Tepat saat Harto akan sampai di dahan tempat jenazah ibunya duduk, ia menghentikan pergerakannya. Bau busuk dan anyir menguar memenuhi rongga pernafasannya. Dari jarak yang lumayan dekat, dapat Harto lihat bagaimana wajah ibunya. Kepala sang ibu masih bergerak pelan ke kiri dan ke kanan. Tatapan matanya kosong tapi terlihat liar.
Hampir saja Harto memilih turun dan menyerah, tapi ia mengurungkan niatnya. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Jika saat ini ia tidak berhasil membawa turun sang ibu, maka musibah dan teror akan semakin bertambah mengerikan. "Har, cepat! Apa yang kamu tunggu? Jangan sampai ibu melesat pergi!" teriak kakak tertuanya dari arah bawah. Lamunan Harto buyar, dengan sisa tenaga yang masih tersisa. Ia kembali memanjat dan menggapai dahan pohon yang lumayan kokoh. Rasa takut sudah tidak bisa ia gambarkan lagi. Di depan mata kepala sendiri, sosok ibunya yang berwujud pocong sedang menatapnya dengan tataPov Nana Aku merinding sampai ke ubun-ubun mendengar suara ibu dari dalam peti. Suaranya sangat mengerikan. Belum lagi saat ibu mengatakan ingin minta diwarisi ilmunya. Sungguh di luar nalar. Andaikan ini aku ceritakan pada orang-orang, mungkin tidak akan ada yang percaya dan menganggap aku gila. Mana mungkin seorang yang sudah meninggal bisa bicara, walaupun jasadnya sudah mati. Tapi ini berbeda, aku melihat dan mendengarnya sendiri. Ini tanah Kalimantan, yang di luar nalar bisa saja terjadi di sini. "Yank, lebih baik kita masuk ke kamar!" titah mas Harto, menarik tanganku. Kakak dan adikku hanya bisa mengangguk melihatku ditarik oleh mas Harto. Mereka bahkan tidak ingin melarang atau menahanku. "Untuk malam ini, biar kami yang berjaga. Karena besok kami akan pulang. Kantor sudah beberapa kali menghubungi," ucap kakak tertua mas Harto. Kami semua hanya mengangguk. Andaikan aku bisa, aku juga ingin sekali
Pagi akhirnya menjelang. Kicauan burung terdengar merdu, menyambut cuaca cerah hari ini. Aku terbangun dari tidur singkat tadi subuh. Setelah ditemukannya ibu, hidupku menjadi tak karuan. Begitu pula dengan jam tidur yang tidak beraturan lagi. "Sudah bangun Yank?" tanya mas Harto, mendekat ke arahku dengan nampan berisi makanan di tangannya. Malu sekaligus tidak enak menjalar di hatiku. Aku ini istri, satu-satunya perempuan yang ada di rumah ini. Tapi, aku malah bangun kesiangan. Mas Harto sudah bangun, mungkin yang lainnya juga sudah. "Ayo makan dulu! Setelah itu, kita keluar menemui yang lain. Katanya, ada yang ingin dibicarakan," ucap mas Harto, menyodorkan sesendok makanan ke arah mulutku. Aku menghindar. Baru juga bangun tidur, masa iya, langsung menyantap makanan. "Kenapa? Kamu tidak suka makanannya?" tanya mas Harto, mengernyitkan keningnya. "Eh, bukan Mas. Bukan itu! Aku baru bangun t
Tumpukan emas batangan tersusun rapi di dalam lemari kaca. Jika tidak salah hitung, mungkin jumlahnya ada lima puluhan. Entah berapa berat semuanya jika ditotal. Tak hanya aku yang terkejut dibuatnya. Para anak-anak ibu, Ahmad dan kak Agung juga sama terkejutnya. Tak ada yang bergerak dari posisi masing-masing. Semuanya masih merasa kaget sekaligus takjub. "Ma-Mas, itu e-emas semua?" tanyaku, tergagap. Mas Harto tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dari mana ibu mendapatkan kekayaan yang seperti ini? Sedang selama ini, ibu terlihat begitu sederhana. Pakaian atau barang-barang pribadinya juga tidak begitu mewah. Apalagi makanannya sehari-hari, aku sampai tidak pernah melihat lauk pauk lain, selain ikan pindang. Cukup lama terdiam, akhirnya kami memberanikan masuk ke dalam ruangan itu. Tepat saat kaki kami melangkah, peti tempat jenazah ibu dibuat berbunyi keras. Aku sampai terkejut dan memeluk lengan mas Harto.
Aku memperhatikan botol-botol yang Ahmad maksud. Memandangnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Auranya berbeda, padahal itu hanya sebuah botol. "Mas!" Panggilku, mendekat ke arah mas Harto. Mas Harto menoleh, lalu menarik tanganku dalam genggamannya. Dapat aku rasakan, tangannya gemetar dan berkeringat. Pasti dia merasa syok. "Emas ini mau diapakan Mas? Bagaimana ibu mendapatkan semua ini?" tanya mas Bani pada kakak tertuanya. "Entahlah Ban. Aku juga tidak tau. Emas sebanyak ini, harus dikemanakan? Aku takut jika kita menggunakannya, akan jadi masalah baru lagi," sahut kakak tertua. "Masalah apa maksudnya Mas?" tanya yang lain penasaran. Aku hanya jadi pendengar dan penyimak saja. Tak ada niat bertanya atau ikut campur. Toh ini bukan kapasitasku untuk bicara. Dari percakapan yang aku dengar, keenam saudara mas Harto ini bukanlah orang-orang yang gila harta atau
"Kamu benar meminta Ayu ke sini Na?" tanya kak Agung, menatapku tajam. Aku menggeleng cepat. "Aku tidak menghubungi siapapun. Jangankan meminta kak Ayu datang ke sini, menanyakan kabar Reina dan yang lainnya saja tidak. Kan Kakak tau sendiri, ponselku sudah habis baterai beberapa hari ini. Kakak tau sendiri, beberapa hari ini kita sibuk, mana sempat aku memainkan ponsel atau mengisi daya ponsel," jelasku. "Kamu yang benar Na? Jelas-jelas kamu yang telpon. Tanya saja Lina kalau tidak percaya. Itu suara kamu, Kakak yakin sekali. Kamu juga memohon untuk membawa Reina ke sana," Suara kak Ayu terdengar nyaring, karena pengeras suara memang diaktifkan. "Jadi, yang benar yang mana? Kalau yang menghubungi kamu itu Nana, Nana yang mana? Hampir satu minggu ini ada masalah di sini Yu, kami tidak jamin bisa pulang cepat. Ponsel juga baru hari ini kami pegang karena memang tidak ada waktu. Dan satu lagi, kamu sudah dengar sendiri apa kata Nana. Jan
Merasa penasaran, kami gegas berlari keluar. Tapi, lagi-lagi hal aneh terjadi. Keadaan di luar kamar ternyata sangat hening. Para saudara mas Harto terlihat khusyuk berdzikir dalam hati di depan peti. "Suara apa tadi itu Mas?" tanya mas Harto, mendekati para saudaranya. Mendengar pertanyaan mas Harto, sontak saja yang lainnya berbalik menatap heran. "Suara apa Har?" "Suara ribut Mas," jawab mas Harto. Mereka ber enam saling berpandangan. "Tidak ada ribut sedari tadi. Kami semua sedang berdzikir sambil menunggu kalian selesai. Memangnya kalian sudah selesai sholat?" Kali ini kami yang saling bertatapan mata. Jika sedari tadi tidak ada keributan, lalu yang tadi itu suara apa? Apa ini juga gangguan dari iblis terkutuk itu? "Hei, kenapa diam? sudah selesai belum?" tanya kakak tertua, menepuk pundak mas Harto. "Eh, belum Mas. Ini baru mau mulai. Tapi ada suara ri
Siang semakin larut, hampir berganti sore. Tak berbeda dari sholat dzuhur tadi. Sholat ashar pun juga sama penuh gangguan. Karena sudah mengetahui situasi dari awal, aku dan yang lainnya di rumah ini sudah mulai terbiasa menghadapinya. "Har, Na, sini mendekat! Kita akan membahas masalah penting sebelum kami benar-benar pulang, " Panggil kakak tertua suamiku, meminta kami mendekat. Jantungku seakan berpacu dengan waktu. Masalah penting yang akan dibahas kali ini, sudah pasti berhubungan erat dengan keluarga kecil kami. Terutama Reina-- putri kecil kami yang sekarang jadi incaran. "Kalian berdua sudah tau bukan, masalah ilmu yang ibu anut? Tidak hanya kalian, tapi kita yang ada di sini juga sudah tau semuanya. Ilmu itu harus diwarisi, agar masalah ini selesai. Tapi masalahnya, diantara kita bertujuh tidak ada yang bisa mewarisi ilmu itu. Hanya putri kalian berdua yang mempunyai garis keturunan dan darahnya. Sedang anak kami, semuanya laki
Harto mengusap wajahnya kasar. Tidak mau terus-terusan berdebat dengan Nana dan memperpanjang masalah ini. Harto memilih menyetujui usulan itu. "Oke, kita cari alim ulama. Tapi di mana? kalau kita bisa menemukannya di desa ini, kita bisa mendatanginya sekarang juga. Tapi jika kita tidak mendapatkannya, maka kita harus mencari penggantinya," ucap Harto. "Mas, mana bisa secepat itu? Mencari alim ulama di desa ini, sama saja bohong! Mana bisa, hari ini dicari, hari ini dapat? Kan kamu sendiri yang bilang, di desa ini tidak ada. Itu artinya kita harus mencarinya di luar desa dulu. Sedang di sini keadaan kita tidak memungkinkan untuk meninggalkan desa. Kakak tertua akan pulang hari ini bersama kakak yang lain. Kita bisa minta bantuan atau kita hubungi kak Ayu untuk mencarinya di kota?" sahut Nana. "Ide kamu boleh juga Na. Kamu hubungi Ayu sekarang saja. Di kota, dia pasti lebih mudah mencarinya. Kalau sudah ketemu, langsung saja minta datang