Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, Lucy tampak begitu berlebihan. Padahal, suhu di lantai lima belas hanya sekitar enam belas derajat—cukup dingin untuk membuat siapa pun merapatkan jaket.Namun, itu tidak menghentikannya untuk bertingkah seolah-olah berada di tengah padang pasir yang terik. Dia berbicara dengan nada arogan yang sudah menjadi ciri khasnya.“Meski masih terasa panas, ruangan ini jadi sedikit lebih nyaman setelah Xander, si orang dusun itu, dipecat. Setidaknya, auranya tidak lagi mengganggu kami, kalangan atas yang pantas menghirup udara di sini,” ucapnya, dengan nada yang lebih tajam dari ujung pisau.Kata-kata Lucy membelah keheningan yang ada, membuat setiap pekerja yang sedang tenggelam dalam tugasnya terpaksa mengangkat wajah. Mereka menyaksikan pemandangan yang sudah tidak asing: aksi angkuh Lucy yang selalu berlebihan.“Tolong laporkan pada sekretaris Pimpinan Smith, kami ingin menemuinya,” kata Lucy, sembari mengetuk meja seorang gadis gemuk berkacam
"Apa-apaan ini?" Suara Kevin Ng tiba-tiba melengking, nyaris tak terkendali.Dia baru saja membaca isi surat yang diserahkan oleh June, sekretaris perusahaan yang berdiri tenang di hadapannya, seakan segala badai yang melanda ruangan tak mampu mengusiknya."Mengapa isinya adalah penolakan atas permohonan kredit Santoso Group kami? Apakah tidak ada kesalahan dalam hal ini?"Kevin memaksa dirinya membaca surat itu sekali lagi, tetapi kenyataan tidak berubah. Di sana, dalam huruf tebal yang seolah-olah menertawakan nasibnya, tertulis jelas,"Surat Penolakan Permohonan Kredit!"Ketidakpuasan mendidih di dalam dirinya, matanya menatap tajam ke arah June, seolah-olah berharap gadis itu bisa memberikan penjelasan yang masuk akal."Aku harus bertemu Direktur Utama, Tuan Smith!" katanya dengan suara yang bergetar oleh amarah dan kekecewaan.Tanpa menunggu jawaban dari June yang tetap bersikap profesional, Kevin langsung menerobosnya, mendorong tubuh gadis itu hingga terhuyung-huyung. Dengan la
"Bayar angsuranmu, sudah delapan kali menunggak! Sungguh tak tahu malu!"Dua penagih hutang yang berwajah seram muncul dari balik bayang-bayang, langsung menghadang langkah Rika Setiawan yang baru saja melangkah keluar dari lorong Kancil. Wajah mereka keras, tangan-tangan mereka besar dan kasar, siap memaksa siapa pun yang berani menentang."Apa-apaan ini? Apa salahku, dan apa yang harus aku bayar? Kalian siapa?" Rika bertanya dengan nada penuh curiga, sementara matanya waspada.Dia dengan cepat menyembunyikan tas tangan Longchamp imitasi yang ia beli murah dari toko online. Memang, beberapa orang kaya atau yang berpura-pura kaya, sering kali memilih barang-barang palsu untuk tetap terlihat berkelas tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.Rika mengamati kedua penagih hutang itu dengan senyum sinis, dalam hati dia berpikir, "Ah, hanya dua amatir! Mudah saja menyingkirkan mereka."Namun, kedua penagih hutang yang berperawakan seperti tukang pukul itu tak bergeming.Mereka dengan cepat me
Meskipun Rika merasa geram mendengar sebutan "Nyonya tua," yang tidak jauh berbeda dari "nenek," dia menahan diri. Dalam benaknya, dia tahu betul bahwa dukungan dari orang-orang ini adalah modal penting. Maka, dengan senyum tipis yang disembunyikan, Rika berpura-pura merasa puas dan dilindungi oleh orang-orang kelas bawah itu, sementara hatinya menyimpan kegeraman.Dipenuhi dengan rasa kemenangan, Rika semakin menunjukkan keangkuhannya.“Kalau begitu, jangan halangi Nyonya besar ini yang ingin pulang!” suaranya tegas, penuh kemenangan. “Minggir!”Namun, ketika Rika hendak melenggang pergi, salah seorang penagih hutang dengan cepat menahan langkahnya, mencengkeram tangannya dengan kuat.“Jangan senang dulu, Nyonya tua!” tukasnya dengan nada dingin. “Lihat ini apa?”Penagih hutang itu kemudian mengeluarkan setumpuk foto dari tasnya, menyebarkannya di hadapan Rika.Dalam foto-foto itu, terlihat jelas Rika sedang menandatangani perjanjian kredit di bank. Bahkan, ada foto di mana Rika meme
Ketika melihat Xander berdiri dan meneriakkan bahwa dia adalah seorang penjudi yang baru saja memenangkan uang di meja judi, amarah Rika Setiawan langsung meluap.Wajahnya memerah, seolah darah mendidih mengalir deras ke kepalanya. Dengan cepat, ia meludah ke tanah, sebuah tindakan penuh penghinaan yang mencerminkan kekesalannya.“Cih... apa maksudmu? Kamu ini sungguh menantu tak berguna dan tidak tahu malu!” suara Rika menggema seperti petir di tengah siang bolong, membuat kerumunan seketika terdiam.Tidak berhenti di situ, Rika segera melancarkan aksi dramatisnya. Dengan gerakan yang penuh gaya, ia memutar tubuhnya, mencari simpati dari kerumunan yang mengelilingi mereka.Ia tahu betul cara memanipulasi suasana, memikat perhatian orang-orang agar terpesona oleh dramanya dan melupakan urusan penagihan utang yang tengah berlangsung.“Saudara-saudara semua...” Rika memulai orasinya dengan nada yang dibuat sedemikian rupa, seperti seorang politisi yang sedang berkampanye.“Jangan percay
Tak ada yang menjawab, namun suasana mendadak menjadi hening. Semua orang kini mengalihkan perhatian mereka dari Rika ke Angel, menanti kelanjutan drama yang sedang berlangsung di depan mata mereka.“Ah, aku mengerti,” lanjut Angel dengan senyum kepalsuan yang sangat mencolok. “Kalian pasti menunggu pembayaran dari calon kepala desa ini, bukan?”Kerumunan mulai berbisik-bisik, beberapa orang tersenyum sinis, seolah-olah mereka baru saja diberikan topik gosip baru yang lebih menarik.Angel, dengan keahliannya dalam memprovokasi, langsung mengguncang tas imitasi milik Rika Setiawan dengan penuh keagresifan. Suara gemerisik uang di dalamnya menarik perhatian beberapa orang di sekitar.“Jangan khawatir. Kali ini Rika Setiawan tidak akan berhutang, dia baru saja memenangkan permainan judi di Lorong Kancil!” kata Angel keras-keras, suaranya menembus udara seperti belati yang menusuk langsung ke reputasi yang baru Rika bangun.Wajah Rika membeku, dan matanya menyala penuh amarah. Ingin rasan
“Hari yang melelahkan,” gumam Xander dalam hati, matanya terpejam sejenak saat ia mengapung di kolam renang pribadi di apartemen mewahnya.Air hangat meresap ke seluruh tubuhnya, seolah menghapus kelelahan setelah seharian berurusan dengan rutinitas yang monoton.Malam sudah menyelimuti kota, tetapi Xander lebih memilih suasana yang berbeda."Tidak ada yang lebih baik daripada sensasi tropis," pikirnya sambil memerintahkan mesin pengatur kamera Obscura untuk mengubah latar ruangan sesuai keinginannya.“Buat layar seolah-olah aku sedang berenang di Pulau Bali,” ujarnya tenang.Dalam sekejap, keajaiban teknologi mulai bekerja. Dinding-dinding di sekitar kolam berubah menjadi pemandangan pantai tropis yang memukau.Lampu-lampu menyala dengan kehangatan lembut, menciptakan atmosfer serupa suhu 32 derajat yang sempurna. Suara ombak yang tenang berpadu dengan angin sepoi-sepoi, menciptakan ilusi nyata dari debur ombak yang menghempas pantai.Xander memandangi air kolam yang kini menghangat,
Akhirnya, berkat campur tangan Grace Song, Xander berhasil mendapatkan slot eksklusif di Skymaster, sekolah penerbangan pribadi milik salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.Tak bisa dipungkiri, posisinya sebagai miliarder misterius memberi sedikit 'keistimewaan' dalam proses tersebut, meskipun, tentu saja, semuanya dilakukan secara profesional—setidaknya di atas kertas.Meski Xander telah mengunduh buku panduan penerbangan dari Store di sistemnya, di mana seluruh teori dan prosedur penerbangan tampak tertanam di otaknya dalam hitungan detik, ia tetap memutuskan untuk mengikuti pelatihan formal."Aku memang sudah tahu semua, tapi bagaimanapun, lisensi tetap diperlukan, bukan?" batinnya, sambil memasuki hanggar besar tempat pelatihan berlangsung.Udara dalam ruangan itu terasa segar, diselingi aroma logam dan bahan bakar pesawat yang memberi kesan 'resmi'.Begitu tiba, ia langsung disambut oleh seorang pelatih pria, tampil rapi dan profesional seperti layaknya staf elite di temp