Kursus penerbangan telah berakhir, dan kini hanya tinggal satu langkah lagi bagi Xander untuk memperoleh lisensi sebagai penerbang pesawat pribadi—jam terbang yang harus dipenuhi.Kesibukannya dengan pelatihan penerbangan membuatnya terpaksa mengabaikan kantor pusat Bank Central Halilintar, dan tidak pernah masuk kantor sesuai jam kerja. Keadaan ini tentu menimbulkan rasa penasaran di benak June, kawannya yang mengira Xander hanyalah karyawan biasa sepertinya.Pagi itu, dengan sinar matahari yang menyinari jendela kantornya, June melakukan panggilan telepon yang penuh dengan rasa cemas.Kursus penerbangan Xander telah selesai, dan sekarang ia hanya perlu memenuhi jam terbang untuk mendapatkan lisensi sebagai penerbang pesawat pribadi. Karena kesibukan dengan pelatihan penerbangan ini, Xander belum sempat mengunjungi kantor pusat Bank Central Halilintar.Hal ini tentu saja membuat June, teman yang mengira Xander hanyalah karyawan biasa, merasa penasaran dan khawatir. Pagi ini, dengan ma
June melangkah masuk ke lift super eksklusif, khusus untuk penghuni-penghuni kelas atas, dengan perasaan gugup yang bercampur antusiasme berlebih.Jantungnya berdegup kencang, dan tangannya sedikit gemetar. Budak korporat seperti dia? Masuk lift mewah seperti ini? Sungguh peristiwa yang jarang, kalau tidak mau dibilang ajaib.Selama ini, menaiki lift di kantornya sudah cukup membuatnya merasa penting—walaupun itu hanya lift bersama, berdesakan dengan pegawai lainnya sambil menahan napas agar tak mencium aroma parfum imitasi dari tas orang di sebelah.Namun sekarang, dia berada di lift VVIP—bukan lift biasa, ini semacam lift dewa yang terbuat dari emas (setidaknya menurut imajinasinya). Lift ini seolah berbisik, "Kamu penting, kamu spesial!"Saat pintu lift menutup perlahan, June merasa bagai putri raja. Satpam yang tadi berjaga sudah tak terlihat lagi. “Aman,” batinnya dengan senyum tertahan.Maka, mulailah ia beraksi.Ponselnya segera diangkat, dan tanpa ragu-ragu, ia mulai berswafot
Setelah menikmati sarapan pagi yang elegan, dengan bibir masih sedikit berkilap karena minyak dari makanan tadi dan mata berbinar penuh kepuasan, June kembali melontarkan pertanyaan pada Xander.“What next, Xander?” tanyanya sambil tersenyum lebar, berusaha menutupi sendawa kecil yang tak tertahankan.“Hei, June... itu tidak sopan,” Xander tersentak sedikit. “Apalagi kamu ini seorang wanita…”June hanya tertawa ringan. “Ah, biarlah. Kadang terlalu sering bersikap sopan malah membuatku lelah,” jawabnya santai, sambil mengusap bibir dengan tisu, seolah kesopanannya hanya sementara.Xander menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, matanya memandang sekilas ke arah pemandangan kota yang menjulang di luar jendela. “Kalau begitu, temani aku melihat-lihat mobil di showroom. Lagipula, kamu sudah kenyang, kan?”Mata June langsung membesar, tidak percaya dengan ajakan Xander. Pikirannya melayang, membayangkan deretan mobil mewah berkilauan yang hanya bisa ia lihat di layar ponsel."Jadi seka
Gadis itu bernama Poppy Manata. Sebenarnya, dia berasal dari keluarga biasa saja, tanpa kemewahan yang berarti.Namun, status pacarnya, Roger Tambayong, yang merupakan generasi kedua dari orang kaya kelas dua di Kota Jatavia, membuatnya bertingkah sombong dan arogan, terbiasa terlahir dengan sendok emas di mulut.Cerita kembali kebelakang...Ketika Xander keluar dari mobil tipe Seal itu, Poppy menatapnya dengan tatapan menghina, seolah-olah dia baru saja menyaksikan seseorang yang berani merusak "permainannya" yang mewah. Matanya menyipit, dan bibirnya hampir siap melontarkan kata-kata yang pastinya tidak bersahabat.Namun sebelum Poppy bisa mengeluarkan racunnya, June, yang sudah lama memendam rasa tak suka pada orang-orang seperti ini, langsung mengambil alih situasi.Dengan suara mendesis seperti ular yang siap menyerang, dia menatap Poppy tajam dan memuntahkan lahar panas."Apa-apaan kamu, perempuan jalang?" kata June, suaranya rendah tapi mematikan."Kau pikir bisa seenaknya meng
"Xander Sanjaya!" Suara Roger Tambayong terdengar dengan nada mencibir dan menusuk."Lagipula, pekerjaan sebagai barista... apakah itu benar-benar membutuhkan mobil? Mengapa kamu tidak menabung saja, untuk membeli apartemen yang layak bagi istrimu, Lucy?"Nada tajam di akhir kalimatnya menambah kesan sinis yang Roger lemparkan begitu saja, tanpa memedulikan respon Xander.Roger, yang dulunya saat SMA tidak pernah benar-benar dekat dengan Xander, selalu menganggap pria itu berada di level sosial yang jauh di bawahnya.Perceraian Xander belum sampai ke telinga Roger, jadi ia terus berbicara seolah-olah semuanya baik-baik saja dalam hidup Xander—padahal kenyataannya sangat berbeda.Poppy Manata, yang berdiri di samping Roger dan dikenal sebagai wanita yang senang ikut campur, segera menyambar omongan pacarnya.“Sayang, bagaimana jika kita undang Xander ke reuni SMA yang akan datang? Kebetulan acaranya hanya tinggal beberapa hari lagi. Dia bisa memamerkan mobil barunya kepada teman-teman,
Dua minggu berlalu, dan hari yang ditunggu-tunggu untuk reuni SMA Taruna yang diadakan oleh Roger Tambayong dan teman-teman elitnya semakin dekat.Seperti biasa, Xander menjalani harinya dengan tenang, tak memperlihatkan tanda-tanda antusiasme atau kegelisahan. Hingga suatu pagi, telepon dari dealer mobil BYD mengubah suasana.“Tuan Xander, mobil pesanan Anda, tipe X khusus edisi pelanggan istimewa, sudah tiba. Silakan datang untuk mengambilnya,” ujar suara ceria seorang gadis operator di ujung telepon.Xander, yang selama ini belum pernah memiliki mobil pribadi, mendadak merasakan sedikit keraguan. Kemampuannya dalam mengemudi kendaraan roda empat jelas nol.Mengingat bahwa ia harus menghadiri reuni dan tentu saja tak ingin mempermalukan dirinya sendiri dengan kemampuan mengemudi seadanya, Xander segera memutuskan untuk mengambil langkah cepat dan taktis.Dengan sigap, ia membuka sistem yang selama ini diam-diam menjadi sumber kekuatannya dan segera membeli token "Teknik Mengemudi Ke
"Heii, semuanya..." Roger berteriak lantang, suaranya menggema di antara kerumunan. Senyum tipis mengembang di wajahnya, penuh kepuasan. Akhirnya, ia menemukan cara untuk mengalihkan ejekan yang sudah membebaninya sejak tadi."Apakah kalian masih ingat kawan kita ini?" lanjutnya, suaranya penuh semangat seperti seorang pembawa acara talk show yang terlalu percaya diri. "Aku perkenalkan kembali. Xander Sanjaya! Alumni SMA Taruna kita."Roger mundur selangkah, membuat gerakan dramatis seolah-olah sedang mempersilakan Xander maju ke panggung yang tak kasat mata, berharap semua mata tertuju padanya."Xander Sanjaya?" Seline, gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, tiba-tiba menyela. Alisnya terangkat, wajahnya terlihat bingung. "Mengapa aku tidak ingat seseorang bernama seperti itu?"Seline adalah salah satu bintang kelompok ini, setidaknya menurut dirinya sendiri. Dengan penampilan menawan dan ambisi besar menjadi penyanyi profesional, ia selalu menganggap dirinya di atas yang lain.N
“Xander Sanjaya?” Roger Tambayong berteriak, suaranya naik satu oktaf, tak bisa menahan keterkejutan yang jelas terpancar dari wajahnya.Spontan, seluruh anggota reuni mengalihkan perhatian mereka ke mobil mewah yang baru saja tiba. Mata mereka terpaku pada sosok yang duduk di balik kemudi, dan ya, tak salah lagi—itu memang Xander Sanjaya.Keributan kecil pun tak bisa dihindari.Mereka mulai berbisik-bisik, memperdebatkan apakah benar itu Xander, atau hanya seseorang yang kebetulan mirip. Beberapa bahkan menyebarkan teori aneh bahwa Xander mungkin hanya meminjam mobil tersebut untuk sekadar pamer di depan mereka.“Tapi itu tidak masuk akal,” Jon, si pemain biola, menukas dengan nada tegas. “Di restoran berkelas seperti ini, tidak sembarang orang bisa begitu saja meminjam kunci mobil dan mengendarainya seenaknya, apalagi hanya untuk pamer. Tidak mungkin hal seperti itu bisa terjadi.”Argumen Jon langsung memadamkan spekulasi liar bahwa Xander hanya berpura-pura. Sosok di dalam mobil it
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.