Namun, saat Kevin Ng mencoba menarik perhatian dengan segala sikap manis dan penuh kepura-puraan, Grace Song hanya menanggapinya dengan dingin.Tatapan Grace Song yang tajam, penuh ketenangan, seakan menegaskan jarak yang tak terlihat namun begitu nyata di antara mereka. Tanpa sepatah kata pun, dia berpaling, seolah-olah Kevin tak lebih dari bayang-bayang tak berarti di ruangan megah tersebut."Mari kita pergi," ujar Grace Song, suaranya mengandung kekuatan dan ketegasan. Dia memandang dengan sopan pada Xander, semakin membuat Kevin Ng kebingungan dengan status hubungan antara Grace Song dan Xander.Grace berjalan anggun bersama Xander meninggalkan aula Peza Gallery, meninggalkan keheningan yang tak nyaman di belakang mereka. Semua orang di aula Pezza galleri menatap kepergian dua orang itu dengan taapan penuh tanda tanya.Para penonton yang mengawasi, mulai berpendapat..."Apa sebenarnya hubungan antara Xander dengan Grace Song? Semakin membingungkan saja. Xander mengaku sebagai suam
Xander berbaring santai di atas ranjang empuk di kamarnya yang luas dan sejuk, udara dingin dari pendingin ruangan mengalir lembut di sekelilingnya.Apartemen mewahnya ini adalah sebuah oase modern di tengah hiruk-pikuk kota, dikelilingi oleh dinding kaca yang menawarkan pemandangan cakrawala kota yang gemerlap. Namun, meskipun berada di tempat yang begitu nyaman, Xander belum sempat mandi.Pikiran tentang aktivitas lain sudah memenuhi kepalanya, terutama tentang rencana untuk berenang di kolam renang pribadinya yang dilengkapi dengan teknologi canggih, termasuk kamera Obscura yang mampu mengubah pemandangan di berbagai sudut, terlihat nyata seolah-olah ia hadir sendiri di tempat dibelahan bumi lain."Bagaimana kalau aku berenang, dan membayangkan sedang berada di tengah dinginnya udara Finlandia? Sekalian melihat apakah suhu di ruangan ini bisa mengalahkan suhu di luar yang sangat panas?" pikirnya sambil tersenyum kecil.Ia merasakan sensasi aneh yang tiba-tiba membangkitkan adrenali
Sejenak, Xander dilanda kebimbangan yang mendalam, membuatnya terdiam dalam kolam renang indoor yang tenang. Keheningan terasa mencekam, hanya terdengar percikan air yang lembut, seolah-olah mencerminkan kekacauan yang bergejolak dalam pikirannya.[Kamu tidak berani, bukan?]Suara sistem yang dingin dan menghakimi itu memecah keheningan, menggema di dalam pikirannya.[Aku jadi ragu apakah kamu cocok untuk sistem kekayaan ini. Pemakai sistem sebelumnya, puluhan tahun yang lalu, bukanlah sosok yang penakut seperti kamu!]Sistem itu berhenti sejenak, seolah membiarkan kata-katanya meresap, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih menekan.[Lagipula... bukankah pertemuan kita yang tak terduga itu lebih banyak dipicu oleh dirimu yang hampir mati terkena setrum? Semua gara-gara Lucy Setiawan itu berkhianat! Mengapa kamu merasa berat untuk menceraikan dia?]Kata-kata sistem tersebut seperti cairan cabai yang menyiram wajah Xander, membuatnya tersadar dengan tajam. Rasa sakit dari ingatan i
Dengan perasaan berat hati, Lucy Setiawan menyerahkan sejumlah uang tunai sebesar sepuluh juta rupiah kepada ibunya, Rika. Ada rasa enggan yang tertahan di dalam dada Lucy, namun dia tahu bahwa ini bukan kali pertama dia harus mengalah demi ibunya.Rika Setiawan, yang wajahnya sebelumnya tampak tegang, tiba-tiba saja terdiam setelah memegang tumpukan uang kertas yang masih harum dengan aroma khas uang baru.Airmatanya, yang seolah siap menetes karena sakit hati diperlakukan tidak adil oleh anak sendiri, mendadak berhenti.Matanya yang tadinya redup penuh airmata kepalsuan, kini berkilat-kilat penuh keserakahan.Ia membawa uang itu ke hidungnya, menghirup aromanya dalam-dalam seolah itu adalah oksigen yang sangat dibutuhkannya.“Terima kasih, anakku. Kamu memang anak yang patuh kepada ibumu!” Rika tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak membawa kehangatan yang seharusnya. Hanya bertahan sekejap, karena segera setelah itu, ekspresi dingin kembali menguasai wajahnya.Rika berdiri dengan a
Baru-baru ini, seluruh kalangan pengusaha kelas atas di Kota Jatavia diguncang oleh kehadiran seorang perempuan yang tiba-tiba membuat gebrakan besar.Sosok yang semula tidak terlalu dikenal di kalangan elite ini mendadak menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena kekayaannya yang tak terhitung, tetapi juga karena langkah-langkah bisnisnya yang agresif dan berani.Dengan kekayaan yang seolah tak mengenal batas, perempuan tersebut dengan mudahnya membeli mayoritas saham Gorilas Kafe, sebuah brand kopi nasional yang telah lama menjadi favorit bagi mereka yang mencari kenikmatan tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam.Gorilas Kafe adalah simbol perlawanan terhadap serbuan brand-brand internasional seperti Starluks, yang berusaha mendominasi pasar dengan harga tinggi dan gaya hidup mewah. Namun, Gorilas Kafe tetap bertahan sebagai pilihan utama bagi mereka yang menghargai kualitas tanpa embel-embel status sosial.Belum cukup dengan membuat kegemparan di dalam negeri, perempuan ini kembali
Hari itu, saat langit masih gelap dengan hanya sedikit cahaya yang membayang di ufuk Timur, Kota Jatavia terbangun dalam keheningan.Di sebuah kedai kopi tradisional bergaya Tionghoa, dua sosok manusia duduk berhadapan, menikmati sajian hangat yang ada di depan mereka.Wangi kopi Robusta yang baru saja diseduh memenuhi ruangan, menyebar dengan kehangatan yang menenangkan. Uap tipis mengepul dari cangkir, membawa aroma yang kuat dan pahit, berpadu dengan manisnya cairan susu kental yang membuat setiap tegukan menjadi harmoni rasa yang sempurna.Xander merasakan kehangatan itu ketika ia menyesap kopi panas-panas, seolah memberi tenaga untuk menghadapi hari.Di meja, roti bakar tradisional yang dipanggang di atas bara api—tempat kopi juga diseduh—tampak menggiurkan.Roti itu dilapisi selai ‘Kaya’, perpaduan santan kental dengan kuning telur yang diperkaya aroma pandan atau vanilla. Setiap gigitan menyajikan rasa gurih yang melekat di lidah, seolah membangkitkan semangat pagi yang perlaha
Keesokan harinya, sinar matahari yang masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar Xander. Suara dering telepon yang nyaring membangunkannya dari tidur yang masih lelap.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur, melirik angka yang tertera pada jam dinding digital di kamar—08.00 pagi. Masih terlalu pagi untuk menerima panggilan, pikirnya. Namun, ketika melihat nama di layar, ia segera menjawab telepon itu tanpa ragu."Halo, Ibu Grace. Ada apa pagi-pagi begini?" Suara Xander terdengar sedikit serak, sisa-sisa kantuk masih membayang di ujung nada bicaranya."Er... tentang perbincangan kita kemarin," suara Grace terdengar lembut namun penuh arti, "saham Bank Central Halilintar sudah Anda miliki, secara mayoritas. Dengan kata lain, Anda sekarang adalah pemilik dari salah satu bank terbesar di negeri Konoya ini. Selamat, Tuan Xander."Kata-kata itu seolah menampar kesadaran Xander sepenuhnya. Ia terdiam sejenak, membiarkan berita itu meresap."Ah... lega sekali r
Karena Grace Song bilang bahwa pihak Manajemen Bank Central Halilintar ingin bertemu dengannya, Xander tanpa ragu langsung memilih lift terdekat, untuk menuju lantai lima belas di gedung megah itu. Xander melangkah cepat, dadanya berdebar sedikit lebih keras dari biasanya. Gedung itu, dengan arsitektur modern dan kaca yang memantulkan sinar matahari, terasa begitu besar dan menakutkan. Namun, Xander mencoba menepis perasaan cemas yang menyelinap di hatinya. Sementara itu, Xander berlari-lari kecil menuju lift. Saat melihat pintu lift yang sudah terisi oleh sepuluh orang dengan raut wajah serius, ia berteriak, "Tolong tahan sebentar! Aku juga mau ke lantai lima belas!" Namun, yang terjadi berikutnya membuat jantungnya serasa jatuh ke lantai. Tepat ketika jarak Xander hanya tersisa tiga meter dari lift, pintu logam itu tertutup rapat. Dengan cepat, lift itu bergerak naik, membawa sepuluh orang itu menuju lantai yang akan mereka tuju. Xander berdiri terpaku, napasnya terengah-engah.