June mengangguk, lalu Xander menepi, tepat di depan sebuah supermarket impor yang terkenal, Ranch Market. Aroma segar buah-buahan impor dan sayuran organik terasa samar di udara, menggoda setiap pengunjung yang lewat. Xander segera mengangkat ponselnya yang bergetar di saku.“Halo...” Xander menjawab panggilan itu dengan nada tenang, meski matanya masih berkeliling, memandangi deretan produk mahal di etalase supermarket.“Tuan Xander, Anda akan pulang jam berapa? Aku akan menjemput Anda, karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” suara Grace Song terdengar tegas namun profesional, seperti biasa.Xander melirik jam tangan di pergelangan tangannya, lalu menjawab, “Oke, kira-kira satu jam lagi. Bisakah Anda menjemputku di Kyoto Mart? Aku akan berbelanja sebentar.”“Kyoto Mart? Itu adalah supermall mewah milik Anda juga, Tuan Xander. Saya akan menghubungi Direktur Pemasaran agar dia melayani Anda langsung untuk berbelanja...” suara Grace terdengar penuh keyakinan, seolah tidak ada yan
La Gayette adalah sebuah departemen store besar yang berdiri megah di Kyoto Mart, menawarkan kemewahan yang tak tertandingi. Tidak seperti departemen store pada umumnya, La Gayette adalah representasi otentik dari keanggunan Prancis, sebuah tempat di mana brand-brand ternama internasional berjejer, memikat hati setiap pengunjung yang melangkah masuk.Tak perlu lagi disebutkan satu per satu—tentu saja, Dior, Louis Vuitton, Hermès, Chanel, dan masih banyak lagi, semuanya ada di sini, menggoda dengan keanggunan dan kemewahan yang tak terelakkan.Begitu luas dan megahnya, La Gayette terbagi dalam dua section utama yang mencerminkan selera tinggi dan eksklusivitas.Lantai pertama dipersembahkan khusus untuk pria, sebuah arena di mana setelan jas elegan dan sepatu kulit terbaik menunggu untuk dipilih. Sedangkan lantai kedua, sepenuhnya didedikasikan untuk wanita, penuh dengan gaun-gaun mewah dan aksesori yang berkilauan, siap untuk menjadikan setiap wanita bak ratu.June melangkah perlahan
Mendengar tuduhan tanpa dasar dari Susi Halim, wajah June seketika memerah karena amarah yang mendidih di dalam dirinya.“Enak saja bicara! Kau pikir aku cewek gampangan? Semua barang bermerk yang kubeli hari ini, semuanya, ada yang mensponsori!” seru June dengan nada angkuh, matanya bersinar tajam penuh rasa percaya diri.June baru saja akan melangkah ke eskalator ketika Susi Halim, dengan gerakan cepat, kembali menahannya. Tangannya mencengkeram lengan June, memaksa gadis itu untuk tetap di tempat.“Tunggu sebentar! Aku butuh penjelasanmu!” Susi berkata, suaranya penuh tuntutan.June menoleh dengan geram, matanya menyala-nyala penuh amarah. “Penjelasan apa lagi yang kau butuhkan? Bukankah sudah kukatakan tadi? Barang-barang branded ini disponsori oleh seseorang! Puas sekarang?” teriak June, dengan nada yang semakin tinggi, gemuruh emosinya tak terbendung.“Dengar, Susi Halim. Aku peringatkan sekali lagi, jabatanmu sebagai HRD hanya berlaku di dalam kantor. Di luar kantor, semua tind
“Gratis?” Wajah gadis di kasir itu berubah drastis, ekspresinya yang sebelumnya ramah mendadak memucat menjadi dingin dan penuh kemarahan.Aura penghinaan seolah mengalir dari tubuhnya, membungkus Susi Halim dengan rasa sinis yang tegas. Matanya yang tajam menyapu dari atas kepala hingga ke kaki Susi, seolah sedang menilai dan menghukum sekaligus.“Nona... Apakah Anda benar-benar sakit? Mengira belanjaan senilai lima puluh juta rupiah ini bisa dibawa pulang tanpa membayar? Mohon maaf jika ini mengecewakan, tapi saya harus menjelaskan dengan tegas: La Gayette ini bukan lembaga sosial! Jika Anda tidak punya uang, sebaiknya tinggalkan barang-barang Anda dan jangan membuang waktu di sini!”Suara gadis kasir itu semakin meninggi, setiap kata keluar dengan nada yang tajam dan penuh penekanan.Seluruh ruang Gallery La Gayette, yang sebelumnya dipenuhi oleh suara bisik-bisik halus dan gemerincing belanjaan mewah, kini dipenuhi oleh desas-desus dan tatapan penuh perhatian dari para pengunjung.
Hari ini, Kevin Ng sudah hampir kehabisan akal menanti kucuran dana yang dijanjikan oleh Grace Song dari Bank Central Halilintar.Dia duduk di kursi kulitnya yang empuk, namun tidak merasakan kenyamanan sedikitpun. Ruang kerjanya yang biasanya menjadi simbol kekuasaannya, kini terasa menekan seperti penjara.Setiap jam yang berlalu tanpa kabar bagaikan duri yang menusuknya perlahan. Minggu pertama setelah pengajuan investasi itu berlalu tanpa jawaban, dan Kevin mulai merasa seperti cacing yang digoreng di atas wajan panas.Suasana di Kantor Perusahaan Santoso Grup pun berubah menjadi semakin tegang, seiring dengan ketidakpastian yang melanda."Direktur Kevin, gaji karyawan sudah telat dibayar dua minggu. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi, Pak. Kalau begini terus, takutnya akan terjadi demonstrasi karyawan," ucap asisten perusahaan, yang masuk dengan wajah tegang.Kevin hanya bisa mendesah berat, tangannya memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Bayangan demo karyawan itu lebih me
Kevin dan Lucy, dengan dandanan yang seolah-olah mereka akan menghadiri gala selebriti, melangkah dengan penuh percaya diri menuju lantai lima belas—lantai yang dipenuhi dengan aura kemewahan dan kekuasaan dari para direktur perusahaan.Ketika pintu ruang rapat di lantai lima belas terbuka dengan bunyi gemerincing lembut, aroma wangi yang kuat langsung menyapu seluruh ruangan.Aroma parfum mahal yang dipilih dengan teliti oleh Lucy menyebar seperti kabut halus, memaksa setiap orang di ruangan itu untuk menoleh dengan rasa ingin tahu yang tinggi.Para gadis di sana, yang tadinya sibuk dengan tugas-tugas mereka, tidak bisa menahan diri untuk melontarkan tatapan sinis saat Lucy melangkah masuk dengan penuh gaya.Mereka mulai berbisik-bisik dengan nada mengejek.“Meski parfum yang dipakainya berasal dari brand ternama, rasanya dia seperti menghabiskan setengah botol untuk dirinya sendiri. Aromanya terlalu menyengat!” ujar salah satu gadis, suaranya mengandung nada kesal.“Benar sekali. Da
“Xander?” Suara Lucy terdengar tertahan, dan ekspresi wajahnya berubah drastis, seolah-olah baru saja melihat hantu dari masa lalunya yang tak pernah ingin ia temui lagi.Tatapannya terbelalak, bibirnya yang tadi berwarna merah menyala kini kehilangan rona, seakan darah dalam tubuhnya mendadak membeku.Di sisi lain, Kevin Ng hanya bisa menatap pria yang baru saja muncul itu sambil mengerutkan alis. Meskipun ada sedikit kebencian yang terpancar di matanya, dalam hati kecilnya, ia tak bisa memungkiri bahwa pria yang dulu adalah suami dari kekasihnya kini tampak berbeda.Xander yang dulu sederhana, kini berubah menjadi sosok yang begitu berwibawa, dengan pakaian rapi dan potongan rambut yang terlihat sangat modern. Kevin merasa sedikit terintimidasi, meski ia berusaha keras menyembunyikannya di balik wajah dingin dan sikap acuh tak acuhnya.Sementara itu, keributan dan ketegangan tak hanya menguasai Lucy dan Kevin. Gadis-gadis perkantoran yang tadinya hanya menonton dengan cibir, kini mu
Bagaimanapun juga, harga diri Lucy masih ada, setinggi langit, sebanding dengan status sosial yang selalu dia banggakan.Namun, sekarang, di tengah-tengah keramaian, dia justru dihadapkan pada kenyataan pahit: diceraikan oleh Xander di depan umum.Bukan hanya kata-kata itu yang menyayat hatinya, tetapi juga cara perempuan-perempuan perkantoran itu berbisik, seolah-olah mereka sedang merayakan kejatuhannya. Suara-suara yang terdengar seperti cibiran halus menusuk ego besarnya.“Kalian semua...!” Lucy tersentak, napasnya memburu, wajahnya merah padam. Amarah yang membuncah membuatnya hampir muntah darah.Bagaimana mungkin Xander yang bodoh dan miskin itu, bisa berani mengucapkan kata cerai terlebih dahulu? Dia yang seharusnya meninggalkan pria malang itu, bukan sebaliknya.Dan kini, dia justru dipermalukan di depan banyak orang, sementara Xander—yang dulu selalu berada di bawah kakinya—tiba-tiba tampak seperti seorang pemenang sejati.Pandangan Lucy mulai kabur, matanya penuh dengan keb