Aku memperhatikan botol-botol yang Ahmad maksud. Memandangnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Auranya berbeda, padahal itu hanya sebuah botol.
"Mas!" Panggilku, mendekat ke arah mas Harto. Mas Harto menoleh, lalu menarik tanganku dalam genggamannya. Dapat aku rasakan, tangannya gemetar dan berkeringat. Pasti dia merasa syok. "Emas ini mau diapakan Mas? Bagaimana ibu mendapatkan semua ini?" tanya mas Bani pada kakak tertuanya. "Entahlah Ban. Aku juga tidak tau. Emas sebanyak ini, harus dikemanakan? Aku takut jika kita menggunakannya, akan jadi masalah baru lagi," sahut kakak tertua. "Masalah apa maksudnya Mas?" tanya yang lain penasaran. Aku hanya jadi pendengar dan penyimak saja. Tak ada niat bertanya atau ikut campur. Toh ini bukan kapasitasku untuk bicara. Dari percakapan yang aku dengar, keenam saudara mas Harto ini bukanlah orang-orang yang gila harta atau"Kamu benar meminta Ayu ke sini Na?" tanya kak Agung, menatapku tajam. Aku menggeleng cepat. "Aku tidak menghubungi siapapun. Jangankan meminta kak Ayu datang ke sini, menanyakan kabar Reina dan yang lainnya saja tidak. Kan Kakak tau sendiri, ponselku sudah habis baterai beberapa hari ini. Kakak tau sendiri, beberapa hari ini kita sibuk, mana sempat aku memainkan ponsel atau mengisi daya ponsel," jelasku. "Kamu yang benar Na? Jelas-jelas kamu yang telpon. Tanya saja Lina kalau tidak percaya. Itu suara kamu, Kakak yakin sekali. Kamu juga memohon untuk membawa Reina ke sana," Suara kak Ayu terdengar nyaring, karena pengeras suara memang diaktifkan. "Jadi, yang benar yang mana? Kalau yang menghubungi kamu itu Nana, Nana yang mana? Hampir satu minggu ini ada masalah di sini Yu, kami tidak jamin bisa pulang cepat. Ponsel juga baru hari ini kami pegang karena memang tidak ada waktu. Dan satu lagi, kamu sudah dengar sendiri apa kata Nana. Jan
Merasa penasaran, kami gegas berlari keluar. Tapi, lagi-lagi hal aneh terjadi. Keadaan di luar kamar ternyata sangat hening. Para saudara mas Harto terlihat khusyuk berdzikir dalam hati di depan peti. "Suara apa tadi itu Mas?" tanya mas Harto, mendekati para saudaranya. Mendengar pertanyaan mas Harto, sontak saja yang lainnya berbalik menatap heran. "Suara apa Har?" "Suara ribut Mas," jawab mas Harto. Mereka ber enam saling berpandangan. "Tidak ada ribut sedari tadi. Kami semua sedang berdzikir sambil menunggu kalian selesai. Memangnya kalian sudah selesai sholat?" Kali ini kami yang saling bertatapan mata. Jika sedari tadi tidak ada keributan, lalu yang tadi itu suara apa? Apa ini juga gangguan dari iblis terkutuk itu? "Hei, kenapa diam? sudah selesai belum?" tanya kakak tertua, menepuk pundak mas Harto. "Eh, belum Mas. Ini baru mau mulai. Tapi ada suara ri
Siang semakin larut, hampir berganti sore. Tak berbeda dari sholat dzuhur tadi. Sholat ashar pun juga sama penuh gangguan. Karena sudah mengetahui situasi dari awal, aku dan yang lainnya di rumah ini sudah mulai terbiasa menghadapinya. "Har, Na, sini mendekat! Kita akan membahas masalah penting sebelum kami benar-benar pulang, " Panggil kakak tertua suamiku, meminta kami mendekat. Jantungku seakan berpacu dengan waktu. Masalah penting yang akan dibahas kali ini, sudah pasti berhubungan erat dengan keluarga kecil kami. Terutama Reina-- putri kecil kami yang sekarang jadi incaran. "Kalian berdua sudah tau bukan, masalah ilmu yang ibu anut? Tidak hanya kalian, tapi kita yang ada di sini juga sudah tau semuanya. Ilmu itu harus diwarisi, agar masalah ini selesai. Tapi masalahnya, diantara kita bertujuh tidak ada yang bisa mewarisi ilmu itu. Hanya putri kalian berdua yang mempunyai garis keturunan dan darahnya. Sedang anak kami, semuanya laki
Harto mengusap wajahnya kasar. Tidak mau terus-terusan berdebat dengan Nana dan memperpanjang masalah ini. Harto memilih menyetujui usulan itu. "Oke, kita cari alim ulama. Tapi di mana? kalau kita bisa menemukannya di desa ini, kita bisa mendatanginya sekarang juga. Tapi jika kita tidak mendapatkannya, maka kita harus mencari penggantinya," ucap Harto. "Mas, mana bisa secepat itu? Mencari alim ulama di desa ini, sama saja bohong! Mana bisa, hari ini dicari, hari ini dapat? Kan kamu sendiri yang bilang, di desa ini tidak ada. Itu artinya kita harus mencarinya di luar desa dulu. Sedang di sini keadaan kita tidak memungkinkan untuk meninggalkan desa. Kakak tertua akan pulang hari ini bersama kakak yang lain. Kita bisa minta bantuan atau kita hubungi kak Ayu untuk mencarinya di kota?" sahut Nana. "Ide kamu boleh juga Na. Kamu hubungi Ayu sekarang saja. Di kota, dia pasti lebih mudah mencarinya. Kalau sudah ketemu, langsung saja minta datang
"Kenapa kamu menanyakan itu Wat?" tanya Bani, menatap curiga. Wati tak menjawab. Ia hanya diam, sambil menunduk dan memainkan jari-jari tangannya. "Jawab Wat! Jangan bilang, kedatangan kamu ke sini berniat mewarisi ilmu itu?" tebak kakak tertua Harto. Mendengar itu, Wati langsung mendongak. Ia masih belum berani membuka suara. "Jawab Wat!" desak Bani. "I-iya Mas," jawab Wati tergagap. Suasana seketika hening. Ekspresi semua yang berada di sana berubah tegang. Termasuk Nana dan dua saudaranya. "Apa yang kamu bicarakan Wat? Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah gila!" sentak Bani, tak terima. "Aku tidak tega Mas, aku tidak tega melihat cil Daniah seperti ini terus menerus. Siapa yang akan mewarisi ilmu itu kalau bukan aku? Siapa yang kalian semua harapkan? Putri mas Harto? Dia bahkan masih terlalu kecil untuk mewarisi ilmu itu. Aku bersedia melakukannya," jelas Wati, dadanya terlihat turun naik saat mengat
Hari semakin sore, semburat senja semakin tampak terlihat di ufuk barat. Kelima saudara Harto membatalkan niat mereka untuk pulang hari ini. Kedatangan Wati seakan membawa angin segar untuk ketujuh bersaudara itu, begitu pula dengan Nana dan dua saudaranya. Bukan karena bahagia di atas penderitaan orang lain. Namun, jika sudah takdir, apa yang mau dikata? Larangan dan nasihat sudah mereka berikan pada Wati. Tapi Wati masih bersikeras ingin mewarisi ilmu itu. "Mas yakin tidak jadi pulang?" tanya Bani, kala semuanya duduk berkumpul menunggu waktu magrib. "Hem, begitulah Ban. Kita tunggu kabar dari Wati. Kalau cil Saniah mengijinkannya, sia-sia juga kami pulang sekarang. Toh, ujung-ujungnya juga akan kembali lagi. Sudah rugi tenaga, ditambah lagi ongkos," jelas sang kakak. "Benar juga. Tapi, bagaimana kalau Wati tidak memberi kabar lagi? Bisa saja cil Saniah marah, dan melarang Wati ke rumah ini," sahut Bani. "Kalau memang seperti itu ceritanya.
"Dengan siapa Mas?" tanya seseorang yang tak lain adalah Wati. Bani segera menarik Wati, lalu menutup pintu rumah. Ia dan Agung saling berpandangan, lalu menoleh ke arah peti. Di sana, sosok berkain kafan masih berdiri tegap. "Kalau ibu kamu ada di sana, terus yang di luar siapa Ban?" tanya Agung setengah berbisik. "Entahlah, mungkin iblis," jawab Bani asal. "Ibu? Maksudnya cil Daniah?" tanya Wati yang tidak sengaja mendengarnya. Mendengar suara Wati. Beberapa orang yang ada di ruang tengah, gegas menuju ruang tamu. Tak terkecuali Harto. "Bani, Agung, kenapa kalian masih di sini?" tanya Kakak tertuanya. "Wati, kamu ada di sini?" tanya Harto terkejut melihat kedatangan Wati. Pandangan Wati beralih ke arah Harto dan kakak sepupunya yang lain. Ia terkejut bukan main, tanpa sadar langkahnya tersurut mundur. Bukan karena terkejut melihat kedatangan para kakak sepupunya. Melainkan saat pandangannya bertemu d
Malam semakin larut, proses pewarisan ilmu dari ibu Harto sebentar lagi dilaksanakan. Di belakang rumah, tepatnya di dekat pohon-pohon rimbun yang berjejer tak beraturan Wati dan yang lainnya berada. Nana yang saat itu juga ikut menyaksikan, beberapa kali merasa tak karuan. Apalagi saat ekor matanya melirik ke arah peti di mana jasad ibu mertuanya masih ada di dalamnya. "Kak, kok aku merinding ya? Suara burung kedasih juga tidak henti-hentinya berbunyi," bisik Ahmad, merapatkan posisi berdirinya pada Nana. "Huss! Lebih baik kamu diam saja Mad! kita lihat saja prosesnya!" Balas Nana, juga ikut berbisik. Tiga orang tetua desa, mulai menyiapkan semua perlengkapan yang diperlukan. Dimulai dari membakar kemenyan, menyiapkan minyak yang sering disebut orang minyak kuyang dan sebagainya. Aroma kemenyan menguar diterpa angin yang berhembus lumayan kencang. Peti mati yang tadinya tertutup rapat, seketika saja terbuka dengan sendiriny