“Bunda, kita harus melakukannya biar semuanya jelas. Kalau benda itu sudah ada pada kita, ibu pasti nggak bisa menyangkal lagi. Ibu akan menceritakan segalanya. Setelahnya kita bakar benda itu dan membawa ibu pulang bersama kita. Semua pasti akan baik-baik saja, Nda. Kita bismillah saja ya?”
“Iya Yah, tapi Bunda tetap saja merasa takut, Yah.”
“Nggak akan terjadi apa-apa, Nda. Masih ada Tuhan yang melindungi kita. Secepatnya akan Ayah lakukan, Nda.”
Mas Ubay sudah bertekad, bagaimana pun keadaannya, dia tetap akan melakukan misinya itu. Aku hanya terdiam, bingung, akan mendukung atau justru menolak rencananya. Yang pasti ada rasa takut bersemayam di lubuk hati.
Mas Ubay masuk ke kamar ibu dangan mengendap-endap. Sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan suara. Aku yang melihatnya ikut merasa tegang. Rencana awal harus sukses tanpa ada hambatan.Kini mas Ubay sudah tak terlihat olehku. Dia sudah masuk dan mungkin mulai mencari kunci yang disimpan. Aku celingukan memastikan keadaan tetap aman. Dari arah kamar mandi belum terdengar ada suara guyuran air.Sepertinya ibu masih sibuk dengan pakaian sehingga belum memulai untuk membasahi badannya dengan air.“Semoga saja mas Ubay berhasil menemukan kunci itu sebelum ibu selesai mandi. Beliau saja sepertinya belum memulainya. Ya, pasti rencana ini berhasil.”Aku bergumam dan sangat berharap semua terjadi sesuai harapan.
“Yah, nggak tidur dulu?” tanyaku saat sudah didekatnya.Mas Ubay sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sinyal saja susah, percuma jika harus memegang gawai.“Belum ngantuk, Nda. Sana Bunda tidur dulu.” Dia justru memerintahku.“Sama, aku juga belum ngantuk, Yah.” Aku duduk di sebelahnya.“Arsya sudah tidur, Nda?”“Sudah. Tadinya minta ke sini, tapi tetap saja kuajak tidur.”Mas Ubay manggut-manggut tanpa mengucapkan kalimat lain.&ldqu
“Bismillah, Nda.”Perlahan kami melangkah memasuki gubuk. Di dalam sama gelapnya seperti di luar. Tidak ada lampu penerangan di dalam sini.“Nda, aku cari gawai dulu di tas. Gelap gini susah carinya. Kita harus cepat-cepat mendapatkannya.”Aku tak menjawab perkataannya. Pikiranku kembali teringat akan kejadian tadi pagi yang baru saja kualami. Aku di dalam sini bersama sosok nenek bermuka seram penuh luka. Aku tak mau mengingatnya, namun kejadian itu muncul dengan sendirinya.Mas Ubay berhasil mendapatkan gawai dan segera mencari lampu senter yang ada di gawai itu.“Alhamdulillah, kita bisa melih
“Astaghfirullah, Yah! Kenapa lampunya mati? Apa yang terjadi! Yah, kamu dimana, Yah? Aku mendengar suara menakutkan itu lagi, Yah! Aku takut, Yah!”Dalam kegelapan, tanpa ada cahaya sama sekali, aku histeris. Sosok itu seakan tak jauh dariku. Kudekap Arsya erat-erat. Aku takut sosok itu akan melukai Arsya.“Nda! Ayah kesitu, Nda. Bunda tenang dulu ya? Banyakin doa, Nda.”Suara mas Ubay menyahut perkataanku. Mungkin dia sedang mendekatiku. Mata ini sama sekali tak bisa melihat apapun. Gelap gulita.Gubrak!“Aduh! Sakit!” pekik mas Ubay.
“Hihihi ….”Suara menyeramkan itu kembali terdengar.“Argh!”Sosok itu menarik rambutku semakin kuat.“Lepas! Sakit!”Aku tetap mencoba menahan rambut yang ditarik semakin kuat dengan satu tangan.“Serahkan anak itu!”“Nggak! Selamanya nggak akan kuberikan!”“Lancang!”“Arg
Aku dan mas Ubay membaca ayat dan doa untuk mengusir dari gangguan jin dan setan di gawai. Dalam hati sangat berharap Sang Pencipta memberikan pertolongan pada kami. Sekarang Arsya menangis ditawan sosok itu. Aku sangat khawatir. Kenapa harus Arsya yang diincar? Bocah sekecil dia sudah harus mengalami hal magis seperti ini.“Diam! Hentikan ayat-ayat terkutuk ini! Hentikan! Manusia munafik! Hentikan sebelum anak ini semakin tersiksa!”Ada sedikit kekhawatiran saat sosok itu mengancam akan melukai Arsya.“Nda … hiks! Arsya takut, Nda!”Arsya meronta, berusaha untuk pergi dari cengkraman sosok itu. Tapi semua sia-sia, dengan kekuatan di luar nalar, sosok itu menah
POV Ibu***“Ibu melakukannya hanya untuk membahagiakan kalian. Ibu nggak mau kalian selalu bersedih. Maafkan Ibu.”Jika akan terjadi seperti ini, lebih baik dari awal kubakar saja boneka itu di sini bersama denganku. Aku menyesal membiarkan Ubay dan keluarganya hampir celaka karena ulahku. Karena keegoisanku hampir merenggut nyawa mereka semua.“Apa sih maksud Ibu? Ayo ceritakan semuanya. Ibu nggak boleh lagi merahasiakan apapun juga di belakang kami, meski menurut Ibu semua itu demi kebaikan kami. Lebih baik Ibu jujur saja. Aku nggak mau Ibu memikirkannya sendiri. Ibu masih punya kami, Bu.”Ubay mene
POV IbuFlashback on.***Bu Ani clingak-clinguk seperti mencari seseorang. Aku jadi ikut melihat ke kanan dan ke kiri penasaran apa yang sedang dicari olehnya.“Cari apa, Bu?” tanyaku lagi.“Ssttt! Kalau mau tanya soal itu, sini duduk di sebelahku. Kita bicara jangan sampai ada orang yang mendengar lagi.”Meski ada tanda tanya, aku menurutinya saja. Aku duduk di sebelahnya berbagi bangku.“Iya Bu, jadi gimana?”
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag