“Oh iya ya … hmm, mungkin kakek tadi terburu-buru. Ya jadi gitu deh, beliau jalannya cepat-cepat masuk ke semak-semak itu, Sayang.”
Aku menjelaskannya dengan nada sebiasa mungkin. Tidak mau jika Arsya mengetahui, aku pun sebenarnya merasa takut dan ngeri. Masa iya, tidak ada tanda-tanda kakek itu sudah masuk ke area yang lebih banyak ditumbuhi semak-semak. Ya, setidaknya ada semak-semak yang bergoyang karena kakek itu melewatinya. Yang kulihat hanya bergerak terkena angin saja.
“Oh … begitu ya, Nda.”
“Iya Sayang ….”
Untunglah tidak ada pertanyaan lain yang Arsya sampaikan.
“Yah, kamu tau rumah ibu yang ada di sebelah mana?” tanyaku.
Mobil melaju sangat pelan karena mas Ubay mencari rumah ibu yang belum kami ketahui.
“Hmm … kata kakek tadi sih, pemilik rumah yang bernama bu Diyah berada di paling ujung, Nda.”
“Yah, kakek tadi waktu kamu tanya, beliau senyum apa nggak?”
Aku penasaran karena kakek tadi cuek dengan senyumanku.
“Apa sih, Nda. Beliau mau senyum apa nggak, terserah kakeknya dong, Nda. Untung lho, kita dikasih tau rumah ibu ada di sebelah mana.”
Mas Ubay menjawab pertanyaanku tanpa melihat ke arahku. Dia sangat fokus mencari rumah ibu yang katanya berada di ujung jalan.
“Iya sih, Yah. Hanya saja rasanya ada yang aneh.”
“Ssttt! Arsya nanti jadi takut ke sini lagi lho, Nda,” cegah mas Ubay.
Ya sih, benar apa kata mas Ubay. Akhirnya, aku pun diam menunggu mas Ubay benar-benar menemukan rumah ibu.
“Nda, mungkin itu rumahnya. Yang di ujung hanya rumah itu saja.”
Mas Ubay sepertinya menemukan rumah tersebut. Ternyata benar, di sana hanya ada satu rumah saja. Rumah tetangga tidak ada. Aku hanya melihat satu atau dua rumah, itu pun tadi di persimpangan jalan ke arah kiri.
“Iya mungkin, Yah. Coba kita ke sana.”
“Nda, kok nenek nggak punya tetangga sih? Terus mainnya sama siapa, Nda?”
“Nanti Arsya tanya sendiri saja ya sama nenek kalau sudah sampai di sana. Bunda nggak tau nenek mainnya sama siapa.”
Anak laki-lakiku hanya mengangguk. Tandanya dia mengerti apa yang baru saja kuucapkan.
Mobil mulai menepi ke halaman rumah ibu yang cukup luas. Rumahnya sederhana dan lebih kecil daripada rumah yang dulu. Di sana terlihat begitu asri dengan suasana yang sepi. Apalagi sekarang sudah sore. Pasti keadaan akan semakin sepi karena sudah mulai gelap.
“Alhamdulillah … akhirnya sampai juga,” ujar mas Ubay.
“Yah, emang benar ini rumah ibu? Coba deh kamu tanya dulu ke sana. Ntar kalau sudah turun semua tau-tau bukan rumah ibu gimana?”
Aku memberikan usul. Dia bergeming sesaat.
“Iya deh, Ayah turun dulu ya? Memastikan rumah ini rumah ibu atau bukan.”
“Iya Yah ….”
“Hati-hati Yah. Kata kakek harus banyak-banyak doa agar hantunya nggak pada datang,” celetuk Arsya.
“Ssttt , Arsya nggak boleh ngomong gitu. Kalau nenek dengar gimana?” Aku menaseihatinya.
“Maaf Nda,” ucap bocah itu.
“Ayah pasti berdoa Sayang. Ayah pergi ke sana dulu ya. Arsya juga harus berdoa.”
Arsya hanya mengangguk. Mas Ubay kini berjalan menuju ke rumah tersebut.
“Nda, masa nenek tinggal di rumah kayak gini sendirian. Apa nenek nggak takut sih? Malam-malam ‘kan pasti serem banget, Nda.”
Rasa penasaran Arsya mulai muncul.
“Arsya sebenarnya takut lho, Nda. Tapi karena ada Bunda, Arsya jadi nggak terlalu takut. Bunda ‘kan yang akan melindungi Arsya, iya ‘kan Nda?”
Aku tersenyum mendengar ocehan yang keluar dari mulutnya. Aku pun sebenarnya takut, tapi karena ada Arsya keberanianku menjadi tumbuh. Ya, mungkin hari sudah semakin sore, jadi suasana di sini menjadi lebih mencekam. Padahal yang ada di bayanganku, aku bisa bersantai dengan suasana sejuk dan menentramkan hati. Sekarang, justru rasa takut yang lebih dominan.
“Arsya nggak boleh takut. Mungkin hari sudah mulai gelap. Arsya jadi merasa takut. Mungkin kalau pagi atau siang, suasana di sini nggak nyeremin lagi, Sayang.”
“Iya Nda. Besok Arsya mau main bola ya, Nda. Halamannya luas banget. Pasti Arsya betah main bolanya. Tapi Bunda harus nemenin. Arsya ‘kan nggak ada teman di sini. Terus main sama siapa?”
“Iya Sayang, Bunda akan ikut main. Ayah juga pasti mau ikut main sama Arsya.”
“Benar ya, Nda? Arsya ada teman main. Yee ….”
Wajahnya terpancar kebahagiaan. Syukurlah jika Arsya senang berada di tempat ini.
Mas Ubay masih di depan pintu. Belum ada yang membukakannya. Aku jadi sangsi dengan pemilik rumah ini. Apa benar ini rumah ibu? Seharusnya tidak selama ini beliau membukakan pintu. Aku pun jadi ingin turun menyusulnya.
“Arsya, kita susul ayah yuk,” ajakku.
“Ayo Nda.”
Aku memutuskan untuk turun dari mobil dan menyusul mas Ubay. Jarak pintu rumah dari mobil lumayan jauh. Aku berjalan seraya menggandeng tangan Arsya.
“Nda, pohonnya besar-besar banget ya, Nda,” ujar Arsya.
“Iya Sayang. Coba hirup udaranya juga masih sangat segar.”
Arsya pun menuruti perintahku. Dia menarik napas dalam-dalam. Saat aku melihat tingkahnya, aku pun tersenyum.
“Iya Nda, benar. Udaranya segar banget.”
Dia melakukannya beberapa kali.
Kini kami sudah berada di belakang mas Ubay.
“Gimana Yah? Ada orangnya atau nggak?” tanyaku.
“Lho Nda. Kok ikut turun?”
“Soalnya Ayah lama banget. Iya ‘kan, Nda,” jawab Arsya.
“Belum ada yang bukain pintu, masa Ayah harus bolak-balik. Ayah tunggu dong sampai ada yang membukakan pintu dulu baru nyusul Arsya lagi di mobil.”
“Hehehe. Iya deh, Yah. Nanti kalau ini benar rumah nenek. Ayah harus mau ikut main bola sama Arsya lho. Arsya nggak punya teman di sini lho, Yah ….”
Lagi-lagi Arsya menodong untuk menemaninya bermain. Ya, dimana pun dan dalam keadaan apa pun, anak kecil hanya memikirkan tentang bermain saja. Padahal aku dan mas Ubay sudah mulai khawatir jika rumah ini bukan milik ibu. Apalagi hari sudah mulai gelap. Ya, semoga saja ini benar-benar rumah ibu.
“Iya Sayang, Ayah pasti ikut main sama Arsya. Sekarang tinggal nunggu nenek bukain pintunya dulu ya?”
“Oke Yah ….”
Tok, tok, tok ….
Kembali mas Ubay mengetuk pintu rumah ini.
“Assalamu’alaikum!” sapa mas Ubay dengan suara yang lantang.
Setelah itu kami menunggu lagi. Beberapa saat tetap saja sepi.
Mas Ubay mengulanginya lagi. Kini aku sangat berharap ada yang menyahut salamnya mas Ubay. Tapi, lagi-lagi sunyi.
“Yah, coba cari di belakang,” usulku.
“Iya Nda, coba ya ….”
“Yah, tadi Arsya lihat ada orang yang mengintip dari jendela di sebelah sana. Mungkin itu nenek, rambutnya kayaknya putih,” ujar Arsya seraya menunjuk ke jendela paling ujung. Jendelanya memang rapat tertutup tirai.
Mas Ubay yang akan pergi ke belakang, mengurungkannya.
“Emang iya, Nda?” tanya mas Ubay kepadaku.
“Nggak tau, Yah. Dari tadi Bunda lihat Ayah.”
“Benar Yah, Arsya nggak bohong.”
Jika memang demikian, seharusnya orang itu membuka pintu yang dari tadi kami ketuk.
“Coba Ayah ketuk lagi ya?”
Mas Ubay kembali mengetuk pintunya. Beberapa saat menunggu, tetap saja sepi. Aku dan mas Ubay hanya saling menatap.
“Mencari siapa ya?”
Ada yang menyapa dari arah samping rumah. Kami pun menengok berbarengan mencari suara yang baru saja menyapa.
“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.“Ubay? Fira?”Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.&ldq
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Nda, sebenarnya ada apa di dalam gubuk itu? Waktu kamu keluar dari sana, wajahmu terlihat sangat pucat. Mangkanya aku khawatir banget sama kamu, Nda. Apa alasan ibu melarang kita masuk ke sana sih, Nda? Lalu, kenapa wajahmu tadi sepucat itu?”Mas Ubay sangat penasaran dengan apa yang baru saja kualami.“Nda, kok lama banget? Cari bolanya susah ya, Nda?”Arsya datang menghampiriku saat melihatku muncul dari arah samping rumah.“Iya Sayang. Bunda sampai pusing cari bolanya nggak nemu-nemu. Maaf ya, kalau Bunda lama.”Aku harus pintar berakting dihadapan putra semata wayangku. Padahal semua y
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag