Bagaimanapun juga, harga diri Lucy masih ada, setinggi langit, sebanding dengan status sosial yang selalu dia banggakan.Namun, sekarang, di tengah-tengah keramaian, dia justru dihadapkan pada kenyataan pahit: diceraikan oleh Xander di depan umum.Bukan hanya kata-kata itu yang menyayat hatinya, tetapi juga cara perempuan-perempuan perkantoran itu berbisik, seolah-olah mereka sedang merayakan kejatuhannya. Suara-suara yang terdengar seperti cibiran halus menusuk ego besarnya.“Kalian semua...!” Lucy tersentak, napasnya memburu, wajahnya merah padam. Amarah yang membuncah membuatnya hampir muntah darah.Bagaimana mungkin Xander yang bodoh dan miskin itu, bisa berani mengucapkan kata cerai terlebih dahulu? Dia yang seharusnya meninggalkan pria malang itu, bukan sebaliknya.Dan kini, dia justru dipermalukan di depan banyak orang, sementara Xander—yang dulu selalu berada di bawah kakinya—tiba-tiba tampak seperti seorang pemenang sejati.Pandangan Lucy mulai kabur, matanya penuh dengan keb
Di dalam ruangan kerja Mr. Smith yang mewah, suasana dengan cepat berubah menjadi lebih hangat, bahkan mendekati mendidih.Lucy, dengan gaya berani yang terlihat seperti sedang bermain-main di tepi jurang, melontarkan jokes demi jokes yang semakin lama semakin berani.Setiap kata yang keluar dari mulutnya tampak dipoles dengan seksama untuk memicu denyutan hasrat di kepala Mr. Smith, yang tampaknya semakin sulit menahan desakan nalurinya.Namun jangan salah, meski terlihat bodoh di mata banyak orang, Lucy adalah seorang manipulator ulung. Ia tahu betul cara bermain di depan pria seperti Mr. Smith.Dengan sedikit pameran lekuk tubuh yang begitu sempurna dan suara yang diatur agar terdengar serak dan menggoda, ia berhasil menguasai situasi.“Pria setengah tua ini benar-benar bernafsu. Aku bisa memanfaatkan dia sebagai rencana cadangan jika segala sesuatunya berbalik buruk,” batin Lucy dengan sinis. Diam-diam, ia sudah merencanakan jalan keluar yang bisa menyelamatkan dirinya dan perusah
Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Mr. Smith menekan tombol telepon internal, menghubungkannya langsung dengan bagian Sekretariat Korporat."June, Sekretaris Korporat di sini. Ada yang bisa saya bantu?"Suara di seberang menjawab cepat, bahkan sebelum nada dering pertama selesai berbunyi.Mr. Smith sejenak terdiam, sedikit kecewa karena kehilangan kesempatan untuk menegur June atas ketidaksiapan yang ia harapkan. Ia telah bersiap memberikan pelajaran kecil, namun ketepatan waktu June membuat niat itu urung terlaksana."Beruntung kamu cukup cepat dan sigap," gumamnya dalam hati, sembari memutar-mutar gagang telepon. Namun, rasa tak puas itu tak sepenuhnya sirna.Dalam pembicaraan sebelumnya, Nona Lucy telah menanamkan benih-benih keraguan di benak Mr. Smith. Katanya, teman sekerja Xander, yang satu bagian dengannya, ikut menghasut suasana saat keributan terjadi.Mr. Smith kini tak sabar ingin memberi pelajaran pada Xander—dan mungkin pada siapa pun yang berani mencoreng nama perusahaa
Mr. Smith melangkahkan kakinya dengan hati-hati memasuki ruang utama Gorilla’s Kafe. Biasanya, tempat seperti ini tidak pernah masuk dalam radar tujuannya.Dia yang begitu arogan, tidak pernah terlintas untuk mampir di kedai kopi kelas menengah yang sering dipenuhi oleh pembeli dari kalangan bawah. Namun, hari ini, situasi memaksanya melakukan hal yang di luar kebiasaan."Tak kusangka, bagian dalam kedai kopi yang terlihat sederhana dari luar ini cukup menarik," bisik Mr. Smith pada dirinya sendiri. Matanya tertuju pada sebuah lukisan artistik di dinding, karya seorang pelukis retro yang terkenal.Dengan sedikit cemooh di hatinya, dia menyimpulkan, "Paling-paling ini cuma replika murah. Herannya, mengapa Nona Grace Song memintaku bertemu di tempat seperti ini?"Rasa percaya diri Mr. Smith masih berada di puncaknya.Meski ada sedikit rasa heran tentang panggilan mendadak dari pemilik perusahaan, sama sekali tidak terlintas dalam benaknya bahwa pertemuan ini bisa menjadi penentu masa de
Mr. Smith meninggalkan Gorilla’s Kafe dengan langkah yang berat, kepala tertunduk lesu.Jika saja ada yang memperhatikan, kontrasnya jelas terlihat—pria yang datang dengan dada membusung dan penuh kesombongan kini tak lebih dari sosok yang menyerupai anak kucing kampung yang kehilangan induknya.Dia tampak kuyu dan penuh kesedihan, ia tampak seperti seseorang yang baru saja mengalami kekalahan telak, mengemis sedikit rasa iba dari siapa saja yang kebetulan lewat.Namun, tidak ada seorang pun di Gorilla’s Kafe yang tergerak untuk memberinya kata-kata penghibur. Tak ada sapaan ramah atau senyum simpatik yang biasa ia terima di Kantor Bank Central Halilintar.Yang ada hanyalah tatapan heran dari beberapa pelanggan dan staf kafe, yang seolah bertanya-tanya, apa yang bisa membuat seorang seperti Mr. Smith terlihat begitu hancur setelah keluar dari ruang pertemuan.Kilas balik ke percakapan yang terjadi di dalam ruang meeting sebelumnya:Grace Song menatap Mr. Smith dengan tatapan yang seak
Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, Lucy tampak begitu berlebihan. Padahal, suhu di lantai lima belas hanya sekitar enam belas derajat—cukup dingin untuk membuat siapa pun merapatkan jaket.Namun, itu tidak menghentikannya untuk bertingkah seolah-olah berada di tengah padang pasir yang terik. Dia berbicara dengan nada arogan yang sudah menjadi ciri khasnya.“Meski masih terasa panas, ruangan ini jadi sedikit lebih nyaman setelah Xander, si orang dusun itu, dipecat. Setidaknya, auranya tidak lagi mengganggu kami, kalangan atas yang pantas menghirup udara di sini,” ucapnya, dengan nada yang lebih tajam dari ujung pisau.Kata-kata Lucy membelah keheningan yang ada, membuat setiap pekerja yang sedang tenggelam dalam tugasnya terpaksa mengangkat wajah. Mereka menyaksikan pemandangan yang sudah tidak asing: aksi angkuh Lucy yang selalu berlebihan.“Tolong laporkan pada sekretaris Pimpinan Smith, kami ingin menemuinya,” kata Lucy, sembari mengetuk meja seorang gadis gemuk berkacam
"Apa-apaan ini?" Suara Kevin Ng tiba-tiba melengking, nyaris tak terkendali.Dia baru saja membaca isi surat yang diserahkan oleh June, sekretaris perusahaan yang berdiri tenang di hadapannya, seakan segala badai yang melanda ruangan tak mampu mengusiknya."Mengapa isinya adalah penolakan atas permohonan kredit Santoso Group kami? Apakah tidak ada kesalahan dalam hal ini?"Kevin memaksa dirinya membaca surat itu sekali lagi, tetapi kenyataan tidak berubah. Di sana, dalam huruf tebal yang seolah-olah menertawakan nasibnya, tertulis jelas,"Surat Penolakan Permohonan Kredit!"Ketidakpuasan mendidih di dalam dirinya, matanya menatap tajam ke arah June, seolah-olah berharap gadis itu bisa memberikan penjelasan yang masuk akal."Aku harus bertemu Direktur Utama, Tuan Smith!" katanya dengan suara yang bergetar oleh amarah dan kekecewaan.Tanpa menunggu jawaban dari June yang tetap bersikap profesional, Kevin langsung menerobosnya, mendorong tubuh gadis itu hingga terhuyung-huyung. Dengan la
"Bayar angsuranmu, sudah delapan kali menunggak! Sungguh tak tahu malu!"Dua penagih hutang yang berwajah seram muncul dari balik bayang-bayang, langsung menghadang langkah Rika Setiawan yang baru saja melangkah keluar dari lorong Kancil. Wajah mereka keras, tangan-tangan mereka besar dan kasar, siap memaksa siapa pun yang berani menentang."Apa-apaan ini? Apa salahku, dan apa yang harus aku bayar? Kalian siapa?" Rika bertanya dengan nada penuh curiga, sementara matanya waspada.Dia dengan cepat menyembunyikan tas tangan Longchamp imitasi yang ia beli murah dari toko online. Memang, beberapa orang kaya atau yang berpura-pura kaya, sering kali memilih barang-barang palsu untuk tetap terlihat berkelas tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.Rika mengamati kedua penagih hutang itu dengan senyum sinis, dalam hati dia berpikir, "Ah, hanya dua amatir! Mudah saja menyingkirkan mereka."Namun, kedua penagih hutang yang berperawakan seperti tukang pukul itu tak bergeming.Mereka dengan cepat me