Xander dan June menghilang di balik pintu lift yang perlahan tertutup, meninggalkan Susi Halim yang masih tertegun, terperangkap dalam kebingungannya.Kenikmatan yang biasa Susi dapatkan saat membully seseorang kini terasa terputus begitu saja, seolah panggung yang biasa ia kuasai di ruang kantin itu tiba-tiba lenyap tanpa penonton yang mau memperhatikannya.Dengan napas yang mulai memburu, Susi melemparkan pandangan tajam ke arah lift yang sudah tak lagi terlihat."June... gadis itu terlalu berani! Siapa dia pikir dirinya? Hanya seorang sekretaris perusahaan ini saja, tapi dia bertingkah seolah-olah memegang posisi tertinggi di kantor ini. Berani-beraninya meremehkan aku, orang dari bagian SDM dan keponakan Ricky Lenusa, sang Komisaris!"Kemarahan membara dalam dada Susi. Ia mengepalkan tangannya, dan tanpa sadar meninju lengan kekasihnya, Alex Setiawan, yang berdiri di sampingnya."Aduh! Kenapa kamu memukulku?" Alex mengerutkan wajahnya, merajuk, sambil mengusap lengannya yang memer
Pada salah satu lantai di gedung pencakar langit Bank Central Halilintar, Susi Halim melangkah masuk ke dalam ruangan dengan penuh percaya diri.Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai marmer yang dingin, menggema dalam keheningan gedung yang megah. Udara dingin dari pendingin ruangan menyapa kulitnya, namun tidak mengurangi aura keangkuhan yang terpancar dari dirinya.Susi adalah sosok yang dikenal dan disegani oleh banyak orang di gedung itu, dan kehadirannya selalu menarik perhatian.“Well – well – well... lihatlah siapa yang datang mengunjungi tempat kerja kita,” suara itu datang dari seorang pria muda dengan senyum hangat yang terpancar dari wajahnya. Itu adalah Wahyu, kepala bagian IT yang sudah lama menyimpan perasaan khusus terhadap Susi.Senyumnya tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan ketertarikan yang ia rasakan terhadap wanita yang kini berdiri di hadapannya.Mata Susi menyipit, menatap Wahyu dengan tatapan arogan yang sudah menjadi ciri khasnya. Ia tahu betul bahwa
Hari telah beranjak sore, dan jarum jam menunjukkan pukul 17.00, saat sinar matahari mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi kota. Cahaya lembut senja menyelinap melalui jendela kantor, membingkai meja kerja Xander dalam nuansa emas yang hangat.“Xander... hei, anak baru. Kamu sudah bisa pulang,” teriak June dengan nada ceria sambil menenteng tas kulit hitamnya, melambai-lambaikan tangan seolah-olah tak sabar ingin keluar.Xander tertegun sejenak ketika melihat June sudah berdiri tegap di depan pintu, siap untuk keluar dari lantai lima belas.Dia baru sadar betapa asiknya dirinya tenggelam dalam layar komputer, membaca email dari Sekretaris Korporat, hingga tak menyadari bahwa June—rekan kerjanya—telah lama meninggalkan meja di sebelahnya.Dengan cepat, Xander melirik sekeliling. Kantor yang biasanya penuh aktivitas kini sepi, hanya menyisakan beberapa bayangan kursi kosong.“Apakah aku adalah makhluk asing dari planet lain?” gumamnya dalam hati, “Kenapa aku tetap duduk di sini se
June mengangguk, lalu Xander menepi, tepat di depan sebuah supermarket impor yang terkenal, Ranch Market. Aroma segar buah-buahan impor dan sayuran organik terasa samar di udara, menggoda setiap pengunjung yang lewat. Xander segera mengangkat ponselnya yang bergetar di saku.“Halo...” Xander menjawab panggilan itu dengan nada tenang, meski matanya masih berkeliling, memandangi deretan produk mahal di etalase supermarket.“Tuan Xander, Anda akan pulang jam berapa? Aku akan menjemput Anda, karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” suara Grace Song terdengar tegas namun profesional, seperti biasa.Xander melirik jam tangan di pergelangan tangannya, lalu menjawab, “Oke, kira-kira satu jam lagi. Bisakah Anda menjemputku di Kyoto Mart? Aku akan berbelanja sebentar.”“Kyoto Mart? Itu adalah supermall mewah milik Anda juga, Tuan Xander. Saya akan menghubungi Direktur Pemasaran agar dia melayani Anda langsung untuk berbelanja...” suara Grace terdengar penuh keyakinan, seolah tidak ada yan
La Gayette adalah sebuah departemen store besar yang berdiri megah di Kyoto Mart, menawarkan kemewahan yang tak tertandingi. Tidak seperti departemen store pada umumnya, La Gayette adalah representasi otentik dari keanggunan Prancis, sebuah tempat di mana brand-brand ternama internasional berjejer, memikat hati setiap pengunjung yang melangkah masuk.Tak perlu lagi disebutkan satu per satu—tentu saja, Dior, Louis Vuitton, Hermès, Chanel, dan masih banyak lagi, semuanya ada di sini, menggoda dengan keanggunan dan kemewahan yang tak terelakkan.Begitu luas dan megahnya, La Gayette terbagi dalam dua section utama yang mencerminkan selera tinggi dan eksklusivitas.Lantai pertama dipersembahkan khusus untuk pria, sebuah arena di mana setelan jas elegan dan sepatu kulit terbaik menunggu untuk dipilih. Sedangkan lantai kedua, sepenuhnya didedikasikan untuk wanita, penuh dengan gaun-gaun mewah dan aksesori yang berkilauan, siap untuk menjadikan setiap wanita bak ratu.June melangkah perlahan
Mendengar tuduhan tanpa dasar dari Susi Halim, wajah June seketika memerah karena amarah yang mendidih di dalam dirinya.“Enak saja bicara! Kau pikir aku cewek gampangan? Semua barang bermerk yang kubeli hari ini, semuanya, ada yang mensponsori!” seru June dengan nada angkuh, matanya bersinar tajam penuh rasa percaya diri.June baru saja akan melangkah ke eskalator ketika Susi Halim, dengan gerakan cepat, kembali menahannya. Tangannya mencengkeram lengan June, memaksa gadis itu untuk tetap di tempat.“Tunggu sebentar! Aku butuh penjelasanmu!” Susi berkata, suaranya penuh tuntutan.June menoleh dengan geram, matanya menyala-nyala penuh amarah. “Penjelasan apa lagi yang kau butuhkan? Bukankah sudah kukatakan tadi? Barang-barang branded ini disponsori oleh seseorang! Puas sekarang?” teriak June, dengan nada yang semakin tinggi, gemuruh emosinya tak terbendung.“Dengar, Susi Halim. Aku peringatkan sekali lagi, jabatanmu sebagai HRD hanya berlaku di dalam kantor. Di luar kantor, semua tind
“Gratis?” Wajah gadis di kasir itu berubah drastis, ekspresinya yang sebelumnya ramah mendadak memucat menjadi dingin dan penuh kemarahan.Aura penghinaan seolah mengalir dari tubuhnya, membungkus Susi Halim dengan rasa sinis yang tegas. Matanya yang tajam menyapu dari atas kepala hingga ke kaki Susi, seolah sedang menilai dan menghukum sekaligus.“Nona... Apakah Anda benar-benar sakit? Mengira belanjaan senilai lima puluh juta rupiah ini bisa dibawa pulang tanpa membayar? Mohon maaf jika ini mengecewakan, tapi saya harus menjelaskan dengan tegas: La Gayette ini bukan lembaga sosial! Jika Anda tidak punya uang, sebaiknya tinggalkan barang-barang Anda dan jangan membuang waktu di sini!”Suara gadis kasir itu semakin meninggi, setiap kata keluar dengan nada yang tajam dan penuh penekanan.Seluruh ruang Gallery La Gayette, yang sebelumnya dipenuhi oleh suara bisik-bisik halus dan gemerincing belanjaan mewah, kini dipenuhi oleh desas-desus dan tatapan penuh perhatian dari para pengunjung.
Hari ini, Kevin Ng sudah hampir kehabisan akal menanti kucuran dana yang dijanjikan oleh Grace Song dari Bank Central Halilintar.Dia duduk di kursi kulitnya yang empuk, namun tidak merasakan kenyamanan sedikitpun. Ruang kerjanya yang biasanya menjadi simbol kekuasaannya, kini terasa menekan seperti penjara.Setiap jam yang berlalu tanpa kabar bagaikan duri yang menusuknya perlahan. Minggu pertama setelah pengajuan investasi itu berlalu tanpa jawaban, dan Kevin mulai merasa seperti cacing yang digoreng di atas wajan panas.Suasana di Kantor Perusahaan Santoso Grup pun berubah menjadi semakin tegang, seiring dengan ketidakpastian yang melanda."Direktur Kevin, gaji karyawan sudah telat dibayar dua minggu. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi, Pak. Kalau begini terus, takutnya akan terjadi demonstrasi karyawan," ucap asisten perusahaan, yang masuk dengan wajah tegang.Kevin hanya bisa mendesah berat, tangannya memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Bayangan demo karyawan itu lebih me