“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.
“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”
Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.
“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.
“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”
“Fira bantu ya, Bu?”
Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
“Nggak usaha. Kamu sama Arsya saja,” ucap beliau sembari pergi ke dapur.
Aku menurut saja. Memang sih di sini posisiku sebagai tamu, tapi dulu ibu senang kalau aku membantunya memasak di dapur. Berjalannya waktu, beliau terlihat tak sehangat dulu. Atau memang karena keadaan yang telah memisahkan kita sehingga rasa hangat itu kian memudar. Rasanya seperti menantu baru saja. Apa yang kubayangkan jauh berbeda dengan kenyataan yang saat ini kurasakan.
“Nda, kita nggak jadi pulang sekarang?” tanya Arsya.
“Belum Sayang. Nanti malam kita boleh pakai listrik. Jadinya nggak gelap-gelapan kayak tadi malam. Arsya pasti nggak takut lagi. Nggak apa-apa ya? Kita di sini dulu.”
Sehalus mungkin aku membujuknya. Meski rasa takutku saja belum sepenuhnya hilang, tapi aku tak enak hati dengan ibu dan mas Ubay. Sebenarnya aku juga masih kangen sama ibu, tapi sifatnya itu yang tak sehangat dulu membuat pagar pembatas antara kami berdua. Atau mungkin karena setelah sekian lama baru bertemu lagi. Ya, mungkin begitu.
Arsya terlihat murung. Rasa takutnya pasti masih sangat melekat dipikirannya. Kasihan sebenarnya, tapi mas Ubay pasti menyuruhku untuk tetap membujuknya agar mau tinggal di sini sementara waktu. Mengingat ini kesempatan emas bisa berkunjung ke rumah ibu. Mungkin jika sudah pulang ke rumah, ibu akan melarang lagi untuk datang ke sini. Entah apa alasannya, aku belum mengetahuinya.
“Bentar lagi mataharinya nongol, Sya. Nanti habis sarapan kita main bola yuk. Atau main mobil-mobilan angkutin tanah yang ada di halaman sana. Mau ya? Bunda sudah nggak sabar lho, Sya.”
Tugasku harus membuat Arsya ceria lagi. Bagaimana pun caranya akan kulakukan. Dia harus menikmati apa yang ada di sini untuk sementara waktu. Meminta pulang pun sepertinya belum tentu dikabulkan oleh mas Ubay.
“Bunda sama Arsya terus ya? Jangan pergi-pergi.”
Perlahan wajah murungnya kembali ceria. Aku sangat bersyukur, Arsya bisa memahami keadaan saat ini. Meski ada rasa kasihan di dalam hatiku, semoga saja kedepannya tidak terjadi apa-apa.
“Iya, Bunda janji,” ucapku seraya tersenyum.
“Gawai Arsya mana? Sebelum main bola Arsya mau main gawai dulu, Nda. Harus makan dulu ‘kan, baru boleh main bola?”
Perasaannya pasti semakin membaik, dia tak lagi merengek meminta pulang. Syukurlah ….
“Ada di kamar. Bunda ambil dulu sebentar ya? Arsya di sini sama ayah dulu.”
“Iya, Nda ….”
Aku masuk ke dalam untuk pergi ke kamar mengambil gawai. Saat menyibakkan tirai, aku merasa ibu sedang berbicara sendiri sambil mengolah masakan.
Langkah kuperlambat. Telinga kupasang untuk menguping apa yang sedang diucapkan oleh beliau.
“Aku mohon, jangan ganggu mereka. Untuk sementara waktu, tinggallah di gubuk itu. Apa pun akan kulakukan, asal jangan mengambilnya.”
‘Ibu lagi ngomong sama siapa sih? Apa orang yang diajak bicara ada di luar pintu belakang. Pintunya ‘kan terbuka. Pasti ada orang di sana. Aku coba mendekat ke sana saja,’ batinku.
Karena penasaran, aku pun menghampiri beliau yang sedang sibuk memasak.
“Bu, masak apa?” sapaku dari belakang.
Pandanganku sesekali mencari seseorang di luar pintu belakang yang terbuka.
“Lho, Fira? Kenapa malah ke dapur? Kamu nggak usah membantu Ibu. Kamu tunggu saja di depan. Kalau sudah matang semua, Ibu akan membawanya ke depan. Kamu nggak usah datang ke sini.”
Jawaban ibu cukup panjang, padahal aku hanya bertanya tentang menu saja. Beliau pun terlihat kaget melihatku sudah ada didekatnya. Dan lagi, aku tak menemukan siapa pun di luar rumah. Jadi, tadi beliau berbicara dengan siapa? Apa aku harus menanyakannya?
“Nggak kok, Bu. Kebetulan lewat saja. Fira mau ambil gawai di kamar, tapi tadi Fira mendengar Ibu sedang berbicara dengan seseorang. Ibu bicara sama siapa?”
Akhirnya aku menanyakannya juga. Daripada penasaran, lebih baik bertanya saja.
“Oh, begitu … itu, anu Ibu nggak ngomong sama siapa-siapa. Kebiasaan bergumam saja.”
Nada bicara beliau terdengar tak meyakinkan. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mempercayainya saja. Akan bertanya lebih, rasanya tak enak hati.
“Kalau Ibu kesepian, lebih baik Ibu pulang ke rumah Fira saja yuk. Di sana banyak temannya, Bu. Tetangga Fira baik-baik semua.”
Dengan senang hati aku menawarkannya. Kasihan jika memang ibu kebiasaan bergumam sendiri seperti itu.
“Nggak usah Fira. Terima kasih. Ibu mau di sini saja. Ibu sudah betah di sini.”
Jawaban itu membuat bibirku terkunci rapat. Jika ibu sudah betah di sini, akan ditawarkan apa pun juga, tetap saja keputusannya itu tidak bisa diganggu gugat. Ya sudah, terserah beliau saja. Yang penting ibu bahagia. Biarkan masa tuanya dilalui dengan apa yang beliau inginkan. Senyamannya saja.
“Ya sudah, Bu. Fira mau ke kamar dulu ya? Arsya pasti sudah menunggu.”
“Iya, jangan ke sini lagi. Kalau nanti sudah selesai, Ibu akan membawakannya ke depan. Kamu bersantai saja. Urusi Arsya saja. Jaga dia baik-baik.”
“Ya Bu.”
Aku pergi ke kamar dengan banyak tanda tanya. Jika ibu berbicara seperti memberikan suatu tanda yang tak bisa kumengerti. Kata-katanya itu, seolah Arsya dalam keadaan bahaya. Saat ibu bergumam tadi saja terdengar aneh. Apa mungkin di sini ada bahaya yang mengancam sehingga dari dulu ibu melarang kami datang? Ah, entahlah. Kepalaku pusing jika memikirkan sesuatu yang tak kuketahui dengan pasti. Ada mas Ubay ini yang bisa melindungi kami. Tentunya Sang Kuasa pasti akan melindungi hamba-hamba-Nya dimanapun berada.
***
“Ayo Nda, kita main. Mataharinya udah nongol tuh.”
Arsya sudah kembali ceria. Aku sangat bersyukur, secepat itu dia melupakan mimpi buruknya.
“Iya Sayang. Makan dulu ya?”
Di hadapan kami sudah ada makanan untuk sarapan. Ibu memasak sayur papaya muda, telur dadar dan sambal. Sangat sederhana, tapi aku yakin masakan ini sangat enak. Dari dulu, masakan ibu memang pas di lidahku. Rasanya sangat enak menurutku.
“Pakai apa, Nda?” tanya Arsya dari ambang pintu.
“Ayo sini dulu. Pasti enak.”
“Iya Nda.”
Dari kecil Arsya sudah suka pedas. Jadi, tidak bingung memberinya makan. Apa saja dia pun suka. Makannya selalu banyak tapi aktivitasnya pun banyak. Jadi badannya terlihat proposional.
Setelah sarapan selesai, Arsya sudah tak sabar untuk bermain. Aku mengikutinya saja. Mas Ubay sibuk mencari sinyal. Di sini sinyal ternyata lumayan susah. Dia berjalan entah kemana untuk mencari sinyal yang lebih kuat.
“Nda, bolanya Arsya tendang ya?”
“Iya Sayang.”
Kami bermain di samping rumah. Di sana tanahnya lebih halus tanpa ada batu kerikil seperti di halaman depan.
Arsya menendang bola lumayan kuat. Bola itu bergulir cukup jauh sampai masuk ke gubuk belakang rumah.
“Nda … kok nggak ditangkap sih? Bolanya jadi masuk ke sana ‘kan?” protes Arsya.
“Arsya kalau nendang jangan kuat-kuat dong. Bunda takut kena wajah. Pasti sakit.”
“Yahh, Bunda. Gimana sih? Terus bolanya siapa yang ambil?”
“Ya udah, Arsya mainan mobil-mobilan dulu. Bunda mau ambil bolanya.”
“Iya Nda. Jangan lama-lama.”
Aku pergi melangkah ke gubuk tersebut.
“Itu ‘kan gubuk yang dimaksud sama ibu. Aku dilarang memasukinya. Ck. Jadi gimana dong?”
Ada keraguan di dalam hati. Sepertinya tadi ibu pergi entah kemana. Kini hanya aku yang ada di sini. Mas Ubay pun tak terlihat batang hidungnya.
Semakin dekat dengan gubuk itu, perasaanku semakin tak enak.
“Masuk nggak ya? Tapi Arsya pasti kecewa kalau bundanya nggak bawa bolanya. Mana bola kesayangannya lagi. Ah … bismillah saja. Sudah siang. Jangan takut, Fira.”
Dengan pertimbangan matang. Aku pun melangkah masuk ke dalam gubuk tersebut.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Nda, sebenarnya ada apa di dalam gubuk itu? Waktu kamu keluar dari sana, wajahmu terlihat sangat pucat. Mangkanya aku khawatir banget sama kamu, Nda. Apa alasan ibu melarang kita masuk ke sana sih, Nda? Lalu, kenapa wajahmu tadi sepucat itu?”Mas Ubay sangat penasaran dengan apa yang baru saja kualami.“Nda, kok lama banget? Cari bolanya susah ya, Nda?”Arsya datang menghampiriku saat melihatku muncul dari arah samping rumah.“Iya Sayang. Bunda sampai pusing cari bolanya nggak nemu-nemu. Maaf ya, kalau Bunda lama.”Aku harus pintar berakting dihadapan putra semata wayangku. Padahal semua y
POV Ibu***‘Fira, kenapa malah kamu mencari masalah sih? Padahal aku sudah menenangkannya dengan susah payah. Ck! Anak itu memang ya, sudah kularang tetap saja nekat masuk ke dalam gubuk,’ batinku seraya masuk ke gubuk.Aku tak peduli jika Ubay dan Fira mulai curiga kepadaku. Yang kuharapkan mereka baik-baik saja dan segera pergi dari sini. Mungkin kejadian ini membuat mereka berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini. Ya, semoga saja mereka berpikir seperti itu. Biar aku di sini yang menanggung segalanya, asal mereka bahagia.Di dalam gubuk pemandangnnya sudah seperti kapal pecah. Dia pasti marah tapi tak bisa melukai Fira. Syukurlah dia masih mau menurutiku.
Beberapa saat setelah melihat ibu membawa tampah kecil beserta ayam hitam yang masih hidup, aku masih ragu untuk mengatakannya kepada mas Ubay. Aku berusaha menepis rasa curiga dan meneruskan permainan yang kami lakukan. Tapi, apa yang kulihat tadi selalu mengganggu pikiranku.“Udah turun semua Yah, ayo kita ambil tanahnya lagi di sana. Aku menang ‘kan, Yah?”Arsya sangat bersemangat kala bermain mobil-mobilan dan tanah bersama kami.“Ayo, tapi Arsya sendiri yang masukin tanah ke mobilnya ya? Bunda mau ngomong penting dulu sama ayah.”Aku menyela pertanyaan Arsya yang ditujukan kepada ayahnya.&l
“Bunda, kita harus melakukannya biar semuanya jelas. Kalau benda itu sudah ada pada kita, ibu pasti nggak bisa menyangkal lagi. Ibu akan menceritakan segalanya. Setelahnya kita bakar benda itu dan membawa ibu pulang bersama kita. Semua pasti akan baik-baik saja, Nda. Kita bismillah saja ya?”“Iya Yah, tapi Bunda tetap saja merasa takut, Yah.”“Nggak akan terjadi apa-apa, Nda. Masih ada Tuhan yang melindungi kita. Secepatnya akan Ayah lakukan, Nda.”Mas Ubay sudah bertekad, bagaimana pun keadaannya, dia tetap akan melakukan misinya itu. Aku hanya terdiam, bingung, akan mendukung atau justru menolak rencananya. Yang pasti ada rasa takut bersemayam di lubuk hati.
Mas Ubay masuk ke kamar ibu dangan mengendap-endap. Sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan suara. Aku yang melihatnya ikut merasa tegang. Rencana awal harus sukses tanpa ada hambatan.Kini mas Ubay sudah tak terlihat olehku. Dia sudah masuk dan mungkin mulai mencari kunci yang disimpan. Aku celingukan memastikan keadaan tetap aman. Dari arah kamar mandi belum terdengar ada suara guyuran air.Sepertinya ibu masih sibuk dengan pakaian sehingga belum memulai untuk membasahi badannya dengan air.“Semoga saja mas Ubay berhasil menemukan kunci itu sebelum ibu selesai mandi. Beliau saja sepertinya belum memulainya. Ya, pasti rencana ini berhasil.”Aku bergumam dan sangat berharap semua terjadi sesuai harapan.
“Yah, nggak tidur dulu?” tanyaku saat sudah didekatnya.Mas Ubay sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sinyal saja susah, percuma jika harus memegang gawai.“Belum ngantuk, Nda. Sana Bunda tidur dulu.” Dia justru memerintahku.“Sama, aku juga belum ngantuk, Yah.” Aku duduk di sebelahnya.“Arsya sudah tidur, Nda?”“Sudah. Tadinya minta ke sini, tapi tetap saja kuajak tidur.”Mas Ubay manggut-manggut tanpa mengucapkan kalimat lain.&ldqu
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag