“Saya sudah menyelidiki orang yang anda minta, tetapi tidak ada hal yang mencurigakan. Tidak ada hal yang bisa saya temukan dari orang ini, selain semuanya sesuai dengan data yang anda berikan,” jelas Brant yang saat ini bertemu secara rahasia bersama Ivana di salah satu restoran.
“Bagaimana mungkin? Apa anda terus membuntutinya?” tanya Ivana merasa tidak bisa menerima jawaban dari Brant.
“Saya setiap hari membuntutinya, tidak ada hal yang mencurigakan. Pria itu berangkat ke kantor, keluar untuk bertemu klien dan pulang ke rumah setiap sore hari. Bahkan saya berpikir, orang ini termasuk orang yang membosankan, karena rutinitas yang sama terus dia lakukan,” jelas Brant.
“Apa orang yang ditemuinya benar-benar klien dia? Bisa saja dia orang kepercayaannya,” ucap Ivana.
“Saya sudah menyelidiki kliennya, ini data-datanya.” Brant menyerahkan berkas lain pada Ivana. “Itu data orang yang ditemui Arsen, dan semuanya adalah orang yang memakai jasa Arsenio,” ucap Brant.
“Ini terlalu bersih, aku tau dia bukan orang seperti itu,” ucap Ivana saat kembali mengingat kejadian di masa lalunya. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Arsen membunuh Pamannya dan menahan Ayahnya.
“Mungkin saja anda salah paham terhadap suami anda, Bu,” ucap Brant.
“Tidak, saya tidak salah paham,” jawab Ivana. “Sekali lagi, tolong awasi gerak-gerik orang tuanya. Alamatnya sudah saya tuliskan di sana, saya harap, anda bisa menemukan sesuatu di sana,” ucap Ivana.
Brant pun menganggukkan kepalanya. “Akan saya lakukan,” jawab Brant.
Brant sudah berlalu pergi, meninggalkan Ivana seorang diri di sana dengan kebingungannya.
“Apa Arsen sudah tau aku memata-matainya?” gumam Ivana langsung mengambil gelasnya dan meneguk minuman itu hingga tandas untuk menenangkan dirinya.
“Kalau dia sudah tau, apa semuanya akan baik-baik saja?” batinnya, membuat ia menjadi begitu gelisah.
Di saat itu, Ivana mendapatkan email dari sekretarisnya. Sebelumnya, ia sudah meminta laporan mengenai pekerjaan Arsenio, ia juga ingin tau pengeluaran yang Arsenio lakukan di belakangnya. Ia mengamati laporan kinerja Arsenio dengan seksama. Ia mencermati setiap angka dan detail pengeluaran pria itu, mencoba mencari tahu apakah ada penggelapan dana atau hal-hal lain yang merugikan perusahaan. Namun sayangnya, setelah beberapa jam memeriksa laporan tersebut, Ivana tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Arsenio tampak seperti orang yang benar-benar bersih, setidaknya dari apa yang tertera di laporan.
Namun, Ivana tidak bisa menerima kenyataan ini begitu saja. Baginya, tidak mungkin ada orang yang sebersih itu di dunia bisnis yang penuh intrik dan persaingan. Ivana yakin, pasti ada banyak hal yang disembunyikan Arsenio darinya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terkecoh oleh penampilan luar Arsenio yang tampak jujur dan tulus. Setidaknya kali ini Ivana harus mencegah Arsenio melakukan hal yang terjadi di kehidupan sebelumnya.
Dengan tekad yang kuat, Ivana memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang Arsenio. Ia kemudian mulai menghubungi beberapa koleganya yang memiliki koneksi di berbagai bidang, berharap bisa mendapatkan informasi tentang kehidupan pribadi Arsenio yang mungkin bisa membuka tabir rahasia yang disembunyikan pria itu.
***
“Astaga, ini masih belum menemukan juga. Sebenarnya sehandal apa dia dalam menyembunyikan identitas dirinya? Kenapa dia melakukan semua hal dengan begitu bersih dan jujur. Pantas saja, di kehidupan sebelumnya aku terkecoh dan benar-benar terkejut saat tahu dia ternyata menipuku selama ini,” gumamnya.
Selama beberapa hari, Ivana sibuk mengumpulkan informasi tentang Arsenio dari berbagai sumber. Namun, semakin banyak informasi yang ia terima, semakin sulit baginya untuk mencari celah dalam kehidupan Arsenio yang sebenarnya. Semuanya menunjukkan bahwa pria itu memang orang yang baik dan jujur.
“Apa aku coba mengikutinya saja?” gumam Ivana melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Biasanya, Arsenio ada di kantor jam segini. Aku harus menemuinya," gumam Ivana bangkit dari duduknya sambil membawa ponsel dan kunci mobilnya.
Ivana berada di dalam lift, dia menuju ke lantai ruangan Arsenio, hanya berbeda tiga lantai dengan ruangan pribadinya.
Pintu lift terbuka lebar, Ivana melangkahkan kakinya keluar dari lift dan berjalan menyusuri lorong kantor, tetapi saat di hampir sampai ruangan Arsen, dia melihat Arsen keluar dari ruangannya. Spontan, wanita itu bersembunyi dibalik dinding. Arsenio berjalan melewatinya, tidak menyadari keberadaan wanita itu. Setelah Arsen masuk ke dalam lift, Ivana berjalan cepat menuju lift. Dia melihat angka yang muncul di atas pintu lift.
“Sepertinya dia akan pergi, aku harus mengikutinya,” gumam Ivana segera menekan tombol lift di sampingnya.
Ivana merasa tak tahan dengan rasa penasaran yang menghantuinya. Saat melihat mobil Arsen melaju keluar dari gedung kantor, ia segera menyalakan mesin mobilnya dan mulai membuntuti pria itu. Pikiran Ivana melayang, bertanya-tanya kemana Arsen akan pergi. Ia terus mengikuti jejak mobil Arsen yang terus melaju, membawanya masuk ke area yang semakin sepi.
Daerah yang mereka lalui kini terasa seperti pinggiran kota, berbatasan dengan hutan. Pepohonan tinggi menjulang di kanan kiri jalan, menciptakan suasana yang begitu sunyi. Ketika Ivana melihat mobil Arsen berbelok ke arah sebuah rumah cukup besar, hatinya berdegup kencang. Ia merasa familiar dengan rumah itu.
“Ah, rumah ini?” Ivana menutup mulut dengan tangannya begitu terkejut, tangannya sampai bergetar kala mengingatnya. “Rumah ini, rumah tempat aku meninggal di kehidupanku sebelumnya.”
Ivana menepi sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu dengan kencang.
“Sebaiknya aku mendekat dan mengamati lebih dekat,” gumamnya menuruni mobil.
Ia merasa ragu untuk melanjutkan langkahnya, tapi rasa penasarannya lebih besar daripada ketakutannya. Dengan langkah ragu, Ivana berjalan mendekati rumah itu, dia sedikit bersembunyi ke semak-semak.
Ia merasa seolah-olah kembali ke kehidupan sebelumnya, ketika ia ditahan di rumah itu dan mati terbunuh di dalam sana. Ivana merasa sesak dan ingin ketakutan saat bayangan sebelumnya kembali muncul di benaknya. Dia mengepalkan kedua tangannya, dan menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Sembari berjalan, Ivana mencoba mengendalikan emosinya yang bercampur aduk antara penasaran, takut, dan sedih.
Saat Ivana mendekati pintu gerbang utama yang terlihat sepi tidak ada siapa pun. Dia menyentuh gagang pagar dan ternyata terbuka.
“Terbuka? Apa aku harus masuk atau kembali saja?” gumam Ivana mulai ragu. Dia takut kejadian di kehidupan sebelumnya terulang kembali.
“Sebaiknya aku kembali saja,” gumamnya melangkah mundur dan membalikkan badannya.
Tetapi, sebelum sempat dia pergi, seseorang menarik lengannya dan menyudutkan punggungnya ke pintu gerbang di belakangnya.
Kedua matanya membelalak lebar saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
Degh!
“Arsen?”
“Sesuai dugaanku. Kamu mengikutiku,” bisik Arsen dengan seringainya.
***
“Lepaskan tanganku!” Ivana menepis pegangan tangan Arsen saat pria itu memaksanya masuk ke dalam rumah. “Di sini hanya kita berdua. Katakan, kenapa kamu ingin bercerai denganku? Sampai kamu ngotot untuk bercerai?” tanya Arsen yang berjalan ke arah dapur, ia mengambil dua gelas berkaki dan menuangkan orange jus ke dalam gelas itu. Ivana tidak menjawab pertanyaan Arsen. Ia lebih fokus melihat sekeliling rumah itu, hingga tatapannya tertuju ke lantai dua. Tubuhnya kembali memberi respon karena rasa takut yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya. “Di lantai itu, Arsen membunuhku,” batin Ivana bergerak mundur. Dan Arsen menangkap kegelisahan Ivana, dengan wajah yang pucat pasi dan langkah yang terus bergerak mundur. Arsen berjalan mendekati Ivana sambil menyodorkan gelas berisi orange jus pada Ivana. “Ada apa? Apa ada sesuatu yang membuatmu takut?” tanya Arsen dengan santai. Ivana melihat ke arah Arsen dengan tatapan yang sudah
“Um …. “ Ivana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat sakit. Dia melihat borgol di tangannya sudah di lepas entah sejak kapan. Dia bergerak perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memar dan terluka karena gesekan yang dilakukannya tadi untuk melepaskan borgol itu. Tatapan Ivana tertuju pada sosok pria yang terlelap dengan nyenyak di hadapannya. Dia menatap sosok suaminya dengan tatapan nanar dan juga amarah yang seakan ingin meledak di dadanya. Ivana bergerak perlahan menurunkan kedua kakinya ke lantai. “Isshh …. “ Ivana meringis merasa ngilu di area intimnya. Dia menatap pakaiannya yang berserakan di lantai dan sudah koyak semua karena ulah Arsenio. Ivana pun bangkit perlahan dari posisinya dan masuk ke dalam kamar mandi. Ivana keluar dari kamar mandi dengan pakaian milik Arsenio, memberikan sedikit rasa hangat di tengah dinginnya suasana pagi itu. Dia melangkah pelan sambil menatap sosok Arsenio yang terlelap di
“Nyonya,” panggil Brant yang merupakan detektif yang disewa oleh Ivana. Ivana berjalan mendekatinya dan mengambil duduk di hadapan pria itu. “Bagaimana, apa ada perkembangan dari penyelidikanmu?” tanya Ivana tanpa basa-basi. Brant terdiam beberapa saat di sana. “Entah hanya kecurigaanku atau apa. Tapi, pergerakanku seakan di awasi, bahkan aku datang ke sini pun harus dengan cara sembunyi-sembunyi,” jelas Brant membuat Ivana terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat bagaimana Arsenio berkata mengenai detektif sewaannya. “Saya curiga kalau ada yang membocorkan atau mengawasi gerak-gerik anda, Nyonya. Makanya, orang itu langsung tau kalau sedang di selidiki latar belakangnya. Hingga saat ini, saya tidak mendapatkan bukti apa pun, termasuk orang tuanya yang beralamat di Alamat yang anda berikan saat itu. Rumah itu kosong,” ucap Brant membuat Ivana tertegun di sana. “Aku sudah menduga, ada mata-mata di dekatku. Kalau dia tau kamu y
“Akhirnya, aku tetap tidak bisa melakukan apa pun. Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang,” gumam Ivana menatap nyalang keluar jendela. Ivana yakin, Arsen sudah mengendalikan semuanya dalam waktu dua tahun ini, dia pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk memetik hasilnya tahun depan, seperti yang terjadi di kehidupan sebelumnya. Ivana memejamkan matanya dan menarik napas di sana. “Kalau memang aku tetap jatuh dalam perangkap dan tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk apa aku kembali ke masa lalu? Kesempatan kedua ini sebenarnya untuk apa kalau aku masih tidak bisa melawan dan menghentikan rencana Arsen?” batin Ivana. Kepalanya berpikir dengan keras memikirkan semua hal yang terjadi padanya. Dia sendiri masih belum mendapat jawaban dari semua pertanyaannya. Kenapa Arsen melakukan semua ini padanya dan keluarganya. Kenapa Arsen berkata kalau keluarganya dibantai oleh Ayah Ivana. Padahal Ivana sangat mengenal Ayahnya lebih dari
“Dia sudah gila!” keluh Ivana saat masuk ke dalam kamarnya sambil menghembuskan napas kasar. “Bisa-bisanya dia berkata masalah bayi dan program hamil.” Kedua mata Ivana berkaca-kaca saat dia terduduk di sisi ranjang, mengingat kembali serangkaian peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya. Di kehidupan sebelumnya saat dia menjalani program hamil, harapannya begitu tinggi; merasakan jantung kecil yang berdetak di dalam perutnya adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, semua impian itu sirna dengan cepat ketika Arsen, meninggalkannya begitu saja di tengah keramaian sebuah pesta. Betapa hancurnya hati Ivana saat itu, merasa diabaikan dan ditinggalkan di saat-saat yang paling krusial. Saat itulah, kehidupan yang sudah penuh harapan itu harus runtuh, dan kehadiran janin dalam perutnya pun tak berdaya untuk bertahan. Keguguran itu menjadi lebih dari sekadar kehilangan; itu adalah perasaan dikhianati oleh orang-orang di sekelilingnya,
“Ivana, bagaimana keadaanmu?” tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di kediaman Clover. “Pa-paman?” Ivana cukup terkejut melihat Freddy Clover, adik dari Joseph Clover, ayah dari Ivana. “ … Apa kabar, Paman?” tanya Ivana tertegun melihat kepulangan Pamannya yang sangat mendadak. “Tentu saja, Paman selalu baik, seperti yang kamu lihat,” ucap Freddy terkekeh di sana. Ivana teringat saat menonton rekaman video saat Arsen dengan kejam membunuh Freddy setelah menyiksanya. “Hei, kenapa?” tanya Freddy saat melihat air mata Ivana luruh membasahi pipinya begitu saja. Freddy yang sebelumnya memang begitu dekat dengan Ivana. Bahkan Freddy sangat dekat dengan Ivana disbanding Joseph. Saat kecil, Freddy yang sering menghabiskan waktu dengan Ivana. “Oh?” dengan cepat, Ivana menyeka air matanya. “Sepertinya aku terlalu senang melihat Paman pulang,” jawab Ivana. “Kamu pasti sangat merindukan Paman, bukan?” kek
“Ana, aku akan makan siang diluar dan akan terlambat kembali ke kantor. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku,” ucap Ivana saat keluar dari ruangan nya. “Oh, apa anda akan kembali ke kantor, Bu?” tanya Ana. Ivana terdiam beberapa saat di sana. “Sepertinya, aku tidak kembali ke kantor. Kalau sudah tidak ada pekerjaan, kamu bisa langsung pulang,” jawab Ivana. “Baik, Bu.” Setelah mengatakan hal itu, Ivana pun berlalu pergi meninggalkan kantor. Ivana yakin, Ana akan langsung melaporkannya pada Arsenio. Ivana memandang sekeliling lobi kantor dengan hati-hati sebelum melangkah keluar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ketika taksi yang dia pesan meluncur perlahan mendekat, dia segera masuk dan menutup pintu dengan cepat. “Ke restoran Bertand," ucapnya kepada sopir dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Baik, Bu.” Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan, Ivana segera mer
“Lama tak bertemu, Ivana?” ucap Alex di mana mereka masih berdiri berhadapan. “... Ya,” jawab Ivana. Wanita itu menyangka kalau dia akan bertemu dengan Alex di sini. Setelah hampir 3 tahun tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Alex. “Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Ivana. “Ya, seperti yang kamu lihat. Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini,” ucap Alex. “Sudah lama sekali sejak pembatalan itu. Kamu semakin cantik saja, Ivana.” Ivana tersenyum kecil di sana. “Terima kasih, Alex.” “Apa aku bisa menyimpan nomormu?” tanya Alex. “Untuk apa?” tanya Ivana masih menatap Alex dengan penuh kewaspadaan. Bukan karena takut Alex menyakitinya, dia hanya tidak ingin menyakiti pria itu lagi setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dan Ivana juga takut kalau mungkin Arsen sedang mengawasinya tanpa dia tahu. “Mungkin kita akan jadi sering bertemu ke depannya,” ucap Alex
Acara dilanjut dengan resepsi di halaman gereja yang meriah. Zeeya sibuk menikmati banyak camilan dan dessert yang tersaji di sana.Resepsi di halaman gereja berlangsung meriah, dengan nuansa taman yang indah, dihiasi lampu-lampu berkelip dan bunga-bunga berwarna cerah. Meja-meja penuh dengan berbagai jenis hidangan lezat, dari makanan pembuka hingga hidangan penutup yang menggugah selera. Sambil berdiri di sekitar area dengan pemandangan danau yang tenang, para tamu menikmati kebersamaan dan suasana yang penuh kebahagiaan.Zeeya yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya, sudah berada di meja dessert, dengan wajah ceria dan penuh semangat. Camilan-camilan kecil, kue-kue manis, dan es krim berwarna-warni menarik perhatian balita tersebut. Dengan riang, dia memilih beberapa kue kecil dan memakannya satu per satu sambil tertawa kecil.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam gereja, suasana penuh kehangatan menyambut. Hiasan bunga putih dan hijau menghiasi altar, sementara cahaya matahari yang masuk melalui kaca patri memberikan nuansa sakral. Para tamu, yang sebagian besar adalah kerabat dekat dan teman, sudah menempati tempat duduk mereka.Cedric dan istrinya, yang sedang berbincang di dekat pintu masuk, langsung melambai begitu melihat Arsen, Ivana, dan Zeeya. Cedric tersenyum lebar, lalu menghampiri mereka. "Akhirnya kalian sampai juga. Zeeya, kamu terlihat sangat cantik hari ini!" katanya sambil bercanda.Zeeya tersenyum malu-malu sambil merapat ke Ivana. "Terima kasih, Uncle Cedlic."Tak lama kemudian, Elmer dan Grasella datang menghampiri. Elmer tersenyum sopan, sementara Grasella tampak anggun dengan gaun biru muda. "Senang sekali bertemu kalian di sini," sapa Elmer. "Doly pasti bahagia melihat kalian hadir.""Iya, ini acara yang tidak mungkin kami lewatkan," balas Arsen sambil menjabat tangan Elmer. "Bagaiman
“Ini lumah siapa, Mom, Dad? Besal sekali!” ujar Zeeya yang ada di gendongan Arsen. “Ini, rumah keluarga Daddy. Selama di sini, kita akan tinggal di sini,” ucap Arsen. “Asyik… Zeeya bisa main lali-lali dan ke tempat bunga,” ucap Zeeya dengan lucunya. Arsen tertawa kecil sambil mencium pipi Zeeya yang penuh semangat di gendongannya. "Tentu saja, Sayang. Nanti Daddy ajak Zeeya lihat semua tempat di sini. Ada taman bunga yang besar, ada air mancur juga. Kamu pasti suka."Ivana tersenyum melihat kegembiraan putrinya. Dia mengamati mansion megah yang sudah direnovasi itu dengan perasaan campur aduk. Tidak banyak yang berubah, Arsen dan Doly tidak ingin menghilangkan momen penuh kenangan di sini. Berada di sini secara langsung tetap memberinya kesan yang berbeda. Besar, mewah, dan penuh aura nostalgia."Mommy juga bisa ikut main sama Zeeya?" tanya Zeeya dengan mata berbinar, memeluk leher Arsen erat-erat."Tentu saja," jawab Ivana sambil mengusap lembut kepala putrinya. "Mommy dan Daddy a
2 Tahun Kemudian….. “Apa ini serius?” tanya Arsen mendengar ucapan Doly di sana. “Ya, kamu pikir aku berbohong,” ujar Doly. “Apa kamu sudah bertemu dengan wanita yang akan dinikahi Doly, Ric?” tanya Arsen. “Ya, sudah. Ini sih beneran pawangnya si Doly,” kekeh Cedric. “Dia langsung tunduk sama omongan calon istrinya.”Cedric dan Arsen terkekeh mendengarnya. “Itu bukan tunduk. Tapi, bentuk rasa cinta,” ucap Doly. Arsen tertawa kecil mendengar pembelaan Doly yang terdengar tulus namun juga sedikit defensif. "Rasa cinta, ya?" ucap Arsen menggoda. "Jadi, siapa wanita hebat yang berhasil menjinakkan si Doly ini?"Cedric, yang masih terkekeh, menyela lebih dulu. "Percayalah, dia tipe yang nggak main-main. Elegan, cerdas, tapi juga punya aura tegas. Doly langsung berubah total kalau di dekat dia. Serius banget."Arsen menatap Doly dengan senyum penuh arti. "Wah, kalau sampai Cedric bilang begitu, berarti dia benar-benar istimewa. Aku penasaran ingin bertemu dengannya. Kapan kamu memper
Doly sudah berpenampilan rapi dengan setelan jasnya. Dia bersiap untuk datang ke sebuah undangan pesta salah satu kliennya. “Uh... pesona Doly memang tidak terkalahkan,” gumamnya penuh percaya diri sambil merapikan jas yang dikenakannya.Doly menatap dirinya sendiri di cermin besar, senyum puas menghiasi wajahnya. Dengan gaya khasnya, ia mengangkat dagu sedikit, memiringkan kepala, dan mengedipkan satu mata ke pantulan dirinya. "Siapa yang bisa menolak daya tarik ini?" ujarnya sambil tertawa kecil.Dia mengambil parfum mahal dari meja rias, menyemprotkannya dengan gerakan anggun ke pergelangan tangan dan lehernya. Setelah itu, dia memeriksa kembali dasinya untuk memastikan segalanya sempurna."Klien pasti akan terkesan. Lagi pula, bukan Doly namanya kalau tidak mencuri perhatian," gumamnya sambil tersenyum penuh percaya diri.Sebelum melangkah keluar, ia mengambil ponselnya dan melihat sekilas undangan di layar. "Saatnya membuat malam ini lebih berwarna," katanya s
“Wah, ada kue ikan,” ucap Doly menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Pria itu turun dari mobil dan berjalan mendekati pedagang kue ikan yang berjualan di sebuah gerobak pinggir jalan. “Bungkuskan kue ikannya, sepuluh biji,” pinta Doly. Pedagang tersebut menoleh ke arah Doly sambil menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.” Sambil menunggu, Doly memainkan ponselnya. Dan saat itu, dia terkejut karena ponselnya dirampas oleh seseorang yang berada di atas motor bersama rekannya. Doly yang terkejut pun langsung berteriak, “Perampok! Perampok!” teriak Doly di sana membuat semua orang melihat ke arahnya. Sayangnya, motor yang dikendarai perampok itu sudah cukup jauh, sampai ada sebuah motor sport berwarna hitam melaju cepat mengejar perampok tersebut. Doly masih berdiri di tempatnya dengan tatapan yang penuh kegelisahan.Kejadian itu membuat suasana sekitar menjadi tegang sejenak. Doly berdiri terpaku, pandangannya mengikuti motor spo
“Kamu mau menanam apa, Sayang?” tanya Arsen saat melihat melihat taman yang sudah di rapihkan oleh Ivana. “Aku ingin menghias taman dengan nuansa yang bagus. Apalagi, sebentar lagi musim dingin akan segera berakhir, dan aku ingin menyambut musim baru dengan suasana yang baru. Aku ingin menanam bunga dan tanaman hias,” jelas Ivana penuh semangat.Arsen tersenyum melihat semangat Ivana yang menggebu-gebu. Dia berjalan mendekat dan meraih tangan Ivana lembut, memandangnya dengan penuh perhatian.“Bunga dan tanaman hias? Itu ide yang bagus. Kamu sudah memutuskan bunga apa yang ingin kamu tanam?” tanyanya sambil mengusap punggung tangan Ivana.Ivana mengangguk kecil, matanya berbinar. “Aku ingin menanam tulip, mawar, dan lavender. Mereka akan membuat taman ini penuh warna dan harum. Oh, dan aku juga ingin beberapa pohon kecil untuk memberikan sedikit keteduhan.”Arsen tertawa pelan. “Kamu memang selalu punya rencana besar, Sayang. Tapi aku suka itu. Aku akan membantumu
“Wah, Zee udah wangi, ya... “ Ivana membawa Zee ke dalam gendongannya dengan wajah yang ceria. Dia berjalan keluar dari kamar Zee, seorang pelayan berjalan mendekatinya. “Nyonya, ada tamu untuk anda. Dia adalah baby sister yang di kirim kantor penyedia,” tuturnya. “Oh iya, baiklah. Aku akan turun dan menemuinya,” ujar Ivana dengan menggendong Zee, dia pun turun ke bawah dan melihat sosok wanita di ruang tamu. Wanita itu terlihat masih muda, tetapi wajahnya cukup mirip dengan Ana, sekretarisnya dulu yang menjadi mata-mata Arsen. “Selamat siang, Nyonya Manley,” sapa wanita itu. “Saya Laila, yang di kirim oleh pihak penyedia untuk menjadi baby sister putri Anda,” ucap Laila tersenyum ramah.Ivana mengamati Laila dengan cermat. Ada sesuatu di mata Laila yang terasa familiar, meskipun ia tidak bisa langsung mengingat apa."Selamat siang, Laila," jawab Ivana dengan senyuman hangat tapi hati-hati. "Silakan duduk. Saya ingin tahu lebih banyak
Oek… Oek… Oek… Ivana bergegas bangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Zee. Dia bangkit dari posisinya dan mendekati ranjang bayi yang berada di samping ranjang tempatnya dan Arsen tiduri. “Uh… putri cantik Mommy bangun, ya,” ucap Ivana tersenyum merekah menyapa Zee yang sudah mulai berhenti menangis. “Kenapa? Zee menangis?” tanya Arsen yang ikut terbangun di sana. “Sepertinya, popoknya basah. Aku akan menggantinya,” ucap Ivana. “Kamu pasti lelah. Istirahatlah, aku yang akan menggantikannya,” ucap Arsen bangkit dari posisinya mendekati ranjang bayi. “Apa tidak apa-apa?” tanya Ivana menatap Arsen. “Kenapa kamu ragu? Kamu takut aku tidak bisa melakukannya, ya?” kekeh Arsen. “Tenang saja, aku bisa melakukannya dengan baik. Lihatlah nanti,” ucap Arsen tersenyum dengan penuh rasa percaya diri.Ivana tersenyum kecil melihat kepercayaan diri Arsen yang jarang ia lihat dalam momen seperti ini. Ia mengangguk pe