuduhan tanpa dasar dari Susi Halim, wajah June seketika memerah karena amarah yang mendidih di dalam dirinya.“Enak saja bicara! Kau pikir aku cewek gampangan? Semua barang bermerk yang kubeli hari ini, semuanya, ada yang mensponsori!” seru June dengan nada angkuh, matanya bersinar tajam penuh rasa percaya diri.June baru saja akan melangkah ke eskalator ketika Susi Halim, dengan gerakan cepat, kembali menahannya. Tangannya mencengkeram lengan June, memaksa gadis itu untuk tetap di tempat.“Tunggu sebentar! Aku butuh penjelasanmu!” Susi berkata, suaranya penuh tuntutan.June menoleh dengan geram, matanya menyala-nyala penuh amarah. “Penjelasan apa lagi yang kau butuhkan? Bukankah sudah kukatakan tadi? Barang-barang branded ini disponsori oleh seseorang! Puas sekarang?” teriak June, dengan nada yang semakin tinggi, gemuruh emosinya tak terbendung.“Dengar, Susi Halim. Aku peringatkan sekali lagi, jabatanmu sebagai HRD hanya berlaku di dalam kantor. Di luar kantor, semua tind