Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.
“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”
Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.
“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.
Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Arsya melangkah mendekatiku dengan raut wajah murung.
“Nda, Arsya salah ya pegang benda nenek tanpa izin?” lirihnya.
“Iya udah nggak apa-apa. Biar Bunda nanti yang minta maaf sama nenek. Ayo kita temui Ayah.”
Aku dan Arsya kembali ke depan. Sedangkan ibu masih di dalam kamar, mungkin memeriksa siapa tahu ada yang hilang.
***
“Udah turun semua ‘kan, Nda?” tanya mas Ubay.
Kami baru saja memindahkan segala barang yang kami bawa dari dalam mobil.
“Sudah, Yah.”
“Arsya capek, Nda.”
Dia memang ikut membantu. Hanya membawa barang-barang yang berukuran kecil saja. Meski begitu, dia sudah kembali ceria setelah tadi dibentak oleh neneknya.
“Iya, sudah selesai kok. Ayo masuk keburu tambah gelap.”
Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Di sana menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Suasana di sini lebih gelap karena masih banyak pepohonan rindang.
“Nda, udah adzan maghrib belum? Aku nggak dengar apa-apa.”
“Sebentar lagi kayaknya, Yah. Sudah hampir pukul enam. Ayo, masuk dulu.”
Kami masuk ke dalam rumah. Di sana sudah ada lampu minyak disetiap sudut. Sepertinya ibu sendiri yang membuatnya.
“Bu, memangnya nggak ada listrik?” tanya mas Ubay.
“Ada Bay, tapi Ibu lebih suka seperti ini,” jawab beliau.
“Gelap lho, Bu. Mumpung ada listrik kenapa nggak digunakan?” Aku ikut bertanya.
“Ibu sukanya begini.”
Jawaban yang sama membuatku terdiam. Mas Ubay melihat ke arahku.
“Oh, ya sudah. Senyamannya Ibu saja,” ucap mas Ubay.
“Ibu mau beresin kamar kalian dulu.”
“Fira bantu ya, Bu?” Aku menawarkan diri.
“Kamu pasti capek. Ibu saja nggak apa-apa. Kamu di sini saja sama Arsya. Sudah semakin gelap.”
“Iya Bu.”
Beliau pergi kebelakang.
“Nda, masa gelap begini, Nda? Arsya takut,” protes Arsya dengan berbisik.
“Arsya ada Bunda, nggak usah takut ya?”
“Pulang saja yuk, Nda?” bisiknya lagi.
Apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi. Arsya sudah mulai tak nyaman dengan keadaan di rumah ini.
“Sudah hampir malam, masa mau pulang. Kasihan nenek masa baru bertemu Arsya sebentar sudah mau ditinggal pulang lagi sih?”
Aku membelai rambutnya. Dia hanya diam, menuruti perkataanku.
***
Hari semakin gelap. Malam pertama menginap di rumah ibu. Kami sudah ada di dalam kamar yang tadi ibu bereskan.
Mas Ubay dan Arsya sudah lelap tertidur. Mataku masih enggan untuk terlelap. Suasanan di sini sangat sunyi. Jangkrik dan hewan malam saja yang terdengar di telinga. Sebenarnya sangat nyaman untuk tidur, tapi mataku masih segar tak mau terpejam.
Kuk, kuk, kuk ….
Suara burung hantu tak kunjung berhenti bernyanyi. Aku mendengarnya lama-lama jadi ngeri sendiri. Kubenamkan badan di dalam selimut yang kubawa sendiri dari rumah.
Gedebuk!
Telingaku mendengar benda jatuh dari luar rumah. Mungkin hanya buah kelapa yang jatuh dari pohonnya. Di samping rumah memang ada pohon kelapa yang menjulang tinggi. Perasaanku semakin tak nyaman. Di dalam selimut mata kupaksa agar bisa terpejam.
Srek, srek, srek ….
Namun, bukannya terpejam, kini telingaku mendengar ada langkah yang sangat pelan mendekat ke pintu kamar ini. Jantungku semakin berdebar. Mulutku komat-kamit melafadzkan doa untuk mengusir rasa takut yang kian menyergap. Pikiranku sudah membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Membuatku semakin masuk ke jurang ketakutan.
“Aku menemukanmu. Akhirnya kalian datang ke sini, hihihi ….”
Samar aku mendengar orang berbicara diselingi dengan tawa yang menakutkan. Aku semakin membenamkan diri ke dalam selimut. Jantungku berdebar sangat tak menentu. Sekujur tubuhku merinding. Suara siapa barusan? Apakah ibu belum tidur?
Srek, srek, srek ….
Langkah itu kembali terdengar. Namun kini semakin menghilang.
“Ya Allah … sebenarnya tadi itu suara siapa? Apa aku hanya berhalusinasi saja karena perasaan takut? Lindungi kami ya Allah ….”
Aku bergumam dan terus mencoba untuk memejamkan mata.
“Nda! Bangun, Nda! Sudah pagi lho, Nda?”
Sepertinya suara mas Ubay. Aku membuka mata perlahan.
“Udah pagi, Yah?” tanyaku saat melihat mas Ubay yang membangunkanku.
“Sudah, Nda. Bangun sana, sholat dulu. Udaranya segar banget lho, Nda.”
Aku bangkit dari kasur dan duduk ditepian ranjang. Arsya masih tidur lelap di sampingku.
“Yah, tadi malam aku nggak bisa tidur. Aku dengar ada orang berbicara di balik pintu lho, Yah. Siapa ya? Apa ibu yang masih belum tidur? Padahal sudah lewat tengah malam lho, Yah.”
Aku menceritakan tentang kejadian tadi malam yang kualami.
“Bunda mimpi kali? Ibu pasti sudah tidur. Sudah malam ngapain di depan pintu.”
Wajar memang jika mas Ubay tidak mempercayainya.
“Bunda nggak mungkin bermimpi, Yah. Itu kejadian nyata. Aku dengar ada langkah kaki sangat pelan mendekat ke pintu, lalu dia ngomong sambil tertawa kayak gitu lah, Bunda ngeri banget tadi malam.”
Mas Ubay mengerutkan keningnya.
“Bunda sholat dulu sana. Keburu tambah siang. Ini sudah jam lima lebih lho?”
Bukannya merespon perkataanku, mas Ubay justru mengalihkan pembicaraan.
“Ayah nggak percaya?”
“Bunda pasti mimpi. Sudah jangan dipikirkan terlalu serius. Nanti malah nggak betah. Katanya mau menenangkan diri tinggal di desa sejenak, Nda. Kalau mimpi itu dipikirkan terus, lama-lama kamu malah nggak tenang dan nggak bisa menikmati suasanan pedesaan yang ada di sini.”
“Ayah … Bunda nggak bermimpi. Telingaku sendiri yang mendengarnya, Yah. Samar sih, tapi aku ingat orang itu ngomong sama tertawa juga, Yah. Katanya, dia sudah menemukan kita, Yah. Karena kita datang ke sini.”
“Bunda … sholat dulu sana. Sudah tambah siang lho.”
Ya, mas Ubay tetap tak bisa menerima ceritaku yang kuyakini adalah kenyataan bukanlah sebuah mimpi. Akhirnya, aku pun bangkit dan pergi ke kamar mandi. Untung saja, kamar mandinya berada di dalam rumah. Perasaanku sedikit lega.
“Padahal aku nggak bermimpi. Telingaku pasti nggak salah dengar,” gumamku.
Di dalam kamar mandi pun gelap. Hanya ada lampu minyak seperti di ruangan yang lain.
Aku mengambil air dan membasuhkannya ke wajah. Airnya sangat segar. Saat membuka mata, aku melihat seorang nenek berambut putih di dalam kaca yang ada dihadapanku. Meski samar karena cahaya temaram, tapi aku yakin ada pantulan sosok itu di sana.
“Astaghfirullah!”
Kembali mata ini kututup. Segera kuselesaikan kegiatan di dalam kamar mandi dengan mata terpejam. Aku takut jika nanti melihat sosok itu lagi di dalam cermin. Apa itu yang Arsya maksud? Temannya ibu? Jika iya, berarti … ih, serem.
Aku mengintip untuk membuka pintu dan segera keluar dari sana. Saking takutnya, aku segera berlarian menuju ke kamar tanpa melihat dengan pasti.
Gubrak!
Aku menabrak seseorang dan terjatuh.
“Maaf Bu, Fira nggak melihat Ibu.”
Ternyata orang yang kutabrak adalah ibu mertua tengah membawa kotak yang waktu itu Arsya pegang. Untungnya yang jatuh hanya kotaknya saja. Itu pun masih tertutup rapat.
“Ada apa, Nda?”
Mas Ubay keluar dari kamar.
“Fira, lain kali hati-hati ya,” ucap ibu mertua, beliau tidak marah. Padahal kotak berharganya baru saja terjatuh.
Kini tangan beliau mengambil kotak tersebut.
“Maafkan Fira, Bu. Sini Fira bantu.”
Aku merasa bersalah dan ingin menebus kesalahan yang baru saja kuperbuat.
“Nggak usah,” tolak beliau.
“Aku saja yang bawa, Bu. Pasti berat.”
Mas Ubay ikut menawarkan diri.
“Nggak usah. Ini nggak berat. Oh iya, kalian jangan sampai membuka gubuk yang ada di belakang rumah ya, apalagi masuk ke sana. Ibu nggak mengizinkan,” ucap beliau seraya pergi membawa kotak itu di tangan.
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Nda, sebenarnya ada apa di dalam gubuk itu? Waktu kamu keluar dari sana, wajahmu terlihat sangat pucat. Mangkanya aku khawatir banget sama kamu, Nda. Apa alasan ibu melarang kita masuk ke sana sih, Nda? Lalu, kenapa wajahmu tadi sepucat itu?”Mas Ubay sangat penasaran dengan apa yang baru saja kualami.“Nda, kok lama banget? Cari bolanya susah ya, Nda?”Arsya datang menghampiriku saat melihatku muncul dari arah samping rumah.“Iya Sayang. Bunda sampai pusing cari bolanya nggak nemu-nemu. Maaf ya, kalau Bunda lama.”Aku harus pintar berakting dihadapan putra semata wayangku. Padahal semua y
POV Ibu***‘Fira, kenapa malah kamu mencari masalah sih? Padahal aku sudah menenangkannya dengan susah payah. Ck! Anak itu memang ya, sudah kularang tetap saja nekat masuk ke dalam gubuk,’ batinku seraya masuk ke gubuk.Aku tak peduli jika Ubay dan Fira mulai curiga kepadaku. Yang kuharapkan mereka baik-baik saja dan segera pergi dari sini. Mungkin kejadian ini membuat mereka berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini. Ya, semoga saja mereka berpikir seperti itu. Biar aku di sini yang menanggung segalanya, asal mereka bahagia.Di dalam gubuk pemandangnnya sudah seperti kapal pecah. Dia pasti marah tapi tak bisa melukai Fira. Syukurlah dia masih mau menurutiku.
Beberapa saat setelah melihat ibu membawa tampah kecil beserta ayam hitam yang masih hidup, aku masih ragu untuk mengatakannya kepada mas Ubay. Aku berusaha menepis rasa curiga dan meneruskan permainan yang kami lakukan. Tapi, apa yang kulihat tadi selalu mengganggu pikiranku.“Udah turun semua Yah, ayo kita ambil tanahnya lagi di sana. Aku menang ‘kan, Yah?”Arsya sangat bersemangat kala bermain mobil-mobilan dan tanah bersama kami.“Ayo, tapi Arsya sendiri yang masukin tanah ke mobilnya ya? Bunda mau ngomong penting dulu sama ayah.”Aku menyela pertanyaan Arsya yang ditujukan kepada ayahnya.&l
“Bunda, kita harus melakukannya biar semuanya jelas. Kalau benda itu sudah ada pada kita, ibu pasti nggak bisa menyangkal lagi. Ibu akan menceritakan segalanya. Setelahnya kita bakar benda itu dan membawa ibu pulang bersama kita. Semua pasti akan baik-baik saja, Nda. Kita bismillah saja ya?”“Iya Yah, tapi Bunda tetap saja merasa takut, Yah.”“Nggak akan terjadi apa-apa, Nda. Masih ada Tuhan yang melindungi kita. Secepatnya akan Ayah lakukan, Nda.”Mas Ubay sudah bertekad, bagaimana pun keadaannya, dia tetap akan melakukan misinya itu. Aku hanya terdiam, bingung, akan mendukung atau justru menolak rencananya. Yang pasti ada rasa takut bersemayam di lubuk hati.
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag