Share

Apa mungkin mereka hanya menikah sandiwara?

Mayang mendorong kursi roda sambil sesekali melirik wajah sang suami. Meskipun tenang dan memasang wajah bosan, sangat terlihat kalau suaminya sangat menikmati. Mayang tahu Galang menyukai suasana yang alami. Gengsi yang besar membuat Galang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya saat ini.

"Makan tuh gengsi, kenyang-kenyang, deh," ujar Mayang lirih. Berharap tidak ada yang mendengar.

"Siapa yang gengsi, Mbak?" tanya Gading yang berjalan di samping Mayang.

"Tentu saja old man, siapa lagi?" ucap Anu menimpali.

"Old man? Papahmu?"

"Apa ada yang lebih tua daripada dia?"

Mayang melirik putranya dan memberikan tatapan peringatan. Ucapan Anu terlalu frontal untuk anak seusianya. Dia tidak mau Anu bersikap tidak sopan pada ayahnya terlepas bagaimanapun sikap Galang pada putranya.

"Gading, jangan dengarkan ucapan Anu! Dia hanya masih kesal ayahnya tidak membelikan mainan." Mayang tersenyum tipis, "Anu jaga ucapanmu, Sayang!"

"Pft ... mas Galang kayaknya memang cocok dipanggil old man. Ha ha ha .... "

Galang yang menjadi objek pembicaraan diam tanpa ingin membalas kata-kata mereka. Dia tidak terlalu memusingkan olok-olok adik dan anaknya.

Gading memang humoris, beda dengan dirinya dan Gendis yang kaku. Beruntung Gendis dan ibunya berjalan di depan dan tidak mendengar candaan mereka. Atau semua akan berakhir dengan khotbah panjang dari ibunya. Dan bisa dipastikan, Anu akan dimarahi habis-habisan.

"Nu, kayaknya kamu juga pantas dipanggil old man. Kamu tahu enggak kalau tingkahmu mirip kayak kakek-kakek? Ha ha ha ... ayah dan anak sama saja," ucap Gading.

Mayang yang tidak terima anaknya dinistakan menginjak kaki Gading, "bocah nakal berani sekali kamu mengatakan Anu kakek-kakek! Tidak lihat ada ibunya di sini? Siapa bilang Anu kayak kakek-kakek, dia terlihat seperti tuan muda, chaebol. Iya kan, Sayang?"

"Cebol? Ya … untuk sekarang Anu memang terlihat cebol."

"Ck, chaebol bukan cebol! Anak ganteng begini dibilang cebol, yang benar saja!"

Anu memutar kedua bola matanya bosan. Ibunya selalu saja melebih-lebihkan dirinya. Tapi dia cukup senang dalam hati. Hanya ibunya seorang yang bisa membuat dia merasa nyaman. Dan mungkin hanya ibunya juga yang bahagia dengan keberadaannya di dunia.

"Berisik!" Galang yang dari tadi diam angkat bicara.

Suasana langsung senyap, tidak ada lagi gurauan dari Gading, Mayang ataupun Anu. Itu artinya Galang tidak suka topik ini dan mereka secara spontan terdiam.

Anu menarik tangan ibunya berharap dia bisa berjalan berdua saja tanpa ayahnya, "Mah, biarkan om Gading yang mendorongnya."

"Sayang ... gimana kalau kamu saja yang dorong?" usul Mayang sambil menarik turunkan alisnya menggoda Anu. Dia tahu Anu tidak akan mau berdekatan dengan Galang.

"Aku mau saja, tapi .... " Anu melirik ayahnya. Dia ingin sekali mendorong kursi roda ayahnya. Tapi dia yakin ayahnya tidak akan mau. "Tapi tidak sekarang."

Anu melangkah mendahului ibunya. Gading yang melihat sikap Anu ikut prihatin. Kadang Gading merasa sikap kakaknya terlalu berlebihan. Anu hanya anak kecil yang tidak bersalah. Apalagi dengan sikap ibunya yang terang-terangan membenci Anu.

Gading berlari mengejar Anu, mengagetkannya dengan mengangkatnya ke pundak.

"Pak tua kecil, hari ini aku akan menjadi om yang baik hati."

"Turunkan aku!"

"Ayo kita terbang ... menuju tak terbatas dan melampauinya ...."

Mayang terkikik geli melihat perjuangan Anu melepaskan diri dari Gading. Dia bersyukur masih ada orang seperti Gading yang peduli pada Anu.

"Mau sampai kapan kita diam di sini? Seharusnya aku bersikeras tetap mempekerjakan Wardoyo hari ini," gerutu Galang.

"Anak kita sudah besar, Mas. Kamu gak pengen ngasih dia adek?"

"Omong kosong!"

"Pfft ... Mas Galang, telingamu merah,” goda Mayang.

Semakin Galang salah tingkah maka Mayang semakin tertantang menggoda sang suami lebih jauh. Dia menikmati momen saat suaminya menjadi garang untuk menutupi rasa gengsinya.

Galang menjalankan kursi rodanya tanpa menunggu Mayang. Istrinya terlalu konyol dan aneh. Mungkin karena itulah Mayang bisa menghadapinya selama ini.

Mereka berenam menikmati indahnya hutan mangrove. Berinteraksi dengan monyet-monyet liar. Mengunjungi tempat perkemahan. Berkeliling dengan perahu mengitari hutan dan melihat satwa liar yang berada di sekitar danau. Pemandangan yang cantik dan udara yang bersih sangat cocok untuk refreshing menghilangkan penat dan kesibukan.

"Lain kali Ibu mau datang ke sini lagi. Makanannya juga lumayan enak dan pelayananya ramah."

"Lain kali Mayang akan ajak ibu ke pulau Untung Jawa. Bagus banget, Bu. Nanti Ibu bisa snorkeling di sana. Airnya jernih banget, Bu."

"Ibu mana bisa snorkeling, Mbak?" tukas Gendis.

"Ya ... kan Ibu bisa berburu kuliner laut. Semuanya fresh, Bu. Ibu bisa pilih sendiri ikan yang mau di masak."

"Kalau sudah selesai makan kita pulang!" perintah Galang.

"Buru-buru amat, Mas. Santai dululah, capek nih," Gading menimpali.

Mereka duduk dan ngobrol dengan ceria, kecuali Galang dan Anu yang menikmati makanan dengan tenang. Tanpa mereka sadari ada dua sosok yang terus memperhatikan mereka. Menanti kesempatan untuk mendekati mereka.

Kesempatan itu akhirnya datang saat Gendis dan Mayang pergi berdua ke toilet. Elang yang tidak ingin ketahuan Galang membuntuti acara liburan mereka tidak berani menghampiri Gendis.

"Aku pasti sudah gila. Kenapa aku mau melakukan hal bodoh ini denganmu?" ujar Leo sambil melotot pada Elang.

"Itu karena Om orang baik. Om nanti tolong bawa istri pak Galang pergi sebentar biar aku bisa ngobrol sebentar ... saja sama kak Gendis. OK?"

"Tsk ... ini untuk yang pertama dan terakhir kali."

"Deal, aku janji, Om. Nanti kalau Om punya gebetan aku pasti bantuin sampai dapat, Om."

Leo menghampiri Mayang dan Gendis yang akan kembali dari toilet. Sementara itu Elang bersembunyi menunggu Gendis sendiri. Sekali lagi Elang kagum dengan omnya. Entah cara apa yang digunakan hingga istri Pak Galang dengan mudah pergi mengikutinya.

Tanpa menunggu lebih lama dia mendekati Gendis, "Kak Gendis."

"Ya?"

"Eh maaf aku pikir tadi Kak Gendis."

"Memang aku Gendis. Kamu siapa?"

"Hah?!"

"Aku Gendis, kamu siapa dan mau apa? Kenapa bisa tahu namaku?"

"Bukan, ah. Kamu bukan Gendis yang aku cari. Maaf aku salah orang. Aku pikir tadi Gendis adiknya pak Galang."

"Aku Gendis dan aku juga adeknya mas Galang!"

Rahang Elang terjatuh karena terkejut. "Hah?! Kalau kamu Gendis, terus yang tempo hari ketemu di rumah pak Galang siapa donk?"

Melihat tampang bodoh lelaki di depannya Gendis merasa terhibur. Dia yakin orang yang ditemuinya pasti Mayang. Apa mungkin Mayang mengerjai pria ini dengan menggunakan namanya?

"Kamu pasti ketemu mbak Mayang. Terus kenapa kamu nyariin dia? Naksir ya kamu ama Mbak Mayang? Mending ga usah ngarep deh, dia udah punya suami. Dan suaminya adalah mas Galang, kakakku."

Gendis pergi meninggalkan Elang yang mematung. Elang sangat shock dengan kenyataan yang dia terima. Bukan hanya bingung tapi juga sedih. Kisah cintanya bahkan belum dimulai dan dia sudah patah hati.

Di sisi lain, Leo dan Mayang berjalan bersama menuju tempat makan. Dalam perjalanan, Mayang merasa Leo menatap lekat padanya. Mayang merasa sangat risih dengan tatapan Leo yang terlalu jelas.

"Maaf sebelumnya, aku akan kembali sendiri saja. Kita berpisah di sini saja."

"Kenapa? Sebentar lagi juga sampai, aku dan keponakanku juga makan di sana."

"Tidak apa-apa, toh kita juga tidak saling kenal. Kalau keponakanmu mau bertemu Gendis, lain kali datang saja langsung. Tidak perlu menyelinap begini. Lagipula mas Galang juga gak galak-galak amat, kok."

"Keponakanku terlalu polos. Dia sudah berusaha bicara baik-baik dengan suamimu, tapi sepertinya dia tidak senang dengan keponakanku."

"Aku ikut sedih tapi maaf it bukan urusanku. Lagi pula kalau memang dia laki-laki seharusnya dia lebih berani. Mas Galang protektif pada adeknya adalah hal yang wajar. Permisi saya jalan duluan."

Tanpa menunggu jawaban Leo, Mayang melangkah dengan cepat meninggalkan Leo. Dia takut berdekatan dengan Leo lebih lama. Leo sendiri merasakan ketidaknyamanan Mayang. Wanita itu bahkan tidak berani menatapnya saat bicara dengannya.

'Delapan tahun menikah tapi bicara dengan laki-laki saja masih gemetar. Apa yang dia lakukan dengan suaminya selama bertahun-tahun? Sekali lihat saja aku bisa tahu kalau dia bahkan belum tersentuh sama sekali,' batin Leo.

Semakin Leo memperhatikan Mayang semakin dia penasaran. Hingga tanpa sadar dia terus menatap Mayang untuk menyelidikinya di setiap detail.

Mulai dari wajah, rambut, dahi, hidung, mata sampai ke setiap helai bulu matanya. Dan bibirnya yang dia yakini juga masih perawan.

‘Shit!’ umpat Leo dalam hati. Ada rasa kesal dan marah yang tidak dia tahu dari mana asalnya.

Leo adalah seorang observator yang handal. Dia bisa menebak secara kasar hanya dengan melihat sekilas.

"Apa mungkin mereka hanya menikah sandiwara? Tapi sampai delapan tahun? Brengsek sekali Galang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status