“Tapi Man, kami sudah jauh-jauh datang ke sini. Dari jam Sembilan pagi sampai jam dua lebih baru sampai lho, Man. Sayanglah kalau mau pulang lagi. Apalagi kami sudah lama banget nggak ketemu sama ibu.”
Mas Ubay tentu saja akan memprotesnya. Padahal menurut mas Ubay, paman Joko adalah orang yang sangat baik, tapi kenapa sekarang melarang kami untuk pergi menemui kakaknya yang memang ibu kandungnya mas Ubay.
“Ya sudah terserah kamu saja, Bay. Yang penting paman sudah memperingatkan. Ayo duduk. Oh, ini Arsya pasti ya? Udah gede ya?”
Sebelum duduk, aku pun bersalaman. Arsya pun kusuruh untuk mencium tangan kakeknya.
“Memangnya di rumah ibu ada apa? Kenapa sampai Paman dan ibu mempersulit kami untuk datang ke sana?”
Mas Ubay pun bertanya. Mungkin saking penasarannya. Aku saja ingin tahu alasannya apa.
“Kata ibumu, kalau sudah menginap di sana, nggak bakalan bisa keluar lagi. Paman saja nggak pernah ke rumah ibumu. Selalu saja mbak Diyah yang datang ke rumah ini.”
Aku dan mas Ubay kembali saling menatap. Rasanya ingin percaya tapi tetap saja mengganjal di hati.
“Mungkin hanya mitos saja, Man,” jawab mas Ubay.
“Mbak Diyah yang melarangku ke sana. Ibumu itu sangat takut kalau terjadi apa-apa sama adiknya ini. Apalagi sama kalian. Paman minta sekali lagi, pertimbangkan rencana kalian untuk pergi ke rumah ibumu.”
“Gimana Nda?” tanya mas Ubay, aku tahu sebenarnya dia hanya tak enak hati saja, mangkanya dia pura-pura bertanya padaku. Sebenarnya bagaimana pun mas Ubay akan tetap menjenguk ibunya.
“Terserah kamu saja, Yah. Sudah jauh begini, sayang sih sebenarnya,” jawabku.
“Iya Man, lebih baik kami melanjutkan saja. Arsya pasti ingin tau wajah neneknya. Kalau sampai ibu sudah meninggal dan aku belum pernah mengenalkan Arsya sama neneknya, rasanya pasti bersalah banget, Man. Maaf ya, Man. Bukannya nggak menuruti apa kata Paman, kami hanya ingin bersilaturahmi saja. Kasihan ibu. Masih punya anak kayak nggak punya siapa-siapa.”
Mas Ubay menerangkannya dengan sangat detail. Dia pasti merasa sungkan karena menolak perintah dari pamannya.
“Ya sudah nggak apa-apa. Kalian harus hati-hati. Nggak boleh lengah, takutnya terjadi apa-apa.”
Perasaanku semakin tak nyaman mendengar perkataan paman Joko yang sepertinya bernada peringatan. Sebenarnya ada apa di rumah ibu, sampai-sampai paman begitu mengkhawatirkan keadaan kami. Bukannya sama saja seperti waktu dulu. Bedanya kini ibu berada di lingkungan baru. Karena hal itu, atau karena apa?
“Insyaallah, semua akan baik-baik saja, Man. Niat kita baik, mau berilaturahmi sama ibu. Pasti akan selalu diberi perlindungan sama Sang Pencipta.”
“Iya Amin ….”
Seorang wanita paruhbaya datang membawa minuman untuk kami. Mungkin beliau adalah istrinya paman Joko—bibi Tri. Lagi-lagi aku lupa dengan wajah beliau.
“Ayo diminum dulu. Ubay sama istrinya ‘kan? Bibi sampai lupa sama wajah istrimu, Bay. Anak kalian sudah besar ya? Siapa namanya?”
Bibi Tri begitu sangat ramah. Meski kami tak pernah bertemu. Mungkin sekali dua kali saja, wajar jika aku lupa dengan wajah beliau. Hanya ingat dengan namanya saja.
“Iya Bi. Terima kasih. Ayo Arsya, salim dulu sama nenek,” perintah mas Ubay.
“Itu nenek Arsya yang mau Arsya jenguk, Yah?”
Sambil berjalan dia bertanya dengan polosnya dan mengulurkan tangan meminta bersalaman kepada bibi Tri.
“Hehehe. Aduh … pintar banget ya? Namanya Arsya ya? Nenek yang di sana, bukan nenek yang ini,” jawab beliau seraya tersenyum.
“Bukan Yah?” tanya Arsya lagi.
Dia pun perlahan mundur kembali kepadaku.
“Yang ini neneknya Arsya juga. Tapi kalau nenek yang ibunya Ayah rumahnya masih sekitar setengah jam lagi. Iya ‘kan Kek?”
Mas Ubay memanggil paman sebagai kakek memang sengaja untuk mencontohkan kepada Arsya.
“Iya Arsya. Nenek yang Arsya maksud, rumahnya masih sekitar setengah jam lagi dari sini. Rumahnya ada di desa ujung yang masih banyak pohon-pohon besarnya,” jelas paman Joko.
“Nda, kalau banyak pohon-pohon besar, Arsya takut Nda. Nanti banyak hantu.”
Namanya anak kecil, pasti akan berpikir seperti itu.
“Arsya banyak-banyak berdoa saja di sana ya?”
“Iya Kek. Kalau nggak berdoa nanti banyak hantu yang datang ya, Kek?”
Ya, Arsya adalah anak yang gampang kenal dengan orang lain. Jadi, dia punya banyak teman dan kenalan. Entah itu anak seusianya atau orang yang lebih tua darinya.
“Arsya pintar banget ya? Sudah sekolah apa belum?”
Bibi Tri memotong pembicaraan antara paman Joko dan Arsya. Mungkin ada alasan tertentu karena membahas soal makhluk halus. Atau entah, aku pun tak mengerti.
“Sudah Nek. Masuk TK,” jawab Arsya.
“Aduh … pintarnya ….”
Hampir satu jam kami beristirahat di rumah paman Joko. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kini hampir pukul tiga sore, meski hanya setengah jam perjalanan, tapi kami belum pernah pergi ke sana dan katanya jalannya sepi. Kami tidak mau kesasar atau salah jalan dan menjadi memakan waktu lebih, sehingga sampai sana sudah semakin gelap.
“Hati-hati ya? Kalau ada apa-apa, langsung kabari Paman. Semoga saja di sana tetap ada sinyal.”
“Iya Paman. Kami pasti berhati-hati. Insyaallah di sana aman-aman saja. Buktinya ibu betah tinggal di sana. Sendirian lagi. Ya udah, kami pamit dulu.”
Ya, akhirnya kami melanjutkan perjalanan juga. Semakin mobil ini melaju menjauhi desa paman Joko, suasananya kian berbeda. Rasanya memang semakin sepi. Pepohonan pun semakin banyak tumbuh di tepian jalan.
“Nda, Arsya takut di belakang sendiri. Arsya boleh duduk di pangkuan Bunda?”
Kita sudah terbiasa dengan suasana keramaian. Pantas jika Arsya merasa perbedaan yang begitu jelas saat melewati daerah yang sepi penuh pepohonan seperti ini. Namun bagiku, suasana seperti ini bisa menenangkan pikiran dan membebaskan diri dari kepenatan. Udaranya pun masih sangat segar.
Arsya pun kini berada di pangkuanku.
“Pemandangannya bagus ‘kan, Sya?” tanyaku memecah keheningan.
“Bagus Nda, tapi Arsya takut. Pohonnya gede-gede banget, Nda. Kenapa nenek betah tinggal sendiri di hutan kayak gini sih, Nda?”
Pertanyaan yang terdengar menggelitik, tapi Arsya memang anak yang rasa ingin tahunya begitu tinggi.
“Ini bukan hutan, Sayang. Ini desa. Hanya saja belum banyak orang-orang yang tinggal di sini.”
“Iya lah, Nda. Tempatnya serem. Mana mau pada tinggal di sini.”
“Hehe. Kalau sudah terbiasa, pasti nggak serem lagi, Sayang.”
Mendadak mas Ubay melambatkan laju mobilnya. Saat aku melihat ke depan ada persimpangan jalan. Pasti dia bingung mau lewat jalan yang mana.
“Aduh Nda, ada persimpangan jalan. Kita harus lewat mana ya?”
Saat sedang bingung, dari ujung jalan terlihat ada seorang kakek yang membawa karung berjalan ke arah kami. Kebetulan yang tak bisa di nalar.
“Nda, ada kakek-kakek, Ayah tanya dulu.”
Dengan cepat, mas Ubay turun dan menghampiri kakek tersebut. Beberapa saat akhirnya mas Ubay kembali dengan senyum yang mengembang. Dia pasti sudah dapat tujuan selanjutnya.
“Udah Yah?” tanyaku.
“Udah yuk. Bismillah … sebentar lagi kita sampai. Kita ambil kanan, rumah ibu nggak jauh dari sana. Jalannya sudah buntu soalnya.”
Mobil kembali melaju menuju ke tujuan yang dimaksud oleh mas Ubay. Tak lupa kami memberi salam penghormatan kepada kakek tersebut. Aku pun melihat lekat dengan tersenyum. Namun anehnya, bibir beliau tak membalas senyumanku. Wajahnya pun terlihat pucat. Mendadak aku pun merinding dan kembali melihat ke depan.
“Nda, kakek tadi kok udah nggak ada?” ujar Arsya.
Aku pun memastikannya melihat dari spion. Ternyata benar, sudah tak ada orang di sana. Padahal baru tadi aku tersenyum padanya. Atau dia pergi ke dalam semak-semak? Ya, mungkin begitu.
“Oh iya ya … hmm, mungkin kakek tadi terburu-buru. Ya jadi gitu deh, beliau jalannya cepat-cepat masuk ke semak-semak itu, Sayang.”Aku menjelaskannya dengan nada sebiasa mungkin. Tidak mau jika Arsya mengetahui, aku pun sebenarnya merasa takut dan ngeri. Masa iya, tidak ada tanda-tanda kakek itu sudah masuk ke area yang lebih banyak ditumbuhi semak-semak. Ya, setidaknya ada semak-semak yang bergoyang karena kakek itu melewatinya. Yang kulihat hanya bergerak terkena angin saja.“Oh … begitu ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Untunglah tidak ada pertanyaan lain yang Arsya sampaikan.
“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.“Ubay? Fira?”Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.&ldq
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag