“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.
Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.
“Ubay? Fira?”
Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.
Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.
“Iya Bu, ini kami. Aku sangat ingin bertemu sama Ibu. Kami kangen, Bu,” ucap mas Ubay masih memeluk beliau.
Ibu hanya bergeming. Beliau pasti sama seperti kami, merasa sangat bahagia.
Mas Ubay melepas pelukannya, kini giliranku memeluk beliau.
“Ibu, Fira kangen. Ibu di sini sehat ‘kan?”
Aku tak lama memeluk beliau karena ingin segera mengenalkan Arsya kepada neneknya.
“Arsya, ayo salim sama nenek,” perintahku kepada Arsya. “Bu, ini anak kami yang waktu itu masih di dalam perut, sekarang sudah besar, Bu. Namanya Arsya.”
Aku mengucapkannya dengan penuh haru. Dulu ibu ingin sekali melihatku hamil, tapi setelah hamil, beliau menyuruh kami untuk pergi ke kota. Jelas saja, beliau belum sempat melihat anakku yang tumbuh semakin besar.
Arsya meraih tangan neneknya. Namun, ibu mertua tetap saja bergeming.
“Nda, ini nenek Arsya, ibunya Ayah?” tanya Arsya sebelum dia mencium punggung tangan milik neneknya.
“Iya, ayo salim,” perintahku lagi.
Arsya pun menurut, namun ibu seperti tak bersemangat menyambut kedatangan kami. Aku tak mau berpikir negative, tapi dari ekspresi diamnya beliau terlihat tak nyaman.
“Ibu, Ibu sehat ‘kan?” tanyaku memastikan.
“Iya, Ibu sehat-sehat saja ‘kan di sini? Ibu betah tinggal sendirian seperti ini?”
Mas Ubay ikut saja bertanya. Pasti dia pun merasakan keanehan yang sama sepertiku.
“Nda, kok nenek kayak nggak senang ketemu sama Arsya sih?” bisik Arsya. Dia sudah berada di dekatku lagi.
“Ssstt! Arsya nggak boleh ngomong begitu ya? Mungkin nenek lagi nggak enak badan.”
Jagoan kecilku hanya mengangguk.
“Kenapa kalian ke sini? Bukannya Ibu melarang kalian datang ke sini? Apa kalian nggak dengar apa kata Ibu?”
Aku dan mas Ubay yang tersenyum bahagia. Kini senyuman itu mulai hilang. Kenapa ibu justru tak suka kami datang ke sini? Bukannya beliau itu harusnya senang, anak dan cucunya mau datang menjenguknya di sini?
Kami saling memandang. Dalam diriku kembali mengingat akan perkataan mas Ubay saat di meja makan. Saat mas Ubay seolah mempersulit datang ke sini. Ucapannya persis seperti yang diucapkan ibu tadi. Beliau tak suka kami ada di sini. Dan ternyata bukan mas Ubay yang ada di meja makan waktu itu. Apa semua ada hubungannya? Bulu kudukku kembali berdiri.
“Bu, kok Ibu ngomong begitu? Kami kangen sama Ibu. Apa Ibu nggak kangen sama kami? Kasihan Arsya nggak pernah bertemu sama neneknya. Apa Ibu nggak mau bertemu sama cucu Ibu? Padahal dulu Ibu sangat menginginkan seorang cucu. Aku pikir Ibu mau melihat cucu Ibu. Jadi aku memutuskan mengajaknya ke sini, Bu. Tapi kenapa Ibu ngomongnya seperti itu? Kenapa kami dilarang menjenguk Ibu? Apa ada alasan yang masuk akal, Bu?”
Mas Ubay pasti syok saat mendengar penolakan dari ibunya sendiri. Dia bertanya banyak hal. Pasti perasaannya terkoyak dan kepalanya penuh dengan tanda tanya.
Ibu tak menjawab. Ekspresinya terlihat seperti orang bingung bercampur khawatir.
“Bu, Ibu sehat ‘kan?” tanyaku setelah melihat beliau hanya terdiam.
“Ayo masuk dulu. Sudah tambah petang,” ucap beliau tanpa mempedulikan pertanyaanku.
Beliau berjalan di depan membimbing kami memasuki rumah.
“Nda, kalau nenek di luar, terus tadi yang Arsya lihat di dalam itu siapa ya, Nda? Arsya kira nenek yang lagi mengintip. Soalnya rambutnya putih. Tapi nenek yang ini rambut putihnya hanya di dekat kening. Yang tadi Arsya lihat, kayaknya panjang terus putih semua.”
Mendadak perasaanku jadi tak enak. Perkataan Arsya membuat jantungku berdebar. Hawa mistis seakan menyelubungi pikiranku.
“Mungkin Arsya salah lihat.”
“Nggak Nda, Arsya nggak salah lihat. Coba nanti Arsya lihat-lihat di dalam rumah nenek, siapa tau ada teman nenek di dalam rumah itu. Iya ‘kan, Nda?”
Arsya saja masih bisa berpikir positif, kenapa justru pikiranku melayang jauh ke hal-hal yang mistis. Iya, mungkin benar apa yang diucapkan Arsya. Atau mungkin mata Arsya saja yang salah melihat. Ya, mungkin begitu. Aku tidak boleh jadi penakut.
“Iya, mungkin begitu, Sya.”
Kami memasuki rumah beliau. Di ruang tamunya tak banyak perabot. Hanya ada kursi dan meja serta tikar yang sengaja digelar. Ruang tamunya cukup luas, mungkin jika masuk lagi ke dalam, hanya ada dua kamar, dapur dan kamar mandi saja. Mengingat rumah ini terlihat kecil.
“Ayo duduk. Kalian tunggu di sini dulu, Ibu mau bersihin kamar kalian.”
“Duduk saja dulu, Bu. Itu gampang nanti Fira bantu,” ucapku.
“Kamu pasti capek, Ibu nggak usah dibantu, nggak apa-apa kok.”
Ternyata ibu mertua masih sama seperti dulu. Beliau ingin tak merepotkan menantunya. Karena itu, aku nyaman dengan beliau. Ibu begitu sayang dan perhatian kepadaku.
“Tapi nanti saja Bu. Kita duduk ngobrol-ngobrol dulu. Kita lama banget nggak bisa bertemu seperti ini ‘kan?”
Mas Ubay ikut mencegah ibu untuk pergi meski sebentar.
“Barang-barangku juga masih ada di dalam mobil. Biarlah nanti saja. Kita mengobrol dulu di sini,” ucap mas Ubay lagi.
“Ibu buatkan minuman dulu saja ya?”
“Biarin saja Bu, nggak usah repot-repot. Kita nggak haus kok, biar Fira saja nanti yang mengurusi kami. Ibu duduk saja di sini.”
Mas Ubay kembali mencegah ibu mertua yang akan pergi. Aku kira dari tadi sifat beliau sedikit aneh. Sepertinya beliau tidak nyaman dengan kedatangan kami ke sini.
“Ya sudah, takutnya kalian itu capek. Jadi Ibu mau bersihkan kamar yang nggak kepakai dulu, biar nanti kalian bisa langsung beristirahat.”
“Itu gampang, Bu. Nanti aku saja yang membersihkannya,” ucapku.
“Nda, kok kayaknya nggak ada temannya nenek yang tadi mengintip di jendela ya, Nda? Atau orangnya udah pergi?” bisik Arsya.
Dia masih saja membahas masalah yang membuatku merinding. Padahal aku sudah lupa saat tadi berbicara dengan ibu mertua.
“Iya mungkin udah pulang,” jawabku ikut berbisik.
“Tapi Nda, lewat mana coba? Apa mungkin lewat belakang?”
“Iya, pasti lewat belakang. Arsya dari tadi hanya mencari begituan saja?” tanyaku.
“Iya Nda, hehehe.”
“Coba tanya sama nenek langsung.”
“Arsya boleh tanya, Nda?”
“Iya boleh.”
Dia sepertinya mengambil napas sebelum melontarkan pertanyaan tersebut. Aku pun tersenyum dibuatnya.
“Nenek, apa di sini ada teman Nenek? Tadi Arsya lihat ada yang mengintip dari jendela situ lho, Nek. Terus sekarang teman Nenek dimana? Udah pulang ya?”
Arsya bertanya seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Ibu pun terlihat kaget mendapat pertanyaan seperti itu.
“Memang iya, Bu. Ibu di sini tinggal sama teman Ibu? Syukur deh kalau begitu Ibu nggak sendirian.”
Mas Ubay ikut penasaran. Raut wajahnya terlihat lega saat mengatakannya.
Gubrak!
Ibu mertua belum sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Arsya dan mas Ubay, tapi ada sesuatu yang terjatuh dari arah belakang.
“Apa yang jatuh, Bu?” tanya mas Ubay.
“Paling kucing. Kalian tunggu di sini saja. Ibu yang akan mengurusnya. Kalian jangan kemana-mana. Rumah Ibu masih sangat berantakan. Kalian harus tetap duduk di sini.”
Beliau mengucapkannya dengan raut wajah khawatir dan meninggalkan kami untuk melihat sesuatu yang baru saja terjatuh di belakang.
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Nda, sebenarnya ada apa di dalam gubuk itu? Waktu kamu keluar dari sana, wajahmu terlihat sangat pucat. Mangkanya aku khawatir banget sama kamu, Nda. Apa alasan ibu melarang kita masuk ke sana sih, Nda? Lalu, kenapa wajahmu tadi sepucat itu?”Mas Ubay sangat penasaran dengan apa yang baru saja kualami.“Nda, kok lama banget? Cari bolanya susah ya, Nda?”Arsya datang menghampiriku saat melihatku muncul dari arah samping rumah.“Iya Sayang. Bunda sampai pusing cari bolanya nggak nemu-nemu. Maaf ya, kalau Bunda lama.”Aku harus pintar berakting dihadapan putra semata wayangku. Padahal semua y
POV Ibu***‘Fira, kenapa malah kamu mencari masalah sih? Padahal aku sudah menenangkannya dengan susah payah. Ck! Anak itu memang ya, sudah kularang tetap saja nekat masuk ke dalam gubuk,’ batinku seraya masuk ke gubuk.Aku tak peduli jika Ubay dan Fira mulai curiga kepadaku. Yang kuharapkan mereka baik-baik saja dan segera pergi dari sini. Mungkin kejadian ini membuat mereka berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini. Ya, semoga saja mereka berpikir seperti itu. Biar aku di sini yang menanggung segalanya, asal mereka bahagia.Di dalam gubuk pemandangnnya sudah seperti kapal pecah. Dia pasti marah tapi tak bisa melukai Fira. Syukurlah dia masih mau menurutiku.
“Hihihi … serahkan anak itu sekarang juga! Dasar manusia munafik!”Kini sosok nenek berwajah seram itu melayang di luar mobil. Mungkin karena kami melafdzakan doa-doa sehingga dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan kami.“Biarkan saja, Nda. Kita tetap melafadzkan doa sampai sosok itu benar-benar lenyap, Nda.”Aku mengangguk dan bibirku terus membaca doa-doa. Kali ini aku bertambah yakin jika sosok itu sebentar lagi akan menyerah dan lenyap untuk selamanya. Boneka itu sebentar lagi pasti akan terbakar habis dan menjadi abu.“Nda, teman nenek apa sudah pergi?” tanya Arsya, dia masih sembunyi dipelukkanku.
“Nda! Mobilnya nggak mau nyala! Gimana ini? Apa aku harus turun dulu, Nda?”Sejak tadi mas Ubay berusaha menstarter mobil, tetapi masih saja nihil. Wajahnya begitu khawatir. Di dalam hatinya pasti sangat mencemaskan aku dan Arsya, dia sampai terpikir akan turun dari mobil untuk mengeceknya.“Nggak usah, Yah. Kita di dalam mobil saja. Kamu nggak boleh turun dari sini. Kita coba saja sampai berhasil. Ada sosok itu di luar, kamu nggak boleh keluar. Bahaya, Yah! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu.”Tentu akan kutolak mentah-mentah ide gilanya. Jika dia keluar dari mobil, lalu sosok itu melukainya, semua akan sia-sia. Pengorbanan ibu kandas begitu saja.
“Astaghfirullah! Ibu kenapa, Nda! Ayo cepat, kita ke sana.”Mas Ubay sangat panik. Kami segera menemui ibu yang berada di depan mobil. Jarak kami memang tidak jauh, tapi tidak bisa melihat keadaan beliau dengan jelas.“Astaghfirullah Ibu!”Segera kututup mata Arsya agar tidak melihat kejadian yang sedang menimpa neneknya.“Arsya merem dulu ya? Arsya tutup telinga dulu ya, pakai tangan Arsya,” ucapku pada Arsya.“Kenapa sih, Nda? Ada teman nenek lagi ya?” tanyanya polos.“Arsya nurut kata Bunda aja ya?”“Iya Nda, biar Arsya nggak takut. Tapi kita cepat pulang ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Percakapanku dengan Arsya selesai. Aku kembali melih
Mendengar semua yang ibu ceritakan membuatku sangat terpukul sekaligus terharu. Karena saking inginnya melihat aku dan Mas Ubay bahagia dengan mempunyai seorang anak, beliau berani berbuat kemusrikan yang sangat luar biasa.“Ubay, Fira … maafkan Ibu ya? Ibu hanya ingin kalian bahagia.”Tangan mas Ubay memegang pelipis dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. Dia membuang napas sebelum menjawab ucapan dari ibu.“Tapi bukan begitu caranya, Bu … apa Ibu nggak takut, musrik itu dosa besar lho, Bu … apalagi sudah memakan korban. Korbannya bapak lho, Bu. Suami Ibu sendiri. Apa sama sekali nggak ada rasa bersalah di dalam hati Ibu? Bukannya bertaubat Ibu malah pindah ke rumah ini dan meneruskannya sampai entah kapan."Kalau saja kami nggak ke sini, Ibu pasti nggak akan sadar dengan kesalahan yang telah Ibu lakukan. Tentang Arsya, seharusnya kita pasrahkan segalanya pada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini, Bu. Bukan mal
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag