Karena ada tiga peserta dalam pelatihan penerbangan pribadi ini, masing-masing diberikan satu instruktur. Kebetulan—atau mungkin lebih tepatnya "nasib baik" bagi Xander—dia mendapat Lala Gunawan sebagai pembimbingnya, satu-satunya instruktur wanita di antara yang lain.Suasana di dalam pesawat Piper PA-28 terasa cukup tenang, meski Xander adalah pilot pelatihan, Lala Gunawan duduk di sebelahnya dengan penuh kepercayaan diri. Angin yang menderu lembut di luar tak mampu menggeser fokus mereka.“Anda terlihat sangat menguasai teori, Mr. Xander!” ujar Lala, menoleh dengan kagum, meski mungkin sedikit heran juga.Xander tersenyum tipis. “Aku berusaha menghafal dan terus mengulang pelajaran selama di rumah,” jawabnya, nada suaranya sederhana, tapi jelas-jelas ada nada rendah hati yang sedikit berlebihan."Tapi, tetap saja. Tidak banyak yang bisa mengaplikasikan teori semahir Anda saat ini. Sejujurnya, Anda terlihat seperti pilot berlisensi penuh," puji Lala lagi, kali ini disertai tatapan y
Mendengar cemooh Lala yang menyebutnya biduan dangdut kampung, ekspresi Lucy yang awalnya hanya sedikit terkejut, perlahan-lahan berubah.Wajahnya memerah, dan amarah yang tadinya tersimpan dalam-dalam mulai membara.Suasana semakin panas saat terdengar cekikikan tertahan dari arah beberapa penumpang perempuan yang berdiri di dekat pintu keluar.Mereka saling berpandangan sambil menyembunyikan senyum sinis di balik tangan mereka. Bahkan, beberapa wanita setengah baya yang tampak berasal dari kalangan atas mulai menatap Lucy dengan sorot mata yang merendahkan, seolah-olah dia perempuan kampung yang berdandan mencolok."Memang benar apa yang dikatakan pilot perempuan itu. Wanita ini berdandan berlebihan, seperti akan tampil di panggung dangdut," ujar salah satu dari mereka dengan suara lirih, tetapi cukup keras untuk didengar oleh Lucy."Kulihat, tidak semua barang yang dia pakai asli," sambung wanita lain, suaranya penuh ejekan."Pasti itu barang palsu, hanya meniru merk terkenal. Cih,
Keadaan di Wing’s Bar mulai kembali tenang setelah insiden kecil yang terjadi sebelumnya.Para pengunjung, yang tadinya diam dan menahan napas, kini tampak sedikit lega, mulai kembali menyibukkan diri dengan minuman dan makanan kecil yang terhidang di meja masing-masing.Lagu dengan irama yang menenangkan mulai mengalun lembut dari speaker di sudut ruangan, seolah mencoba menenangkan suasana yang sempat memanas.“Mari kita lupakan kejadian tadi dan lanjutkan malam ini dengan lebih santai. Ayo, minum!” Xander berkata sambil tersenyum tipis, berusaha menghapus sisa-sisa ketegangan di udara.Jerry, salah satu instruktur yang duduk tak jauh dari Xander, langsung menyambut ajakan itu dengan suara riang yang terdengar agak dibuat-buat."Ayo, minum!" serunya, seolah ingin menyulut semangat di antara mereka.Tawa kecil dari dua peserta kursus eksklusif penerbangan yang ikut di meja itu terdengar samar, meski ekspresi mereka masih menyimpan kecanggungan.Xander mengangkat gelas minumannya untu
“Cium dia!” teriak Jerry, suaranya memecah riuh tawa para teman mereka yang lain, memicu suasana yang semakin memanas.Di seberang meja, Lala hanya duduk diam, bibirnya melengkung membentuk senyum mengejek yang menyiratkan keyakinan.Tatapan matanya berbicara lebih keras dari kata-kata yang tak diucapkannya. Seolah wajahnya terukir sebuah pesan yang membuat Xander semakin kikuk.‘Cium aku kalau berani. Kamu pasti takut, bukan? Lelaki yang diceraikan istrinya? Seorang pecundang dalam rumah tangga.’Tatapan Lala, penuh sindiran, seakan merongrong harga dirinya, menantang martabat yang tersisa.Bayangan masa lalu datang menghantam seperti gelombang yang tak tertahan—Lucy, wanita yang menghancurkan pernikahannya, dan keluarga Setiawan yang selama bertahun-tahun menindasnya, memperlakukannya seperti sampah yang tak berguna.Semua itu, memompa amarah sekaligus keberanian dalam dada Xander.Tak ingin terus menerus diejek Jerry dan kawan-kawannya, Xander bergerak cepat.Dalam sekejap, hanya d
Nada suara Lucy melengking, mirip kucing liar yang tengah tersudut, membuat telinga semua orang di ruangan itu terasa sakit mendengarnya.Kevin Ng, dengan sikap angkuhnya, mulai melangkah mendekati Lala. Wajahnya menampakkan niat untuk menunjukkan kuasanya, menekan Lala yang sejak awal tampak acuh tak acuh, tak mempedulikan segala drama yang sedang berlangsung di sekitarnya.Lala, dengan santai, menenggak bir langsung dari botol tanpa sedikit pun memperlihatkan kesan tertekan oleh kehadiran Kevin. Seolah dunia di sekitarnya tak ada artinya, dan dia hanyalah penonton yang bosan menyaksikan drama murahan.“Hei...” seru Kevin dengan nada yang mulai tersinggung. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Lala, berusaha menarik perhatiannya.Tapi, saat itu pula, seolah panggung sedang merencanakan ironi yang sempurna, lampu sorot tiba-tiba menyala dari atas, menyorot tepat ke arah mereka berdua.Dalam sinar yang terang benderang, sosok Lala dan Kevin terlihat jelas oleh semua orang di bar.
Clara Gunawan. Baru berusia 23 tahun, dia adalah anak ketiga dari pasangan Leonardo Gunawan dan Vivian Sutedja.Ibu Clara, Vivian Sutedja, adalah pemilik Sutedja Enterprises, sebuah grup konglomerat yang bergerak di bisnis penerbangan, transportasi darat, dan jasa keuangan—nomor tiga terbesar di negara ini.Nama Sutedja Enterprises sudah pasti dikenal hampir setiap orang.Di depan pintu Wing's Bar, Kevin Ng menyeret Lucy Setiawan dengan cengkeraman erat pada lengannya. Mata Kevin berkilat penuh amarah.Dia menyempilkan sebuah bisikan mengancam, “Kamu cari mati, ya? Mau keluarga Setiawan kalian bangkrut dan hilang dari dunia? Berani-beraninya kamu senggol anak ketiga dari pemilik Sutedja Enterprises!”Lucy tampak sedikit terkejut, tapi bukan karena paham akan bahaya yang mengintai, melainkan karena fokusnya yang hanya tertuju pada Kevin.Pikirannya sibuk memikirkan bagaimana caranya mengembalikan perhatian pria itu. "Anak ketiga Sutedja Enterprises?" pikirnya, bingung. Toh, semua itu t
Kursus penerbangan telah berakhir, dan kini hanya tinggal satu langkah lagi bagi Xander untuk memperoleh lisensi sebagai penerbang pesawat pribadi—jam terbang yang harus dipenuhi.Kesibukannya dengan pelatihan penerbangan membuatnya terpaksa mengabaikan kantor pusat Bank Central Halilintar, dan tidak pernah masuk kantor sesuai jam kerja. Keadaan ini tentu menimbulkan rasa penasaran di benak June, kawannya yang mengira Xander hanyalah karyawan biasa sepertinya.Pagi itu, dengan sinar matahari yang menyinari jendela kantornya, June melakukan panggilan telepon yang penuh dengan rasa cemas.Kursus penerbangan Xander telah selesai, dan sekarang ia hanya perlu memenuhi jam terbang untuk mendapatkan lisensi sebagai penerbang pesawat pribadi. Karena kesibukan dengan pelatihan penerbangan ini, Xander belum sempat mengunjungi kantor pusat Bank Central Halilintar.Hal ini tentu saja membuat June, teman yang mengira Xander hanyalah karyawan biasa, merasa penasaran dan khawatir. Pagi ini, dengan ma
June melangkah masuk ke lift super eksklusif, khusus untuk penghuni-penghuni kelas atas, dengan perasaan gugup yang bercampur antusiasme berlebih.Jantungnya berdegup kencang, dan tangannya sedikit gemetar. Budak korporat seperti dia? Masuk lift mewah seperti ini? Sungguh peristiwa yang jarang, kalau tidak mau dibilang ajaib.Selama ini, menaiki lift di kantornya sudah cukup membuatnya merasa penting—walaupun itu hanya lift bersama, berdesakan dengan pegawai lainnya sambil menahan napas agar tak mencium aroma parfum imitasi dari tas orang di sebelah.Namun sekarang, dia berada di lift VVIP—bukan lift biasa, ini semacam lift dewa yang terbuat dari emas (setidaknya menurut imajinasinya). Lift ini seolah berbisik, "Kamu penting, kamu spesial!"Saat pintu lift menutup perlahan, June merasa bagai putri raja. Satpam yang tadi berjaga sudah tak terlihat lagi. “Aman,” batinnya dengan senyum tertahan.Maka, mulailah ia beraksi.Ponselnya segera diangkat, dan tanpa ragu-ragu, ia mulai berswafot