Di dalam ruangan kerja Mr. Smith yang mewah, suasana dengan cepat berubah menjadi lebih hangat, bahkan mendekati mendidih.Lucy, dengan gaya berani yang terlihat seperti sedang bermain-main di tepi jurang, melontarkan jokes demi jokes yang semakin lama semakin berani.Setiap kata yang keluar dari mulutnya tampak dipoles dengan seksama untuk memicu denyutan hasrat di kepala Mr. Smith, yang tampaknya semakin sulit menahan desakan nalurinya.Namun jangan salah, meski terlihat bodoh di mata banyak orang, Lucy adalah seorang manipulator ulung. Ia tahu betul cara bermain di depan pria seperti Mr. Smith.Dengan sedikit pameran lekuk tubuh yang begitu sempurna dan suara yang diatur agar terdengar serak dan menggoda, ia berhasil menguasai situasi.“Pria setengah tua ini benar-benar bernafsu. Aku bisa memanfaatkan dia sebagai rencana cadangan jika segala sesuatunya berbalik buruk,” batin Lucy dengan sinis. Diam-diam, ia sudah merencanakan jalan keluar yang bisa menyelamatkan dirinya dan perusah
Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Mr. Smith menekan tombol telepon internal, menghubungkannya langsung dengan bagian Sekretariat Korporat."June, Sekretaris Korporat di sini. Ada yang bisa saya bantu?"Suara di seberang menjawab cepat, bahkan sebelum nada dering pertama selesai berbunyi.Mr. Smith sejenak terdiam, sedikit kecewa karena kehilangan kesempatan untuk menegur June atas ketidaksiapan yang ia harapkan. Ia telah bersiap memberikan pelajaran kecil, namun ketepatan waktu June membuat niat itu urung terlaksana."Beruntung kamu cukup cepat dan sigap," gumamnya dalam hati, sembari memutar-mutar gagang telepon. Namun, rasa tak puas itu tak sepenuhnya sirna.Dalam pembicaraan sebelumnya, Nona Lucy telah menanamkan benih-benih keraguan di benak Mr. Smith. Katanya, teman sekerja Xander, yang satu bagian dengannya, ikut menghasut suasana saat keributan terjadi.Mr. Smith kini tak sabar ingin memberi pelajaran pada Xander—dan mungkin pada siapa pun yang berani mencoreng nama perusahaa
Mr. Smith melangkahkan kakinya dengan hati-hati memasuki ruang utama Gorilla’s Kafe. Biasanya, tempat seperti ini tidak pernah masuk dalam radar tujuannya.Dia yang begitu arogan, tidak pernah terlintas untuk mampir di kedai kopi kelas menengah yang sering dipenuhi oleh pembeli dari kalangan bawah. Namun, hari ini, situasi memaksanya melakukan hal yang di luar kebiasaan."Tak kusangka, bagian dalam kedai kopi yang terlihat sederhana dari luar ini cukup menarik," bisik Mr. Smith pada dirinya sendiri. Matanya tertuju pada sebuah lukisan artistik di dinding, karya seorang pelukis retro yang terkenal.Dengan sedikit cemooh di hatinya, dia menyimpulkan, "Paling-paling ini cuma replika murah. Herannya, mengapa Nona Grace Song memintaku bertemu di tempat seperti ini?"Rasa percaya diri Mr. Smith masih berada di puncaknya.Meski ada sedikit rasa heran tentang panggilan mendadak dari pemilik perusahaan, sama sekali tidak terlintas dalam benaknya bahwa pertemuan ini bisa menjadi penentu masa de
Mr. Smith meninggalkan Gorilla’s Kafe dengan langkah yang berat, kepala tertunduk lesu.Jika saja ada yang memperhatikan, kontrasnya jelas terlihat—pria yang datang dengan dada membusung dan penuh kesombongan kini tak lebih dari sosok yang menyerupai anak kucing kampung yang kehilangan induknya.Dia tampak kuyu dan penuh kesedihan, ia tampak seperti seseorang yang baru saja mengalami kekalahan telak, mengemis sedikit rasa iba dari siapa saja yang kebetulan lewat.Namun, tidak ada seorang pun di Gorilla’s Kafe yang tergerak untuk memberinya kata-kata penghibur. Tak ada sapaan ramah atau senyum simpatik yang biasa ia terima di Kantor Bank Central Halilintar.Yang ada hanyalah tatapan heran dari beberapa pelanggan dan staf kafe, yang seolah bertanya-tanya, apa yang bisa membuat seorang seperti Mr. Smith terlihat begitu hancur setelah keluar dari ruang pertemuan.Kilas balik ke percakapan yang terjadi di dalam ruang meeting sebelumnya:Grace Song menatap Mr. Smith dengan tatapan yang seak
Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, Lucy tampak begitu berlebihan. Padahal, suhu di lantai lima belas hanya sekitar enam belas derajat—cukup dingin untuk membuat siapa pun merapatkan jaket.Namun, itu tidak menghentikannya untuk bertingkah seolah-olah berada di tengah padang pasir yang terik. Dia berbicara dengan nada arogan yang sudah menjadi ciri khasnya.“Meski masih terasa panas, ruangan ini jadi sedikit lebih nyaman setelah Xander, si orang dusun itu, dipecat. Setidaknya, auranya tidak lagi mengganggu kami, kalangan atas yang pantas menghirup udara di sini,” ucapnya, dengan nada yang lebih tajam dari ujung pisau.Kata-kata Lucy membelah keheningan yang ada, membuat setiap pekerja yang sedang tenggelam dalam tugasnya terpaksa mengangkat wajah. Mereka menyaksikan pemandangan yang sudah tidak asing: aksi angkuh Lucy yang selalu berlebihan.“Tolong laporkan pada sekretaris Pimpinan Smith, kami ingin menemuinya,” kata Lucy, sembari mengetuk meja seorang gadis gemuk berkacam
"Apa-apaan ini?" Suara Kevin Ng tiba-tiba melengking, nyaris tak terkendali.Dia baru saja membaca isi surat yang diserahkan oleh June, sekretaris perusahaan yang berdiri tenang di hadapannya, seakan segala badai yang melanda ruangan tak mampu mengusiknya."Mengapa isinya adalah penolakan atas permohonan kredit Santoso Group kami? Apakah tidak ada kesalahan dalam hal ini?"Kevin memaksa dirinya membaca surat itu sekali lagi, tetapi kenyataan tidak berubah. Di sana, dalam huruf tebal yang seolah-olah menertawakan nasibnya, tertulis jelas,"Surat Penolakan Permohonan Kredit!"Ketidakpuasan mendidih di dalam dirinya, matanya menatap tajam ke arah June, seolah-olah berharap gadis itu bisa memberikan penjelasan yang masuk akal."Aku harus bertemu Direktur Utama, Tuan Smith!" katanya dengan suara yang bergetar oleh amarah dan kekecewaan.Tanpa menunggu jawaban dari June yang tetap bersikap profesional, Kevin langsung menerobosnya, mendorong tubuh gadis itu hingga terhuyung-huyung. Dengan la
"Bayar angsuranmu, sudah delapan kali menunggak! Sungguh tak tahu malu!"Dua penagih hutang yang berwajah seram muncul dari balik bayang-bayang, langsung menghadang langkah Rika Setiawan yang baru saja melangkah keluar dari lorong Kancil. Wajah mereka keras, tangan-tangan mereka besar dan kasar, siap memaksa siapa pun yang berani menentang."Apa-apaan ini? Apa salahku, dan apa yang harus aku bayar? Kalian siapa?" Rika bertanya dengan nada penuh curiga, sementara matanya waspada.Dia dengan cepat menyembunyikan tas tangan Longchamp imitasi yang ia beli murah dari toko online. Memang, beberapa orang kaya atau yang berpura-pura kaya, sering kali memilih barang-barang palsu untuk tetap terlihat berkelas tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.Rika mengamati kedua penagih hutang itu dengan senyum sinis, dalam hati dia berpikir, "Ah, hanya dua amatir! Mudah saja menyingkirkan mereka."Namun, kedua penagih hutang yang berperawakan seperti tukang pukul itu tak bergeming.Mereka dengan cepat me
Meskipun Rika merasa geram mendengar sebutan "Nyonya tua," yang tidak jauh berbeda dari "nenek," dia menahan diri. Dalam benaknya, dia tahu betul bahwa dukungan dari orang-orang ini adalah modal penting. Maka, dengan senyum tipis yang disembunyikan, Rika berpura-pura merasa puas dan dilindungi oleh orang-orang kelas bawah itu, sementara hatinya menyimpan kegeraman.Dipenuhi dengan rasa kemenangan, Rika semakin menunjukkan keangkuhannya.“Kalau begitu, jangan halangi Nyonya besar ini yang ingin pulang!” suaranya tegas, penuh kemenangan. “Minggir!”Namun, ketika Rika hendak melenggang pergi, salah seorang penagih hutang dengan cepat menahan langkahnya, mencengkeram tangannya dengan kuat.“Jangan senang dulu, Nyonya tua!” tukasnya dengan nada dingin. “Lihat ini apa?”Penagih hutang itu kemudian mengeluarkan setumpuk foto dari tasnya, menyebarkannya di hadapan Rika.Dalam foto-foto itu, terlihat jelas Rika sedang menandatangani perjanjian kredit di bank. Bahkan, ada foto di mana Rika meme
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.