Anu bingung apakah harus salim atau pura-pura tidak melihat sang nenek. Dia sadar neneknya tidak suka padanya dan biasanya menolak bila dia ingin salim.
Benar saja, neneknya melengos pergi saat Anu mengulurkan tangan untuk salim. Mayang yang melihat kejadian itu kembali harus merasakan nyeri di ulu hatinya. "Anak mama sudah pulang, sini sayang dulu," ucap Mayang. Dia mengambil tangan Anu yang masih terulur. Mayang memeluk dan mencium anak kesayangannya itu meski sambil menahan air mata agar tidak terjatuh. "Mah..." Anu memanggil lirih ibunya. "Mamah nangis, ya?" "Hah siapa yang nangis? Mamah?" Anu menatap wajah ibu tersayangnya. Anu yakin ibunya tidak akan mengakui kesedihannya. Akan ada ribuan alasan yang diucapkan ibunya. Anu tidak peduli jika ayahnya tidak menerimanya. Anu tidak masalah jika neneknya mengabaikannya. Selama ada sang ibu yang selalu ada disisinya itu sudah cukup. "Pak tua itu bikin Mamah sedih?" "Nu...berapa kali mamah bilang jangan panggil papah pak tua. Dia papahmu sayang. Kamu wajib menghormatinya." "Pak tua itu tidak mau menjadi papahku." "Nu..." "Nu paham Mah. Nu akan tetap menghormati dia. Tapi Mamah jangan paksa Nu panggil dia Papah." "Nu..." "Nu sayang sama Mamah, tapi Nu akan marah kalau Mamah terus paksa Nu mendekati Papah." Mayang memeluk Anu dengan erat. Apa benar usianya tujuh tahun? Apa yang bisa dipikirkan anak usia tujuh tahun? "Nu...Papah sangat sayang sama Nu. Beri papah waktu ya sayang. Kamu sabar dulu, suatu saat nanti Papah akan mengungkapkan rasa sayangnya sama Nu." "Nu tahu, Mah. Anu bukan anak kandung Papah kan?" Mayang tidak terkejut dengan kata-kata Anu. Cepat atau lambat Anu pasti akan menanyakan hal ini. Sikap ayah dan neneknya terlalu terlihat jelas. "Nu..." "Gak masalah, Mah. Anu gak sedih. Selama Mamah adalah Mamah kandungku semua baik-baik saja. Suatu hari nanti Anu akan bikin Mamah bangga. Nu akan jadi orang sukses dan akan bawa Mamah pergi dari sini." Hati Mayang berdebar mendengar ucapan Anu. Dia tak sanggup membayangkan hancurnya hati Anu jika suatu saat nanti mengetahui bahwa dia bukan ibu kandungnya. "Nu dengar kata Mamah sayang. Mamah dan Papah sangat menyayangi Anu. Anu mungkin merasa Papah gak sayang Anu, tapi sejatinya Papah sangat sayang Anu. Hanya saja Papah saat ini sedang sakit. Jadi Papah gak bisa dekat-dekat Anu dulu. Papah gak mau terjadi sesuatu sama Anu. Lagian mamah juga bukan nangis karena Papah. Mamah nangis abis nonton drakor. Adegannya terlalu menyedihkan. Mamah gak kuat lihatnya.". "Oh iya lupa. Tadi tante Gendis ngajak kita jalan-jalan ke supermarket. Tante mau belanja buat oleh-oleh nenek nanti kalau mau pulang. Kamu ganti baju gih buruan!"ucap Mayang sembari mengusap air mata yang hampir jatuh. Secengeng itulah Mayang. Air matanya gampang sekali jatuh. Namun setiap kali ia mampu menyembunyikan air matanya. *** Asam di gunung garam di lautan bertemu di penggorengan. Sama seperti Mayang dan Elang yang tidak sengaja bertemu di swalayan. Sebenarnya hanya Elang yang melihat Mayang sedangkan Mayang sibuk dengan belanjaannya. Elang berteriak memanggil dengan antusias tapi Mayang sama sekali tidak menanggapi. Terang saja Mayang diam saja karena Elang memanggil dia Gendis. "Kak Gendis... Kak," teriak Elang girang. Karena tidak juga mendapat tanggapan dia akan mendekati Mayang karena posisinya agak jauh. Namun sebelum dia melangkah dia sudah ditarik oleh seseorang. "Mau kemana kamu? Kebiasaan, gak bisa banget lihat yang bening dikit." "Eh Om Leo, bentar doang Om. Jarang-jarang Elang punya kesempatan ketemu nona peri?" "Julukan apa lagi itu?" "Julukan buat calon pacar, orangnya imut, lincah kaya Tinkerbell." "Sadis juga kamu sekarang. Om sendiri baru pulang dari luar negeri dikacangin cuma buat calon pacar? Fine kamu Om coret dari daftar kartu keluarga." "Dih Om lebay. Kalau aku dicoret Om gak punya ponakan yang unyu-unyu lagi. Yang bisa menangkis serangan wanita-wanita pengejar om-om kualitas super." "Jeez!" Hanya sesaat Elang ngobrol dengan Leo, adik ayahnya yang usianya hanya terpaut beberapa tahun tapi dia langsung kehilangan jejak Mayang. Daripada om dan ponakan, Elang dan Leo lebih terlihat seperti kakak adik. Selain jarak usia yang tidak begitu jauh mereka juga terlihat sangat akrab dan cocok. Di tempat lain Gendis yang sejak tadi mendengar namanya dipanggil tanpa bisa melihat siapa yang memanggilnya mulai merasa parno. Tengok kanan dan kiri tapi tak melihat orang yang sekiranya dia kenal. Karena takut, dia menggamit tangan Mayang dan buru-buru mengajaknya pulang. *** Setiap kali ibu Galang berkunjung maka Mayang dan Galang akan berakting seperti pasangan normal. Bertingkah laku layaknya suami istri yang lain termasuk tidur satu kamar. Meski berada satu ruangan mereka tetap tidur terpisah. Bukan kehendak Mayang tapi Galang. Dia tidak mau berada di sisi Mayang dalam jarak kurang dari satu meter. Galang memandangi wajah polos istrinya yang terlelap. Dari sofa tempatnya berbaring dia bisa melihat istri kecilnya yang rupawan. Bertambah usianya semakin cantik wajahnya. Kecantikan yang anggun disertai sikap dewasa dan tak ketinggalan cerianya. Wajar saja Elang yang jauh lebih muda terpesona olehnya. Berbeda sekali dengan dirinya sendiri yang terlihat kuyu dan rapuh. Terlebih dengan kedua kakinya yang sudah tidak berfungsi. Berdampingan dengan Mayang tidak akan ada yang menyangka mereka adalah pasangan suami istri. Galang selalu berpikir ini adalah karma yang ia tuai karena menyakiti hati Mayang yang dulu masih naif. Galang mengangkat tangannya dan mengarahkan jari-jarinya ke wajah Mayang. Memposisikannya seolah ia membelai wajah Mayang. Siapa sangka saat itu Mayang membuka matanya. "Loh, Mas Galang bangun? Haus? Mau Mayang ambilkan minum?" Galang tersentak ketika Mayang tiba-tiba bangun. Detak jantungnya berpacu dengan cepat seolah seribu kuda berlarian di dalam jantungnya. "Kenapa ... Mas mimpi buruk? Mayang ambilkan minum dulu, ya?" "Tidak usah," ucap Galang ketus dan berbalik memunggungi Mayang. "Mas Galang tadi gak lagi mengagumi wajahku kan?" Galang berbalik lagi menatap sinis Mayang. Dari tatapan matanya Mayang seakan bisa mendengar Galang bicara,"heh pede banget kamu. Memangnya kamu pikir kamu ini cantik apa? Ngaca!" "Kagum juga gak apa-apa, Mas. Istrimu emang nggemesin. Kalau jemput Anu aja suka banyak yang ngira aku kakaknya. Awalnya ibu-ibu di sekolah gak ada yang percaya aku ibunya, mereka ngotot kalau aku ini kakaknya Anu." "Memang kamu bukan ibunya," ucap Galang datar. Skak mat! Mayang seketika mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia sudah hapal betul tabiat suaminya. Seharusnya dia tidak mengajak suaminya bercanda karena pasti akan berakhir derita. Galang sadar ucapannya pasti melukai istrinya tapi dia tidak menyesal mengatakannya. Istrinya terlalu baik untuk menjadi ibu dari anak seorang penghianat. Suasana kamar yang awalnya sunyi berubah semakin mencekam. Mayang menggigit bibirnya mencoba menahan bulir bening yang mengancam akan tumpah. "Mas ... tolong jangan ucapkan hal seperti ini lagi. Aku gak mau kalau nanti Anu sampai tahu. Aku mohon ini kali terakhir Mas mengucapkan hal ini!" Galang tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia kembali membalikan wajahnya menghadap sandaran sofa, memunggungi Mayang dan bersikap seolah tak terjadi pembicaraan apapun. Mayang kembali tidur, menutupi dirinya dengan selimut dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Dia menumpahkan air mata yang sejak tadi ia tahan. Perempuan itu menangis menumpahkan semua yang ia pendam tanpa suara. Hanya bulir-bulir air mata yang terus membanjiri pipinya. Rasanya sungguh menyakitkan menangis diam-diam seperti ini. 'Aku tahu aku bukan ibunya, tapi bisa ga sih ga perlu membahas hal itu lagi dan lagi?' Di sisi lain Galang memejamkan matanya namun tidak bisa tertidur. Alisnya berkerut dalam menandakan beban pikiran yang berat. Jika menangis tanpa suara sudah sangat menyiksa maka menangis tanpa air mata jauh lebih menyayat jiwa. Tidak bisa mengeluarkan emosi yang dirasakan membuat Galang teramat putus asa. Istri kecilnya ... apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin menyakitinya dengan terus mempertahankannya. Namun dia belum bisa untuk melepaskan Mayang. Dia belum bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa.Taman Pakis ResidencesElang menguap dan merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Dengan malas dia menumpuk kedua kakinya di atas meja. Jari tangannya sibuk mengelus layar gawai."Om Leo, aku galau berat. Pak Galang sepertinya tidak menyukaiku. Kalau begini terus, sepertinya perjuanganku mendapatkan Gendis akan berat." Elang menghela nafas.Leo yang mendengar ucapan Elang hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Keponakanya yang dulu masih kecil sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Meski begitu Leo masih menganggapnya anak kecil."Hei bocah, pipis saja belum lurus sudah ngomongin cinta-cintaan.""Om selalu ngeremehin aku. Sebentar lagi Papa akan menjadikan aku manager di perusahaan pusat. Aku pasti akan bisa membuat Gendis jadi wanita paling bahagia di dunia. Oh, ya Tuhan ... Om setiap kali mengingat senyumnya rasanya dada ini akan meledak.""Meledak? Apa senyum Gendis mengandung bom?""Ah elah, Om. Meledak-ledak gitu, Om. Kayak ada ribuan kembang api yang bikin jantungku rasanya p
Mayang mendorong kursi roda sambil sesekali melirik wajah sang suami. Meskipun tenang dan memasang wajah bosan, sangat terlihat kalau suaminya sangat menikmati. Mayang tahu Galang menyukai suasana yang alami. Gengsi yang besar membuat Galang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya saat ini."Makan tuh gengsi, kenyang-kenyang, deh," ujar Mayang lirih. Berharap tidak ada yang mendengar."Siapa yang gengsi, Mbak?" tanya Gading yang berjalan di samping Mayang."Tentu saja old man, siapa lagi?" ucap Anu menimpali."Old man? Papahmu?""Apa ada yang lebih tua daripada dia?"Mayang melirik putranya dan memberikan tatapan peringatan. Ucapan Anu terlalu frontal untuk anak seusianya. Dia tidak mau Anu bersikap tidak sopan pada ayahnya terlepas bagaimanapun sikap Galang pada putranya."Gading, jangan dengarkan ucapan Anu! Dia hanya masih kesal ayahnya tidak membelikan mainan." Mayang tersenyum tipis, "Anu jaga ucapanmu, Sayang!""Pft ... mas Galang kayaknya memang cocok dipanggil old man. Ha ha h
Taman Pakis ResidenceSejak kembali dari hutan mangrove, Elang termenung sampai sekarang. Meski sudah pagi dia enggan bangun. Leo yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres membangunkan Elang yang masih bermalas-malasan di tempat tidur.Dengan kejam Leo menarik selimut Elang, "Bangun kau pemalas! Apa kau anggap rumahku hotel?""Aku nggak mau bangun. Om pergi saja kalau mau kerja," ucap Elang serak."Kau tidak pulang dan tidak memberi kabar. Semalam mamamu terus menerus menanyakanmu.""Om pergilah aku mau tidur." Galang kembali menarik selimut menutupi tubuhnya."Ck ... dasar bocah. Baru ditolak perempuan sekali saja sudah melempem. Lemah."Elang seketika bangun menghadap Omnya yang memiliki lidah cabe, "Jangan sok tahu, Om. Siapa bilang aku ditolak?""Jadi Gendis menerimamu?" Leo memperhatikan wajah Elang dan kaget melihat dua lingkaran hitam di matanya. "Bocah busuk, kau tidak tidur semalam atau jangan-jangan kamu menangis semalam suntuk?"Elang menggelengkan kepalanya kemudian menu
"Orang yang waktu itu kutemui di rumah Pak Galang ternyata bukan Gendis," ucap Elang lirih kemudian dia menambahkan, "Pak Galang seharusnya tahu dari awal, kan?" Bukan hanya Galang, Wardoyo yang saat itu masih berada di sana juga ikut terkejut dengan ucapan Elang. "Kenapa Pak Galang diam saja? Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya? Kenapa membiarkan ku salah paham?" Elang mengeluarkan semua kegalauan yang sejak kemarin dia tahan. Galang masih terdiam dan hanya menatap Elang bicara. Dia tahu betul arah pembicaraan Elang. Entah kenapa dia hanya tidak ingin Elang tahu bahwa Elang memang sudah salah paham mengira Mayang adalah Gendis. Galang sendiri tidak mengerti dengan jalan pikirannya. "Jawab, Pak! Kenapa diam saja?" Galang melonggarkan ikatan dasinya kemudian bersandar di kursinya. Netranya menatap wajah Elang meremehkan. "Apa yang kau bicarakan?" "Mau berpura-pura atau bersandiwara terserah saja. Tapi satu hal yang pasti jika Mayang tidak bahagia, aku yang akan membahagiak
"Mayang tidak akan pernah meminta cerai darimu. Kamu tahu itu. Galang, Ibu tidak mengerti jalan pikiranmu. Jika kamu ingin mempertahankan Mayang kenapa tidak bersikap baik padanya? Mayang punya hati dan perasaan, dia manusia Galang, manusia!" Dengan berurai air mata ibunya terus memojokan Galang, "Ya Allah, Gusti ... Galang ... kenapa kamu bisa sekeras batu, Nak. Kamu punya adik perempuan. Bagaimana kalau dia terkena karma karena kekejamanmu? Apa kamu tega Gendis mendapatkan perlakuan seperti yang Mayang dapat dari kamu, Nak?"Galang kali ini terbakar dengan perkataan ibunya. Bukan karena memikirkan Gendis, tapi Mayang yang selama ini dia asingkan. Dia teringat dengan Elang yang dengan terang-terangan ingin mengejar Mayang. Jika dia melepaskan Mayang, dia yakin tidak butuh waktu lama para pria akan mengejarnya. Mayang adalah wanita langka di zaman sekarang. Memikirkan Mayang berjalan dengan lelaki lain membuat Galang menahan sakit yang menggigit di dadanya."Bu ... Galang hanya akan
Elang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana dia bisa lupa tadi berbohong lupa bawa dompet? Sangat memalukan, dia bahkan gagal mengambil hati anak sekecil Anu."Tidak apa-apa, Om. Lain kali saja. Mungkin Om bisa mengajakku ke taman bermain sebagai ganti es krim," ucap Anu."Tentu saja. Bagaimana kalau kita ke Dufan? Atau mau ke taman mini? Atau taman safari juga boleh." Elang bersemangat menanggapi Anu."Tidak perlu, Lang. Jangan mengambil hati ucapan Anu, dia hanya bercanda." "Aku tidak bercanda, hari Sabtu dan Minggu Anu libur, Om. Aku mau ke Dufan.""Oke, deal." Elang menjabat tangan Anu sebagai janji antar pria. Dia sangat bersemangat karena Anu sepertinya tidak keberatan dengan keberadaannya. "Elang jangan anggap serius Anu, lagi pula Ayahnya mungkin tidak akan bisa ikut kalau ke Dufan. Lupakan saja.""Karena orang itu tidak bisa ikut makanya aku mau Om Elang yang mengajakku jalan-jalan.""Pak Galang pasti sibuk. Mbak Mayang, biar aku ajak Anu jalan Minggu besok, ya?"
Suara pintu yang dibuka paksa meggelegar di ruang yang luas. Leo sudah memprediksi kejadian ini. Dengan tepat menghitung setiap detik dan setiap langkah yang diambil sang keponakan."Bersemangat sekali, hm?" sarkas Leo."Tidak perlu basa-basi! Om kali ini kelewatan, ini untuk yang pertama dan terakhir aku gak mau Om Leo mencampuri urusanku yang satu ini!""Wah ... hebat. Sudah besar sekarang, hm? Hanya untuk seorang perempuan kamu berani marah sama Om?""Perempuan itu adalah Mayang, dia adalah calon ibu dari anak-anakku kelak. Siapapun yang mencoba menghalangiku tidak akan aku biarkan," jawab Elang garang."Dia istri orang, Elang. Berhenti bermain-main!""Aku serius, Om! Berhenti memata-mataiku!""Dewasalah Elang! Apa yang kamu lakukan hanya akan mempersulit Mayang.""Gak usah sok tua lah, Om. Om hanya sedikit lebih tua dariku. Nanti saat Om jatuh cinta, Om akan mengerti apa yang aku lakukan sekarang.""Kau bocah, kau bahkan tidak lebih dewasa dari anak umur 7 tahun. Berani sekali men
Setelah seharian beraktivitas, Mayang merebahkan badannya di tempat tidur. Kemarin ibu mertuanya pulang dengan kereta. Hanya saja kali ini beliau pulang sendiri tanpa mau diantar siapapun. Meski merasa tak enak hati Mayang tidak berusaha membujuk ibu mertuanya yang pasti sedang merasa kecewa. Kecewa pada banyak hal yang terjadi di sini.Sejauh ini semua berjalan baik. Mayang yakin sebentar lagi dia bisa menuai apa yang sudah dia tanam. Sesekali egois mungkin sah-sah saja. Bibirnya mengembangkan senyum namun air mata mengalir di pipinya. Dengan sekali usap Mayang menghapus air mata yang mulai menganak sungai. Kamarnya begitu hening, hanya terdengar bunyi detak jam dinding. Sejak mertuanya pulang maka sejak itu pula dia kembali tidur di kamarnya sendiri. Drrtt ... drrtt ....Bunyi getaran ponsel mengalihkan perhatian Mayang. Diraihnya benda pipih di dekatnya. Ada nomor tidak dikenal yang memanggil."Halo, siapa nih?" tanya Mayang jutek.[Halo mbak Mayang. Selamat malam, ini aku Elang.