Dua malam sudah pencarian jenazah ibu Harto, tapi hasilnya belum ada sama sekali. Teror di rumah Harto juga semakin gencar terjadi. Satu persatu dari keenam orang itu diganggu dengan cara berbeda-beda.
"Kak, aku ngantuk sekali," keluh Ahmad, tersandar di dinding ruang tamu. "Sama, aku juga. Hampir semalaman kita tidak tidur," sahut Agung, kedua matanya tampak sayu. "Andai ibu cepat ditemukan, pasti masalahnya tidak seperti ini. Dua malam ini kita terus-terusan diteror," keluh Bani, ada rasa kesal di dalam hatinya. Harapan, hanya tinggal harapan. Entah kapan semua harapan mereka dapat terkabul dan menemukan jasad ibu mereka. "Mas, aku mau ke warung dulu beli stok makanan, mumpung masih pagi," pamit Nana sudah bersiap. "Kamu pergi sendiri Na? bahaya nanti," ujar Bani, begitu khawatir. "Iya Na, bahaya kalau sendiri. Biarpun ini masih pagi, tetap saja hawanya tidak enak," timpalDi tengah kekalutan dan ketakutan tentang masalah baru, Bani maju mendekat. Ia menepuk pundak Agung, pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. "Jangan takut Gung! Biarpun Janah itu kuyang, dia tidak akan berani mengganggu kita di rumah ini. Jenazah ibu kami belum ditemukan. Bisa saja ibu masih berkeliaran di mana-mana, termasuk di sekitaran rumah ini," ucap Bani, mencoba meyakinkan Agung. Ada rasa lega di hati Agung saat mendengarnya. Andai semua masalah ini dengan sesama manusia, mungkin mereka tidak terlalu takut. Masalahnya ini semua berhubungan dengan makhluk gaib atau astral. Sedang ilmu yang merek miliki bukan ke arah hal seperti itu. "Jadi maksud kak Bani, kuyang wanita itu, tidak akan berani mengganggu kita di sini? Harusnya sih memang begitu. Anggap saja wanita itu kuyang junior, sedangkan ibu mas Bani dan mas Harto seniornya. Junior dan senior, sudah pasti kalah junior," sahut Ahmad, menjabarkan ulang.
Tepat saat Harto akan sampai di dahan tempat jenazah ibunya duduk, ia menghentikan pergerakannya. Bau busuk dan anyir menguar memenuhi rongga pernafasannya. Dari jarak yang lumayan dekat, dapat Harto lihat bagaimana wajah ibunya. Kepala sang ibu masih bergerak pelan ke kiri dan ke kanan. Tatapan matanya kosong tapi terlihat liar. Hampir saja Harto memilih turun dan menyerah, tapi ia mengurungkan niatnya. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Jika saat ini ia tidak berhasil membawa turun sang ibu, maka musibah dan teror akan semakin bertambah mengerikan. "Har, cepat! Apa yang kamu tunggu? Jangan sampai ibu melesat pergi!" teriak kakak tertuanya dari arah bawah. Lamunan Harto buyar, dengan sisa tenaga yang masih tersisa. Ia kembali memanjat dan menggapai dahan pohon yang lumayan kokoh. Rasa takut sudah tidak bisa ia gambarkan lagi. Di depan mata kepala sendiri, sosok ibunya yang berwujud pocong sedang menatapnya dengan tata
Pov Nana Aku merinding sampai ke ubun-ubun mendengar suara ibu dari dalam peti. Suaranya sangat mengerikan. Belum lagi saat ibu mengatakan ingin minta diwarisi ilmunya. Sungguh di luar nalar. Andaikan ini aku ceritakan pada orang-orang, mungkin tidak akan ada yang percaya dan menganggap aku gila. Mana mungkin seorang yang sudah meninggal bisa bicara, walaupun jasadnya sudah mati. Tapi ini berbeda, aku melihat dan mendengarnya sendiri. Ini tanah Kalimantan, yang di luar nalar bisa saja terjadi di sini. "Yank, lebih baik kita masuk ke kamar!" titah mas Harto, menarik tanganku. Kakak dan adikku hanya bisa mengangguk melihatku ditarik oleh mas Harto. Mereka bahkan tidak ingin melarang atau menahanku. "Untuk malam ini, biar kami yang berjaga. Karena besok kami akan pulang. Kantor sudah beberapa kali menghubungi," ucap kakak tertua mas Harto. Kami semua hanya mengangguk. Andaikan aku bisa, aku juga ingin sekali
Pagi akhirnya menjelang. Kicauan burung terdengar merdu, menyambut cuaca cerah hari ini. Aku terbangun dari tidur singkat tadi subuh. Setelah ditemukannya ibu, hidupku menjadi tak karuan. Begitu pula dengan jam tidur yang tidak beraturan lagi. "Sudah bangun Yank?" tanya mas Harto, mendekat ke arahku dengan nampan berisi makanan di tangannya. Malu sekaligus tidak enak menjalar di hatiku. Aku ini istri, satu-satunya perempuan yang ada di rumah ini. Tapi, aku malah bangun kesiangan. Mas Harto sudah bangun, mungkin yang lainnya juga sudah. "Ayo makan dulu! Setelah itu, kita keluar menemui yang lain. Katanya, ada yang ingin dibicarakan," ucap mas Harto, menyodorkan sesendok makanan ke arah mulutku. Aku menghindar. Baru juga bangun tidur, masa iya, langsung menyantap makanan. "Kenapa? Kamu tidak suka makanannya?" tanya mas Harto, mengernyitkan keningnya. "Eh, bukan Mas. Bukan itu! Aku baru bangun t
Tumpukan emas batangan tersusun rapi di dalam lemari kaca. Jika tidak salah hitung, mungkin jumlahnya ada lima puluhan. Entah berapa berat semuanya jika ditotal. Tak hanya aku yang terkejut dibuatnya. Para anak-anak ibu, Ahmad dan kak Agung juga sama terkejutnya. Tak ada yang bergerak dari posisi masing-masing. Semuanya masih merasa kaget sekaligus takjub. "Ma-Mas, itu e-emas semua?" tanyaku, tergagap. Mas Harto tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dari mana ibu mendapatkan kekayaan yang seperti ini? Sedang selama ini, ibu terlihat begitu sederhana. Pakaian atau barang-barang pribadinya juga tidak begitu mewah. Apalagi makanannya sehari-hari, aku sampai tidak pernah melihat lauk pauk lain, selain ikan pindang. Cukup lama terdiam, akhirnya kami memberanikan masuk ke dalam ruangan itu. Tepat saat kaki kami melangkah, peti tempat jenazah ibu dibuat berbunyi keras. Aku sampai terkejut dan memeluk lengan mas Harto.
Aku memperhatikan botol-botol yang Ahmad maksud. Memandangnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Auranya berbeda, padahal itu hanya sebuah botol. "Mas!" Panggilku, mendekat ke arah mas Harto. Mas Harto menoleh, lalu menarik tanganku dalam genggamannya. Dapat aku rasakan, tangannya gemetar dan berkeringat. Pasti dia merasa syok. "Emas ini mau diapakan Mas? Bagaimana ibu mendapatkan semua ini?" tanya mas Bani pada kakak tertuanya. "Entahlah Ban. Aku juga tidak tau. Emas sebanyak ini, harus dikemanakan? Aku takut jika kita menggunakannya, akan jadi masalah baru lagi," sahut kakak tertua. "Masalah apa maksudnya Mas?" tanya yang lain penasaran. Aku hanya jadi pendengar dan penyimak saja. Tak ada niat bertanya atau ikut campur. Toh ini bukan kapasitasku untuk bicara. Dari percakapan yang aku dengar, keenam saudara mas Harto ini bukanlah orang-orang yang gila harta atau
"Kamu benar meminta Ayu ke sini Na?" tanya kak Agung, menatapku tajam. Aku menggeleng cepat. "Aku tidak menghubungi siapapun. Jangankan meminta kak Ayu datang ke sini, menanyakan kabar Reina dan yang lainnya saja tidak. Kan Kakak tau sendiri, ponselku sudah habis baterai beberapa hari ini. Kakak tau sendiri, beberapa hari ini kita sibuk, mana sempat aku memainkan ponsel atau mengisi daya ponsel," jelasku. "Kamu yang benar Na? Jelas-jelas kamu yang telpon. Tanya saja Lina kalau tidak percaya. Itu suara kamu, Kakak yakin sekali. Kamu juga memohon untuk membawa Reina ke sana," Suara kak Ayu terdengar nyaring, karena pengeras suara memang diaktifkan. "Jadi, yang benar yang mana? Kalau yang menghubungi kamu itu Nana, Nana yang mana? Hampir satu minggu ini ada masalah di sini Yu, kami tidak jamin bisa pulang cepat. Ponsel juga baru hari ini kami pegang karena memang tidak ada waktu. Dan satu lagi, kamu sudah dengar sendiri apa kata Nana. Jan
Merasa penasaran, kami gegas berlari keluar. Tapi, lagi-lagi hal aneh terjadi. Keadaan di luar kamar ternyata sangat hening. Para saudara mas Harto terlihat khusyuk berdzikir dalam hati di depan peti. "Suara apa tadi itu Mas?" tanya mas Harto, mendekati para saudaranya. Mendengar pertanyaan mas Harto, sontak saja yang lainnya berbalik menatap heran. "Suara apa Har?" "Suara ribut Mas," jawab mas Harto. Mereka ber enam saling berpandangan. "Tidak ada ribut sedari tadi. Kami semua sedang berdzikir sambil menunggu kalian selesai. Memangnya kalian sudah selesai sholat?" Kali ini kami yang saling bertatapan mata. Jika sedari tadi tidak ada keributan, lalu yang tadi itu suara apa? Apa ini juga gangguan dari iblis terkutuk itu? "Hei, kenapa diam? sudah selesai belum?" tanya kakak tertua, menepuk pundak mas Harto. "Eh, belum Mas. Ini baru mau mulai. Tapi ada suara ri
"Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang. Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da
Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar. "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,
Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang. Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel
"Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?" "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan. "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad. Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu. "Wa-Wati?" Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba. Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam. Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto. Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya
"Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita
Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,
Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.