Wajah cantik sang ibu yang semasa hidup selalu terlihat awet muda, kini seketika saja berubah keriput bahkan hampir tidak dikenali. Ilmu hitam yang sudah berpindah kepada Wati, membuat semuanya ikut berpindah dan hilang.
Tipu daya setan memang sangat dahsyat, ketika seseorang sudah tidak berdaya, maka setan akan pergi mencari wadah baru. Dan, pengikut terdahulunya akan kekal menemaninya di neraka nanti. "Buu... Kenapa jadi begini?" jerit Harto, air mata luruh begitu saja. "Ada apa Har?" tanya Bani dan saudara yang lainnya. "Lihat ibu Mas!" Tunjuk Harto, ia sendiri merasa takut namun pegangan tangan tetap menahan tubuh sang ibu. Keenam saudaranya mengikuti arah telunjuk Harto. Betapa terkejutnya mereka, saat mendapati perubahan yang drastis. "Ya Allah... " Hanya kalimat itu yang mampu keenamnya ucapkan, sembari terus menyebut. "Jangan terlalu lama dipandang! CepatTanpa menunggu lagi, Harto langsung menyambar ponsel di tangan Ahmad, lalu meletakkannya di telinga. "Reina kenapa Kak?" tanya Harto, wajahnya terlihat gusar sekaligus khawatir. Sedang Nana yang tidak tau sejak kapan tertidur di samping Agung, sengaja tidak dibangunkan oleh dua saudaranya. Mereka tidak mau, jika Nana panik dan nekat meminta pulang malam ini juga. "Har, ibu kamu benar-benar sudah meninggal, kan? Maaf aku menanyakan ini. Soalnya tadi habis sholat isya, tetangga bilang ada ibu kamu di depan rumah. Berulang kali aku menghubungi nomor kalian, tapi baru ini yang nyambung," Cerocos Ayu dari seberang telepon. Pupil mata Harto melebar sempurna. "Ibu sudah dimakamkan baru saja Kak. Tidak mungkin ibu ada di sana," sahut Harto, membuat semua mata langsung tertuju padanya. "Apa? Ibu kamu ada di depan rumah, Har?" pekik Agung, tanpa sadar membuat Nana terbangun. "Siapa yang di depan rumah K
Waktu seakan berjalan begitu lamban. Sudah berjam-jam para saudaranya menunggu, namun Harto dan Nana belum kunjung bangun. Tak hanya itu, langit juga masih terlihat terang benderang, seakan sang surya enggan untuk beranjak. "Biasanya pukul segini sudah mulai gelap. Kenapa sekarang menunggu sore saja lama sekali?" gerutu Agung. Ia sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Dua nyawa adiknya terancam karena ilmu sesat yang dianut almarhumah ibu Harto. "Sabar Gung! Bukan cuma kamu saja yang berharap cepat malam, kami juga. Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa mempercepat waktu, kita hanya bisa menunggunya saja," sahut Bani, menatap sendu wajah Harto yang kini mulai terlihat pucat. "Kenapa wajah Harto pucat, Tetua? Nana juga," ucap Marto-- saudara Harto, memperhatikan wajah adik dan iparnya. "Jiwa mereka terlalu lama di alam 'mereka' semoga saja adik kalian bernama Ahmad itu bisa dengan cepat menemukan keberadaan Harto dan istrinya. Kalau sampai lewat tengah malam nanti keduanya belu
Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu. "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!" "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan aku, apa yang harus aku katakan nanti pada saudara yang lain dan putri keci
Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu. "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!" "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan
Tanpa mempedulikan tubuhnya yang dipenuhi luka bekas cakaran, Ahmad terus berlari menarik tangan Nana. Kepalanya terus menoleh ke belakang, takut sosok bernama Mariaban itu datang mengejarnya. "Mad... Aku lelah!" Nafas Nana mulai ngos-ngosan, meminta berhenti. "Tahan sedikit Kak! Kita harus segera keluar dari sini. Kita tidak bisa lama-lama di sini. Kalau sampai adzan subuh kita tidak kembali ke alam kita, maka jasad Kakak akan dikuburkan. Kakak bisa mati!" pekik Ahmad, tanpa mempedulikan rasa lelah Nana, terus berlari mencari keberadaan Harto. Sebelum ia berhasil lepas dari sosok makhluk itu. Sebuah cahaya yang muncul tiba-tiba di telinga kanan Nana, membuat makhluk itu terjungkal, kala ia berniat menggigit leher Nana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ahmad langsung mendekati sang kakak. "Mas Harto, Mad! Itu mas Harto!" ujar Nana, menunjuk ke arah Harto yang kimi tengah disiksa di sudut ruangan. Tak jau
Ahmad terbaring tak sadarkan diri di tengah-tengah kebun jagung. Beruntung saat itu, hari sudah mulai terang. Para warga yang sering melalui jalan itu untuk pergi ke ladang atau kebunnya, tidak sengaja menemukan Ahmad. 'Mayat... Mayat... Tolong ada mayat!' Satu teriakan dari seorang warga membuat warga yang lainnya datang ke tengah-tengah kebun jagung. "Di mana mayatnya No?" tanya salah seorang warga. "Itu mayatnya Pak! Sepertinya mati dibunuh," sahut Nono-- warga yang pertama kali menemukan Ahmad. Melihat kerumunan di kebun jagung, empat orang saudara Harto lekas mendekat. "Ada apa ramai-ramai Pak?" tanya Marto, menanyai salah seorang warga. "Itu ada mayat pak Marto!" Mendengar mayat, keempat saudara Harto saling berpandangan, dengan wajah yang menegang. 'Ahmad!' pekik mereka bersamaan, kemudian berlari menerobos kerumunan. "Perm
Tak mau membuang waktu. Setelah semuanya sedikit membaik dan kondisi ketiganya memungkinkan untuk dibawa pergi. Para saudara Harto dan Agung lekas membawa ketiganya ke desa Gandara. Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh dan memakan banyak waktu, begitu pula dengan cobaan yang silih berganti. Namun semua itu tidak menyurutkan tekad mereka untuk tetap pergi. "Itu di sana ada warung, mana ramai lagi. Kita berhenti di sana saja sekalian tanya!" usul Bani. "Warung yang mana sih Ban? Di sana berkabut, aku tidak melihat warungnya," ujar Marto, beberapa kali mengusap kedua matanya. "Masa sih Mas tidak lihat? Itu jelas sekali warungnya! Coba mas lebih dekat lagi, nanti juga kelihatan," ucap Bani. Marto menurut saja. Walaupun merasa tidak yakin dengan kata-kata Bani, tapi ia tetap mengikutinya saja. "Nah, itu warungnya! Ada kan Mas? Gung?" Bani menanyai para saudaranya dan juga Agung.
Kali ini kening busu Anwar yang mengerut bingung. Ia kembali memiringkan kepalanya ke arah belakang rombongan Harto. Masih tampak di depan matanya, seorang berdiri dengan kepala yang menunduk. "Itu ibu kalian, kan?" tanya busu Anwar, menunjuk. "Ibu? Maaf Busu, tapi ibu kami sudah meninggal dunia. Baru beberapa hari lalu dimakamkan," jawab Marto. Kali ini busu Anwar mengerti, siapa sosok wanita paruh baya yang mengikuti rombongan di depannya. Netranya beradu pandang, kala sosok yang menyerupai ibu Harto mendongakkan kepalanya. Seringai mengerikan terpampang jelas, mulutnya melebar hingga batas daun telinga dengan tetesan darah berwarna hitam yang berbau busuk dan anyir. "Astagfirullahaladzim..." lirih busu Anwar, malingkan wajahnya ke arah lain. "Lebih baik kalian semua masuk dulu!" ujar busu Anwar, mempersilahkan tamu-tamunya. Tak mau banyak tanya soal satu sosok yang ikut rombongan mereka. Ma
"Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang. Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da
Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar. "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,
Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang. Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel
"Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?" "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan. "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad. Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu. "Wa-Wati?" Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba. Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam. Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto. Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya
"Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita
Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,
Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.