Share

Kamu belum pantas memikirkan wanita

Taman Pakis Residences

Elang menguap dan merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Dengan malas dia menumpuk kedua kakinya di atas meja. Jari tangannya sibuk mengelus layar gawai.

"Om Leo, aku galau berat. Pak Galang sepertinya tidak menyukaiku. Kalau begini terus, sepertinya perjuanganku mendapatkan Gendis akan berat." Elang menghela nafas.

Leo yang mendengar ucapan Elang hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Keponakanya yang dulu masih kecil sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Meski begitu Leo masih menganggapnya anak kecil.

"Hei bocah, pipis saja belum lurus sudah ngomongin cinta-cintaan."

"Om selalu ngeremehin aku. Sebentar lagi Papa akan menjadikan aku manager di perusahaan pusat. Aku pasti akan bisa membuat Gendis jadi wanita paling bahagia di dunia. Oh, ya Tuhan ... Om setiap kali mengingat senyumnya rasanya dada ini akan meledak."

"Meledak? Apa senyum Gendis mengandung bom?"

"Ah elah, Om. Meledak-ledak gitu, Om. Kayak ada ribuan kembang api yang bikin jantungku rasanya pengin kayang gaya bebas."

"Kendalikan dirimu bocah! Secantik apa dia sampai membuatmu gila? Lagipula kamu tidak bisa puas hanya dengan menjadi manager, terlebih itu bukan jabatan yang kamu raih dengan usaha. Hanya pemberian orang tuamu. Apa hebatnya?"

"Om, Gendis bukan hanya cantik tapi lebih dari itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kecantikannya. Lihat dia senyum rasanya adem banget, Om. Nyes, gitu. Kayak ada angin yang meniup hati, semriwing."

"Tadi kamu bilang senyumnya bikin meledak, terus sekarang bikin semriwing. Jadi yang mana yang benar?"

"Dua-duanya, Om. Sayangnya Pak Galang terlalu protektif sama adeknya. Masa minta kontaknya Gendis aja gak dikasih. Setiap kali aku menanyakan tentang Gendis, matanya pasti akan melotot dan wajahnya menghitam kayak pantat panci. Gak masuk akal, kayak aku lagi ngomongin istrinya aja. Lagian nih, Om. Papah juga tidak menjadikan aku manager begitu aja, aku harus lulus dari penilaian Pak Galang."

Leo menatap Elang dengan penuh tanda tanya di atas kepalanya. Leo tahu ayah Elang yang adalah kakaknya itu memang sangat eksentrik. Namun dia tidak mengerti kenapa Elang harus belajar dari orang asing.

"Gak usah masang tampang konyol gitu, Om. Tambah jelek mukamu. Papah sangat kagum sama Pak Galang makanya dia ingin aku belajar darinya. Perusahaanya kecil tapi cukup stabil. Meski dia cacat tapi masih bisa handle perusahaan. Semangat kerjanya aku acungi jempol tapi sayang, orangnya terlalu dingin. Beda banget sama adeknya, sudah seperti api sama es."

"Om jadi penasaran seperti apa Galang sampai bisa membuat Papamu terkagum-kagum."

"Yang pasti jangan macam-macam sama dia, Om. Papah pasti bakal tahu dan mengira aku yang nyuruh Om. Lagian aku mau pedekate sama adeknya. Jadi, Om jangan berbuat yang aneh-aneh!"

"Hei, ayolah. Om cuma penasaran dengan Galang dan adeknya. Mereka pasti luar biasa karena bisa membuat kakak dan ponakan Om terkagum-kagum."

"Memangnya Elang anak kemarin sore? Aku hapal betul kelakuan Om. Mungkin habis ini Om bakal searching info Pak Galang sama Gendis. Setelah itu mulai mengerjai mereka. Tapi aku ingatkan Om, untuk kali ini tolong jangan bar-bar dan jangan ikut campur! Aku serius, Om. Pokoknya jangan sampai Om menyentuh mereka." Elang memasang wajah serius.

Untuk pertama kalinya Leo melihat Elang bersikap begitu dewasa. Anak yang biasanya usil dan kekanak-kanakan kini tampil layaknya pria sejati.

"Kamu bilang gitu Om jadi makin penasaran."

"Om ... Elang serius Om .... "

"Ya ... Om bisa lihat, kok "

Seperti apa yang dipikirkan Elang. Leo benar-benar mencari informasi tentang Galang dan adiknya. Semua informasi secara detail dia baca. Dan untuk Gendis, dia harus mengakui dia cukup cantik. Prestasi akademiknya juga memuaskan. Pekerjaannya saat ini juga lumayan. Profilnya bisa dianggap cukup untuk bisa masuk ke keluarga Wardhana.

Tapi masalahnya adalah Gendis yang dimaksud Elang bukan Gendis yang diselidiki oleh Leo.

***

Di tempat lain Gendis bersin-bersin, "Perasaan cuaca hari ini sangat panas kenapa aku seperti terkena flu?"

***

Minggu pagi di kediaman keluarga Galang.

Karena hari ini semua libur dan ada ibu, mereka berencana pergi berlibur. Wisata hutan mangrove dipilih karena lokasi yang dekat dan ramah untuk pengguna kursi roda.

Wardoyo yang bertugas membantu Galang hari ini diliburkan. Wardoyo bertugas full time tanpa hari libur. Atas perintah kanjeng ibu, Wardoyo hari ini dibebastugaskan. Kedatangan kanjeng Ibu selalu menjadi anugerah tersendiri bagi Wardoyo.

"Ada Mayang yang akan merawat kamu. Biarkan Wardoyo istirahat! Kasihan dia gak pernah libur, pasti capek."

Titah ibu hukumnya wajib. Jadi suka atau tidak suka, Galang tak kuasa menolak. Mayang paham sekali dengan karakter ibu mertuanya. Keras di luar tapi garing dan lembut di dalam seperti permen Golia. Awalnya pedas dan keras tapi dalamnya coklat leleh yang nikmat.

Dengan satu mobil mereka berangkat pagi-pagi. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di lokasi. Belum banyak pengunjung yang datang. Mereka adalah pengunjung dengan mobil kedua yang datang.

Sebelum mereka datang, sudah ada satu mobil hitam mewah yang sangat mencolok di lapangan parkir. Pemiliknya masih duduk di dalam mobil, memperhatikan kedatangan rombongan keluarga Galang.

"Om memang keren. Selalu bisa diandalkan untuk mencari informasi. Tapi, Om. Bagaimana Om bisa tahu mereka akan kemari?"

"Gunakan otakmu, jangan cuma dijadikan hiasan!" ucap Leo pamer sambil menempelkan jari telunjuknya di pelipis.

"Lain kali aku tidak akan meminta bantuanmu. Lebih baik aku membayar mata-mata. Lebih efektif, efisien dan pastinya tanpa beban," gerutu Elang.

"Bocah tidak tahu terima kasih!"

"Terima kasih, Om!!!"

Leo tertawa geli melihat keponakannya yang cemberut setelah mengucapkan terima kasih yang tidak tulus.

Semalam, Elang yang sangat ingin bertemu Gendis meminta bantuan Leo. Dan akhirnya sampailah mereka di sini, pura-pura bertemu secara kebetulan di lokasi wisata.

"Om nunduk, Om! Nanti mereka bisa lihat. Pak Galang intuisinya tajam, nanti dia tahu kita sengaja ngikutin mereka ke sini."

"Omong kosong, jangan samakan mobilmu dengan milikku!"

"Ya, ampun Om. Aku lupa, habisnya deg-degan lihat Gendis. Lihat, Om! Manis sekali, kan? Pakai kaos putih jadi seperti anak SMA. Polos-polos nggemesin. RIP jantungku." Elang memegangi dada kirinya dan bersandar ke sandaran jok mobil. Senyumnya merekah. Bisa melihat Gendis membuatnya berbunga-bunga.

"Lihat, dia bahkan mendorong kursi roda kakaknya. Sungguh berbakti. Nanti kalau dia sudah jadi istri pasti akan sangat berbakti padaku. Om tau, gak? Dia sampai memohon padaku supaya aku betah kerja sama kakaknya. Dia bahkan menyuapku pake kue. Pfft ... imut banget, kan?"

"Hmm ... kenapa kamu cerewet sekali. Aku tidak yakin kamu anak kakakku. Jangan-jangan tertukar waktu di rumah sakit."

Leo menatap ke arah Galang dan keluarganya. Fokusnya teralihkan saat melihat anak paling kecil dalam rombongan itu. "Anak kecil itu kenapa tenang sekali? Sikapnya lebih mirip kakek-kakek daripada anak kecil, tidak normal!"

"Oh ... itu anak Pak Galang. Dia memang pendiam, gosipnya dia lumayan jenius. Sayang dia hanya mendapatkan pendidikan biasa. Jika lebih diasah mungkin umur 10 tahun dia bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi."

Leo kembali memandangi anak kecil yang mulai menjauh. Bahkan dari jauh dia bisa melihat fitur wajah anak kecil itu. Sama sekali tidak ada kemiripan dengan Galang ataupun istrinya. Bahkan dari warna kulit, anak itu tidak mirip kedua orang tuanya.

Anak kecil itu berkulit putih bersih, hanya sedikit sinar matahari akan membuat kulitnya terlihat merah. Hanya sekilas bisa terlihat anak itu memiliki darah campuran. Apalagi jika melihat hidungnya yang tingkat kemancungannya berlebih. Leo terbiasa hidup teliti dan waspada. Tidak heran dia menilai anak itu secara detail.

"Anak pungut," gumam Leo menyimpulkan pengamatannya.

"Mungkin. Gosip yang kudengar pak Galang sangat dingin pada anaknya. Dia tidak pernah merayakan ulang tahun anaknya. Bahkan katanya tidak pernah bercanda dengan anaknya. Biadab! Tega sekali dia pada anak sekecil itu."

"Apa yang kamu lakukan di kantor hanya bergosip? Apa kamu bahkan masih laki-laki?"

Elang seketika terdiam. Dia tahu dia salah berbicara hal ini dengan Omnya. Leo adalah tipe orang yang bertindak berdasarkan rasionalitas. Tidak suka membicarakan pribadi orang lain apalagi keburukannya.

Elang sebenarnya juga sama, hanya saja kali ini dia kehilangan sedikit rasionalitasnya. Dia begitu menggebu-gebu mencari informasi tentang Gendis di kantor tempatnya bekerja hingga mengorek semua informasi yang berkaitan dengan keluarga Gendis. Namun dia malah mendapat gosip keluarga Galang yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan kantor.

"Jangan menjadi pemakan bangkai! Kau punya sumber daya, gunakan itu jika ingin mendapatkan informasi. Bukan bergosip."

"Maaf, Om, aku khilaf."

Leo mengabaikan ucapan Elang yang masih merasa bersalah. IQ anak ini terjun bebas saat jatuh cinta.

"Kamu belum pantas memikirkan wanita! Kita pulang saja!"

"Yah … Om, jangan donk. Aku janji enggak akan begitu lagi."

Leo memutar bola matanya bosan, dia akan menghukum Elang sedikit agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status