“Nda … Arsya takut, Nda … hiks!”
Dia menatapku dengan linangan air mata. Aku segera mendekap dan menenangkannya.
“Udah, udah … nggak usah takut ya? Sudah ada Bunda ‘kan? Arsya nggak usah takut lagi ya?”
“Tapi Arsya masih takut, Nda ….”
Tangan kecilnya mendekapku erat.
“Arsya mimpi buruk ya?”
Aku menerka kejadian yang membuatnya menangis sesenggukan seperti ini.
Kepalanya mengangguk. Berarti benar apa yang kuduga.
“Udah ya, Arsya nggak usah nangis lagi ya? Mimpinya ‘kan udah selesai. Sekarang ada Bunda yang nemenin Arsya.”
Aku melepas pelukan dan mengusap air matanya.
“Arsya takut banget, Nda. Arsya mau dibawa pergi sama nenek-nenek wajahnya serem banget. Arsya takut pokoknya, Nda.”
Bocah lima tahunan itu menceritakan mimpi buruk yang baru saja dialami.
“Kalau Arsya nggak bangun kayaknya Arsya sudah nggak sama Bunda lagi. Arsya pasti udah mati dibawa sama nenek-nenek serem itu, Nda. Untung saja Arsya masih bisa bangun.”
Dia kembali berbicara dengan sisa air matanya.
“Lain kali, kalau Arsya mau tidur harus berdoa dulu ya? Pasti tadi Arsya lupa nggak berdoa ‘kan? Udah ya, jangan nangis lagi. Yang penting kalau mau tidur harus baca doa dulu biar nggak mimpi serem kayak tadi. Arsya paham ‘kan sama yang Bunda ucapkan?”
Aku menasihatinya dengan membelai lembut rambutnya yang hitam dan tebal.
“Iya Nda, Arsya lupa nggak baca doa. Besok Arsya harus selau berdoa kalau mau tidur ya, Nda? Arsya nggak mau lagi mimpi kayak tadi. Arsya takut banget, Nda.”
Aku tersenyum mendengar ucapan yang keluar dari bibir mungil jagoan kecilku.
“Pintarnya, anak shalehnya Bunda.”
Kepalaku tidak memikirkan hal aneh tentang mimpi yang baru saja dialami oleh Arsya. Ya, namanya tidur terkadang pasti mengalami mimpi buruk. Itu hal biasa. Aku hanya menasihatinya saja agar selalu berdoa sebelum tidur. Selebihnya tak kuanggap serius.
Mungkin bisa jadi karena Arsya tidur diwaktu senja seperti ini. Sudah hampir maghrib, mungkin saja mendapat teguran dari Sang Kuasa agar tidak tidur di sore hari. Namun, Arsya masih anak-anak, apa iya sudah mendapat peringatan semacam itu? Atau mungkin peringatan itu sengaja ditujakan untukku sebagai orang tuanya. Ah … entahlah. Pasti hanya bunga tidur saja.
***
“Nda, sudah siap semua? Jangan sampai ada yang tertinggal. Coba dicek lagi.”
Kami sedang bersiap untuk pergi ke rumah ibu. Hari ini tepat hari minggu, dimana rencana yang sengaja kami susun untuk menemui beliau. Kejadian waktu di meja makan sudah tak kubahas lagi. Memang pernah sekali kutanyakan lagi, tapi mas Ubay tetap mengatakan hal yang sama, dia tidak merasa melakukan percakapan itu. Tatapannya pun aneh memandangku. Seolah memang tak pernah melakukannya. Saat itu aku jadi merinding. Jadi, siapa yang kuajak berbicara waktu itu? Aku tak lagi membahasnya karena merasa aneh dan takut sendiri.
Sekarang masih sekitar pukul delapan pagi, kami berencana pergi ke sana pukul Sembilan nanti. Aku dan mas Ubay kembali mengecek barang-barang yang akan kami bawa ke sana. Karena kami memakai mobil pribadi, barang yang kami bawa lumayan banyak.
Rencananya kami akan menginap di sana sekitar tiga mingguan. Ya, waktu yang cukup panjang untuk bersantai menikmati suasana pedesaan. Cukup untuk menenangkan pikiran dari aktivitas sehari-hari yang kami lakukan di kota yang bising dan penuh kepenatan.
“Sudah Yah. Tadi sudah kucek beberapa kali. Semua aman,” ucapku sambil tersenyum.
“Ya sudah, kita santai dulu, Nda. Pasti kamu capek ngurusin ini dan itu.”
“Iya, Yah. Bekal yang tadi aku masak juga sudah siap. Ibu pasti suka kalau kubuatin rendang sapi ‘kan, Yah? Nggak sabar pengin ketemu sama ibu. Arsya pasti senang mau main ke desa.”
Kami duduk di ruang tengah. Ada beberapa tas besar tergeletak di lantai yang sudah siap kami bawa ke rumah ibu.
“Pasti suka, Nda. Dulu ibu ‘kan paling suka sama masakan rendang sapimu, Nda.”
“Benar Yah, ibu pasti suka.”
Aku kembali tersenyum bahagia. Aku sangat menantikan hari ini. Sudah tak sabar rasanya ingin bertemu dengan beliau. Meski hanya seorang ibu mertua, beliau begitu baik dan memperlakukanku layaknya anak sendiri. Sudah pasti aku melakukan hal yang sama kepada beliau.
Namun, entah apa alasannya, beliau menyuruh kami untuk pindah ke kota saja sejak aku hamil empat bulan. Sampai sekarang beliau tidak mau dijenguk oleh kami. Memang aneh. Tapi begitulah keinginan beliau. Kami hanya menurut saja.
“Arsya dimana Nda? Kok dari tadi aku nggak dengar suaranya?”
“Hmm, iya ya. Mungkin lagi main sama temannya.”
“Nda … ke sini Nda ….”
Baru saja kami membahasnya, Arsya memanggilku dari luar. Mungkin benar, Arsya baru pulang dari rumah tetangga.
“Ada apa Sayang,” ucapku seraya menghampirinya.
“Nda itu Nda, lihat Nda.”
Jari kecilnya menunjuk ke rumput di sekitaran pagar.
“Apa sih, Sya?” tanyaku seraya mencari sesuatu yang dia maksud. “Astaghfirullah, kok ada ayam mati di situ. Pasti belum lama. Belum kecium bau bangkainya. Ayo Sayang, kita ke ayah dulu. Biar ayah yang menguburkannya. Mungkin tadi ketabrak motor atau mobil.”
“Tapi Nda, Arsya mau lihat di sini saja.”
“Iya Sayang. Nanti kita lihat lagi. Kasihan kalau nggak cepat-cepat dikubur. Ayamnya nangis minta dikubur gimana hayo?”
“Iya deh, Nda.”
Kita kembali ke dalam rumah bermaksud memanggil mas Ubay untuk mengubur ayam tadi yang sudah mati.
“Ayah … ayo kita kubur ayam mati dulu. Yuk ….”
Baru satu kaki melangkah ke dalam rumah, Arsya sudah tidak sabar mengatakannya.
“Masa ngomongnya di sini, Sya. Tunggu kalau sudah di depan ayah ya?”
Aku menasihatinya. Ya, karena tidak sopan jika mengatakannya begitu saja, apalagi jika sedang berbicara dengan orang yang lebih tua. Lebih baik menghampiri orangnya lebih dulu, baru mengatakan keperluan yang dimaksud.
“Iya Nda, maaf,” ucapnya seraya berlari menemui mas Ubay.
“Pelan-pelan, Sayang.”
Aku perlahan menghampiri mereka.
“Ada ayam mati? Dimana?” ucap mas Ubay setelah Arsya mengatakannya.
“Di sana Yah. Ayo, Arsya tunjukin. Arsya mau lihat ayam mati itu dikubur.”
“Iya nanti, Ayah ambil cangkul di belakang.”
Mas Ubay pergi mengambilnya. Arsya pun ikut membuntutinya. Ya, mungkin Arsya sangat tertarik untuk melihat prosesi menguburkan ayam mati itu. Anak laki-laki, mungkin wajar jika seperti itu.
Mereka sudah kembali terlihat di mataku. Aku dari tadi hanya menunggu mereka di ruang tengah.
“Ayo Nda, kita mulai mengubur ayam mati tadi,” ucap Arsya bersemangat.
Kami pergi ke tempat ayam mati yang tergeletak di rumput dekat pagar.
“Ayo, ayo, ayo ….”
Arsya terlihat begitu bersemangat.
“Ayam matinya ada dimana Sya?” tanya mas Ubay saat sudah berada di tempat itu.
“Lho Nda, kok nggak ada, Nda?” ujar jagoan kecilku.
Aku pun ikut melihatnya untuk memastikan. Ya, sudah tidak ada lagi ayam mati yang tadi kami lihat. Padahal kami tak lama pergi ke dalam rumah. Atau mungkin sudah ada orang yang menguburkannya?
“Oh iya, kok jadi nggak ada. Padahal nggak lama manggil ayah. Apa mungkin sudah dikubur sama tetangga?”Aku pun heran dengan kejadian yang baru saja terjadi.“Yah … kok malah dikubur sama tetangga sih, Nda. Arsya ‘kan mau lihat ayah yang nguburin,” ketus Arsya. Dia benar-benar penasaran.“Bagus dong kalau sudah ada yang nguburin,” sahut mas Ubay.“Mbak Fira, Mas Ubay … lagi ngapain bawa cangkul segala?” tanya tetangga depan rumah.“Hehe. Iya Bu. Tadi ada ayam mati yang tergeletak di rumput dekat pagar,” jawabku.
“Tapi Man, kami sudah jauh-jauh datang ke sini. Dari jam Sembilan pagi sampai jam dua lebih baru sampai lho, Man. Sayanglah kalau mau pulang lagi. Apalagi kami sudah lama banget nggak ketemu sama ibu.”Mas Ubay tentu saja akan memprotesnya. Padahal menurut mas Ubay, paman Joko adalah orang yang sangat baik, tapi kenapa sekarang melarang kami untuk pergi menemui kakaknya yang memang ibu kandungnya mas Ubay.“Ya sudah terserah kamu saja, Bay. Yang penting paman sudah memperingatkan. Ayo duduk. Oh, ini Arsya pasti ya? Udah gede ya?”Sebelum duduk, aku pun bersalaman. Arsya pun kusuruh untuk mencium tangan kakeknya.“Memangnya di rumah ibu ada apa? Kenapa sampai Pam
“Oh iya ya … hmm, mungkin kakek tadi terburu-buru. Ya jadi gitu deh, beliau jalannya cepat-cepat masuk ke semak-semak itu, Sayang.”Aku menjelaskannya dengan nada sebiasa mungkin. Tidak mau jika Arsya mengetahui, aku pun sebenarnya merasa takut dan ngeri. Masa iya, tidak ada tanda-tanda kakek itu sudah masuk ke area yang lebih banyak ditumbuhi semak-semak. Ya, setidaknya ada semak-semak yang bergoyang karena kakek itu melewatinya. Yang kulihat hanya bergerak terkena angin saja.“Oh … begitu ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Untunglah tidak ada pertanyaan lain yang Arsya sampaikan.
“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.“Ubay? Fira?”Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.&ldq
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag