Share

6. Dia istri orang, lupakan dia!

Taman Pakis Residence

Sejak kembali dari hutan mangrove, Elang termenung sampai sekarang. Meski sudah pagi dia enggan bangun. Leo yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres membangunkan Elang yang masih bermalas-malasan di tempat tidur.

Dengan kejam Leo menarik selimut Elang, "Bangun kau pemalas! Apa kau anggap rumahku hotel?"

"Aku nggak mau bangun. Om pergi saja kalau mau kerja," ucap Elang serak.

"Kau tidak pulang dan tidak memberi kabar. Semalam mamamu terus menerus menanyakanmu."

"Om pergilah aku mau tidur." Galang kembali menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Ck ... dasar bocah. Baru ditolak perempuan sekali saja sudah melempem. Lemah."

Elang seketika bangun menghadap Omnya yang memiliki lidah cabe, "Jangan sok tahu, Om. Siapa bilang aku ditolak?"

"Jadi Gendis menerimamu?" Leo memperhatikan wajah Elang dan kaget melihat dua lingkaran hitam di matanya. "Bocah busuk, kau tidak tidur semalam atau jangan-jangan kamu menangis semalam suntuk?"

Elang menggelengkan kepalanya kemudian menunduk sedih. Dia menghela napas berat,"Om ... orang yang kutemui waktu itu bukan Gendis."

Leo mengangkat sebelah alisnya. Gagal paham dengan maksud Elang.

"Om, ternyata namanya Mayang bukan Gendis."

Leo diam mendengar pengakuan Elang. Sebodoh apa anak ini sampai bisa mengira Mayang adalah Gendis.

"Waktu itu Papa bilang supaya aku bisa dekat dengan Gendis. Papa bilang Gendis sangat cerdas dan tegas sebagai perempuan. Gendis adalah bibit istri masa depan yang baik. Di mata Papa Gendis adalah tipe istri ideal. Makanya Papa mengirimku ke perusahaan Pak Galang."

"Lalu bagaimana bisa kamu salah mengenali Gendis. Jelas mereka sangat berbeda. Sekilas pandang saja bisa terlihat."

"Om! Tidak semua orang sejenius Om. Pertama bertemu Mayang aku kaget Om. Dia sangat menyenangkan, hingga secara spontan otakku berpikir dia adalah Gendis. Padahal dia sama sekali tidak memperkenalkan dirinya."

"Tidak ada harapan. Dia istri orang lupakan dia!"

"Tidak semudah itu, Om. Semakin kuingat senyumnya lalu ingat gosip tentang perlakuan pak Galang maka aku semakin tertekan. Aku sedih untuknya. Om tahu enggak bagaimana kaki Pak Galang lumpuh? Itu karena dia mendapat kecelakaan saat dalam perjalanan bersama selingkuhan nya juga anak haram mereka,” ucap Elang berapi-api. Dia memukuli bantal di tangannya dengan gemas.

"Jangan percaya gosip! Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Om sarankan kamu berhenti mencari informasi apapun tentang keluarga mereka. Cukup sampai di sini, Lang! Lupakan Mayang! Sekarang bangun dan pulang ke rumahmu!"

"Om kejam, tidak punya perasaan ...."

Leo mengabaikan ucapan Elang. Anak itu masih terlalu muda untuk mengerti apa arti cinta. Dia yakin sebentar lagi Elang akan melupakan Mayang dan kembali ceria seperti sebelumnya. Leo sendiri memaklumi kenapa keponakannya itu bisa salah mengenali Mayang. Wanita itu masih muda dan murni, siapapun akan mengira dia masih sendiri, bukan seorang istri yang sudah delapan tahun berumah tangga.

Leo dengan daya ingat yang tajam dapat mengingat setiap detail fitur wajah Mayang. Bahkan semalam dia memimpikan tatapan mata Mayang yang bening, juga bibirnya yang terlihat lembab. Hanya membayangkan wajah Mayang seperti itu saja dia harus dua kali mandi air dingin di tengah malam. Mengingat hal itu dia merasa sangat bodoh.

‘Sepertinya aku sudah terlalu lama sendiri, mungkin nanti malam aku perlu bertemu dengan gadis-gadis.’

***

Selasa pagi di gedung perkantoran, Galang dan timnya sedang menggelar rapat terbatas. Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada kendala berarti dan semua laporan permasalahan dapat dengan mudah diatasi. Intinya semua lancar. Hanya saja, Galang sangat terganggu dengan tatapan Elang.

Seandainya tatapan bisa membunuh maka Galang sudah habis tak bersisa. Jika dulu Elang menatapnya seperti anak anjing yang antusias mengajaknya main. Maka sekarang dia menatapnya seperti anak kucing yang dianiaya dan ingin membalas dendam. Penuh permusuhan.

Galang mencoba mengabaikan Elang. Namun semakin lama ia merasa semakin tidak nyaman. Galang merasa aneh karena sepertinya dia tidak membuat permasalahan dengan Elang. Kecuali dia tidak menanggapi antusiasme Elang setiap bercerita tentang Gendis.

‘Ada apa dengan bocah itu?’ batin Galang semakin tidak nyaman dengan tatapan Elang.

Setelah rapat selesai Wardoyo membawa Galang kembali ke ruangannya. Tidak ada percakapan selama perjalanan kembali seperti biasa. Hanya saja kali ini Wardoyo sangat gatal ingin bertanya pada sang bos.

Dia memperhatikan bagaimana Elang yang seakan ingin mencabik-cabik Galang. Namun dia tidak berani bertanya. Dia takut bosnya akan murka bila dia menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tapi sungguh penasaran bisa membunuh kucing. Dia tidak mau menjadi salah satu kucing yang mati konyol.

Galang memang tidak melihat Wardoyo yang penasaran. Tapi dia bisa merasakan kegelisahan asistennya itu. Wardoyo memang jarang bicara seperti Galang tapi air mukanya sangat mudah terbaca. "Kamu melihat juga ya, Yo? Elang kayaknya dendam sama aku. Mungkin karena Gendis."

"Iya, Pak. Dia kelihatan seperti ingin menelan Pak Galang." balas Wardoyo yang agak kaget bosnya membicarakan Elang. Dia curiga pak Galang punya mata batin yang bisa membaca isi hatinya.

"Aku tidak bisa baca pikiranmu. Wajahmu sudah menunjukan semua isi kepalamu," ucap Galang santai tanpa memandang wajah Wardoyo yang memucat.

Wardoyo semakin yakin bosnya bisa mengetahui isi hatinya. "Pak Galang tahu isi kepala saya?"

"Ya tahulah, Yo! Jangankan kamu, seluruh dunia juga saya tahu."

Wardoyo semakin horor mendengar ucapannya. Dia tidak tahu kalau bosnya ternyata sakti mandraguna. Pantas saja dia selalu tahu apa yang ingin dia utarakan.

"Mikir apa kamu, Yo?"

"Hah, nggak mikir apa-apa, Pak." jawab Wardoyo agak linglung.

"Lugu amat kamu, Yo. Gampang diakali orang nanti."

“Maaf, Pak. Saya kurang paham."

"Lupakan saja!"

Kalau Galang sudah bicara begitu, Wardoyo tidak berani bertanya lagi. Dia paham bosnya tidak suka orang bawel kecuali istrinya, Mayang. Meski Galang tidak merespon dengan positif setiap kali Mayang banyak bicara. Namun dia tidak pernah menghentikan ucapan Mayang.

***

Elang memasuki ruangan Galang membawa setumpuk berkas. Wajahnya mendung dan tidak bersemangat. Galang yang melihatnya cuek, tidak mau repot-repot bertanya dengan perubahan mendadak Elang. Wardoyo yang memperhatikan mereka mulai memiliki pikiran liar. Namun saat mengingat bosnya yang dia anggap sakti pikiran itu dia buang jauh-jauh.

"Ada perintah lain, Pak?" tanya Elang datar.

"Tidak ada, kau bisa keluar," balas Galang sama datarnya.

Elang diam dan memperhatikan Galang yang serius membaca laporan di mejanya. Dia mengepalkan tangannya dengan erat menahan emosi pada orang di depannya.

Galang menghentikan pekerjaannya dan mendongak melihat Elang yang masih terdiam di seberang meja. "Ada apa? Ada sesuatu yang mau kau sampaikan?"

Elang hanya menggelengkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hatinya masih merasa pahit mengingat Mayang adalah suami dari Galang. Orang yang seperti batu di dalam jurang es.

"Kalau tidak ada kau boleh keluar."

"Orang yang waktu itu kutemui di rumah Pak Galang ternyata bukan Gendis,” ucap Elang lirih kemudian kembali menyambung kalimatnya, "Pak Galang seharusnya tahu dari awal, kan?"

Galang seketika membeku mendengar ucapan Elang. Bukan hanya Galang bahkan Wardoyo juga terkejut dengan ucapan Elang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status