Hari semakin sore, semburat senja semakin tampak terlihat di ufuk barat. Kelima saudara Harto membatalkan niat mereka untuk pulang hari ini. Kedatangan Wati seakan membawa angin segar untuk ketujuh bersaudara itu, begitu pula dengan Nana dan dua saudaranya. Bukan karena bahagia di atas penderitaan orang lain. Namun, jika sudah takdir, apa yang mau dikata? Larangan dan nasihat sudah mereka berikan pada Wati. Tapi Wati masih bersikeras ingin mewarisi ilmu itu.
"Mas yakin tidak jadi pulang?" tanya Bani, kala semuanya duduk berkumpul menunggu waktu magrib. "Hem, begitulah Ban. Kita tunggu kabar dari Wati. Kalau cil Saniah mengijinkannya, sia-sia juga kami pulang sekarang. Toh, ujung-ujungnya juga akan kembali lagi. Sudah rugi tenaga, ditambah lagi ongkos," jelas sang kakak. "Benar juga. Tapi, bagaimana kalau Wati tidak memberi kabar lagi? Bisa saja cil Saniah marah, dan melarang Wati ke rumah ini," sahut Bani. "Kalau memang seperti itu ceritanya."Dengan siapa Mas?" tanya seseorang yang tak lain adalah Wati. Bani segera menarik Wati, lalu menutup pintu rumah. Ia dan Agung saling berpandangan, lalu menoleh ke arah peti. Di sana, sosok berkain kafan masih berdiri tegap. "Kalau ibu kamu ada di sana, terus yang di luar siapa Ban?" tanya Agung setengah berbisik. "Entahlah, mungkin iblis," jawab Bani asal. "Ibu? Maksudnya cil Daniah?" tanya Wati yang tidak sengaja mendengarnya. Mendengar suara Wati. Beberapa orang yang ada di ruang tengah, gegas menuju ruang tamu. Tak terkecuali Harto. "Bani, Agung, kenapa kalian masih di sini?" tanya Kakak tertuanya. "Wati, kamu ada di sini?" tanya Harto terkejut melihat kedatangan Wati. Pandangan Wati beralih ke arah Harto dan kakak sepupunya yang lain. Ia terkejut bukan main, tanpa sadar langkahnya tersurut mundur. Bukan karena terkejut melihat kedatangan para kakak sepupunya. Melainkan saat pandangannya bertemu d
Malam semakin larut, proses pewarisan ilmu dari ibu Harto sebentar lagi dilaksanakan. Di belakang rumah, tepatnya di dekat pohon-pohon rimbun yang berjejer tak beraturan Wati dan yang lainnya berada. Nana yang saat itu juga ikut menyaksikan, beberapa kali merasa tak karuan. Apalagi saat ekor matanya melirik ke arah peti di mana jasad ibu mertuanya masih ada di dalamnya. "Kak, kok aku merinding ya? Suara burung kedasih juga tidak henti-hentinya berbunyi," bisik Ahmad, merapatkan posisi berdirinya pada Nana. "Huss! Lebih baik kamu diam saja Mad! kita lihat saja prosesnya!" Balas Nana, juga ikut berbisik. Tiga orang tetua desa, mulai menyiapkan semua perlengkapan yang diperlukan. Dimulai dari membakar kemenyan, menyiapkan minyak yang sering disebut orang minyak kuyang dan sebagainya. Aroma kemenyan menguar diterpa angin yang berhembus lumayan kencang. Peti mati yang tadinya tertutup rapat, seketika saja terbuka dengan sendiriny
Wajah cantik sang ibu yang semasa hidup selalu terlihat awet muda, kini seketika saja berubah keriput bahkan hampir tidak dikenali. Ilmu hitam yang sudah berpindah kepada Wati, membuat semuanya ikut berpindah dan hilang. Tipu daya setan memang sangat dahsyat, ketika seseorang sudah tidak berdaya, maka setan akan pergi mencari wadah baru. Dan, pengikut terdahulunya akan kekal menemaninya di neraka nanti. "Buu... Kenapa jadi begini?" jerit Harto, air mata luruh begitu saja. "Ada apa Har?" tanya Bani dan saudara yang lainnya. "Lihat ibu Mas!" Tunjuk Harto, ia sendiri merasa takut namun pegangan tangan tetap menahan tubuh sang ibu. Keenam saudaranya mengikuti arah telunjuk Harto. Betapa terkejutnya mereka, saat mendapati perubahan yang drastis. "Ya Allah... " Hanya kalimat itu yang mampu keenamnya ucapkan, sembari terus menyebut. "Jangan terlalu lama dipandang! Cepat
Tanpa menunggu lagi, Harto langsung menyambar ponsel di tangan Ahmad, lalu meletakkannya di telinga. "Reina kenapa Kak?" tanya Harto, wajahnya terlihat gusar sekaligus khawatir. Sedang Nana yang tidak tau sejak kapan tertidur di samping Agung, sengaja tidak dibangunkan oleh dua saudaranya. Mereka tidak mau, jika Nana panik dan nekat meminta pulang malam ini juga. "Har, ibu kamu benar-benar sudah meninggal, kan? Maaf aku menanyakan ini. Soalnya tadi habis sholat isya, tetangga bilang ada ibu kamu di depan rumah. Berulang kali aku menghubungi nomor kalian, tapi baru ini yang nyambung," Cerocos Ayu dari seberang telepon. Pupil mata Harto melebar sempurna. "Ibu sudah dimakamkan baru saja Kak. Tidak mungkin ibu ada di sana," sahut Harto, membuat semua mata langsung tertuju padanya. "Apa? Ibu kamu ada di depan rumah, Har?" pekik Agung, tanpa sadar membuat Nana terbangun. "Siapa yang di depan rumah K
Waktu seakan berjalan begitu lamban. Sudah berjam-jam para saudaranya menunggu, namun Harto dan Nana belum kunjung bangun. Tak hanya itu, langit juga masih terlihat terang benderang, seakan sang surya enggan untuk beranjak. "Biasanya pukul segini sudah mulai gelap. Kenapa sekarang menunggu sore saja lama sekali?" gerutu Agung. Ia sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Dua nyawa adiknya terancam karena ilmu sesat yang dianut almarhumah ibu Harto. "Sabar Gung! Bukan cuma kamu saja yang berharap cepat malam, kami juga. Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa mempercepat waktu, kita hanya bisa menunggunya saja," sahut Bani, menatap sendu wajah Harto yang kini mulai terlihat pucat. "Kenapa wajah Harto pucat, Tetua? Nana juga," ucap Marto-- saudara Harto, memperhatikan wajah adik dan iparnya. "Jiwa mereka terlalu lama di alam 'mereka' semoga saja adik kalian bernama Ahmad itu bisa dengan cepat menemukan keberadaan Harto dan istrinya. Kalau sampai lewat tengah malam nanti keduanya belu
Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu. "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!" "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan aku, apa yang harus aku katakan nanti pada saudara yang lain dan putri keci
Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu. "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!" "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan
Tanpa mempedulikan tubuhnya yang dipenuhi luka bekas cakaran, Ahmad terus berlari menarik tangan Nana. Kepalanya terus menoleh ke belakang, takut sosok bernama Mariaban itu datang mengejarnya. "Mad... Aku lelah!" Nafas Nana mulai ngos-ngosan, meminta berhenti. "Tahan sedikit Kak! Kita harus segera keluar dari sini. Kita tidak bisa lama-lama di sini. Kalau sampai adzan subuh kita tidak kembali ke alam kita, maka jasad Kakak akan dikuburkan. Kakak bisa mati!" pekik Ahmad, tanpa mempedulikan rasa lelah Nana, terus berlari mencari keberadaan Harto. Sebelum ia berhasil lepas dari sosok makhluk itu. Sebuah cahaya yang muncul tiba-tiba di telinga kanan Nana, membuat makhluk itu terjungkal, kala ia berniat menggigit leher Nana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ahmad langsung mendekati sang kakak. "Mas Harto, Mad! Itu mas Harto!" ujar Nana, menunjuk ke arah Harto yang kimi tengah disiksa di sudut ruangan. Tak jau