"Orang yang waktu itu kutemui di rumah Pak Galang ternyata bukan Gendis," ucap Elang lirih kemudian dia menambahkan, "Pak Galang seharusnya tahu dari awal, kan?" Bukan hanya Galang, Wardoyo yang saat itu masih berada di sana juga ikut terkejut dengan ucapan Elang. "Kenapa Pak Galang diam saja? Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya? Kenapa membiarkan ku salah paham?" Elang mengeluarkan semua kegalauan yang sejak kemarin dia tahan. Galang masih terdiam dan hanya menatap Elang bicara. Dia tahu betul arah pembicaraan Elang. Entah kenapa dia hanya tidak ingin Elang tahu bahwa Elang memang sudah salah paham mengira Mayang adalah Gendis. Galang sendiri tidak mengerti dengan jalan pikirannya. "Jawab, Pak! Kenapa diam saja?" Galang melonggarkan ikatan dasinya kemudian bersandar di kursinya. Netranya menatap wajah Elang meremehkan. "Apa yang kau bicarakan?" "Mau berpura-pura atau bersandiwara terserah saja. Tapi satu hal yang pasti jika Mayang tidak bahagia, aku yang akan membahagiak
"Mayang tidak akan pernah meminta cerai darimu. Kamu tahu itu. Galang, Ibu tidak mengerti jalan pikiranmu. Jika kamu ingin mempertahankan Mayang kenapa tidak bersikap baik padanya? Mayang punya hati dan perasaan, dia manusia Galang, manusia!" Dengan berurai air mata ibunya terus memojokan Galang, "Ya Allah, Gusti ... Galang ... kenapa kamu bisa sekeras batu, Nak. Kamu punya adik perempuan. Bagaimana kalau dia terkena karma karena kekejamanmu? Apa kamu tega Gendis mendapatkan perlakuan seperti yang Mayang dapat dari kamu, Nak?"Galang kali ini terbakar dengan perkataan ibunya. Bukan karena memikirkan Gendis, tapi Mayang yang selama ini dia asingkan. Dia teringat dengan Elang yang dengan terang-terangan ingin mengejar Mayang. Jika dia melepaskan Mayang, dia yakin tidak butuh waktu lama para pria akan mengejarnya. Mayang adalah wanita langka di zaman sekarang. Memikirkan Mayang berjalan dengan lelaki lain membuat Galang menahan sakit yang menggigit di dadanya."Bu ... Galang hanya akan
Elang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana dia bisa lupa tadi berbohong lupa bawa dompet? Sangat memalukan, dia bahkan gagal mengambil hati anak sekecil Anu."Tidak apa-apa, Om. Lain kali saja. Mungkin Om bisa mengajakku ke taman bermain sebagai ganti es krim," ucap Anu."Tentu saja. Bagaimana kalau kita ke Dufan? Atau mau ke taman mini? Atau taman safari juga boleh." Elang bersemangat menanggapi Anu."Tidak perlu, Lang. Jangan mengambil hati ucapan Anu, dia hanya bercanda." "Aku tidak bercanda, hari Sabtu dan Minggu Anu libur, Om. Aku mau ke Dufan.""Oke, deal." Elang menjabat tangan Anu sebagai janji antar pria. Dia sangat bersemangat karena Anu sepertinya tidak keberatan dengan keberadaannya. "Elang jangan anggap serius Anu, lagi pula Ayahnya mungkin tidak akan bisa ikut kalau ke Dufan. Lupakan saja.""Karena orang itu tidak bisa ikut makanya aku mau Om Elang yang mengajakku jalan-jalan.""Pak Galang pasti sibuk. Mbak Mayang, biar aku ajak Anu jalan Minggu besok, ya?"
Suara pintu yang dibuka paksa meggelegar di ruang yang luas. Leo sudah memprediksi kejadian ini. Dengan tepat menghitung setiap detik dan setiap langkah yang diambil sang keponakan."Bersemangat sekali, hm?" sarkas Leo."Tidak perlu basa-basi! Om kali ini kelewatan, ini untuk yang pertama dan terakhir aku gak mau Om Leo mencampuri urusanku yang satu ini!""Wah ... hebat. Sudah besar sekarang, hm? Hanya untuk seorang perempuan kamu berani marah sama Om?""Perempuan itu adalah Mayang, dia adalah calon ibu dari anak-anakku kelak. Siapapun yang mencoba menghalangiku tidak akan aku biarkan," jawab Elang garang."Dia istri orang, Elang. Berhenti bermain-main!""Aku serius, Om! Berhenti memata-mataiku!""Dewasalah Elang! Apa yang kamu lakukan hanya akan mempersulit Mayang.""Gak usah sok tua lah, Om. Om hanya sedikit lebih tua dariku. Nanti saat Om jatuh cinta, Om akan mengerti apa yang aku lakukan sekarang.""Kau bocah, kau bahkan tidak lebih dewasa dari anak umur 7 tahun. Berani sekali men
Setelah seharian beraktivitas, Mayang merebahkan badannya di tempat tidur. Kemarin ibu mertuanya pulang dengan kereta. Hanya saja kali ini beliau pulang sendiri tanpa mau diantar siapapun. Meski merasa tak enak hati Mayang tidak berusaha membujuk ibu mertuanya yang pasti sedang merasa kecewa. Kecewa pada banyak hal yang terjadi di sini.Sejauh ini semua berjalan baik. Mayang yakin sebentar lagi dia bisa menuai apa yang sudah dia tanam. Sesekali egois mungkin sah-sah saja. Bibirnya mengembangkan senyum namun air mata mengalir di pipinya. Dengan sekali usap Mayang menghapus air mata yang mulai menganak sungai. Kamarnya begitu hening, hanya terdengar bunyi detak jam dinding. Sejak mertuanya pulang maka sejak itu pula dia kembali tidur di kamarnya sendiri. Drrtt ... drrtt ....Bunyi getaran ponsel mengalihkan perhatian Mayang. Diraihnya benda pipih di dekatnya. Ada nomor tidak dikenal yang memanggil."Halo, siapa nih?" tanya Mayang jutek.[Halo mbak Mayang. Selamat malam, ini aku Elang.
"Bocah teriak bocah." Suara dingin Galang membuat Gendis terkejut.Gendis memutar tubuhnya yang kaku dan berkeringat dingin mendapati Galang di kursi rodanya berada tepat di pintu dapur. Wardoyo tersenyum kecut melihat Gendis yang menatapnya seolah menyalahkan dia yang tidak memberi kode kedatangan Galang.Galang menatap Gendis menunggu jawabannya. Mayang hanya bisa membatin, "semoga tidak ada perang dingin." Mayang tidak berani bersuara, dia takut akan menambah keruh suasana. Sementara Gendis juga diam terpaku. Meskipun di belakang Gendis mengkritik kakaknya dengan sadis tapi saat berhadapan langsung dengan Galang dia tidak berani bersuara. Hanya tatapan dari Galang saja sudah cukup membuat Gendis merasa tertindas. Sungguh, wajah dingin sang kakak membuat nyali Gendis menciut.Setelah beberapa saat hening tanpa ada yang bicara, Galang akhirnya membuka suara "Mayang, malam ini ada undangan pesta makan malam, mereka ingin aku membawamu.”
Orang itu mendekati Mayang yang saat ini berjongkok menutupi wajahnya."Mayang ...."Mayang seketika terdiam dari tangisnya, dengan wajah berantakan dia melihat orang di depannya. Dia diam mencoba mengingat wajah orang yang melihatnya penuh rasa iba. Dengan punggung tangan dia menyeka sisa-sisa air mata supaya bisa lebih jelas melihat lelaki yang kini ada di hadapannya. Sebuah tanda tanya besar imajiner muncul di atas kepalanya."Ingatanmu buruk sekali. Seperti wajahmu saat ini."Mayang ingin menyangkal tuduhannya tapi tenggorokannya sakit. Hanya tatapan tajam tanda tak suka karena dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun."Sungguh kau tidak mengingatku? Ternyata ada orang yang lebih bodoh dari Elang," ujar Leo memberi clue supaya Mayang mengingatnya.Benar saja, mata Mayang membelalak mendengar ucapannya. Dia segera ingat lelaki aneh yang mengaku sebagai om Elang. "Kamu ...." ucap Mayang ragu-ragu.Leo de
Sikap usil Mayang keluar saat dia melihat Leo yang berdiri diam dengan mata yang terfokus padanya."Terpesona, ya? Hehehehe aku juga tidak menyangka bisa secantik ini,” ucap Mayang sengaja ingin membuat Leo salah tingkah."Siapa bilang? Rambutmu terlalu jelek jadi tidak sesuai untuk acara pesta. Siapa hair stylist-nya? Masuk lagi dan cepat ubah!""No no no. Tidak perlu, aku suka yang ini. Cukup simple dan tidak terlalu rumit. Lagipula aku tidak punya banyak waktu. Dari pada masuk ke dalam dan mengubah gaya rambut, lebih baik aku pulang! Ayo kita pergi sekarang!""Kau menyuruhku?" "Hmm ... tidak, aku ... minta tolong." Mayang memberikan senyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.Leo salah fokus fokus melihat senyum Mayang. Terlalu mempesona untuk ukuran seorang wanita seperti Mayang. Leo hanya bisa membatin dan menyayangkan karena Mayang sudah menjadi istri orang. Leo memijat keningnya yang tidak