“Hari yang melelahkan,” gumam Xander dalam hati, matanya terpejam sejenak saat ia mengapung di kolam renang pribadi di apartemen mewahnya.Air hangat meresap ke seluruh tubuhnya, seolah menghapus kelelahan setelah seharian berurusan dengan rutinitas yang monoton.Malam sudah menyelimuti kota, tetapi Xander lebih memilih suasana yang berbeda."Tidak ada yang lebih baik daripada sensasi tropis," pikirnya sambil memerintahkan mesin pengatur kamera Obscura untuk mengubah latar ruangan sesuai keinginannya.“Buat layar seolah-olah aku sedang berenang di Pulau Bali,” ujarnya tenang.Dalam sekejap, keajaiban teknologi mulai bekerja. Dinding-dinding di sekitar kolam berubah menjadi pemandangan pantai tropis yang memukau.Lampu-lampu menyala dengan kehangatan lembut, menciptakan atmosfer serupa suhu 32 derajat yang sempurna. Suara ombak yang tenang berpadu dengan angin sepoi-sepoi, menciptakan ilusi nyata dari debur ombak yang menghempas pantai.Xander memandangi air kolam yang kini menghangat,
Akhirnya, berkat campur tangan Grace Song, Xander berhasil mendapatkan slot eksklusif di Skymaster, sekolah penerbangan pribadi milik salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.Tak bisa dipungkiri, posisinya sebagai miliarder misterius memberi sedikit 'keistimewaan' dalam proses tersebut, meskipun, tentu saja, semuanya dilakukan secara profesional—setidaknya di atas kertas.Meski Xander telah mengunduh buku panduan penerbangan dari Store di sistemnya, di mana seluruh teori dan prosedur penerbangan tampak tertanam di otaknya dalam hitungan detik, ia tetap memutuskan untuk mengikuti pelatihan formal."Aku memang sudah tahu semua, tapi bagaimanapun, lisensi tetap diperlukan, bukan?" batinnya, sambil memasuki hanggar besar tempat pelatihan berlangsung.Udara dalam ruangan itu terasa segar, diselingi aroma logam dan bahan bakar pesawat yang memberi kesan 'resmi'.Begitu tiba, ia langsung disambut oleh seorang pelatih pria, tampil rapi dan profesional seperti layaknya staf elite di temp
Karena ada tiga peserta dalam pelatihan penerbangan pribadi ini, masing-masing diberikan satu instruktur. Kebetulan—atau mungkin lebih tepatnya "nasib baik" bagi Xander—dia mendapat Lala Gunawan sebagai pembimbingnya, satu-satunya instruktur wanita di antara yang lain.Suasana di dalam pesawat Piper PA-28 terasa cukup tenang, meski Xander adalah pilot pelatihan, Lala Gunawan duduk di sebelahnya dengan penuh kepercayaan diri. Angin yang menderu lembut di luar tak mampu menggeser fokus mereka.“Anda terlihat sangat menguasai teori, Mr. Xander!” ujar Lala, menoleh dengan kagum, meski mungkin sedikit heran juga.Xander tersenyum tipis. “Aku berusaha menghafal dan terus mengulang pelajaran selama di rumah,” jawabnya, nada suaranya sederhana, tapi jelas-jelas ada nada rendah hati yang sedikit berlebihan."Tapi, tetap saja. Tidak banyak yang bisa mengaplikasikan teori semahir Anda saat ini. Sejujurnya, Anda terlihat seperti pilot berlisensi penuh," puji Lala lagi, kali ini disertai tatapan y
Mendengar cemooh Lala yang menyebutnya biduan dangdut kampung, ekspresi Lucy yang awalnya hanya sedikit terkejut, perlahan-lahan berubah.Wajahnya memerah, dan amarah yang tadinya tersimpan dalam-dalam mulai membara.Suasana semakin panas saat terdengar cekikikan tertahan dari arah beberapa penumpang perempuan yang berdiri di dekat pintu keluar.Mereka saling berpandangan sambil menyembunyikan senyum sinis di balik tangan mereka. Bahkan, beberapa wanita setengah baya yang tampak berasal dari kalangan atas mulai menatap Lucy dengan sorot mata yang merendahkan, seolah-olah dia perempuan kampung yang berdandan mencolok."Memang benar apa yang dikatakan pilot perempuan itu. Wanita ini berdandan berlebihan, seperti akan tampil di panggung dangdut," ujar salah satu dari mereka dengan suara lirih, tetapi cukup keras untuk didengar oleh Lucy."Kulihat, tidak semua barang yang dia pakai asli," sambung wanita lain, suaranya penuh ejekan."Pasti itu barang palsu, hanya meniru merk terkenal. Cih,
Keadaan di Wing’s Bar mulai kembali tenang setelah insiden kecil yang terjadi sebelumnya.Para pengunjung, yang tadinya diam dan menahan napas, kini tampak sedikit lega, mulai kembali menyibukkan diri dengan minuman dan makanan kecil yang terhidang di meja masing-masing.Lagu dengan irama yang menenangkan mulai mengalun lembut dari speaker di sudut ruangan, seolah mencoba menenangkan suasana yang sempat memanas.“Mari kita lupakan kejadian tadi dan lanjutkan malam ini dengan lebih santai. Ayo, minum!” Xander berkata sambil tersenyum tipis, berusaha menghapus sisa-sisa ketegangan di udara.Jerry, salah satu instruktur yang duduk tak jauh dari Xander, langsung menyambut ajakan itu dengan suara riang yang terdengar agak dibuat-buat."Ayo, minum!" serunya, seolah ingin menyulut semangat di antara mereka.Tawa kecil dari dua peserta kursus eksklusif penerbangan yang ikut di meja itu terdengar samar, meski ekspresi mereka masih menyimpan kecanggungan.Xander mengangkat gelas minumannya untu
“Cium dia!” teriak Jerry, suaranya memecah riuh tawa para teman mereka yang lain, memicu suasana yang semakin memanas.Di seberang meja, Lala hanya duduk diam, bibirnya melengkung membentuk senyum mengejek yang menyiratkan keyakinan.Tatapan matanya berbicara lebih keras dari kata-kata yang tak diucapkannya. Seolah wajahnya terukir sebuah pesan yang membuat Xander semakin kikuk.‘Cium aku kalau berani. Kamu pasti takut, bukan? Lelaki yang diceraikan istrinya? Seorang pecundang dalam rumah tangga.’Tatapan Lala, penuh sindiran, seakan merongrong harga dirinya, menantang martabat yang tersisa.Bayangan masa lalu datang menghantam seperti gelombang yang tak tertahan—Lucy, wanita yang menghancurkan pernikahannya, dan keluarga Setiawan yang selama bertahun-tahun menindasnya, memperlakukannya seperti sampah yang tak berguna.Semua itu, memompa amarah sekaligus keberanian dalam dada Xander.Tak ingin terus menerus diejek Jerry dan kawan-kawannya, Xander bergerak cepat.Dalam sekejap, hanya d
Nada suara Lucy melengking, mirip kucing liar yang tengah tersudut, membuat telinga semua orang di ruangan itu terasa sakit mendengarnya.Kevin Ng, dengan sikap angkuhnya, mulai melangkah mendekati Lala. Wajahnya menampakkan niat untuk menunjukkan kuasanya, menekan Lala yang sejak awal tampak acuh tak acuh, tak mempedulikan segala drama yang sedang berlangsung di sekitarnya.Lala, dengan santai, menenggak bir langsung dari botol tanpa sedikit pun memperlihatkan kesan tertekan oleh kehadiran Kevin. Seolah dunia di sekitarnya tak ada artinya, dan dia hanyalah penonton yang bosan menyaksikan drama murahan.“Hei...” seru Kevin dengan nada yang mulai tersinggung. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Lala, berusaha menarik perhatiannya.Tapi, saat itu pula, seolah panggung sedang merencanakan ironi yang sempurna, lampu sorot tiba-tiba menyala dari atas, menyorot tepat ke arah mereka berdua.Dalam sinar yang terang benderang, sosok Lala dan Kevin terlihat jelas oleh semua orang di bar.
Clara Gunawan. Baru berusia 23 tahun, dia adalah anak ketiga dari pasangan Leonardo Gunawan dan Vivian Sutedja.Ibu Clara, Vivian Sutedja, adalah pemilik Sutedja Enterprises, sebuah grup konglomerat yang bergerak di bisnis penerbangan, transportasi darat, dan jasa keuangan—nomor tiga terbesar di negara ini.Nama Sutedja Enterprises sudah pasti dikenal hampir setiap orang.Di depan pintu Wing's Bar, Kevin Ng menyeret Lucy Setiawan dengan cengkeraman erat pada lengannya. Mata Kevin berkilat penuh amarah.Dia menyempilkan sebuah bisikan mengancam, “Kamu cari mati, ya? Mau keluarga Setiawan kalian bangkrut dan hilang dari dunia? Berani-beraninya kamu senggol anak ketiga dari pemilik Sutedja Enterprises!”Lucy tampak sedikit terkejut, tapi bukan karena paham akan bahaya yang mengintai, melainkan karena fokusnya yang hanya tertuju pada Kevin.Pikirannya sibuk memikirkan bagaimana caranya mengembalikan perhatian pria itu. "Anak ketiga Sutedja Enterprises?" pikirnya, bingung. Toh, semua itu t